~Jangan pernah berdua-duaan dengan seseorang yang bukan muhrim, sebab bisa dipastikan, jika yang ketiganya adalah setan~
Udara segar merasuk ke dalam relung jiwa-jiwa yang tengah berbahagia. Sepagi itu, terlihat tiga orang wanita tengah bercengkrama dan bersendau gurau di atas bukit. Siapa lagi ketiganya jika bukan Sagita, Risa dan Cika. Mereka memang meninggalkan Delia yang masih tidur di dalam tenda. Delia yang tidur paling akhir, sehingga wajar saja jika dia juga yang bangun paling akhir pula. "Kak! Ayo mandi ke bawah air terjun yang ada di sebalah sana!" Cika mengajak Sagita. "Yakin? Sepagi ini mandi di situ apa enggak dingin?" "Enggak kok Kak Git! Justru seger badan kita jadinya. Mumpung itu yang di dalam tenda laki-laki belum pada bangun." Risa berkata sambil mengedipkan mata. "Terus Delia gimana?" tanya Sagita sambil menunjuk ke arah tenda. "Tinggal aja Kak. Kasihan masih ngantuk sekali sepertinya." "Oke deh!" Pelan-pelan ketiganya berjalan menuju ke arah sebelah bukit di mana terletak air terjun. Air terjun itu memang tidak terlalu jauh dari tempat mereka berada. Bahkan aliran airnya bisa terdengar di tengah kesunyian. Ukuranya juga tidak terlalu besar, seperti sebuah oase yang diciptakan Tuhan untuk ketersediaan air bagi para pandaki bukit. "Pelan-pelan!" Sagita mengingatkan Cika dan Risa. Namun keduanya sangat bersemangat menempuh jalan setapak di atas bukit itu. Sagita suka sekali suara ini, suara hening dimana dia tidak perlu mendengar suara mertuanya berteriak-teriak tidak jelas. "Waaah! Air terjunnya keren! Ayo buruan!" Risa memekik dan langsung menuju ke air terjun itu. Mereka segera bersih-bersih bahkan Cika segera ingin membuka bajunya. "Eh! Jangan dibuka semua bajunya! Tetap pakai aja. Jangan terlalu vulgar di tempat seperti ini." Sagita berusaha mengingatkan. "Eh! Iya iya Kak! Maaf Kak!" jawab Cika sambil mengambil posisi duduk di atas sebuah batu padas besar. "Kak Git! Kakak udah kenal lama sama Kak Delia belum?" tanya Cika memulai obrolan. "Belum. Baru kenal. Yang udah lama kenal itu suami kakak, Mas Danar." "Kakak enggak cemburu, suami Kakak punya teman secantik Kak Delia?" Risa bertanya dengan wajah serius. Dia duduk di tepian aliran air terjun sambil mencelupkan sedikit kakinya ke air. "Sedikit. Tapi kakak yakin wanita seperti Delia itu orang baik. Jadi enggak mungkin dia merebut Mas Danar dari Kakak." Sagita sebenarnya bukan hanya mencoba meyakinkan Cika dan Risa namun dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Cika! Sagitaaa! Risaaa!!!" Ketiga perempuan itu kaget. Ada suara-suara lantang yang memanggil nama mereka. Mereka tanda suara itu, itu adalah suara Jidan dan Yoga. Cepat-cepat mereka meraih handuk agar tubuh basah mereka tidak terlihat oleh Yoga dan Jidan. "Kenapa Kak?" teriak Risa. "Aduh! Kalian bertiga kalau mau ke air terjun atau kemana-mana itu bilang dulu dong! Jangan main pergi aja. Kalau ada apa-apa gimana?" Jidan merepet sambil berkecak pinggang. "Santai aja Kak! Kita udah gede kok. Bisa jaga diri sendiri." "Bukan masalah udah gede atau belum Cika. Ini masalah tanggung jawab. Kalian yang mengajak kemari itu kami. Jadi kami harus menjaga kalian." Yoga berusaha untuk menjelaskan. "Kalian ke sini cuman berdua?" tanya Sagita. "Iya. Kenapa memangnya Git?" "Mas Danar mana?" Sagita bertanya dengan nada cemas. Perasaannya seketika berubah menjadi tidak enak. "Danar kami tinggal. Tadi dia masih tidur. Lagian enggak mungkin kami meninggalkan Delia sendiri. Kamu kenapa Git? Kok mukanya jadi cemas gitu?" Jidan mengerutkan dahinya. "Eh! Enggak! Enggak apa-apa." "Yaudah! Kalau kalian mau lanjut bersih-bersih sama mandinya. Buruan ya! Entar gantian sama kami. Kalian enggak mau kita mandi bareng, kan?" Yoga berkata sambil