~Terlalu dekat, terlalu akrab, terkadang akan menjadi masalah besar bagi sebagian orang. Jaga jarak adalah pilihan terbaik bagi semuanya~
"Apa sih yang dibicarakan bapak-bapak itu di dalam kamar? Cika jadi penasaran. Apa jangan-jangan mereka lagi ngegosipin kita sekarang? Kenapa sih kita malah diusir disuruh keluar. Padahal aku belum puas mengeksplorasi kamar Kak Jidan. Jarang-jarang kan kita bisa masuk kamar cowok." Cika merasa kesal. Satu karena sikap Jidan dan kedua karena makanan yang mereka pesan via online belum kunjung datang."Sabar Cika, orang sabar disayang Tuhan." Risa mencoba mengingatkan Cika."Tapi orang sabar juga menderita.""Lah, emang sekarang kamu menderita? Menderita apa?" Sagita bertanya pada Cika."Enggak usah heran deh Kak Git. Cika emang gitu. Merasa selalu menderita. Drama Queen bangetlah pokoknya, padahal enggak ada menderita-menderitanya sama sekali.""Risa sama Cika kompak ya!" Ani~Berbagi pada yang membutuhkan itu baik dan besar manfaatnya~Jidan mulai merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tubuhnya masih lemah ternyata, nyatanya baru berdiri sebentar saja saat berbicara dengan Yoga, kakinya sudah merasa lemas. Tatapan mata Jidan tetap awas ke arah Yoga."Bilang sekarang!" desak Jidan."Bilang apa?""Rahasia yang kamu bilang tadi. Tentang apa lagi? Tentang Danar? Tentang Delia? Apa lagi yang kamu sembunyikan dari aku Yoga? Apa?"Yoga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia mulai sebal melihat wajah Jidan yang sok serius. Baginya belakangan ini Jidan memang agak beda, tidak seperti biasanya."Aku enggak mau bilang kalau yang satu ini.""Oh! Oke! Kalau kamu enggak mau bilang, itu artinya kamu enggak akan bisa keluar dari dalam rumah ini dalam keadaan hidup.""Hahahah! Heh! Kamu pikir aku takut? Aku enggak takut Jidan. Enak aja kamu bilang aku enggak bisa kelua
~Masa depan adalah rahasia yang paling rapi. Kita tidak akan tahu apa yang terjadi~"Git! Gitaaa!!!" suara Bos Don menggema di ruangan kerja. Sagita dengan sigap menuju ke tempat Bos Don berdiri."Gimana itu si Jidan? Masih idup?" Bos Don bertanya sambil berkecak pinggang."Udah masa pemulihan di rumah Pak Bos. Sebentar lagi mungkin bisa masuk kantor.""Ya harus masuk. Masa iya, mau makan gaji buta terus. Rugi dong saya." Bos Don mengusap kepalanya yang botak. Sagita hanya mengangguk, ia sendiri tidak ingin Jidan buru-buru masuk ke kantor. Ia ingin agar Jidan puas untuk istirahat dulu."Saya sudah bilang sama orang yang di Kalimantan kalau kepergian kamu sama Jidan ditunda, sampai Jidan sembuh."Sagita baru ingat, jika dirinya dan Jidan akan dikirim ke Kalimantan oleh Bos Don. Padahal dia jelas sudah berjanji pada mama papanya Jidan untuk menjaga jarak dari Jidan sampai proses perceraian dirinya selesai
~Dijauhkan dari apa yang kita sukai memang mengesalkan, apa lagi dijauhkan dari orang yang kita cintai. Semesta bahkan jadi terasa kurang ajar~Bali. Apa yang terlintas dibenak saat mendengar nama pulau yang satu ini? Pantai yang indah? Laut biru? Bebek betutu? Sunset yang mempesona? Pasti itu semua yang terlintas dalam benak setiap orang ketika mendengar nama Pulau Dewata disebutkan. Sayangnya tidak untuk Sagita. Bukan itu yang ada dalam benak Sagita. Satu-satunya yang terbayang dalam benaknya adalah penyiksaan dalam balutan pekerjaan."Anggap aja itu liburan Kak Git! Cika iniloh, pengen ke Bali, tapi gagal-gagal terus. Bisanya malah ke Balige, kampung Nenek Cika." Cika berkata pada Sagita yang sibuk memasukkan baju ke dalam koper."Emang kamu mau ke Bali, mau ngapain sih?" Risa ikut bergabung dalam percakapan itu."Ya mau liburanlah, mau ngapain lagi? Enak loh liburan ke Bali. Pengen aku.""Ya sana ikut Kak Sagi
