~Cinta itu terlihat dari setiap tindak tanduk seorang insan~
Bos Don masuk kembali ke dalam kamar dengan menenteng buah-buahan. Bukan sembarang buah yang dibawa oleh Bos Don."Bapak bawa durian?" pekik Jidan setengah tidak percaya."Santai Jidan. Kamu kayak enggak pernah lihat durian aja. Dasar kampungan.""Tapi, Pak. Ini rumah sakit. Emang boleh bawa durian? Durian itukan baunya menyengat." Sagita mencoba untuk membuat Bos Don berpikir realistis. Namun Bos Don tetaplah Bos Don."Loh, emang siapa yang ngelarang bawa durian ke rumah sakit Sagita? Kan biasanya kalau orang ngejenguk orang sakit emang harus bawa buah-buahan. Lah ini kan saya bawa buah juga. Buah durian. Ini tadi saya sampe merepetin si Ecal buat cari durian yang mantap."Jidan menepuk jidatnya, Sagita malahan setengah menahan tawa. Baginya memang ada-ada saja ulah Bos Don ini. Sementara itu, Jidan malah mengutukin Ecal juga, bagaimana bisa seorang Ecal mau-maunya disuru~Bahaya akan meningkat bila kita berada di tempat sunyi dan gelap~"Kok Kak Sagita belum pulang ya?" Risa bertanya sambil melihat ke arah luar dari balik jendela."Kan tadi katanya Kak Sagita mau mampir dulu ke rumah sakit, buat liatin Kak Jidan. Pastilah pulangnya agak lama.""Ya tapi lama banget ini loh Cik.""Coba aja telepon. Ini zaman udah canggih. Bukan zaman batu, dimana kamu harus nyari burung merpati dulu buat kirim surat." Cika melemparkan handphone Risa pada Risa. Risa segera mencoba untuk menghubungi Sagita."Duh! Enggak diangkat. Enggak aktif handphonenya Kak Sagita.""Mungkin low baterainya. Santai aja Ris.""Emang kamu enggak khawatir? Mestinya jamu khawatir. Kak Sagita aja kalau kamu belum pulang jam segini pasti dia merasa khawatir. Sementara kamu? Masa iya kamu enggak khawatir sama sekali?""Aku bukannya enggak khawatir, tapi mencoba untuk berpikir positif. Kita harus berusaha berpikir positif Ris
~Dalam situasi seburuk apapun, tetaplah berusaha untuk berpikir secara logis dan waras. Jangan hanya mengandalkan perasaan dan emosi sesaat~"Sagitaaaa! Sagitaaaa!"Sagita kaget, suara itu walau lirih dari luar namun jelas bisa terdengar di telinga. Sagita menoleh ke arah jendela mobil dan saat itu juga ia menarik napas lega."Kak Yoga!" Pekik Sagita."Loh! Loh! Kamu kok bisa kenal sama begalnya?" Bos Don heran."Itu Kak Yoga, Bos. Itu bukan begal. Dia temannya Kak Jidan juga. Ayo Bos, buka pintu mobilnya."Bos Don melihat ke arah luar. Ia mengucek-ngucek matanya dan melihat ke arah Yoga yang menempelkan wajahnya di kaca mobil."Iya, ya. Wajahnya enggak asing. Kayak sering liat saya ini. Tapi kamu yakin, Git? Jangan-jangan dia cuman pakai topeng seperti di film-film. Ada loh, topeng mirip wajah manusia.""Pak Bos jangan mengkhayal yang enggak-enggak. Buruan dibuka pintunya." Sagita
~Wanita, jika hatinya sudah hancur lebur, maka jangan harap bisa kembali seperti semula. Maaf mungkin ada, tapi kesempatan kedua hanya angan belaka~Setengah perjalanan, semuanya masih aman. Sagita sama sekali tidak mencium adanya keanehan. Namun beberapa saat kemudian, sepeda motor itu terparkir di sebuah pinggir jalan yang teduh."Loh! Pak! Kok kita berhenti di sini? Ini belum sampai tujuan loh." Sagita bertanya dengan nada heran. Tidak ada rasa takut dalam hati Sagita seperti tadi malam. Jalanan ini cukup ramai, banyak anak-anak sekolah dan para pekerja kantoran yang mulai berangkat kerja.Bapak ojol itu lalu turun dari atas sepeda motor dan menghadap ke arah Sagita. Ia membuka helm dan juga maskernya. Saat itulah, Sagita tersentak kaget."Mas Danar!"Danar, ojol yang yang menjemput Sagita dan membawanya pergi ke kantor, ternyata adalah Danar. Sagita kaget dan refleks menjauh dari tempat Danar berdiri.