menyengir. Pertanyaan itu disambut dengan kepalan tangan oleh Cika dan Risa. Kedua pria itu malah tertawa dan berlalu. "Kita nyingkir dulu aja Yoga! Ada 3 bidadari lagi mandi." "Apa perlu kita curi selendang mereka, supaya mereka enggak bisa balik ke kayangan?" "Enggak usahlah! Repot! Entar kalau selendangnya kita curi, kita wajib kasih makan, kasih biaya hidup, biaya belanja, biaya beli kuota. Hahahaha." Jidan tertawa dengan perkataanya sendiri. Mereka tidak kembali ke lokasi dimana tenda berada. Keduanya hanya menunggu di tempat yang sedikit jauh dari lokasi air terjun. Entah kenapa hati Sagita jadi tidak tenang. Dia tahu jika Yoga dan Jidan tidak langsung kembali ke tenda. Itu artinya sejak tadi Mas Danar dan Delia hanya berdua. Perasaan tidak enak itu membuat Sagita bergegas. "Risa! Cika! Kalian masih lama mandinya? Kakak mau cepat-cepat balik ke tenda." "Eh! Kenapa buru-buru Kak Git?" tanya Cika yang mulai heran. "Enggak apa-apa. Kakak soalnya udah merasa kedinginan. Laper juga." Sagita berusaha mencari alasan. Padahal jelas bukan itu alasan sebenarnya. Alasan sebenarnya dia khawatir karena Mas Danar hanya berdua dengan Delia. Sagita memang percaya pada Mas Danar. Di mata Sagita Mas Danar tipe pria yang setia. Namun kuping Sagita sering mendengar jika seorang wanita dan seorang pria yang bukan muhrim bersama, maka yang ketiganya adalah setan. Setan jelas ada dimana-mana, termasuk di atas bukit. Cika dan Risa merasa tidak enak jika membiarkan Sagita pulang kembali ke tenda sendirian. Walhasil mereka juga ikut pulang kembali ke tenda. Mereka segera bergegas melewati jalan setapak. "Lah! Kenapa cepat sekali? Setahuku wanita kalau mandi itu lama. Ternyata itu cuman mitos ya?" Yoga berkomentar begitu melihat Sagita, Cika dan Risa melewati jalan setapak dimana dirinya dan Yoga menunggu. "Kami sudah selesai Kak! Silahkan mandi-mandi. Jangan lupa kalau jumpa bidadari dari kayangan, jangan selendangnya yang dibawa pulang, bidadarinya langsung yang diangkut." Cika berkata sambil berlari tergopoh-gopoh mengikuti langkah Sagita. Yoga dan Jidan hanya saling tatap. Mereka merasa jika ada yang aneh dari wajah Sagita. "Kok aku merasa ada yang aneh dari wajah Sagita. Kenapa dia?" tanya Jidan pada Yoga. Sementara yang ditanya hanya mengangkat bahu sambil menggeleng. Bagi Yoga dan Jidan, gelagat wanita semuanya sama. Susah diterka kenapa dan ada apa. Begitu sampai ke lokasi dimana tenda mereka berada. Sagita langsung menuju ke tenda pria. Dia berani ke sana karena sadar jika seharusnya yang tinggal di tendan hanya suaminya. Namun tidak ada. Tidak ada Mas Danar di sana. Sementara itu Risa dan Cika juga berusaha mencari Delia. Sayangnya tidak ada Delia juga. Delia yang tadi sedang tidur saat mereka tinggalkan juga sudah pergi. Sagita mulai panik. Risa dan Cika juga ikut panik. Kemana perginya Mas Danar dan Delia? Mereka semua mengedarkan pandangan ke segala arah. Sampai pada akhirnya Cika melihat ada sepasang jaket tergeletak di atas sebuah batu besar. Seingat Cika itu adalah jaket yang dikenakan oleh Delia saat tidur tadi. Dan jaket satunya lagi, Cika juga ingat jika jaket satunya itu adalah jaket yang dipakai oleh Danar. Dengan sedikit ragu-ragu, Cika menunjuk ke arah batu besar itu. Sagita dan Risa dalam sekejap juga melihat jaket itu. Jantung Sagita berdegup kencang, tak bisa dikendalikan. Dia segera berlari menuju ke arah batu besar itu, disusul oleh Cika dan Risa. Sagita berusaha melihat apa yang terjadi di balik batu besar tersebut. Begitu Sagita berhasil menuju ke balik batu, tubuhnya membeku seketika. Membeku seperti seluruh es di Antartika di tumpahkan ke tubuhnya. "Aaaaa!" Cika dan Risa berteriak. Berteriak sambil menutup kedua mata mereka. Teriakan itu keras sekali dan bergema kemana-mana. Membuat Jidan dan Yoga segera lari pontang-panting. Menerka apa yang sebenarnya terjadi, kenapa ada teriakan keras sekali?