~Rahasia-rahasia terkadang memang sulit disembunyikan. Mereka seolah punya kaki dan berjalan ke benak setiap orang~
Sagita melihat ke arah Cika dan Risa. Dua mahasiswi cantik ini bersikap aneh sejak tadi malam. Sagita meletakkan telur dadar di atas meja. Belakangan ini sudah jadi kebiasaan dia yang menyiapkan sarapan untuk semuanya. "Kalian berdua kenapa? Kok enah banget dari tadi malam? Biasa selalu rame, ribut sana-sini. Pagi ini kok kalem? Tadi malam juga kalian enggak ada ribut-ribut. Biasa cuman gara-gara bantal aja, kalian perangnya imbang-imbang negara-negara yang lagi konflik. Ada masalah?"Risa dan Cika hanya diam. Posisi mereka saat ini memang sangat serba salah. Jika mereka langsung terus terang pada Sagita, khawatirnya Sagita akan tersinggung dan pergi dari rumah mereka."Kita seneng banget ada Kak Sagita di rumah ini. Ada yang masakin sarapan kita, ada yang bantu beresin rumah. Pokoknya kita suka. Berasa punya kakak sendiri." R~Cinta adalah perhatian. Maka orang-orang yang cinta selalu memberi perhatian lebih~"Kak Sagita sudah bangun?" Risa bertanya dengan nada lembut. Sagita baru saja sadar dari pingsannya. Risa segera memberikan Sagita segelas air minum agar Sagita bisa lebih tenang."Kakak baik-baik aja? Apa kita perlu ke dokter?" tanya Risa lagi. Sagita hanya diam. Tatapannya kosong menatap ke arah depan."Risa...""Iya Kak. Apa ada yang Risa bisa bantu? Atau Kak Git mau cerita sesuatu? Sagita siap mendengarkan cerita Kakak."Air mata Sagita tidak mengalir. Air mata itu sudah kering. Namun tatapan kosong matanya jauh terlihat lebih menyakitkan."Apa yang kakak mau sebenarnya?" tanya Sagita pada dirinya sendiri. Risa tahu jika pertanyaan itu tidak butuh jawaban. Itu hanya sebuah pembuka dari sebuah percakapan yang akan mengumbar rasa kecewa."Bukankah Kakak ingin bercerai dengan Mas Danar? Bukankah Kakak marah dengan pengkhianatan yang Mas Dana
~Tidak ada makan siang gratis, kecuali jika kamu punya informasi penting yang harus dibagi~"Ecal! Cepat katakan apa yang dimaksud Bos Don tadi? Kamu sudah tahu? Kenapa enggak kasih tau ke aku kalau ada berita penting?" Jidan mendesak Ecal. Sementara itu, yang didesak memilih untuk tidak peduli. Ecal lebih memilih mengunyah nasi dan telor balado yang ada di depannya."Ecal! Jawab! Jangan hanya diam." Jidan mendesak. Ecal mengelus rambutnya yang klimis. Rambut Ecal memang klimis. Terkadang karena terlalu klimis sampai terlihat silau saat tepapar sinar matahari. Teman-teman Ecal tidak sungkan memanggilnya dengan sebutan si Klimis."Ini rumah makan nasi padang." Ecal menjawab singkat. Jidan tambah kesal. Siapapun tahu jika mereka ada di restoran nasi padang, tempat dimana biasanya para karyawan makan siang."Aku serius Ecal." Jidan berkata mantap."Haduh Jidan! Kenapa kamu ini iseng sekali. Habiskan saja makan siangmu. Lagian sejak Sagita mas
~Ketenangan dan kedamaian ada, jika kita berusaha untuk mencarinya~"Assalamualaikum semuanya. Perkenalkan, ini Kak Sagita. Hari ini dia bakalan ikut ngaji sama kita. Boleh, kan Umi?" Risa bertanya dengan nada sopan. Umi adalah sebutan untuk ustadzah yang menjadi pimpinan grup pengajian itu. Nama asli Umi adalah Siti Amanah, wanita paruh baya yang berwajah lembut dan tampak bersahaja."Kan sudah Umi bilang, Risa sayang. Kamu boleh bawa siapapun ke lingkaran mengaji kita. Oh ya, teman kamu yang namanya Cika enggak ikut gabung ngaji hari ini?" Umi bertanya seperti itu karena biasanya Cika juga ikut."Tidak Umi. Cika sedang sibuk dengan urusan kampus.""Umi mengerti. Kalau begitu, selamat datang di grup mengaji kami Sagita. Semoga ananda senang berada di sini. Ayo kita belajar sama-sama. Menimba ilmu agama adalah kewajiban kita bersama."Sagita mengangguk. Bibirnya tersenyum tipis. Sebuah senyum yang sebenarnya ia paksakan. Umi tersenyum lemb
