“Asa, kita jalan sebentar, mau nggak?”Asa, yang tadinya tengah bermain dengan kartu-kartu bertuliskan nama buah dan bintang yang dilengkapi dengan gambarnya tersebut mendongak untuk menatap Badai. Badai melirik sejenak kartu-kartu tersebut.Benda itu salah satu media terapi Asa sejak dulu untuk memperlancar bicaranya.Asa mengangguk dan Badai tersenyum kecil. Ia mengambil jaket denim yang ia belikan untuk Asa dan memiliki warna yang sama dengan miliknya, lalu memakaikannya pada Asa.Badai juga memakai jaket yang sama dengan Asa dan setelahnya, mereka pun keluar dari kamar Asa.Hari ini ada Reval dan Shania, dua adik Shua yang masih menginap di rumah Badai bersama ibu Shua. Keduanya menoleh ke arah Badai dan Asa saat ayah dan anak itu turun ke lantai satu.“Mau ke mana, Bang?” tanya Shania dengan penasaran.“Mau jalan-jalan aja ke taman yang nggak jauh dari sini. Kalian nggak apa-apa kan ditinggal sebentar?”“Nggak apa-apa, Bang.” Kali ini Reval yang menjawab. “Mama lagi belanja sama
Badai menggertakkan giginya tanpa sadar saat tiba di hadapan kedua orangtua Anastasya. Tapi untungnya ia masih bisa menahan diri, jadi yang Badai lakukan hanya menunduk sejenak sebagai sapaan lalu berlalu masuk ke rumahnya tanpa mengatakan apa pun pada mereka.Badai tahu tindakannya benar-benar tak sopan, tapi menurutnya hal itu masih lebih baik dibanding kalau ia memilih untuk langsung mengusir mereka.“Bang, itu—““Iya, itu opa-omanya Asa,” sergah Badai begitu Reval menyambutnya dengan raut penasaran. “Aku mau mandiin Asa dulu.” Kemudian Badai beralih pada Shania. “Shan, abis Asa mandi, bisa tolong temenin dia di kamar?”Shania buru-buru mengangguk. “Bisa, Bang.”Lelaki itu kembali melanjutkan langkahnya dan di lantai dua ia berpapasan dengan ibu Shua. Badai tak mengatakan apa pun, ia hanya membawa Asa ke kamarnya dan mengisi air di bathtub sambil mencari mainan yang ia janjikan.“Yang tadi itu Opa sama Oma, Nak,” beri tahu Badai sambil membantu Asa membuka pakaiannya.Tanpa diduga,
“Apa kita ke rumah Mama Padma aja ya sekarang?”Asa tentu saja tak menjawab secara verbal. Anaknya tersebut menatap Badai tanpa berkedip selama beberapa saat.Setelah orangtua Anastasya datang ke rumah ini beberapa waktu yang lalu, malamnya Asa kembali demam hingga Badai harus kembali cuti untuk empat hari setelahnya.Sejak semalam kondisi Asa akhirnya membaik dan Badai baru ingat kalau mereka belum mengunjungi Padma sama sekali. Ia pun bahkan tak sempat menelepon karena terlalu banyak hal yang harus ia urus.Anggukan Asa membuat Badai tersenyum. Lamat-lamat terbit senyum di wajah anaknya dan membuat Badai sadar kalau kali ini Asa tahu, Badai mengajaknya bertemu dengan orang yang tak akan menyakitinya.“Oke, habis makan siang kita ke sana ya.”Asa kembali mengangguk dan tersenyum semakin lebar. Badai hanya berharap Padma sudah cukup membaik untuk bertemu dengan mereka. Dari Shua, Badai tahu kalau Padma masih sering mengurung diri di kamarnya.Usai makan siang, Badai menepati janjinya
“Aca!”Asa mengerucutkan bibirnya mendengar panggilan dari Janardana Kalasta atau yang biasa dipanggil Janar, tapi ia tak mengoreksi panggilan sepupunya tersebut. Janar pun langsung menggandeng tangan Asa untuk segera mengikutinya ke ruang bermain yang ada di lantai satu.Sementara itu, Badai memilih menuju dapur dan mendapati Shua dengan suaminya, tengah duduk berhadapan di pantry sambil mengaduk teh yang masih mengepulkan uapnya.“Teh?” tawar Shua begitu Badai bergabung dengan mereka dan duduk di sebelah suaminya.Badai menggeleng. “Kopi?”“Ck. Kenapa nyarinya yang nggak ada sih?” gerutu Shua. Walau begitu, ia tetap bergerak membuatkan kopi selagi suaminya mengobrol dengan Badai.“Aku ke ruang bermain dulu deh, jagain anak-anak,” kata suami Shua begitu kopi Badai selesai dibuat. Lelaki itu menepuk bahu Badai beberapa kali sebelum akhirnya benar-benar pergi.“Thanks.” Badai bergumam pada Shua seraya mengambil gelas yang disodorkan perempuan itu.Shua pun kembali duduk di tempatnya, b