~Bekerja sepenuh hati, bukan bekerja secara rodi adalah impian para pekerja~Suara desingan pesawat terdengar, pesawat itu mendarat dengan aman di Bandara Ngurah Rai. Sagita tergopoh-gopoh berjalan di belakang seorang wanita gendut yang berwajah mengesalkan, siapa lagi jika bukan si Nyonya Besar. Sebenernya wanita itu tidak berjalan cepat karena porsi badannya yang tidak memungkinkan hal itu terjadi. Apalagi saat ini ia berjalan dengan teman-temannya. Jelas, tidak mungkin berjalan cepat, obrolan mereka juga banyak. Entah apa yang diobrolkan Sagita sendiri tidak tahu. Ia tidak peduli.Bagaimana Sagita akan peduli? Ia sibuk membawa barang-barang bawaan milik si Nyonya Besar. Belum lagi Nyonya Besar sering memerintah seenaknya. Ambilkan ini, ambilkan itu. Buka kan ini, buka kan itu. Seolah Sagita adalah robot yang siap dipakai untuk apa saja.Bruk!Semua koper dan barang bawaan bisa diletakkan Sagita di dalam bagasi mobil. Mobil itu
~Pernikahan selalu membahagiakan bagi kedua mempelai. Sayangnya di tengah rasa bahagia itu, tidak jarang ada hati-hati yang hancur lebur mumur~"Git! Gitaaaaa!" Demi mendengar suara teriakan Nyonya Besar, Sagita sampai harus tergopoh-gopoh. Ia memberikan segera lipstik yang diminta oleh Nyonya Besar."Kamu itu jangan lemot Gita! Jangan buat saya malu depan teman-temannya saya dong. Saya ini harus tampil perfect. Pernikahannya bakalan digelar lebih cepat soalnya. Ayo buruan kita turun ke pantai, tempat dimana pernikahannya digelar."Sagita mengngguk. Ia merapikan jilbab dan gaun yang ia kenakan. Lalu kemudian, Sagita mengikuti Nyonya Besar berjalan dari belakang. Begitu sampai di tempat resepsi, tiba-tiba jantung Sagita ingin terhenti sekita. Ia melihat seorang wanita yang tidak asing lagi baginya."Jeng Siiin! Akhirnya ya keponakan kesayangan kamu bisa nikah juga sama pria yang dia mau." Nyonya Besar berkata sambil memeluk t
~Setiap orang punya kadar simpatinya masing-masing, bahkan orang paling galak yang pernah kita kenal sekalipun~"Terima kasih banyak Nyonya." Lirih suara Sagita terdengar. Nyonya Besar yang duduk di sebelahnya tidak terlalu menanggapi. Ia hanya sibuk meminum air kelapa. Matanya tetap awas melihat ke barisan perbukitan hijau dan air laut yang biru. Mereka memang sudah bergeser ke pantai yang jaraknya cukup jauh dari resepsi pernikahan Danar dan Delia."Tidak seharusnya Nyonya terlibat dalam masalah saya. Seharusnya Nyonya sedang menikmati kebersamaan bersama teman-teman Nyonya saat ini."Sagita menceritakan semuanya pada Nyonya Besar. Cerita bagaimana tahap demi tahap rumah tangganya hancur. Dimulai dari mertuanya yang tidak menyukai dia, persahabatan antara Danar, Jidan dan Yoga, hingga sampai ke titik puncak dimana Delia hamil anak Danar. Nyonya Besar hanya sibuk mendengarkan dengan tenang."Dulu saya juga begitu." Nyonya b
~Teman adalah pemberi solusi terbaik, walau terkadang solusi itu hanya berupa gelak tawa~"Yakin kamu udah siap buat ke Kalimantan? Udah siap sama konsekuensinya?" Yoga bertanya pada Jidan yang sibuk dengan bakso yang ada di depannya."Kamu kok jadi mengalihkan pembicaraan? Aku lagi bahas masalah Danar dan Delia yang menikah hari ini di Bali. Kenapa kamu malah bahas Kalimantan?"Wajah Yoga seketika tampak kesal. Bakso di depannya yang terlihat lezat jadi seperti makanan basi seketika begitu mendengar nama Delia dan Danar disebut. Sulit untuk menyembunyikan rasa sakit hatinya."Kamu itu kenapa sih Yoga?""Aku gimana apanya? Kamu itu yang gimana? Malah bahas Danar sama Delia. Ya biar aja mereka nikah di Bali hari ini. Mau mereka nikah di Bali, mau nikah di Mars, nikah di galaksi lain sekalipun, emangnya aku peduli? Enggak! Semoga ada angin topan badai di nikahan mereka. Biar porak-poranda itu pernikahan."
