~Jaga persahabatan sebisa mungkin, jika sudah rusak, maka itu artinya bisa jadi kamu telah punya satu musuh baru dalam hidupmu~
"Bang! Nasi putih, pake ayam balado sama sayur nangkanya ya." Sagita berkata pada Abang tukang nasi padang, langganan ia makan siang."Eh, ada kakak cantik Sagita. Cukup itu aja Kak? Enggak mau saya sediakan semua jenis lauknya di atas meja?""Enggak perlu. Saya bungkus aja. Mau makan di kantor. Pagi ini saya enggak sempat bawa bekal soalnya.""Kemana Mas Jidan, Kak Git? Udah beberapa hari ini enggak keliatan? Apa udah enggak doyan lagi sama nasi padang? Mana tau udah pindah ke makanan yang lebih kebarat-baratan.""Enggak kok. Kak Jidan lagi di rumah sakit, lagi sakit. Enggak mungkinlah dia enggak suka sama nasi padang. Nasi Padang yang dijual di sini, makanan paling enak satu dunia katanya.""Loh, lagi sakit rupanya. Semoga cepat sembuh deh ya. Emang nasi padang di sini itu pa~Perang akan selalu ada, termasuk perang dingin antar kedua sahabat~"Apa ini enggak terlalu cepat kamu keluar dari rumah sakit? Semalam aja temen-temen kantor kamu baru habis dari sini. Masa iya kamu mau langsung pulang." Mama sibuk memasukkan pakaian Danar ke dalam sebuah tas."Anis mana Ma? Enggak ikut jemput Jidan?""Enggak. Katanya mau ke tukang balon.""Beli balon?""Beli batako. Ya iyalah Jidan." Satu tangan mama Jidan mendarat di kepala Jidan, tepat di keningnya. Tangan lembut itu bergerak seolah sedang mengukur suhu badan Jidan."Badan Jidan enggak demam Ma. Tenang aja.""Kamu ini. Mama ngelakuin itu karena khawatir.""Sagita enggak ada dateng Ma? Inikan Minggu, siapa tahu dia mau ikut jemput Jidan dari rumah sakit."Mama Jidan mengerutkan dahinya. Ia lantas berkecak pinggang di hadapan Jidan. Jidan menutup bibirnya dengan telapak tangan, merasa jika baru saja i
~Teman sejatinya saling menjaga satu sama lain, bukannya saling menghancurkan~Jidan menarik napas dalam-dalam. Jika saja Anis adiknya itu bukan perempuan, Jidan pasti akan menjitak kepala Anis sekuat tenaga. Sayangnya, Anis perempuan, Jidan tidak akan tega."He! Anis! Kamuuu. Nggemis banget ya!" Jidan berbicara dengan nada berat. Seketika Anis jadi salah tingkah."Oh! Iya. Perihal rahasia itu. Rahasia apa itu? Kalian jangan aneh-aneh ya. Inikan kamar kakak. Ini privasi kakak loh, jangan malah diobok-obok.""Kita enggak ada niat mau obok-obok kok. Kita cuman tau rahasia kecil Kakka. Walaupun tampang kakak itu tampanh residivis, tapi jiwa kakak jiwa feminis. Lihat aja ini kamar, chatnya warna pink. Terus itu kolor kakak aja warna pink. Sungguh feminis."Semua orang tertawa kecuali Jidan. Jidan menepuk jidatnya. Masalah kolor warna pink itu, jelas akal-akalan ibunya. Sementara masalah cat warna pink, itu karen
~Terlalu dekat, terlalu akrab, terkadang akan menjadi masalah besar bagi sebagian orang. Jaga jarak adalah pilihan terbaik bagi semuanya~"Apa sih yang dibicarakan bapak-bapak itu di dalam kamar? Cika jadi penasaran. Apa jangan-jangan mereka lagi ngegosipin kita sekarang? Kenapa sih kita malah diusir disuruh keluar. Padahal aku belum puas mengeksplorasi kamar Kak Jidan. Jarang-jarang kan kita bisa masuk kamar cowok." Cika merasa kesal. Satu karena sikap Jidan dan kedua karena makanan yang mereka pesan via online belum kunjung datang."Sabar Cika, orang sabar disayang Tuhan." Risa mencoba mengingatkan Cika."Tapi orang sabar juga menderita.""Lah, emang sekarang kamu menderita? Menderita apa?" Sagita bertanya pada Cika."Enggak usah heran deh Kak Git. Cika emang gitu. Merasa selalu menderita. Drama Queen bangetlah pokoknya, padahal enggak ada menderita-menderitanya sama sekali.""Risa sama Cika kompak ya!" Ani
~Berbagi pada yang membutuhkan itu baik dan besar manfaatnya~Jidan mulai merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tubuhnya masih lemah ternyata, nyatanya baru berdiri sebentar saja saat berbicara dengan Yoga, kakinya sudah merasa lemas. Tatapan mata Jidan tetap awas ke arah Yoga."Bilang sekarang!" desak Jidan."Bilang apa?""Rahasia yang kamu bilang tadi. Tentang apa lagi? Tentang Danar? Tentang Delia? Apa lagi yang kamu sembunyikan dari aku Yoga? Apa?"Yoga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia mulai sebal melihat wajah Jidan yang sok serius. Baginya belakangan ini Jidan memang agak beda, tidak seperti biasanya."Aku enggak mau bilang kalau yang satu ini.""Oh! Oke! Kalau kamu enggak mau bilang, itu artinya kamu enggak akan bisa keluar dari dalam rumah ini dalam keadaan hidup.""Hahahah! Heh! Kamu pikir aku takut? Aku enggak takut Jidan. Enak aja kamu bilang aku enggak bisa kelua
~Masa depan adalah rahasia yang paling rapi. Kita tidak akan tahu apa yang terjadi~"Git! Gitaaa!!!" suara Bos Don menggema di ruangan kerja. Sagita dengan sigap menuju ke tempat Bos Don berdiri."Gimana itu si Jidan? Masih idup?" Bos Don bertanya sambil berkecak pinggang."Udah masa pemulihan di rumah Pak Bos. Sebentar lagi mungkin bisa masuk kantor.""Ya harus masuk. Masa iya, mau makan gaji buta terus. Rugi dong saya." Bos Don mengusap kepalanya yang botak. Sagita hanya mengangguk, ia sendiri tidak ingin Jidan buru-buru masuk ke kantor. Ia ingin agar Jidan puas untuk istirahat dulu."Saya sudah bilang sama orang yang di Kalimantan kalau kepergian kamu sama Jidan ditunda, sampai Jidan sembuh."Sagita baru ingat, jika dirinya dan Jidan akan dikirim ke Kalimantan oleh Bos Don. Padahal dia jelas sudah berjanji pada mama papanya Jidan untuk menjaga jarak dari Jidan sampai proses perceraian dirinya selesai
~Dijauhkan dari apa yang kita sukai memang mengesalkan, apa lagi dijauhkan dari orang yang kita cintai. Semesta bahkan jadi terasa kurang ajar~Bali. Apa yang terlintas dibenak saat mendengar nama pulau yang satu ini? Pantai yang indah? Laut biru? Bebek betutu? Sunset yang mempesona? Pasti itu semua yang terlintas dalam benak setiap orang ketika mendengar nama Pulau Dewata disebutkan. Sayangnya tidak untuk Sagita. Bukan itu yang ada dalam benak Sagita. Satu-satunya yang terbayang dalam benaknya adalah penyiksaan dalam balutan pekerjaan."Anggap aja itu liburan Kak Git! Cika iniloh, pengen ke Bali, tapi gagal-gagal terus. Bisanya malah ke Balige, kampung Nenek Cika." Cika berkata pada Sagita yang sibuk memasukkan baju ke dalam koper."Emang kamu mau ke Bali, mau ngapain sih?" Risa ikut bergabung dalam percakapan itu."Ya mau liburanlah, mau ngapain lagi? Enak loh liburan ke Bali. Pengen aku.""Ya sana ikut Kak Sagi
~Bekerja sepenuh hati, bukan bekerja secara rodi adalah impian para pekerja~Suara desingan pesawat terdengar, pesawat itu mendarat dengan aman di Bandara Ngurah Rai. Sagita tergopoh-gopoh berjalan di belakang seorang wanita gendut yang berwajah mengesalkan, siapa lagi jika bukan si Nyonya Besar. Sebenernya wanita itu tidak berjalan cepat karena porsi badannya yang tidak memungkinkan hal itu terjadi. Apalagi saat ini ia berjalan dengan teman-temannya. Jelas, tidak mungkin berjalan cepat, obrolan mereka juga banyak. Entah apa yang diobrolkan Sagita sendiri tidak tahu. Ia tidak peduli.Bagaimana Sagita akan peduli? Ia sibuk membawa barang-barang bawaan milik si Nyonya Besar. Belum lagi Nyonya Besar sering memerintah seenaknya. Ambilkan ini, ambilkan itu. Buka kan ini, buka kan itu. Seolah Sagita adalah robot yang siap dipakai untuk apa saja.Bruk!Semua koper dan barang bawaan bisa diletakkan Sagita di dalam bagasi mobil. Mobil itu
~Pernikahan selalu membahagiakan bagi kedua mempelai. Sayangnya di tengah rasa bahagia itu, tidak jarang ada hati-hati yang hancur lebur mumur~"Git! Gitaaaaa!" Demi mendengar suara teriakan Nyonya Besar, Sagita sampai harus tergopoh-gopoh. Ia memberikan segera lipstik yang diminta oleh Nyonya Besar."Kamu itu jangan lemot Gita! Jangan buat saya malu depan teman-temannya saya dong. Saya ini harus tampil perfect. Pernikahannya bakalan digelar lebih cepat soalnya. Ayo buruan kita turun ke pantai, tempat dimana pernikahannya digelar."Sagita mengngguk. Ia merapikan jilbab dan gaun yang ia kenakan. Lalu kemudian, Sagita mengikuti Nyonya Besar berjalan dari belakang. Begitu sampai di tempat resepsi, tiba-tiba jantung Sagita ingin terhenti sekita. Ia melihat seorang wanita yang tidak asing lagi baginya."Jeng Siiin! Akhirnya ya keponakan kesayangan kamu bisa nikah juga sama pria yang dia mau." Nyonya Besar berkata sambil memeluk t