~Kejadian buruk bisa menimpa siapa saja dan kapan saja~
"Kaka Jidaaaan!" Risa berteriak. Sagita yang juga melihat pemandangan tragis di depannya terkejut bukan kepalang. Ada Jidan yang terkapar di lantai dengan kondisi wajar dan tubuh yang berdarah-darah."Kak Sagita! Risa! Tolong! Kak Jidan! Tolong!" Cika berteriak histeris begitu Risa dan Sagita datang. Sebuah ambulans datang ke teras rumah. Beberapa pria dewasa segera mengangkat Jidan masuk ke ambulans. Dan tanpa aba-aba siapapun Sagita, Risa dan Cika melompat masuk ke dalam ambulans.Wiuuu...wiuu...wiuuu...Suara sirine ambulans terdengar membusungkan telinga. Cika menangis dan wajahnya pucat, sementara itu Risa dan Sagita panik."Ada apa Cika? Apa yang terjadi? Kenapa Kak Jidan sampai seperti ini?" tanya Risa pada Cika. Ambulans itu terus melaju menuju ke rumah sakit. Darah segar masih membasahi tubuh Jidan."Ada orang, rame-rame, seperti preman, mengeroyok Kak Jidan. Aku engga~Seburuk apapun kondisi kita, terkadang Tuhan tetap menyelipkan beberapa bait komedi di dalamnya~"Hai Kak! Aku Anis, adiknya Kak Jidan." Seorang gadis cantik menjulurkan tangannya pada Sagita."Halo Anis! Salam kenal.""Belakangan ini, Kak Jidan sering banget loh cerita soal kakak sama Anis."Sagita memperhatikan Anis. Apa yang dikatakan gadis ini barusan membuatnya sedikit merasa heran. Untuk apa Jidan banyak bercerita tentangnya pada adiknya?"Oh gitu ya? Iya. Mungkin karena kita sekarang sering kerja bareng. Oh iya, Anis enggak khawatir sama kondisinya Kak Jidan.""Khawatir. Cuman Anis yakin kalau Kak Jidan pasti kuat buat melalui semua ini. Kak Jidan itu kan handal." Anis tersenyum manis."Iya Anis. Semoga Kak Jidan cepat pulih."Selang tak berapa lama, para perawat keluar dari tempat Jidan dirawat. Semua orang yang ada di koridor segera masuk ke dalam ruangan. Jidan tampak sudah sadar dan melayangkan senyum. Wala
~Entah ini hukum alam atau bukan, namun ada beberapa orang yang semakin di atas, semakin semena-mena~"Bos! Bisa jalannya pelan-pelan? Nanti saya bisa terjatuh." Sagita dengan napas tersengal-sengal mengikuti Bos Don berjalan di tempat parkir. Bos Don bukannya menjawab Sagita malah tetap melangkah maju."Kamu ini jangan banyak protes loh! Jangan kayak kijang, lambatnya.""Kijang bukannya larinya cepat, ya Bos?""Lah, itu kijang itu binatang yang manjat-manjat di pohon itukan? Yang adanya di luar negeri? Yang lambat banget geraknya?""Oh, kungkang?""Kijang loh bukan kungkang.""Tapi yang Bapak bilang barusan itu namanya kungkang, Pak."Tap!Langkah Bos Don terhenti seketika. Dia langsung membalikkan badannya dan menunjuk ke arah dirinya sendiri."Saya ini Bos kamu. Kalau saya bilang kijang ya Kijang. Jangan dibantah!"Sagita menarik napas dalam-dalam. Dalam hatinya membatin betapa sialnya
~Perhatian dari siapapun akan sangat berguna di masa-masa sulit~"Ei, Sagita! Kenapa kok kamu berhenti pijatnya. Ayo pijat lagi!""Iya Nyonya."Dikarenakan kaget bukan main Sagita sampai menghentikan gerakan tangannya. Mendengar nama Delia disebutkan Sagita merasa berada di tempat yang salah. Jelas sekali jika teman Nyonya Besar ini adalah bibi dari Delia."Itu kalau kamu jumpa sama istrinya, tamparkan aja Jeng. Mau saya wakilkan? Sekali tampar langsung hilang itu roh bocah ingusan.""Pengennya juga gitu, tapi saya aja enggak tau anaknya yang mana. Delia belum ada ngomong. Nanti deh, saya tanya dulu dianya. Biar saya tahu."Obrolan itu semakin lama semakin menyakiti hati Sagita. Sekuat tenaga iya membendung air matanya. Untungnya waktu segera berlalu menjadi senja. Penderitaan Sagita berakhir. Ia tidak langsung pulang ke rumah melainkan mengunjungi Jidan ke rumah sakit."Halo Kak Jidan!" Sagita menyapa begitu membuka pi