~Penyesalan memang selalu datang terlambat~Wajah Jidan dan Yoga tertekuk ke bawah. Mata mereka sama-sama hanya tertuju pada tanah. Sementara Cika dan Risa malah menangis karena panik. Jidan mengusap wajahnya yang kelu, mencoba untuk berdamai dengan situasi. Dengan sedikit menggigit bibirnya Jidan berusaha untuk menegakkan kepalanya."Kita harus bertanggungjawab." Jidan memecah keheningan sejenak yang mereka ciptakan sendiri."Maksudmu apa Jidan?" Yoga tidak mengerti."Yoga! Kita yang merencanakan kegiatan camping ini. Kita yang mengajak Danar dan Sagita untuk bergabung. Sekarang semuanya jadi berantakan.""Aku tahu Jidan! Tapi ini jelas bukan salah kita. Ini salah Danar. Gila dia itu. Apa isi otaknya? Bisa-bisanya dia melakukan tindakan kotor di atas bukit ini. Dan Delia? Coba jelaskan padaku gimana bisa wanita secantik dia melakukan tindakan kotor? Mesum dengan suami orang. Jenis wanita macam apa dia i
~Putus asa bukan jalan bagi hati-hati yang luka~ Sagita terus berlari menuruni bukit yang bagi Sagita namanya bukan lagi bukit cinta melainkan bukit pengkhianatan. Sepanjang menuruni bukit, Sagita terus menangis. Tidak dipedulikannya lagi lelah kaki ketika menuruni bukit pengkhianatan itu. Sagita hanya ingin pergi dari sana, pergi jauh dan menangis sepuasnya. Hanya saja Sagita lupa satu hal, sejauh apapun dirinya mencoba lari dan pergi, dia tetap tidak bisa lari dari sebuah kenyataan pahit. Kenyataan jika Mas Danar kesayangannya telah mengkhianati."Tega kamu Mas! Jahat kamu Mas! Apa salah Gita sama kamu Mas? Bisa-bisanya kamu berciuman dengan Delia sebegitu mesranya? Apa yang sebelumnya telah kalian lakukan sebelum adegan ciuman itu? Apa adegan ciuman yang kulihat tadi hanya sebagai ciuman penutup? Jahat kamu Mas!"Sagita tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Dia terus berbicara dengan hatinya sendiri. Me
~Bunuh diri bukan solusi, karena mati bukan akhir dari sebuah perjalanan~"Sagitaaa! Jangan lompat!" Jidan berteriak kencang begitu melihat Sagita berdiri di tepi jurang sambil menangis. Tangisnya memang tidak mengeluarkan air mata lagi. Air mata itu sudah kering. Jantung Yoga berdebar kencang. Matahari sebentar lagi akan terbenam. Orang-orang yang membantu mencari Sagita juga bingung harus apa. Tadi mereka sudah sempat mendekat ke arah Sagita. Namun Sagita justru mau melompat. Maka jadilah mereka tidak berani mendekat."Bunuh diri bukan solusi Sagita. Kenapa? Karena mati bukan akhir dari semua perjalanan. Kamu hanya akan melakukan dosa besar." Jidan berteriak lagi."Ke, ke, kenapa Mas Danar tega?" suara Sagila lirih terisak.Yoga berusaha menyingkirkan orang-orang yang ada di sekitar bukit itu. Dia ingin memberikan waktu dan ruang bagi Sagita agar mau bercerita pada dirinya dan Jidan. Mungkin dengan demikian, Sagita akan
~Kenyataan tetaplah kenyataan, suka atau tidak, semua yang terjadi harus ditelan~"Tuh, trouble makernya dateng." Yoga menunjuk ke arah Danar yang berjalan tergopoh-gopoh melewati lorong rumah sakit. Jidan menghela napas. Tanpa ia sadari, tangan kanannya sudah terkepal. Rasa ingin meninju Danar."Kamu mau nonjok Danar?" Yoga ternyata memperhatikan kepalan tangan Jidan."Melihat Sagita semenderita ini, hatiku juga sakit. Coba bayangkan kalau apa yang menimpa Sagita juga menimpa kakak atau adik perempuanmu Yoga.""Amit-amit jabang bancet! Jangan sampe. Jauh-jauhlah dari kayak begituan. Buaya-buaya gini, aku mana mungkin tega."Napas Danar masih terengah-engah begitu ia sampai di hadapan Jidan. Yoga cepat-cepat berdiri menjauhkan Danar dari Jidan. Sontak, Jidan merasa heran."Kenapa?" tanya Danar."Jidan lagi emosi. Pengen nonjok kamu. Jadi tolong jaga jarak dari dia.""Aku udah enggak peduli. Kalau kalian masih geram den