“Badai mau ketemu kamu.”Jangankan menyahut, melirik Shua pun tidak.Tapi Padma tak akan berteman dengan orang yang langsung berkecil hati hanya karena ia mengabaikannya. Mili dan Shua punya satu persamaan, sama-sama tak ambil pusing kalau Padma mengabaikan mereka.Karena senjatanya hanya satu, teruslah bicara sampai Padma muak dan akhirnya menyahuti mereka.“Dia bilang dia mau minta maaf karena nggak datang di hari pemakaman Catra,” cerita Shua lagi sambil mengupas jeruk yang ia bawa.Tentu saja bukan untuk Padma, tapi untuk dirinya sendiri.Padma yang duduk bersandar pada bantalnya, melirik Shua dengan malas. Ia mulai berpikir, kenapa juga kemarin-kemarin ia setuju membiarkan Shua menjaganya?Begitu Shua datang pagi tadi, perempuan itu langsung menaruh buah yang ia beli di keranjang yang tersedia dan memakannya satu per satu. Sesekali Shua menawari Padma, tapi setelah dua kali ditolak, Shua memilih untuk menghabiskannya sendiri saja.Buang-buang tenaga aja nawarin orang yang nggak m
“Kirain kamu masih cuti.”“Pengennya sih cuti setahun.” Badai mengedikkan bahunya. “But life must go on. Asa juga udah dua hari ini selalu melotot setiap aku sarapan pakai baju santai.”Arsa yang hari itu datang ke Sadira Group sebagai perwakilan dari perusahaannya tersebut cukup kaget saat melihat Badai memasuki ruang meeting.Lelaki itu terlihat menerima beberapa ucapan duka dari peserta rapat yang hadir dan Arsa tahu, mungkin hampir semua orang yang bertemu dengannya melakukan hal yang sama.Setelah rapat selesai, Arsa mengajak Badai minum kopi di coffee shop yang ada di lobi gedung Sadira Group. Mereka memang belum sempat bertemu bahkan sejak kepergian Catra.“Gimana kabarnya Asa?” Arsa juga tahu mengenai Asa dari Shua, ketika ia, Mili, dan Shua bertemu di kamar rawat inap Padma. “Udah nggak sakit lagi kan sekarang?”“Udah nggak. Udah sembuh kok.”“Tapi masih belum mau ngomong?”Badai mengangguk. “Belum.”Arsa menghela napasnya. Keponakannya itu mengalami banyak hal yang tak menye
“Ke rumah Badai aja, Mil.”“Ke rumah Badai?”Mili yang tadinya tengah fokus mengemudi, menoleh pada Padma dengan terkejut. “Sekarang?”“Iya.” Padma mengangguk. “Pasti Asa ada di rumah kan? Nggak dibawa kerja sama Badai kan?”“Iya sih….” Mili hari ini memang menyempatkan diri bekerja setengah hari setelah jam makan siang nanti supaya pagi ini bisa menjemput Padma.Setelah mengantar Padma sampai rumah, baru nanti rencananya ia kembali ke kantor dan makan siang dengan suaminya, Arsa.“Ya udah, beneran ke rumah Badai nih?” tanya Mili sekali lagi.“Iya, bener.”Padma menatap ke luar jendela sambil menghela napasnya. “Aku kangen sama Asa, pengen ketemu dia dulu rasanya.”“Dia juga kangen sama kamu.”“Kondisinya separah itu, Mil?”“Iya….” Mili kembali menghela napasnya saat mengingat bagaimana Asa yang jadi tak mau bicara sama sekali pada siapa pun. “Padahal sebelumnya kan udah ada kemajuan ya, dia jadi mau mulai ngomong sama orang lain. Tapi apa yang Asa liat waktu itu kan emang nggak bisa
“Nah, ayo pamit sama Mama Padma. Ini udah waktunya Asa tidur.”Tapi bukannya melambaikan tangan untuk pamit pada Padma, Asa malah melepas genggaman tangannya dari Badai dan beranjak ke sisi Padma. Tangan mungilnya meraih tangan Padma dan ia langsung mendongak untuk bertukar tatap dengan perempuan itu.“Mau Mama bacain dongeng?” tanya Padma dengan lembut.Asa langsung berkali-kali mengangguk dan Padma beralih pada Badai. “Boleh aku temenin Asa sampai dia tidur?”“Boleh.” Badai mengangguk ragu. “Yuk, ke kamarnya.”Lelaki yang sudah berganti pakaian dengan pakaian yang lebih kasual tersebut menunjukkan jalan menuju kamar Asa. Di belakangnya, Padma sibuk mengajak Asa mengobrol tanpa merasa keberatan kalau Asa tak menjawabnya sama sekali.Setelah makan siang tadi Badai memang tak kembali ke kantornya dan memilih untuk bermain bersama Padma dan Asa.Sekalipun Asa tak bicara satu patah kata pun, tapi ia tersenyum dan tertawa saat bersama Padma—dan hal itu sudah cukup bagi Badai.Hidupnya beb
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec