~Sebenarnya di kala badai datang, manusia tidak pernah sendirian. Selalu ada siapapun yang rela membantu. Cukup menyadari keberadaan mereka~
"Cika, Cika apa yang jago nyanyi?" Yoga bertanya sambil menaikkan alisnya sebelah. Wajahnya mengarah ke arah Cika. Cika menggeleng. Risa mengangkat bahu. Sementara Sagita masih duduk dengan tenang di atas tempat tidur pasien. Pagi itu, Cika, Risa, Yoga dan Jidan memang datang menjenguk Sagita.Ckrekk! Pintu terbuka. Jidan datang membawa satu keranjang buah segar. Ia segera meletakkan buah itu di samping ranjang Sagita."Kak Jidan. Cika apa yang jago nyanyi?" Cika bertanya pada Jidan."Lah, mana kakak tau. Kan kamu yang namanya Cika. Kamu jago nyanyi enggak?" Jidan balik bertanya."Mana ada Cika jago nyanyi Kak. Cika jagonya cuman merepet. Ngambek paling." Jawaban Risa membuat semua orang tertawa, kecuali Sagita. Sagita hanya tersenyum tipis. Itupun hanya demi kesopanan belaka. Menghargai usaha semua o~ Sebagian manusia memang bisa super tega. Berbuat kesalahan besar, namun bersikap seolah tak berdosa~Delia melihat ke arah kepalan tangan Jidan, dia malah tersenyum. Yakin sekali Delia, jika kepalan tangan itu hanya akan tetap menjadi kepalan tangan. Tidak akan berubah menjadi bogem mentah yang mendarat di wajahnya."Tolong! Kalian jangan mengira jika aku tidak terluka atau bahkan merasa dirugikan dengan semua kejadian itu. Aku juga dirugikan. Bahkan bisa dibilang menderita. Sayangnya aku memilih untuk tetap menjalani hidup dengan sebaik mungkin.""Kamu enggak perlu sok jadi korban. Jelas-jelas di sini kamu penjahatnya. Kalau kamu tidak menggoda Danar, ini semua tidak akan terjadi. Dan Sagita pasti akan baik-baik saja.""Bodoh!" Delia berkata dengan kasar."Eh! Apa maksud kamu bilang kami bodoh?
~Setiap masalah pasti ada solusinya~"Ceraikan Sagita dan nikahi Delia." Jidan berkata dengan keyakinan penuh. Yoga yang mendengar itu sekali lagi terbatuk-batuk."Tidak! Aku tidak akan menceraikan Sagita." Danar sontak membantah solusi dari Jidan."Lalu? Kamu mau terus sama Sagita? Pertanyaanku apa Sagita mau untuk terus jadi istri kamu?""Dengar Jidan! Saat ini Sagita memang belum memaafkanku. Namun hanya belum. Besok-besok kalau hatinya sudah tenang, dia pasti memaafkanku. Pasti. Dan Delia? Dia cantik. Meskipun tidak perawan lagi, masih banyak pria baik di luar sana yang mau menerimanya.""Lihatlah temanmu ini Yoga! Kau ingat? Kemarin itu dia bilang jika dia dan Delia tidak macam-macam. Sekarang di depan kita, dia sendiri yang mengaku jika dia sudah mengambil keperawanan Delia. Kurang brengsek apa coba?""Cukup Jidan! Itu solusi terbaik. Terserah kamu mau bilang aku brengsek atau apa. Aku tidak peduli. Mau dibilang brengsek 1000
~Sebuah cerita, sebuah pencerahan. Sebuah cerita, sebuah kesempatan. Kesempatan untuk mengambil pelajaran~Cika dan Risa tinggal di sebuah rumah kontrakan yang jelas cukup luas jika ditinggalin dua orang saja. Ada 4 kamar tidur, sebuah ruang tamu, dapur, teras dan bahkan perkarangan belakang yang cukup luas. Sagita menarik napas dalam-dalam. Sudah ada rencana dalam kepala Sagita Tetang apa yang akan dia lakukan di rumah ini. Lebih dekat pada Tuhan.Sagita ingin menghabiskan waktunya untuk beribadah. Dengan demikian hatinya akan menjadi lebih tenang. Sagita tengah duduk menghadap ke halaman belakang rumah.Cika dan Risa jelas punya selera dekorasi yang baik. Perkarangan ini sangat nyaman. Rumput hijau bagai permadani dan ada banyak rumput gantung yang menjuntai dari atas atap. Semuanya tertata rapi dan bersih."Semoga Kakak suka ya sama tempat ini. Semoga betah juga." Cika menepuk pundak Cika."Iya. Kalian kuliah yang baik ya. Jangan