~Ketika Bos sudah memberi perintah, bantahan apapaun terkadang tidak akan berguna~Sagita tergopoh-gopoh menemui Bos Don di dalam ruangannya. Bahkan ia sampai lupa mengetuk pintu. Untungnya Bos Don hanya sedang menelepon."Ini Sagita. Pintu ini, punya fungsi loh. Fungsinya selain jadi akses keluar masuk, juga bisa buat diketuk. Nih ya saya contohin."Tok! Tok! Tok!Terdengar suara ketukan pintu dari tangan Bos Don. Sayangnya Sagita terlanjur tidak tertarik dengan basa-basi Bos Don."Maaf Bos! Maaf! Saya cuman kaget dengan informasi yang dibawa sama Kak Ecal."Bos Don berkecak pinggang. Lalu, ia mengelus kepalanya yang botak. Ia memperhatikan raut wajah Sagita dengan cermat. Wajahnya Sagita terlihat khawatir."Kamu maunya apa?" tanya Bos Don pada Sagita."Kan Bos janji kalau saya ke Bali menemani Nyonya Besar, saya enggak perlu lagi ke Kalimantan. Nanti Kak Jidan bisa pergi bareng sama Ka
~Setiap cerita selalu memiliki akhir, entah itu akhir yang menyenangkan atau menyedihkan. Apapun akhir ceritanya, sebuah cerita tetaplah cerita. Itu adalah alur terbaik untuk setiap tokohnya~Gaun putih itu memang cantik. Namun tetap saja kecantikannya bertambah berkali-kali lipat karena digunakan oleh Sagita. Risa dan Cika juga tidak kalah cantik, mereka ada di barisan paling depan sebagai pagar ayu. Di sisi seberang sana juga tidak kalah luar biasanya. Ada pagar bagus yang dipimpin oleh Dino dan Doni. Ini adalah hari pernikahan Sagita dan Jidan.Pernikahan mereka memang sempat tertunda selama beberapa Minggu hingga Sagita benar-benar bisa pulih. Namun begitu bisa pulih, Sagita dan Jidan langsung menyelenggarakan pernikahan di kebun milih Jidan."Kamu cantik Sagita." Jidan berbisik pada Sagita yang ada di sebelahnya. Mereka sesaat lagi akan sah menjadi suami istri. Tuan penghulu sudah ada di depan Jidan dan siap menjabat tangan Jidan. Jidan
~Dosa paling mengerikan yang dilakukan manusia adalah membunuh sesamanya sendiri~"Sagita..." Jidan memanggil Sagita. Sagita berusaha untuk membuka matanya pelan-pelan. Bagaimanapun ceritanya obat bius itu masih bekerja. Sagita melihat Jidan di depannya, dengan senyum mengembang dan mata yang berkaca-kaca."Kak," Sagita berkata lemah.Yoga, Dino dan Doni menarik napas lega. Satu kabar baik terbit. Sagita sudah sadar dan dokter bilang jika ia akan baik-baik saja. Hanya saja memang Sagita butuh waktu untuk bisa pulih."Terima kasih banyak Sagita. Terima kasih banyak kamu sudah bertahan." Jidan berkata pada Sagita sambil menatap mata Sagita lekat-lekat. Sungguh pandangan mata itu sangat romantis."Apa aku ada di surga?" Sagita bertanya pada sekitarnya."Ini masih di dunia Sagita. Ini masih di dunia. Ini masih di dunia yang sama tempat dimana orang-orang tega memperlakukan kamu dengan kejam. Walau aku berusaha me
~Dalam gelap sekalipun akan tetap ada cahaya harapan walau hanya setitik~Gelap, Sagita hanya melihat gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia hanya bisa mendengar duru napas dan detak jantungnya. Sagita pasrah, ia merasa mungkin kini ia telah mati. Ia merasa jika ia hanya tinggal mendengar malaikan Izrail berseru. Benar saja, beberapa saat kemudian, Sagita melihat cahaya putih. Cahaya itu terang dan terasa lembut mengenai mata, tidak menyilaukan sama sekali. Cahaya itu mendekati Sagita, seolah punya kaki. Lalu cahaya terang tersebut menggumpal dan membentuk wajah dan tubuh manusia. Sagita menarik napas dalam-dalam. Ia seperti itu wajah siapa."Ayah, Ibu." Sagita memanggil nama itu. Cahaya itu menjelma menjadi wajah ayah dan ibunya Sagita. Kedua cahaya itu saling pandang dan lalu merentangkan tangannya ke arah Sagita. Sagita tersenyum dan berusaha untuk bangkit menyambut cahaya itu. Sudah lama ia menahan rindu pada ayah dan ibunya. Sudah lama seka
~Manusia dari zaman ke zaman tetap seperti itu tabiatnya, mereka saling menyakiti satu sama lain~Rumah itu cek. Jidan, Yoga dan yang lain memerika rumah itu dengan cermat. Hancur hati Jidan begitu melihat ada darah di lantai. Ia ngeri membayangkan bagaimana jika ternyata itu adalah darah Sagita."Jendela ini dibuka paksa dari luar. Itu artinya Sagita pasti melarikan diri lewat jendela ini. Hei, mereka menemukan jejak di sebalah sana. Ayo kita ikuti jejak itu dan mulai mencari dimana keberadaan Sagita. Kalian jangan ada yang tangan kosong. Bawa minilam pisau. Dan jangan jauh-jauh dari polisi karena mereka punya senjata. Kita tidak pernah tahu apa yang dibawa oleh Danar. Bisa jadi Danar memiliki senjata api. Dan itu bisa membahayakan kita semua. Kamu juga jangan gegabah Jidan. Jangan karena menuruti rasa khawatir kamu lalu kamu jadi lemah." Yoga memberikan pengarahan panjang lebar. Dan semua orang segera menuju ke arah jejak yang dikatakan oleh Yo
~Menyelamatkan seseorang dari bahaya adalah sebuah kebaikan besar~Hujan deras turun disertai angin kencang. Hal ini membuat perjalanan Jidan dan semua tim penyelamat untuk Sagita benar-benar terhambat. Yoga mau tidak mau bahkan harus mengurangi kecepatan mobilnya. Apalagi saat ini mereka melalui jalan yang berkelok-kelok dan kanan kirinya berbatasan dengan jurang."Kita harus lebih cepat Yoga." Jidan mendesak."Lebih cepat bagaimana? Mobil Doni yang ada di depan kita saja mengurangi kecepatan. Kamu enggak liat apa hujan segini derasnya? Jarak pandang terbatas Jidan. Kita memang akan menyelamatkan Sagita tapi bukan berarti kita yang jadi tidak selamat. Tenanglah!""Bagaimana aku bisa tenang membayangkan Sagita kehujanan di luar sana. Dengan hujan sederas ini dan tanpa tahu apa yang sedang ia hadapi sekarang. Bagaimana aku bisa tenang?""Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Apa hikmah di balik ini semua ya Allah. Per
~Mau tidak mau, suka tidak suka, rasa luka memang sakit~Danar mendengar suara panggilan dari bapak dan ibunya. Ia menuju ke sumber suara itu. Dan mendapati bapak dan ibunya yang tengah ketakutan. Danar justru menggelengkan kepala. Melihat ada Danar di bawah sana, Sagita semakin takut. Ia berpegangan dengan erat pada batang pohon dengan kuat."Pak Bu. Ngapain di sini? Kenapa malah cuman duduk, bukan malah bantu Danar cari Sagita. Apaan sih? Kalian enggak mau Sagita cepat ketemu apa?""Aduh Danar. Bapak ini bukan enggak mau bantu kamu. Kami tentu mau bantu kamu. Tapi lihat cuaca saat ini! Kamu lihat tidak. Hujan akan turun. Kita belum tentu bisa menemukan Sagita. Justru sebaliknya, kita bahaya saat ada di hutan hujan deras begini. Kita sebaiknya balik ke rumah Nak. Itu saran Bapak.""Apa? Balik tanpa hasil? Tidak Pak. Buruanku masih ada di luar sini. Justru cuaca yang seperti ini sangat menguntungkan kita. Sagita tidak akan b
