~Sebuah cerita, sebuah pencerahan. Sebuah cerita, sebuah kesempatan. Kesempatan untuk mengambil pelajaran~
Cika dan Risa tinggal di sebuah rumah kontrakan yang jelas cukup luas jika ditinggalin dua orang saja. Ada 4 kamar tidur, sebuah ruang tamu, dapur, teras dan bahkan perkarangan belakang yang cukup luas. Sagita menarik napas dalam-dalam. Sudah ada rencana dalam kepala Sagita Tetang apa yang akan dia lakukan di rumah ini. Lebih dekat pada Tuhan. Sagita ingin menghabiskan waktunya untuk beribadah. Dengan demikian hatinya akan menjadi lebih tenang. Sagita tengah duduk menghadap ke halaman belakang rumah.Cika dan Risa jelas punya selera dekorasi yang baik. Perkarangan ini sangat nyaman. Rumput hijau bagai permadani dan ada banyak rumput gantung yang menjuntai dari atas atap. Semuanya tertata rapi dan bersih."Semoga Kakak suka ya sama tempat ini. Semoga betah juga." Cika menepuk pundak Cika."Iya. Kalian kuliah yang baik ya. Jangan~Bunga memang indah, namun seindah-indahnya bunga, bunga tidak sepenuhnya sanggup menyembuhkan hati yang patah~Sudah satu pekan, rumah Cika dan Risa dibanjiri pake buket bunga. Bukan. Bukan untuk Cika dan Risa. Dua gadis cantik ini meskipun jomblo tetap tidak ada yang mengirimi bunga. Semua bunga itu diperuntukkan seorang Sagita. Dan siapa lagi pengirimnya jika bukan Danar?"Bunga apa hari ini?" tanya Cika pada Risa yang sedang sibuk memasak di dapur."Bunga tulip," jawab Risa singkat."Mawar udah, anggrek udah, edelweis udah, dahlia, krisan, lantana, kayaknya semua udah. Curiga aku Ris. Jangan-jangan besok Mas Danar kirimnya bunga bangkai raflesia arnoldi." Cika tertawa kecil sambil tangannya tetap mengaduk sayur."Kak Sagita udah selesai mandi?""Belum Ris.""Aku rasa mau bunga apapun yang dikirimkan sama Mas Danar, tetap enggak akan ngaruh. Kak Sagita kemaren udah ngomong sama aku, bakal tetep mau cerai sama Mas Danar."
~Mengancam bukan jalan yang baik, namun bagi orang-orang yang terdesak, ancaman terkadang ampuh~Danar melangkah gontai masuk ke dalam rumah. Perasaan hatinya masih tidak menentu. Selama dia belum mendapat maaf dari Sagita, selama itu juga hatinya tidak tenang. Danar lapar, ia segera menuju ke dapur. Aroma bumbu ayam goreng kalasan tercium dari arah dapur. Hal itu membuat perut Danar yang lapar semakin lapar. Ibunya pasti memasak ayam kalasan."Kamu sudah pulang?"Danar menghentikan langkahnya. Baru saja dia melewati ruang tengah, sebuah suara yang tidak asing terdengar olehnya. Begitu Danar menoleh ke belakang, jantungnya terasa seperti ingin berhenti."Del, Delia, kamu ngapain di sini?" tanya Danar setengah panik."Kenapa kamu panik Danar? Jangan panik seperti itu. Aku datang baik-baik. Ibu sama bapak kamu yang tadi mengizinkan aku untuk menunggu kamu di dalam rumah ini. Padahal mereka sendiri sedang pergi ke tempat tetangga kamu yang la
~orang yang benar, terkadang memang selalu disalahkan~"Kak Git. Ada yang nyariin tuh! Kak Jidan di depan." Risa berkata pada Sagita."Loh! Aku enggak dicariin?" Cika menyela."Ngapain nyariin kamu Cika. Kak Jidan sekarang urusannya sama Kak Sagita. Bukan sama kita.""Iya Cika. Kakak memang yang menghubungi Kak Jidan. Kakak mau minta bantuan Kak Jidan. Bantu urusin pengajuan cerai kakak."Cika dan Risa terdiam. Jelas itu bukan masalah sepele. Mereka tidak berani lagi berkomentar. Sagita keluar kamar bergeges menemui Jidan. Dia meninggalkan Risa dan Cika."Itu di tangan kamu apa?" tanya Cika pada Risa."Martabak.""Dari Kak Jidan.""Iya.""Martabak kacang? Kesukaan aku?""Iya. Kenapa? Kamu ma
~Cinta adalah benda tak kasatmata, namun tetap bisa disadari adanya~"Sini! Saya kasih tau semua perbuatannya Danar, Tante."Ibu dan bapaknya Danar memasang telinga baik-baik. Bahkan mereka lebih mendekatkan posisi berdirinya ke arah Jidan."Danar! Danar telah selingkuh. Om, Tante. Kalian harus tau perbuatan anak kesayangan kalian itu.""Apa? Tidak mungkin." Ibu Danar menyangkal."Terserah, Om dan Tante mau percaya atau tidak. Tapi itulah faktanya. Itulah kenyataannya. Suka atau tidak suka, Om dan Tante harus terima. Saya, Yoga dan dua teman perempuan kami jadi saksi matanya.""Halah! Bohong aja kamu Jidan. Kamu yang selingkuh dengan Sagita, malah balik nuduh Danar yang selingkuh. Kamu kalau iri sama Danar bilang saja.""Iri? Maaf Tante. Saya tidak pernah iri apalagi ingin mengusik hidup Danar. Saya bicara apa adanya. Dan Tante tau? Danar selingkuh dengan siapa? Delia Tante. DE-LI-A. Perempuan yang barusan Tante bangga-ba