~Sebenarnya di kala badai datang, manusia tidak pernah sendirian. Selalu ada siapapun yang rela membantu. Cukup menyadari keberadaan mereka~"Cika, Cika apa yang jago nyanyi?" Yoga bertanya sambil menaikkan alisnya sebelah. Wajahnya mengarah ke arah Cika. Cika menggeleng. Risa mengangkat bahu. Sementara Sagita masih duduk dengan tenang di atas tempat tidur pasien. Pagi itu, Cika, Risa, Yoga dan Jidan memang datang menjenguk Sagita.Ckrekk! Pintu terbuka. Jidan datang membawa satu keranjang buah segar. Ia segera meletakkan buah itu di samping ranjang Sagita."Kak Jidan. Cika apa yang jago nyanyi?" Cika bertanya pada Jidan."Lah, mana kakak tau. Kan kamu yang namanya Cika. Kamu jago nyanyi enggak?" Jidan balik bertanya."Mana ada Cika jago nyanyi Kak. Cika jagonya cuman merepet. Ngambek paling." Jawaban Risa membuat semua orang tertawa, kecuali Sagita. Sagita hanya tersenyum tipis. Itupun hanya demi kesopanan belaka. Menghargai usaha semua o
~ Sebagian manusia memang bisa super tega. Berbuat kesalahan besar, namun bersikap seolah tak berdosa~Delia melihat ke arah kepalan tangan Jidan, dia malah tersenyum. Yakin sekali Delia, jika kepalan tangan itu hanya akan tetap menjadi kepalan tangan. Tidak akan berubah menjadi bogem mentah yang mendarat di wajahnya."Tolong! Kalian jangan mengira jika aku tidak terluka atau bahkan merasa dirugikan dengan semua kejadian itu. Aku juga dirugikan. Bahkan bisa dibilang menderita. Sayangnya aku memilih untuk tetap menjalani hidup dengan sebaik mungkin.""Kamu enggak perlu sok jadi korban. Jelas-jelas di sini kamu penjahatnya. Kalau kamu tidak menggoda Danar, ini semua tidak akan terjadi. Dan Sagita pasti akan baik-baik saja.""Bodoh!" Delia berkata dengan kasar."Eh! Apa maksud kamu bilang kami bodoh?
~Setiap masalah pasti ada solusinya~"Ceraikan Sagita dan nikahi Delia." Jidan berkata dengan keyakinan penuh. Yoga yang mendengar itu sekali lagi terbatuk-batuk."Tidak! Aku tidak akan menceraikan Sagita." Danar sontak membantah solusi dari Jidan."Lalu? Kamu mau terus sama Sagita? Pertanyaanku apa Sagita mau untuk terus jadi istri kamu?""Dengar Jidan! Saat ini Sagita memang belum memaafkanku. Namun hanya belum. Besok-besok kalau hatinya sudah tenang, dia pasti memaafkanku. Pasti. Dan Delia? Dia cantik. Meskipun tidak perawan lagi, masih banyak pria baik di luar sana yang mau menerimanya.""Lihatlah temanmu ini Yoga! Kau ingat? Kemarin itu dia bilang jika dia dan Delia tidak macam-macam. Sekarang di depan kita, dia sendiri yang mengaku jika dia sudah mengambil keperawanan Delia. Kurang brengsek apa coba?""Cukup Jidan! Itu solusi terbaik. Terserah kamu mau bilang aku brengsek atau apa. Aku tidak peduli. Mau dibilang brengsek 1000
~Sebuah cerita, sebuah pencerahan. Sebuah cerita, sebuah kesempatan. Kesempatan untuk mengambil pelajaran~Cika dan Risa tinggal di sebuah rumah kontrakan yang jelas cukup luas jika ditinggalin dua orang saja. Ada 4 kamar tidur, sebuah ruang tamu, dapur, teras dan bahkan perkarangan belakang yang cukup luas. Sagita menarik napas dalam-dalam. Sudah ada rencana dalam kepala Sagita Tetang apa yang akan dia lakukan di rumah ini. Lebih dekat pada Tuhan.Sagita ingin menghabiskan waktunya untuk beribadah. Dengan demikian hatinya akan menjadi lebih tenang. Sagita tengah duduk menghadap ke halaman belakang rumah.Cika dan Risa jelas punya selera dekorasi yang baik. Perkarangan ini sangat nyaman. Rumput hijau bagai permadani dan ada banyak rumput gantung yang menjuntai dari atas atap. Semuanya tertata rapi dan bersih."Semoga Kakak suka ya sama tempat ini. Semoga betah juga." Cika menepuk pundak Cika."Iya. Kalian kuliah yang baik ya. Jangan