~Kejadian buruk bisa menimpa siapa saja dan kapan saja~"Kaka Jidaaaan!" Risa berteriak. Sagita yang juga melihat pemandangan tragis di depannya terkejut bukan kepalang. Ada Jidan yang terkapar di lantai dengan kondisi wajar dan tubuh yang berdarah-darah."Kak Sagita! Risa! Tolong! Kak Jidan! Tolong!" Cika berteriak histeris begitu Risa dan Sagita datang. Sebuah ambulans datang ke teras rumah. Beberapa pria dewasa segera mengangkat Jidan masuk ke ambulans. Dan tanpa aba-aba siapapun Sagita, Risa dan Cika melompat masuk ke dalam ambulans.Wiuuu...wiuu...wiuuu...Suara sirine ambulans terdengar membusungkan telinga. Cika menangis dan wajahnya pucat, sementara itu Risa dan Sagita panik."Ada apa Cika? Apa yang terjadi? Kenapa Kak Jidan sampai seperti ini?" tanya Risa pada Cika. Ambulans itu terus melaju menuju ke rumah sakit. Darah segar masih membasahi tubuh Jidan."Ada orang, rame-rame, seperti preman, mengeroyok Kak Jidan. Aku engga
~Seburuk apapun kondisi kita, terkadang Tuhan tetap menyelipkan beberapa bait komedi di dalamnya~"Hai Kak! Aku Anis, adiknya Kak Jidan." Seorang gadis cantik menjulurkan tangannya pada Sagita."Halo Anis! Salam kenal.""Belakangan ini, Kak Jidan sering banget loh cerita soal kakak sama Anis."Sagita memperhatikan Anis. Apa yang dikatakan gadis ini barusan membuatnya sedikit merasa heran. Untuk apa Jidan banyak bercerita tentangnya pada adiknya?"Oh gitu ya? Iya. Mungkin karena kita sekarang sering kerja bareng. Oh iya, Anis enggak khawatir sama kondisinya Kak Jidan.""Khawatir. Cuman Anis yakin kalau Kak Jidan pasti kuat buat melalui semua ini. Kak Jidan itu kan handal." Anis tersenyum manis."Iya Anis. Semoga Kak Jidan cepat pulih."Selang tak berapa lama, para perawat keluar dari tempat Jidan dirawat. Semua orang yang ada di koridor segera masuk ke dalam ruangan. Jidan tampak sudah sadar dan melayangkan senyum. Wala
~Entah ini hukum alam atau bukan, namun ada beberapa orang yang semakin di atas, semakin semena-mena~"Bos! Bisa jalannya pelan-pelan? Nanti saya bisa terjatuh." Sagita dengan napas tersengal-sengal mengikuti Bos Don berjalan di tempat parkir. Bos Don bukannya menjawab Sagita malah tetap melangkah maju."Kamu ini jangan banyak protes loh! Jangan kayak kijang, lambatnya.""Kijang bukannya larinya cepat, ya Bos?""Lah, itu kijang itu binatang yang manjat-manjat di pohon itukan? Yang adanya di luar negeri? Yang lambat banget geraknya?""Oh, kungkang?""Kijang loh bukan kungkang.""Tapi yang Bapak bilang barusan itu namanya kungkang, Pak."Tap!Langkah Bos Don terhenti seketika. Dia langsung membalikkan badannya dan menunjuk ke arah dirinya sendiri."Saya ini Bos kamu. Kalau saya bilang kijang ya Kijang. Jangan dibantah!"Sagita menarik napas dalam-dalam. Dalam hatinya membatin betapa sialnya
