~Cinta adalah benda tak kasatmata, namun tetap bisa disadari adanya~"Sini! Saya kasih tau semua perbuatannya Danar, Tante."Ibu dan bapaknya Danar memasang telinga baik-baik. Bahkan mereka lebih mendekatkan posisi berdirinya ke arah Jidan."Danar! Danar telah selingkuh. Om, Tante. Kalian harus tau perbuatan anak kesayangan kalian itu.""Apa? Tidak mungkin." Ibu Danar menyangkal."Terserah, Om dan Tante mau percaya atau tidak. Tapi itulah faktanya. Itulah kenyataannya. Suka atau tidak suka, Om dan Tante harus terima. Saya, Yoga dan dua teman perempuan kami jadi saksi matanya.""Halah! Bohong aja kamu Jidan. Kamu yang selingkuh dengan Sagita, malah balik nuduh Danar yang selingkuh. Kamu kalau iri sama Danar bilang saja.""Iri? Maaf Tante. Saya tidak pernah iri apalagi ingin mengusik hidup Danar. Saya bicara apa adanya. Dan Tante tau? Danar selingkuh dengan siapa? Delia Tante. DE-LI-A. Perempuan yang barusan Tante bangga-ba
~Carilah makan, minimal makan untukmu sendiri. Jangan mudah berpangku tangan~"Cantik, sepertinya pinter juga. Saya suka. Tapi meskipun dapet rekomendasi dari kamu, dia wajib lulus tes dulu loh." Bos Don berkat pada Jidan. Matanya memperhatikan Sagita dari dalam ruangan kacanya. Ruangan kaca yang sengaja didesain agar dia bisa melihat ke arah luar dengan jelas, sedangkan orang yang dari luar tidak bisa melihat ke arah dalam."Tapi ada satu yang kurang, Jidan.""Apa, Pak?" tanya Jidan dengan penasaran. Hari ini dia membawa Sagita ke kantornya untuk melamar pekerjaan baru."Tidak seksi. Apa kamu tidak bisa mencari yang agak sedikit hot gitu? Yang roknya agak-agak segini?" Bos Don menggerak-gerakkan jarinya di atas paha."Inget binik di rumah Pak." Jidan berkata dengan ketus."Hei! Saya inget kalau sama binik. Kamu kira saya amnesia? Tapi kamu kan tahu, kita di kantor ini bisa sambil menyelam minum air?"Jidan mengerutkan
~Bos adalah bos. Terserah seorang bos mau tanya apa~"Jadi nama kamu Sagita ya?" Bos Don bertanya pada Sagita. Senyumnya membuah Sagita resah."Iya Pak!""Bisa komputer?""Bisa Pak! Bisa Microsoft, bisa juga edit-edit sama beberapa perangkat lunak lainnya.""Iya. Jidan juga udah cerita. Ah, kalau kamu diterima, kerjanya gampang. Cuman ngurusin berkas aja, yang penting teliti dan rapi. Entar kerjanya bareng Jidan.""Iya Pak.""Kenapa kamu malah cari kerja, kenapa enggak cari suami aja? Kan, enak gitu loh! Ada yang carikan makan. Enggak perlu repot-repot cari makan sendiri."Sagita tercekat. Bagaimana mungkin bos yang satu ini tidak tahu jika Sagita sudah punya suami? Itu artinya Bos Don belum membaca CV milik Sagita."Sa, sa, saya sudah punya suami Pak.""Apa? Loh! Bukannya masih gadis?"Sagita menggeleng. Bos Don mengerutkn dahinya. Pikirannya menerawang. Dia berpikir jika Sagita itu istimewa bagi
~Hidup memang penuh masalah, maka hadapilah dengan tenang bukan dengan ego yang tinggi~"Maaf ya Sagita. Bos aku memang seperti itu. Dan sayangnya bos menyebalkan itu, besok-besok akan jadi bosmu juga. Doakan saja dia cepat pensiun atau tiba-tiba gosong tersambar petir. Jadi kamu nanti enggak perlu punya bos yang menyebalkan seperti itu. Yang genitnya luar biasa."Jidan berkata sambil menyetir. Mereka sekarang tengah berada di perjalanan pulang. Sore itu, setelah pulang kerja, Jidan langsung mengantarkan Sagita pulang. Tampaknya kegiatan ini akan menjadi rutinitas Jidan selanjutnya. Menjemput dan mengantar Sagita kerja. Sagita merasa keberatan. Dia tidak ingin merepotkan Jidan. Sayangnya Jidan sendiri tidak merasa direpotkan. Toh, kebetulan rumah Jidan searah dengan tempat tinggal Risa dan Cika."Bos Don memang genit. Sagita akui itu. Ditambah lagi, beliau orang yang kepo. Banyak pertanyaan pribadi yang seharusnya tidak dia tanyakan. Terkesan tidak prof
