~Penyesalan memang selalu datang terlambat~
Wajah Jidan dan Yoga tertekuk ke bawah. Mata mereka sama-sama hanya tertuju pada tanah. Sementara Cika dan Risa malah menangis karena panik. Jidan mengusap wajahnya yang kelu, mencoba untuk berdamai dengan situasi. Dengan sedikit menggigit bibirnya Jidan berusaha untuk menegakkan kepalanya. "Kita harus bertanggungjawab." Jidan memecah keheningan sejenak yang mereka ciptakan sendiri. "Maksudmu apa Jidan?" Yoga tidak mengerti. "Yoga! Kita yang merencanakan kegiatan camping ini. Kita yang mengajak Danar dan Sagita untuk bergabung. Sekarang semuanya jadi berantakan." "Aku tahu Jidan! Tapi ini jelas bukan salah kita. Ini salah Danar. Gila dia itu. Apa isi otaknya? Bisa-bisanya dia melakukan tindakan kotor di atas bukit ini. Dan Delia? Coba jelaskan padaku gimana bisa wanita secantik dia melakukan tindakan kotor? Mesum dengan suami orang. Jenis wanita macam apa dia i~Putus asa bukan jalan bagi hati-hati yang luka~ Sagita terus berlari menuruni bukit yang bagi Sagita namanya bukan lagi bukit cinta melainkan bukit pengkhianatan. Sepanjang menuruni bukit, Sagita terus menangis. Tidak dipedulikannya lagi lelah kaki ketika menuruni bukit pengkhianatan itu. Sagita hanya ingin pergi dari sana, pergi jauh dan menangis sepuasnya. Hanya saja Sagita lupa satu hal, sejauh apapun dirinya mencoba lari dan pergi, dia tetap tidak bisa lari dari sebuah kenyataan pahit. Kenyataan jika Mas Danar kesayangannya telah mengkhianati."Tega kamu Mas! Jahat kamu Mas! Apa salah Gita sama kamu Mas? Bisa-bisanya kamu berciuman dengan Delia sebegitu mesranya? Apa yang sebelumnya telah kalian lakukan sebelum adegan ciuman itu? Apa adegan ciuman yang kulihat tadi hanya sebagai ciuman penutup? Jahat kamu Mas!"Sagita tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Dia terus berbicara dengan hatinya sendiri. Me
~Bunuh diri bukan solusi, karena mati bukan akhir dari sebuah perjalanan~"Sagitaaa! Jangan lompat!" Jidan berteriak kencang begitu melihat Sagita berdiri di tepi jurang sambil menangis. Tangisnya memang tidak mengeluarkan air mata lagi. Air mata itu sudah kering. Jantung Yoga berdebar kencang. Matahari sebentar lagi akan terbenam. Orang-orang yang membantu mencari Sagita juga bingung harus apa. Tadi mereka sudah sempat mendekat ke arah Sagita. Namun Sagita justru mau melompat. Maka jadilah mereka tidak berani mendekat."Bunuh diri bukan solusi Sagita. Kenapa? Karena mati bukan akhir dari semua perjalanan. Kamu hanya akan melakukan dosa besar." Jidan berteriak lagi."Ke, ke, kenapa Mas Danar tega?" suara Sagila lirih terisak.Yoga berusaha menyingkirkan orang-orang yang ada di sekitar bukit itu. Dia ingin memberikan waktu dan ruang bagi Sagita agar mau bercerita pada dirinya dan Jidan. Mungkin dengan demikian, Sagita akan
~Kenyataan tetaplah kenyataan, suka atau tidak, semua yang terjadi harus ditelan~"Tuh, trouble makernya dateng." Yoga menunjuk ke arah Danar yang berjalan tergopoh-gopoh melewati lorong rumah sakit. Jidan menghela napas. Tanpa ia sadari, tangan kanannya sudah terkepal. Rasa ingin meninju Danar."Kamu mau nonjok Danar?" Yoga ternyata memperhatikan kepalan tangan Jidan."Melihat Sagita semenderita ini, hatiku juga sakit. Coba bayangkan kalau apa yang menimpa Sagita juga menimpa kakak atau adik perempuanmu Yoga.""Amit-amit jabang bancet! Jangan sampe. Jauh-jauhlah dari kayak begituan. Buaya-buaya gini, aku mana mungkin tega."Napas Danar masih terengah-engah begitu ia sampai di hadapan Jidan. Yoga cepat-cepat berdiri menjauhkan Danar dari Jidan. Sontak, Jidan merasa heran."Kenapa?" tanya Danar."Jidan lagi emosi. Pengen nonjok kamu. Jadi tolong jaga jarak dari dia.""Aku udah enggak peduli. Kalau kalian masih geram den