~Perhatian dari siapapun akan sangat berguna di masa-masa sulit~"Ei, Sagita! Kenapa kok kamu berhenti pijatnya. Ayo pijat lagi!""Iya Nyonya."Dikarenakan kaget bukan main Sagita sampai menghentikan gerakan tangannya. Mendengar nama Delia disebutkan Sagita merasa berada di tempat yang salah. Jelas sekali jika teman Nyonya Besar ini adalah bibi dari Delia."Itu kalau kamu jumpa sama istrinya, tamparkan aja Jeng. Mau saya wakilkan? Sekali tampar langsung hilang itu roh bocah ingusan.""Pengennya juga gitu, tapi saya aja enggak tau anaknya yang mana. Delia belum ada ngomong. Nanti deh, saya tanya dulu dianya. Biar saya tahu."Obrolan itu semakin lama semakin menyakiti hati Sagita. Sekuat tenaga iya membendung air matanya. Untungnya waktu segera berlalu menjadi senja. Penderitaan Sagita berakhir. Ia tidak langsung pulang ke rumah melainkan mengunjungi Jidan ke rumah sakit."Halo Kak Jidan!" Sagita menyapa begitu membuka pi
~Cinta itu terlihat dari setiap tindak tanduk seorang insan~Bos Don masuk kembali ke dalam kamar dengan menenteng buah-buahan. Bukan sembarang buah yang dibawa oleh Bos Don."Bapak bawa durian?" pekik Jidan setengah tidak percaya."Santai Jidan. Kamu kayak enggak pernah lihat durian aja. Dasar kampungan.""Tapi, Pak. Ini rumah sakit. Emang boleh bawa durian? Durian itukan baunya menyengat." Sagita mencoba untuk membuat Bos Don berpikir realistis. Namun Bos Don tetaplah Bos Don."Loh, emang siapa yang ngelarang bawa durian ke rumah sakit Sagita? Kan biasanya kalau orang ngejenguk orang sakit emang harus bawa buah-buahan. Lah ini kan saya bawa buah juga. Buah durian. Ini tadi saya sampe merepetin si Ecal buat cari durian yang mantap."Jidan menepuk jidatnya, Sagita malahan setengah menahan tawa. Baginya memang ada-ada saja ulah Bos Don ini. Sementara itu, Jidan malah mengutukin Ecal juga, bagaimana bisa seorang Ecal mau-maunya disuru
~Setiap cerita selalu memiliki akhir, entah itu akhir yang menyenangkan atau menyedihkan. Apapun akhir ceritanya, sebuah cerita tetaplah cerita. Itu adalah alur terbaik untuk setiap tokohnya~Gaun putih itu memang cantik. Namun tetap saja kecantikannya bertambah berkali-kali lipat karena digunakan oleh Sagita. Risa dan Cika juga tidak kalah cantik, mereka ada di barisan paling depan sebagai pagar ayu. Di sisi seberang sana juga tidak kalah luar biasanya. Ada pagar bagus yang dipimpin oleh Dino dan Doni. Ini adalah hari pernikahan Sagita dan Jidan.Pernikahan mereka memang sempat tertunda selama beberapa Minggu hingga Sagita benar-benar bisa pulih. Namun begitu bisa pulih, Sagita dan Jidan langsung menyelenggarakan pernikahan di kebun milih Jidan."Kamu cantik Sagita." Jidan berbisik pada Sagita yang ada di sebelahnya. Mereka sesaat lagi akan sah menjadi suami istri. Tuan penghulu sudah ada di depan Jidan dan siap menjabat tangan Jidan. Jidan
~Dosa paling mengerikan yang dilakukan manusia adalah membunuh sesamanya sendiri~"Sagita..." Jidan memanggil Sagita. Sagita berusaha untuk membuka matanya pelan-pelan. Bagaimanapun ceritanya obat bius itu masih bekerja. Sagita melihat Jidan di depannya, dengan senyum mengembang dan mata yang berkaca-kaca."Kak," Sagita berkata lemah.Yoga, Dino dan Doni menarik napas lega. Satu kabar baik terbit. Sagita sudah sadar dan dokter bilang jika ia akan baik-baik saja. Hanya saja memang Sagita butuh waktu untuk bisa pulih."Terima kasih banyak Sagita. Terima kasih banyak kamu sudah bertahan." Jidan berkata pada Sagita sambil menatap mata Sagita lekat-lekat. Sungguh pandangan mata itu sangat romantis."Apa aku ada di surga?" Sagita bertanya pada sekitarnya."Ini masih di dunia Sagita. Ini masih di dunia. Ini masih di dunia yang sama tempat dimana orang-orang tega memperlakukan kamu dengan kejam. Walau aku berusaha me
