~Hidup memang penuh masalah, maka hadapilah dengan tenang bukan dengan ego yang tinggi~
"Maaf ya Sagita. Bos aku memang seperti itu. Dan sayangnya bos menyebalkan itu, besok-besok akan jadi bosmu juga. Doakan saja dia cepat pensiun atau tiba-tiba gosong tersambar petir. Jadi kamu nanti enggak perlu punya bos yang menyebalkan seperti itu. Yang genitnya luar biasa."Jidan berkata sambil menyetir. Mereka sekarang tengah berada di perjalanan pulang. Sore itu, setelah pulang kerja, Jidan langsung mengantarkan Sagita pulang. Tampaknya kegiatan ini akan menjadi rutinitas Jidan selanjutnya. Menjemput dan mengantar Sagita kerja. Sagita merasa keberatan. Dia tidak ingin merepotkan Jidan. Sayangnya Jidan sendiri tidak merasa direpotkan. Toh, kebetulan rumah Jidan searah dengan tempat tinggal Risa dan Cika."Bos Don memang genit. Sagita akui itu. Ditambah lagi, beliau orang yang kepo. Banyak pertanyaan pribadi yang seharusnya tidak dia tanyakan. Terkesan tidak prof~Sebuah berita yang sama, bisa jadi berita baik dan bisa saji berita buruk. Tergantung siapa yang menerimanya~Hari demi hari berlalu sesuai dengan takdirnya. Daun kering jatuh di sebuah halaman besar, dan segera terinjak oleh seorang wanita cantik. Wanita cantik dengan jas putih yang masih dikenakannya."Non, Delia udah pulang? Tumben cepat? Masih sore sudah pulang? Biasanya betah di rumah sakit sampai malam-malam." Bik Jah, seorang pembantu rumah tangga menyapa ramah majikannya. Sayangnya majikannya itu enggan menanggapi.Delia hanya berjalan lurus ke depan. Wajahnya tampak pucat. Dia segera membuka pintu kamarnya. Sebuah kamar dengan tampilan cukup mewah terbuka. Tempat tidur rapi dengan sprei bewarna merah muda, dan dinding kamar dengan cat nuansa biru. Semuanya terlihat serasi. Sayangnya tidak serasi dengan suasana hati si empunya kamar.Delia mengambil sebuah kalander kecil yang ada di atas mejanya. Matanya berkerut, menjentik-jentikkan jar
~Beberapa orang memang terkadang merasa jika diri mereka adalah korban, padahal merekalah yang mengorbankan orang lain demi kebahagiaan semu yang tidak seberapa~"Pasti ada sesuatu, kenapa Kak Delia mulai berani melakukan hal ini sama kita." Cika membuka percakapan. Mereka tengah ada di taksi online menuju pulang ke rumah."Apa? Apa yang membuat Kak Delia berani mengancam kita?" Risa mengerutkan dahinya.Faktanya memang itulah yang terjadi. Delia mengancam Risa dan Cika. Ancamana itu berupa ancaman jika Cika dan Risa menjadi batu hambatan untuknya bisa bersama Danar, Cika dan Risa akan mendapatkan masalah."Aneh. Padahal kalau dipikir-pikir, kita maunya Kak Sagita justru terlepas dari kak Danar. Biar Kak Sagita tenang." Cika berkata dengan nada kesal."Intinya, Cik. Kak Delia enggak suka kita berpihak pada Kak Sagita. Dia seperti iri pada Kak Sagita. Jadi, hal itu juga yang mendorong dia untuk mengancam kita.""Kamu beneran taku
~Rahasia-rahasia terkadang memang sulit disembunyikan. Mereka seolah punya kaki dan berjalan ke benak setiap orang~Sagita melihat ke arah Cika dan Risa. Dua mahasiswi cantik ini bersikap aneh sejak tadi malam. Sagita meletakkan telur dadar di atas meja. Belakangan ini sudah jadi kebiasaan dia yang menyiapkan sarapan untuk semuanya."Kalian berdua kenapa? Kok enah banget dari tadi malam? Biasa selalu rame, ribut sana-sini. Pagi ini kok kalem? Tadi malam juga kalian enggak ada ribut-ribut. Biasa cuman gara-gara bantal aja, kalian perangnya imbang-imbang negara-negara yang lagi konflik. Ada masalah?"Risa dan Cika hanya diam. Posisi mereka saat ini memang sangat serba salah. Jika mereka langsung terus terang pada Sagita, khawatirnya Sagita akan tersinggung dan pergi dari rumah mereka."Kita seneng banget ada Kak Sagita di rumah ini. Ada yang masakin sarapan kita, ada yang bantu beresin rumah. Pokoknya kita suka. Berasa punya kakak sendiri." R