~Carilah makan, minimal makan untukmu sendiri. Jangan mudah berpangku tangan~"Cantik, sepertinya pinter juga. Saya suka. Tapi meskipun dapet rekomendasi dari kamu, dia wajib lulus tes dulu loh." Bos Don berkat pada Jidan. Matanya memperhatikan Sagita dari dalam ruangan kacanya. Ruangan kaca yang sengaja didesain agar dia bisa melihat ke arah luar dengan jelas, sedangkan orang yang dari luar tidak bisa melihat ke arah dalam."Tapi ada satu yang kurang, Jidan.""Apa, Pak?" tanya Jidan dengan penasaran. Hari ini dia membawa Sagita ke kantornya untuk melamar pekerjaan baru."Tidak seksi. Apa kamu tidak bisa mencari yang agak sedikit hot gitu? Yang roknya agak-agak segini?" Bos Don menggerak-gerakkan jarinya di atas paha."Inget binik di rumah Pak." Jidan berkata dengan ketus."Hei! Saya inget kalau sama binik. Kamu kira saya amnesia? Tapi kamu kan tahu, kita di kantor ini bisa sambil menyelam minum air?"Jidan mengerutkan
~Bos adalah bos. Terserah seorang bos mau tanya apa~"Jadi nama kamu Sagita ya?" Bos Don bertanya pada Sagita. Senyumnya membuah Sagita resah."Iya Pak!""Bisa komputer?""Bisa Pak! Bisa Microsoft, bisa juga edit-edit sama beberapa perangkat lunak lainnya.""Iya. Jidan juga udah cerita. Ah, kalau kamu diterima, kerjanya gampang. Cuman ngurusin berkas aja, yang penting teliti dan rapi. Entar kerjanya bareng Jidan.""Iya Pak.""Kenapa kamu malah cari kerja, kenapa enggak cari suami aja? Kan, enak gitu loh! Ada yang carikan makan. Enggak perlu repot-repot cari makan sendiri."Sagita tercekat. Bagaimana mungkin bos yang satu ini tidak tahu jika Sagita sudah punya suami? Itu artinya Bos Don belum membaca CV milik Sagita."Sa, sa, saya sudah punya suami Pak.""Apa? Loh! Bukannya masih gadis?"Sagita menggeleng. Bos Don mengerutkn dahinya. Pikirannya menerawang. Dia berpikir jika Sagita itu istimewa bagi
~Hidup memang penuh masalah, maka hadapilah dengan tenang bukan dengan ego yang tinggi~"Maaf ya Sagita. Bos aku memang seperti itu. Dan sayangnya bos menyebalkan itu, besok-besok akan jadi bosmu juga. Doakan saja dia cepat pensiun atau tiba-tiba gosong tersambar petir. Jadi kamu nanti enggak perlu punya bos yang menyebalkan seperti itu. Yang genitnya luar biasa."Jidan berkata sambil menyetir. Mereka sekarang tengah berada di perjalanan pulang. Sore itu, setelah pulang kerja, Jidan langsung mengantarkan Sagita pulang. Tampaknya kegiatan ini akan menjadi rutinitas Jidan selanjutnya. Menjemput dan mengantar Sagita kerja. Sagita merasa keberatan. Dia tidak ingin merepotkan Jidan. Sayangnya Jidan sendiri tidak merasa direpotkan. Toh, kebetulan rumah Jidan searah dengan tempat tinggal Risa dan Cika."Bos Don memang genit. Sagita akui itu. Ditambah lagi, beliau orang yang kepo. Banyak pertanyaan pribadi yang seharusnya tidak dia tanyakan. Terkesan tidak prof
~Sebuah berita yang sama, bisa jadi berita baik dan bisa saji berita buruk. Tergantung siapa yang menerimanya~Hari demi hari berlalu sesuai dengan takdirnya. Daun kering jatuh di sebuah halaman besar, dan segera terinjak oleh seorang wanita cantik. Wanita cantik dengan jas putih yang masih dikenakannya."Non, Delia udah pulang? Tumben cepat? Masih sore sudah pulang? Biasanya betah di rumah sakit sampai malam-malam." Bik Jah, seorang pembantu rumah tangga menyapa ramah majikannya. Sayangnya majikannya itu enggan menanggapi.Delia hanya berjalan lurus ke depan. Wajahnya tampak pucat. Dia segera membuka pintu kamarnya. Sebuah kamar dengan tampilan cukup mewah terbuka. Tempat tidur rapi dengan sprei bewarna merah muda, dan dinding kamar dengan cat nuansa biru. Semuanya terlihat serasi. Sayangnya tidak serasi dengan suasana hati si empunya kamar.Delia mengambil sebuah kalander kecil yang ada di atas mejanya. Matanya berkerut, menjentik-jentikkan jar