~Sebuah berita yang sama, bisa jadi berita baik dan bisa saji berita buruk. Tergantung siapa yang menerimanya~Hari demi hari berlalu sesuai dengan takdirnya. Daun kering jatuh di sebuah halaman besar, dan segera terinjak oleh seorang wanita cantik. Wanita cantik dengan jas putih yang masih dikenakannya."Non, Delia udah pulang? Tumben cepat? Masih sore sudah pulang? Biasanya betah di rumah sakit sampai malam-malam." Bik Jah, seorang pembantu rumah tangga menyapa ramah majikannya. Sayangnya majikannya itu enggan menanggapi.Delia hanya berjalan lurus ke depan. Wajahnya tampak pucat. Dia segera membuka pintu kamarnya. Sebuah kamar dengan tampilan cukup mewah terbuka. Tempat tidur rapi dengan sprei bewarna merah muda, dan dinding kamar dengan cat nuansa biru. Semuanya terlihat serasi. Sayangnya tidak serasi dengan suasana hati si empunya kamar.Delia mengambil sebuah kalander kecil yang ada di atas mejanya. Matanya berkerut, menjentik-jentikkan jar
~Beberapa orang memang terkadang merasa jika diri mereka adalah korban, padahal merekalah yang mengorbankan orang lain demi kebahagiaan semu yang tidak seberapa~"Pasti ada sesuatu, kenapa Kak Delia mulai berani melakukan hal ini sama kita." Cika membuka percakapan. Mereka tengah ada di taksi online menuju pulang ke rumah."Apa? Apa yang membuat Kak Delia berani mengancam kita?" Risa mengerutkan dahinya.Faktanya memang itulah yang terjadi. Delia mengancam Risa dan Cika. Ancamana itu berupa ancaman jika Cika dan Risa menjadi batu hambatan untuknya bisa bersama Danar, Cika dan Risa akan mendapatkan masalah."Aneh. Padahal kalau dipikir-pikir, kita maunya Kak Sagita justru terlepas dari kak Danar. Biar Kak Sagita tenang." Cika berkata dengan nada kesal."Intinya, Cik. Kak Delia enggak suka kita berpihak pada Kak Sagita. Dia seperti iri pada Kak Sagita. Jadi, hal itu juga yang mendorong dia untuk mengancam kita.""Kamu beneran taku
~Rahasia-rahasia terkadang memang sulit disembunyikan. Mereka seolah punya kaki dan berjalan ke benak setiap orang~Sagita melihat ke arah Cika dan Risa. Dua mahasiswi cantik ini bersikap aneh sejak tadi malam. Sagita meletakkan telur dadar di atas meja. Belakangan ini sudah jadi kebiasaan dia yang menyiapkan sarapan untuk semuanya."Kalian berdua kenapa? Kok enah banget dari tadi malam? Biasa selalu rame, ribut sana-sini. Pagi ini kok kalem? Tadi malam juga kalian enggak ada ribut-ribut. Biasa cuman gara-gara bantal aja, kalian perangnya imbang-imbang negara-negara yang lagi konflik. Ada masalah?"Risa dan Cika hanya diam. Posisi mereka saat ini memang sangat serba salah. Jika mereka langsung terus terang pada Sagita, khawatirnya Sagita akan tersinggung dan pergi dari rumah mereka."Kita seneng banget ada Kak Sagita di rumah ini. Ada yang masakin sarapan kita, ada yang bantu beresin rumah. Pokoknya kita suka. Berasa punya kakak sendiri." R
~Cinta adalah perhatian. Maka orang-orang yang cinta selalu memberi perhatian lebih~"Kak Sagita sudah bangun?" Risa bertanya dengan nada lembut. Sagita baru saja sadar dari pingsannya. Risa segera memberikan Sagita segelas air minum agar Sagita bisa lebih tenang."Kakak baik-baik aja? Apa kita perlu ke dokter?" tanya Risa lagi. Sagita hanya diam. Tatapannya kosong menatap ke arah depan."Risa...""Iya Kak. Apa ada yang Risa bisa bantu? Atau Kak Git mau cerita sesuatu? Sagita siap mendengarkan cerita Kakak."Air mata Sagita tidak mengalir. Air mata itu sudah kering. Namun tatapan kosong matanya jauh terlihat lebih menyakitkan."Apa yang kakak mau sebenarnya?" tanya Sagita pada dirinya sendiri. Risa tahu jika pertanyaan itu tidak butuh jawaban. Itu hanya sebuah pembuka dari sebuah percakapan yang akan mengumbar rasa kecewa."Bukankah Kakak ingin bercerai dengan Mas Danar? Bukankah Kakak marah dengan pengkhianatan yang Mas Dana