~Berdoalah untuk kebaikan jangan untuk kejahatan~"Seberapa genting situasinya?" Yoga bertanya pada Jidan."Tadi Doni menjelakan. Katanya mereka dikejar dengan senjata dan orang yang mengejar mereka adalah Danar. Jelas sudah jika prediksi kita benar, Danar bedebah itu adalah dalang dari semuanya.""Apa aku bilang Jidan? Tidak mungkin salah lagi. Jadi apa si Arif temannya Doni itu bisa kembali dihubungi?""Tidak. Handphonennya mati.""Ah, sial. Mereka mungkin sengaja mematikan handphonenya karena sedang bersembunyi atau apa. Apa temannya Doni sendiri?""Iya. Dia sendiri. Terpisah dari rombongannya.""Hmmm. Mereka harus bertahan sendiri. Kita akan butuh waktu untuk bisa sampai ke sana tepat waktu. Tempat itu cukup jauh Jidan. Danar terlalu pintar mencari tempat yang susah dijangkau. Belum lagi kita harus jalan kaki ke dalamnya."Jidan mengangguk. Perjalanan mereka memang akan sangat
~Siapkan senjata terbaikmu, saat berada dalam bahaya~Danar berang. Tadi begitu tahu Sagita sudah tidak di tempatnya ia segera membangunkan ibu dan bapaknya. Danar merasa kecolongan. Ia tahu jika Sagita tidak mungkin bisa lolos sendiri. Siapapun yang membanti Sagita bagi Danar harus diberi pelajaran."Haduh bagaimana ini Danar? Kenapa bisa kita kecolongan? Siapa yang membantu Sagita? Kok bisa anak itu keluar dari rumah bahkan tanpa kita tahu? Pasti sudah ada yang bantu? Apa Jidan yang menemukan? Apa Yoga? Apa jangan-jangan polisi?""Tenanglah Bu. Kita harus mencari. Ibu dan Bapak ke arah sana dan saya akan cari ke arah sana. Kita harus menemukan Sagita. Siapapun yang membantu Sagita, tampaknya dia sendirian. Buktinya dia tidak berani menyerang kita dan hanya fokus menyelamatkan Sagita. Tapi kita harus waspada, sepertinya dia punya senjata atau bahkan sesuatu yang bisa dibuat untuk menghajar kita. Lihat saja dia bisa dengan mudah
~Terkadang orang asing juga bersedia membntu~"Dino, bangun, bangun Dino!" Doni membangunkan Dino yang sedang tertidur lelap. Dino yang merasa sangat mengantuk dan lelah karena mencari Sagita seharian tersentak mendengar jeritan dari Doni."Ada apa Don? Ada apa? Ada gempa? Kebakaran? Atau apa? Hah? Ada apa?""Kak Sagita. Arif menemukan Kak Sagita. Kita harus ke sana. Ke tempat mereka. Cepat, Din.""Arif? Arif mana? Arif siapa? Hah?""Arif. Teman aku yang polisi hutan itu. Dia menemukan Sagita di hutan. Di salah satu rumah yang ada di hutan. Katanya kondisinya cukup mengenaskan.""Apa? Mengenaskan? Tapi Kak Sagita masih hidupkan?""Masih. Masih hidup. Tapi lemah. Mungkin sudah lebih dulu disiksa. Kita harus segera memberi kabar ini pada Kak Jidan, Risa dan yang lainnya. Jadi ayo kamu harus bangun. Kita harus bergerak cepat."Doni langsung menuju ke garasi mobil. Dino ke kamar mandi