~Dalam gelap sekalipun akan tetap ada cahaya harapan walau hanya setitik~Gelap, Sagita hanya melihat gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia hanya bisa mendengar duru napas dan detak jantungnya. Sagita pasrah, ia merasa mungkin kini ia telah mati. Ia merasa jika ia hanya tinggal mendengar malaikan Izrail berseru. Benar saja, beberapa saat kemudian, Sagita melihat cahaya putih. Cahaya itu terang dan terasa lembut mengenai mata, tidak menyilaukan sama sekali. Cahaya itu mendekati Sagita, seolah punya kaki. Lalu cahaya terang tersebut menggumpal dan membentuk wajah dan tubuh manusia. Sagita menarik napas dalam-dalam. Ia seperti itu wajah siapa."Ayah, Ibu." Sagita memanggil nama itu. Cahaya itu menjelma menjadi wajah ayah dan ibunya Sagita. Kedua cahaya itu saling pandang dan lalu merentangkan tangannya ke arah Sagita. Sagita tersenyum dan berusaha untuk bangkit menyambut cahaya itu. Sudah lama ia menahan rindu pada ayah dan ibunya. Sudah lama seka
~Manusia dari zaman ke zaman tetap seperti itu tabiatnya, mereka saling menyakiti satu sama lain~Rumah itu cek. Jidan, Yoga dan yang lain memerika rumah itu dengan cermat. Hancur hati Jidan begitu melihat ada darah di lantai. Ia ngeri membayangkan bagaimana jika ternyata itu adalah darah Sagita."Jendela ini dibuka paksa dari luar. Itu artinya Sagita pasti melarikan diri lewat jendela ini. Hei, mereka menemukan jejak di sebalah sana. Ayo kita ikuti jejak itu dan mulai mencari dimana keberadaan Sagita. Kalian jangan ada yang tangan kosong. Bawa minilam pisau. Dan jangan jauh-jauh dari polisi karena mereka punya senjata. Kita tidak pernah tahu apa yang dibawa oleh Danar. Bisa jadi Danar memiliki senjata api. Dan itu bisa membahayakan kita semua. Kamu juga jangan gegabah Jidan. Jangan karena menuruti rasa khawatir kamu lalu kamu jadi lemah." Yoga memberikan pengarahan panjang lebar. Dan semua orang segera menuju ke arah jejak yang dikatakan oleh Yo
~Menyelamatkan seseorang dari bahaya adalah sebuah kebaikan besar~Hujan deras turun disertai angin kencang. Hal ini membuat perjalanan Jidan dan semua tim penyelamat untuk Sagita benar-benar terhambat. Yoga mau tidak mau bahkan harus mengurangi kecepatan mobilnya. Apalagi saat ini mereka melalui jalan yang berkelok-kelok dan kanan kirinya berbatasan dengan jurang."Kita harus lebih cepat Yoga." Jidan mendesak."Lebih cepat bagaimana? Mobil Doni yang ada di depan kita saja mengurangi kecepatan. Kamu enggak liat apa hujan segini derasnya? Jarak pandang terbatas Jidan. Kita memang akan menyelamatkan Sagita tapi bukan berarti kita yang jadi tidak selamat. Tenanglah!""Bagaimana aku bisa tenang membayangkan Sagita kehujanan di luar sana. Dengan hujan sederas ini dan tanpa tahu apa yang sedang ia hadapi sekarang. Bagaimana aku bisa tenang?""Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Apa hikmah di balik ini semua ya Allah. Per