~Catatan bukan hal biasa, catatan-catatan terkadang bisa menguak rahasia demi rahasia~"Telaaaat terooos!" Bos Don berteriak begitu melihat Sagita tergopoh-gopoh untuk sampai ke meja kerjanya."Maaf Bos! Maaf! Tadi saya ada masalah di jalan.""Masalah apa? Hah? Ada t-rex nyebrang? Ada godzilla rebahan? Apa? Apa masalah kamu itu apa?""Anu Bos! Ojolnya buat masalah. Enggak mau jalan, jadi saya terpaksa harus nyetop taksi.""Ssstttt."Bos Don meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya, menyuruh Sagita diam. Sagita segera diam dan menundukkan kepalanya."Saya enggak mau dengar alasan kamu Sagita. Banyak banget alasan kamu ini. Inilah, itulah. Tadi malam kita sama-sama pulang lama. Tapi masa lebih cepat saya sampai ke kantor daripada kamu ke kantor."Suara Bos Don mulai meninggi. Perhatian semua karyawan menuju ke Sagita. Sagita menarik napas dalam-dalam. Hampir 15 menit ia berdiri setia
~Jaga persahabatan sebisa mungkin, jika sudah rusak, maka itu artinya bisa jadi kamu telah punya satu musuh baru dalam hidupmu~"Bang! Nasi putih, pake ayam balado sama sayur nangkanya ya." Sagita berkata pada Abang tukang nasi padang, langganan ia makan siang."Eh, ada kakak cantik Sagita. Cukup itu aja Kak? Enggak mau saya sediakan semua jenis lauknya di atas meja?""Enggak perlu. Saya bungkus aja. Mau makan di kantor. Pagi ini saya enggak sempat bawa bekal soalnya.""Kemana Mas Jidan, Kak Git? Udah beberapa hari ini enggak keliatan? Apa udah enggak doyan lagi sama nasi padang? Mana tau udah pindah ke makanan yang lebih kebarat-baratan.""Enggak kok. Kak Jidan lagi di rumah sakit, lagi sakit. Enggak mungkinlah dia enggak suka sama nasi padang. Nasi Padang yang dijual di sini, makanan paling enak satu dunia katanya.""Loh, lagi sakit rupanya. Semoga cepat sembuh deh ya. Emang nasi padang di sini itu pa
~Perang akan selalu ada, termasuk perang dingin antar kedua sahabat~"Apa ini enggak terlalu cepat kamu keluar dari rumah sakit? Semalam aja temen-temen kantor kamu baru habis dari sini. Masa iya kamu mau langsung pulang." Mama sibuk memasukkan pakaian Danar ke dalam sebuah tas."Anis mana Ma? Enggak ikut jemput Jidan?""Enggak. Katanya mau ke tukang balon.""Beli balon?""Beli batako. Ya iyalah Jidan." Satu tangan mama Jidan mendarat di kepala Jidan, tepat di keningnya. Tangan lembut itu bergerak seolah sedang mengukur suhu badan Jidan."Badan Jidan enggak demam Ma. Tenang aja.""Kamu ini. Mama ngelakuin itu karena khawatir.""Sagita enggak ada dateng Ma? Inikan Minggu, siapa tahu dia mau ikut jemput Jidan dari rumah sakit."Mama Jidan mengerutkan dahinya. Ia lantas berkecak pinggang di hadapan Jidan. Jidan menutup bibirnya dengan telapak tangan, merasa jika baru saja i
~Teman sejatinya saling menjaga satu sama lain, bukannya saling menghancurkan~Jidan menarik napas dalam-dalam. Jika saja Anis adiknya itu bukan perempuan, Jidan pasti akan menjitak kepala Anis sekuat tenaga. Sayangnya, Anis perempuan, Jidan tidak akan tega."He! Anis! Kamuuu. Nggemis banget ya!" Jidan berbicara dengan nada berat. Seketika Anis jadi salah tingkah."Oh! Iya. Perihal rahasia itu. Rahasia apa itu? Kalian jangan aneh-aneh ya. Inikan kamar kakak. Ini privasi kakak loh, jangan malah diobok-obok.""Kita enggak ada niat mau obok-obok kok. Kita cuman tau rahasia kecil Kakka. Walaupun tampang kakak itu tampanh residivis, tapi jiwa kakak jiwa feminis. Lihat aja ini kamar, chatnya warna pink. Terus itu kolor kakak aja warna pink. Sungguh feminis."Semua orang tertawa kecuali Jidan. Jidan menepuk jidatnya. Masalah kolor warna pink itu, jelas akal-akalan ibunya. Sementara masalah cat warna pink, itu karen
~Terlalu dekat, terlalu akrab, terkadang akan menjadi masalah besar bagi sebagian orang. Jaga jarak adalah pilihan terbaik bagi semuanya~"Apa sih yang dibicarakan bapak-bapak itu di dalam kamar? Cika jadi penasaran. Apa jangan-jangan mereka lagi ngegosipin kita sekarang? Kenapa sih kita malah diusir disuruh keluar. Padahal aku belum puas mengeksplorasi kamar Kak Jidan. Jarang-jarang kan kita bisa masuk kamar cowok." Cika merasa kesal. Satu karena sikap Jidan dan kedua karena makanan yang mereka pesan via online belum kunjung datang."Sabar Cika, orang sabar disayang Tuhan." Risa mencoba mengingatkan Cika."Tapi orang sabar juga menderita.""Lah, emang sekarang kamu menderita? Menderita apa?" Sagita bertanya pada Cika."Enggak usah heran deh Kak Git. Cika emang gitu. Merasa selalu menderita. Drama Queen bangetlah pokoknya, padahal enggak ada menderita-menderitanya sama sekali.""Risa sama Cika kompak ya!" Ani