~Cinta adalah perhatian. Maka orang-orang yang cinta selalu memberi perhatian lebih~"Kak Sagita sudah bangun?" Risa bertanya dengan nada lembut. Sagita baru saja sadar dari pingsannya. Risa segera memberikan Sagita segelas air minum agar Sagita bisa lebih tenang."Kakak baik-baik aja? Apa kita perlu ke dokter?" tanya Risa lagi. Sagita hanya diam. Tatapannya kosong menatap ke arah depan."Risa...""Iya Kak. Apa ada yang Risa bisa bantu? Atau Kak Git mau cerita sesuatu? Sagita siap mendengarkan cerita Kakak."Air mata Sagita tidak mengalir. Air mata itu sudah kering. Namun tatapan kosong matanya jauh terlihat lebih menyakitkan."Apa yang kakak mau sebenarnya?" tanya Sagita pada dirinya sendiri. Risa tahu jika pertanyaan itu tidak butuh jawaban. Itu hanya sebuah pembuka dari sebuah percakapan yang akan mengumbar rasa kecewa."Bukankah Kakak ingin bercerai dengan Mas Danar? Bukankah Kakak marah dengan pengkhianatan yang Mas Dana
~Tidak ada makan siang gratis, kecuali jika kamu punya informasi penting yang harus dibagi~"Ecal! Cepat katakan apa yang dimaksud Bos Don tadi? Kamu sudah tahu? Kenapa enggak kasih tau ke aku kalau ada berita penting?" Jidan mendesak Ecal. Sementara itu, yang didesak memilih untuk tidak peduli. Ecal lebih memilih mengunyah nasi dan telor balado yang ada di depannya."Ecal! Jawab! Jangan hanya diam." Jidan mendesak. Ecal mengelus rambutnya yang klimis. Rambut Ecal memang klimis. Terkadang karena terlalu klimis sampai terlihat silau saat tepapar sinar matahari. Teman-teman Ecal tidak sungkan memanggilnya dengan sebutan si Klimis."Ini rumah makan nasi padang." Ecal menjawab singkat. Jidan tambah kesal. Siapapun tahu jika mereka ada di restoran nasi padang, tempat dimana biasanya para karyawan makan siang."Aku serius Ecal." Jidan berkata mantap."Haduh Jidan! Kenapa kamu ini iseng sekali. Habiskan saja makan siangmu. Lagian sejak Sagita mas
~Ketenangan dan kedamaian ada, jika kita berusaha untuk mencarinya~"Assalamualaikum semuanya. Perkenalkan, ini Kak Sagita. Hari ini dia bakalan ikut ngaji sama kita. Boleh, kan Umi?" Risa bertanya dengan nada sopan. Umi adalah sebutan untuk ustadzah yang menjadi pimpinan grup pengajian itu. Nama asli Umi adalah Siti Amanah, wanita paruh baya yang berwajah lembut dan tampak bersahaja."Kan sudah Umi bilang, Risa sayang. Kamu boleh bawa siapapun ke lingkaran mengaji kita. Oh ya, teman kamu yang namanya Cika enggak ikut gabung ngaji hari ini?" Umi bertanya seperti itu karena biasanya Cika juga ikut."Tidak Umi. Cika sedang sibuk dengan urusan kampus.""Umi mengerti. Kalau begitu, selamat datang di grup mengaji kami Sagita. Semoga ananda senang berada di sini. Ayo kita belajar sama-sama. Menimba ilmu agama adalah kewajiban kita bersama."Sagita mengangguk. Bibirnya tersenyum tipis. Sebuah senyum yang sebenarnya ia paksakan. Umi tersenyum lemb
~Kejadian buruk bisa menimpa siapa saja dan kapan saja~"Kaka Jidaaaan!" Risa berteriak. Sagita yang juga melihat pemandangan tragis di depannya terkejut bukan kepalang. Ada Jidan yang terkapar di lantai dengan kondisi wajar dan tubuh yang berdarah-darah."Kak Sagita! Risa! Tolong! Kak Jidan! Tolong!" Cika berteriak histeris begitu Risa dan Sagita datang. Sebuah ambulans datang ke teras rumah. Beberapa pria dewasa segera mengangkat Jidan masuk ke ambulans. Dan tanpa aba-aba siapapun Sagita, Risa dan Cika melompat masuk ke dalam ambulans.Wiuuu...wiuu...wiuuu...Suara sirine ambulans terdengar membusungkan telinga. Cika menangis dan wajahnya pucat, sementara itu Risa dan Sagita panik."Ada apa Cika? Apa yang terjadi? Kenapa Kak Jidan sampai seperti ini?" tanya Risa pada Cika. Ambulans itu terus melaju menuju ke rumah sakit. Darah segar masih membasahi tubuh Jidan."Ada orang, rame-rame, seperti preman, mengeroyok Kak Jidan. Aku engga
~Seburuk apapun kondisi kita, terkadang Tuhan tetap menyelipkan beberapa bait komedi di dalamnya~"Hai Kak! Aku Anis, adiknya Kak Jidan." Seorang gadis cantik menjulurkan tangannya pada Sagita."Halo Anis! Salam kenal.""Belakangan ini, Kak Jidan sering banget loh cerita soal kakak sama Anis."Sagita memperhatikan Anis. Apa yang dikatakan gadis ini barusan membuatnya sedikit merasa heran. Untuk apa Jidan banyak bercerita tentangnya pada adiknya?"Oh gitu ya? Iya. Mungkin karena kita sekarang sering kerja bareng. Oh iya, Anis enggak khawatir sama kondisinya Kak Jidan.""Khawatir. Cuman Anis yakin kalau Kak Jidan pasti kuat buat melalui semua ini. Kak Jidan itu kan handal." Anis tersenyum manis."Iya Anis. Semoga Kak Jidan cepat pulih."Selang tak berapa lama, para perawat keluar dari tempat Jidan dirawat. Semua orang yang ada di koridor segera masuk ke dalam ruangan. Jidan tampak sudah sadar dan melayangkan senyum. Wala