~Mau tidak mau, suka tidak suka, rasa luka memang sakit~Danar mendengar suara panggilan dari bapak dan ibunya. Ia menuju ke sumber suara itu. Dan mendapati bapak dan ibunya yang tengah ketakutan. Danar justru menggelengkan kepala. Melihat ada Danar di bawah sana, Sagita semakin takut. Ia berpegangan dengan erat pada batang pohon dengan kuat."Pak Bu. Ngapain di sini? Kenapa malah cuman duduk, bukan malah bantu Danar cari Sagita. Apaan sih? Kalian enggak mau Sagita cepat ketemu apa?""Aduh Danar. Bapak ini bukan enggak mau bantu kamu. Kami tentu mau bantu kamu. Tapi lihat cuaca saat ini! Kamu lihat tidak. Hujan akan turun. Kita belum tentu bisa menemukan Sagita. Justru sebaliknya, kita bahaya saat ada di hutan hujan deras begini. Kita sebaiknya balik ke rumah Nak. Itu saran Bapak.""Apa? Balik tanpa hasil? Tidak Pak. Buruanku masih ada di luar sini. Justru cuaca yang seperti ini sangat menguntungkan kita. Sagita tidak akan b
~Berdoalah untuk kebaikan jangan untuk kejahatan~"Seberapa genting situasinya?" Yoga bertanya pada Jidan."Tadi Doni menjelakan. Katanya mereka dikejar dengan senjata dan orang yang mengejar mereka adalah Danar. Jelas sudah jika prediksi kita benar, Danar bedebah itu adalah dalang dari semuanya.""Apa aku bilang Jidan? Tidak mungkin salah lagi. Jadi apa si Arif temannya Doni itu bisa kembali dihubungi?""Tidak. Handphonennya mati.""Ah, sial. Mereka mungkin sengaja mematikan handphonenya karena sedang bersembunyi atau apa. Apa temannya Doni sendiri?""Iya. Dia sendiri. Terpisah dari rombongannya.""Hmmm. Mereka harus bertahan sendiri. Kita akan butuh waktu untuk bisa sampai ke sana tepat waktu. Tempat itu cukup jauh Jidan. Danar terlalu pintar mencari tempat yang susah dijangkau. Belum lagi kita harus jalan kaki ke dalamnya."Jidan mengangguk. Perjalanan mereka memang akan sangat
~Siapkan senjata terbaikmu, saat berada dalam bahaya~Danar berang. Tadi begitu tahu Sagita sudah tidak di tempatnya ia segera membangunkan ibu dan bapaknya. Danar merasa kecolongan. Ia tahu jika Sagita tidak mungkin bisa lolos sendiri. Siapapun yang membanti Sagita bagi Danar harus diberi pelajaran."Haduh bagaimana ini Danar? Kenapa bisa kita kecolongan? Siapa yang membantu Sagita? Kok bisa anak itu keluar dari rumah bahkan tanpa kita tahu? Pasti sudah ada yang bantu? Apa Jidan yang menemukan? Apa Yoga? Apa jangan-jangan polisi?""Tenanglah Bu. Kita harus mencari. Ibu dan Bapak ke arah sana dan saya akan cari ke arah sana. Kita harus menemukan Sagita. Siapapun yang membantu Sagita, tampaknya dia sendirian. Buktinya dia tidak berani menyerang kita dan hanya fokus menyelamatkan Sagita. Tapi kita harus waspada, sepertinya dia punya senjata atau bahkan sesuatu yang bisa dibuat untuk menghajar kita. Lihat saja dia bisa dengan mudah
~Terkadang orang asing juga bersedia membntu~"Dino, bangun, bangun Dino!" Doni membangunkan Dino yang sedang tertidur lelap. Dino yang merasa sangat mengantuk dan lelah karena mencari Sagita seharian tersentak mendengar jeritan dari Doni."Ada apa Don? Ada apa? Ada gempa? Kebakaran? Atau apa? Hah? Ada apa?""Kak Sagita. Arif menemukan Kak Sagita. Kita harus ke sana. Ke tempat mereka. Cepat, Din.""Arif? Arif mana? Arif siapa? Hah?""Arif. Teman aku yang polisi hutan itu. Dia menemukan Sagita di hutan. Di salah satu rumah yang ada di hutan. Katanya kondisinya cukup mengenaskan.""Apa? Mengenaskan? Tapi Kak Sagita masih hidupkan?""Masih. Masih hidup. Tapi lemah. Mungkin sudah lebih dulu disiksa. Kita harus segera memberi kabar ini pada Kak Jidan, Risa dan yang lainnya. Jadi ayo kamu harus bangun. Kita harus bergerak cepat."Doni langsung menuju ke garasi mobil. Dino ke kamar mandi