~Sebenarnya di kala badai datang, manusia tidak pernah sendirian. Selalu ada siapapun yang rela membantu. Cukup menyadari keberadaan mereka~"Cika, Cika apa yang jago nyanyi?" Yoga bertanya sambil menaikkan alisnya sebelah. Wajahnya mengarah ke arah Cika. Cika menggeleng. Risa mengangkat bahu. Sementara Sagita masih duduk dengan tenang di atas tempat tidur pasien. Pagi itu, Cika, Risa, Yoga dan Jidan memang datang menjenguk Sagita.Ckrekk! Pintu terbuka. Jidan datang membawa satu keranjang buah segar. Ia segera meletakkan buah itu di samping ranjang Sagita."Kak Jidan. Cika apa yang jago nyanyi?" Cika bertanya pada Jidan."Lah, mana kakak tau. Kan kamu yang namanya Cika. Kamu jago nyanyi enggak?" Jidan balik bertanya."Mana ada Cika jago nyanyi Kak. Cika jagonya cuman merepet. Ngambek paling." Jawaban Risa membuat semua orang tertawa, kecuali Sagita. Sagita hanya tersenyum tipis. Itupun hanya demi kesopanan belaka. Menghargai usaha semua o
~ Sebagian manusia memang bisa super tega. Berbuat kesalahan besar, namun bersikap seolah tak berdosa~Delia melihat ke arah kepalan tangan Jidan, dia malah tersenyum. Yakin sekali Delia, jika kepalan tangan itu hanya akan tetap menjadi kepalan tangan. Tidak akan berubah menjadi bogem mentah yang mendarat di wajahnya."Tolong! Kalian jangan mengira jika aku tidak terluka atau bahkan merasa dirugikan dengan semua kejadian itu. Aku juga dirugikan. Bahkan bisa dibilang menderita. Sayangnya aku memilih untuk tetap menjalani hidup dengan sebaik mungkin.""Kamu enggak perlu sok jadi korban. Jelas-jelas di sini kamu penjahatnya. Kalau kamu tidak menggoda Danar, ini semua tidak akan terjadi. Dan Sagita pasti akan baik-baik saja.""Bodoh!" Delia berkata dengan kasar."Eh! Apa maksud kamu bilang kami bodoh?
~Setiap masalah pasti ada solusinya~"Ceraikan Sagita dan nikahi Delia." Jidan berkata dengan keyakinan penuh. Yoga yang mendengar itu sekali lagi terbatuk-batuk."Tidak! Aku tidak akan menceraikan Sagita." Danar sontak membantah solusi dari Jidan."Lalu? Kamu mau terus sama Sagita? Pertanyaanku apa Sagita mau untuk terus jadi istri kamu?""Dengar Jidan! Saat ini Sagita memang belum memaafkanku. Namun hanya belum. Besok-besok kalau hatinya sudah tenang, dia pasti memaafkanku. Pasti. Dan Delia? Dia cantik. Meskipun tidak perawan lagi, masih banyak pria baik di luar sana yang mau menerimanya.""Lihatlah temanmu ini Yoga! Kau ingat? Kemarin itu dia bilang jika dia dan Delia tidak macam-macam. Sekarang di depan kita, dia sendiri yang mengaku jika dia sudah mengambil keperawanan Delia. Kurang brengsek apa coba?""Cukup Jidan! Itu solusi terbaik. Terserah kamu mau bilang aku brengsek atau apa. Aku tidak peduli. Mau dibilang brengsek 1000
~Sebuah cerita, sebuah pencerahan. Sebuah cerita, sebuah kesempatan. Kesempatan untuk mengambil pelajaran~Cika dan Risa tinggal di sebuah rumah kontrakan yang jelas cukup luas jika ditinggalin dua orang saja. Ada 4 kamar tidur, sebuah ruang tamu, dapur, teras dan bahkan perkarangan belakang yang cukup luas. Sagita menarik napas dalam-dalam. Sudah ada rencana dalam kepala Sagita Tetang apa yang akan dia lakukan di rumah ini. Lebih dekat pada Tuhan.Sagita ingin menghabiskan waktunya untuk beribadah. Dengan demikian hatinya akan menjadi lebih tenang. Sagita tengah duduk menghadap ke halaman belakang rumah.Cika dan Risa jelas punya selera dekorasi yang baik. Perkarangan ini sangat nyaman. Rumput hijau bagai permadani dan ada banyak rumput gantung yang menjuntai dari atas atap. Semuanya tertata rapi dan bersih."Semoga Kakak suka ya sama tempat ini. Semoga betah juga." Cika menepuk pundak Cika."Iya. Kalian kuliah yang baik ya. Jangan
~Bunga memang indah, namun seindah-indahnya bunga, bunga tidak sepenuhnya sanggup menyembuhkan hati yang patah~Sudah satu pekan, rumah Cika dan Risa dibanjiri pake buket bunga. Bukan. Bukan untuk Cika dan Risa. Dua gadis cantik ini meskipun jomblo tetap tidak ada yang mengirimi bunga. Semua bunga itu diperuntukkan seorang Sagita. Dan siapa lagi pengirimnya jika bukan Danar?"Bunga apa hari ini?" tanya Cika pada Risa yang sedang sibuk memasak di dapur."Bunga tulip," jawab Risa singkat."Mawar udah, anggrek udah, edelweis udah, dahlia, krisan, lantana, kayaknya semua udah. Curiga aku Ris. Jangan-jangan besok Mas Danar kirimnya bunga bangkai raflesia arnoldi." Cika tertawa kecil sambil tangannya tetap mengaduk sayur."Kak Sagita udah selesai mandi?""Belum Ris.""Aku rasa mau bunga apapun yang dikirimkan sama Mas Danar, tetap enggak akan ngaruh. Kak Sagita kemaren udah ngomong sama aku, bakal tetep mau cerai sama Mas Danar."