~Cinta itu terlihat dari setiap tindak tanduk seorang insan~Bos Don masuk kembali ke dalam kamar dengan menenteng buah-buahan. Bukan sembarang buah yang dibawa oleh Bos Don."Bapak bawa durian?" pekik Jidan setengah tidak percaya."Santai Jidan. Kamu kayak enggak pernah lihat durian aja. Dasar kampungan.""Tapi, Pak. Ini rumah sakit. Emang boleh bawa durian? Durian itukan baunya menyengat." Sagita mencoba untuk membuat Bos Don berpikir realistis. Namun Bos Don tetaplah Bos Don."Loh, emang siapa yang ngelarang bawa durian ke rumah sakit Sagita? Kan biasanya kalau orang ngejenguk orang sakit emang harus bawa buah-buahan. Lah ini kan saya bawa buah juga. Buah durian. Ini tadi saya sampe merepetin si Ecal buat cari durian yang mantap."Jidan menepuk jidatnya, Sagita malahan setengah menahan tawa. Baginya memang ada-ada saja ulah Bos Don ini. Sementara itu, Jidan malah mengutukin Ecal juga, bagaimana bisa seorang Ecal mau-maunya disuru
~Bahaya akan meningkat bila kita berada di tempat sunyi dan gelap~"Kok Kak Sagita belum pulang ya?" Risa bertanya sambil melihat ke arah luar dari balik jendela."Kan tadi katanya Kak Sagita mau mampir dulu ke rumah sakit, buat liatin Kak Jidan. Pastilah pulangnya agak lama.""Ya tapi lama banget ini loh Cik.""Coba aja telepon. Ini zaman udah canggih. Bukan zaman batu, dimana kamu harus nyari burung merpati dulu buat kirim surat." Cika melemparkan handphone Risa pada Risa. Risa segera mencoba untuk menghubungi Sagita."Duh! Enggak diangkat. Enggak aktif handphonenya Kak Sagita.""Mungkin low baterainya. Santai aja Ris.""Emang kamu enggak khawatir? Mestinya jamu khawatir. Kak Sagita aja kalau kamu belum pulang jam segini pasti dia merasa khawatir. Sementara kamu? Masa iya kamu enggak khawatir sama sekali?""Aku bukannya enggak khawatir, tapi mencoba untuk berpikir positif. Kita harus berusaha berpikir positif Ris
~Dalam situasi seburuk apapun, tetaplah berusaha untuk berpikir secara logis dan waras. Jangan hanya mengandalkan perasaan dan emosi sesaat~"Sagitaaaa! Sagitaaaa!"Sagita kaget, suara itu walau lirih dari luar namun jelas bisa terdengar di telinga. Sagita menoleh ke arah jendela mobil dan saat itu juga ia menarik napas lega."Kak Yoga!" Pekik Sagita."Loh! Loh! Kamu kok bisa kenal sama begalnya?" Bos Don heran."Itu Kak Yoga, Bos. Itu bukan begal. Dia temannya Kak Jidan juga. Ayo Bos, buka pintu mobilnya."Bos Don melihat ke arah luar. Ia mengucek-ngucek matanya dan melihat ke arah Yoga yang menempelkan wajahnya di kaca mobil."Iya, ya. Wajahnya enggak asing. Kayak sering liat saya ini. Tapi kamu yakin, Git? Jangan-jangan dia cuman pakai topeng seperti di film-film. Ada loh, topeng mirip wajah manusia.""Pak Bos jangan mengkhayal yang enggak-enggak. Buruan dibuka pintunya." Sagita
~Wanita, jika hatinya sudah hancur lebur, maka jangan harap bisa kembali seperti semula. Maaf mungkin ada, tapi kesempatan kedua hanya angan belaka~Setengah perjalanan, semuanya masih aman. Sagita sama sekali tidak mencium adanya keanehan. Namun beberapa saat kemudian, sepeda motor itu terparkir di sebuah pinggir jalan yang teduh."Loh! Pak! Kok kita berhenti di sini? Ini belum sampai tujuan loh." Sagita bertanya dengan nada heran. Tidak ada rasa takut dalam hati Sagita seperti tadi malam. Jalanan ini cukup ramai, banyak anak-anak sekolah dan para pekerja kantoran yang mulai berangkat kerja.Bapak ojol itu lalu turun dari atas sepeda motor dan menghadap ke arah Sagita. Ia membuka helm dan juga maskernya. Saat itulah, Sagita tersentak kaget."Mas Danar!"Danar, ojol yang yang menjemput Sagita dan membawanya pergi ke kantor, ternyata adalah Danar. Sagita kaget dan refleks menjauh dari tempat Danar berdiri.
~Catatan bukan hal biasa, catatan-catatan terkadang bisa menguak rahasia demi rahasia~"Telaaaat terooos!" Bos Don berteriak begitu melihat Sagita tergopoh-gopoh untuk sampai ke meja kerjanya."Maaf Bos! Maaf! Tadi saya ada masalah di jalan.""Masalah apa? Hah? Ada t-rex nyebrang? Ada godzilla rebahan? Apa? Apa masalah kamu itu apa?""Anu Bos! Ojolnya buat masalah. Enggak mau jalan, jadi saya terpaksa harus nyetop taksi.""Ssstttt."Bos Don meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya, menyuruh Sagita diam. Sagita segera diam dan menundukkan kepalanya."Saya enggak mau dengar alasan kamu Sagita. Banyak banget alasan kamu ini. Inilah, itulah. Tadi malam kita sama-sama pulang lama. Tapi masa lebih cepat saya sampai ke kantor daripada kamu ke kantor."Suara Bos Don mulai meninggi. Perhatian semua karyawan menuju ke Sagita. Sagita menarik napas dalam-dalam. Hampir 15 menit ia berdiri setia