~Bunga memang indah, namun seindah-indahnya bunga, bunga tidak sepenuhnya sanggup menyembuhkan hati yang patah~Sudah satu pekan, rumah Cika dan Risa dibanjiri pake buket bunga. Bukan. Bukan untuk Cika dan Risa. Dua gadis cantik ini meskipun jomblo tetap tidak ada yang mengirimi bunga. Semua bunga itu diperuntukkan seorang Sagita. Dan siapa lagi pengirimnya jika bukan Danar?"Bunga apa hari ini?" tanya Cika pada Risa yang sedang sibuk memasak di dapur."Bunga tulip," jawab Risa singkat."Mawar udah, anggrek udah, edelweis udah, dahlia, krisan, lantana, kayaknya semua udah. Curiga aku Ris. Jangan-jangan besok Mas Danar kirimnya bunga bangkai raflesia arnoldi." Cika tertawa kecil sambil tangannya tetap mengaduk sayur."Kak Sagita udah selesai mandi?""Belum Ris.""Aku rasa mau bunga apapun yang dikirimkan sama Mas Danar, tetap enggak akan ngaruh. Kak Sagita kemaren udah ngomong sama aku, bakal tetep mau cerai sama Mas Danar."
~Mengancam bukan jalan yang baik, namun bagi orang-orang yang terdesak, ancaman terkadang ampuh~Danar melangkah gontai masuk ke dalam rumah. Perasaan hatinya masih tidak menentu. Selama dia belum mendapat maaf dari Sagita, selama itu juga hatinya tidak tenang. Danar lapar, ia segera menuju ke dapur. Aroma bumbu ayam goreng kalasan tercium dari arah dapur. Hal itu membuat perut Danar yang lapar semakin lapar. Ibunya pasti memasak ayam kalasan."Kamu sudah pulang?"Danar menghentikan langkahnya. Baru saja dia melewati ruang tengah, sebuah suara yang tidak asing terdengar olehnya. Begitu Danar menoleh ke belakang, jantungnya terasa seperti ingin berhenti."Del, Delia, kamu ngapain di sini?" tanya Danar setengah panik."Kenapa kamu panik Danar? Jangan panik seperti itu. Aku datang baik-baik. Ibu sama bapak kamu yang tadi mengizinkan aku untuk menunggu kamu di dalam rumah ini. Padahal mereka sendiri sedang pergi ke tempat tetangga kamu yang la
~orang yang benar, terkadang memang selalu disalahkan~"Kak Git. Ada yang nyariin tuh! Kak Jidan di depan." Risa berkata pada Sagita."Loh! Aku enggak dicariin?" Cika menyela."Ngapain nyariin kamu Cika. Kak Jidan sekarang urusannya sama Kak Sagita. Bukan sama kita.""Iya Cika. Kakak memang yang menghubungi Kak Jidan. Kakak mau minta bantuan Kak Jidan. Bantu urusin pengajuan cerai kakak."Cika dan Risa terdiam. Jelas itu bukan masalah sepele. Mereka tidak berani lagi berkomentar. Sagita keluar kamar bergeges menemui Jidan. Dia meninggalkan Risa dan Cika."Itu di tangan kamu apa?" tanya Cika pada Risa."Martabak.""Dari Kak Jidan.""Iya.""Martabak kacang? Kesukaan aku?""Iya. Kenapa? Kamu ma
~Cinta adalah benda tak kasatmata, namun tetap bisa disadari adanya~"Sini! Saya kasih tau semua perbuatannya Danar, Tante."Ibu dan bapaknya Danar memasang telinga baik-baik. Bahkan mereka lebih mendekatkan posisi berdirinya ke arah Jidan."Danar! Danar telah selingkuh. Om, Tante. Kalian harus tau perbuatan anak kesayangan kalian itu.""Apa? Tidak mungkin." Ibu Danar menyangkal."Terserah, Om dan Tante mau percaya atau tidak. Tapi itulah faktanya. Itulah kenyataannya. Suka atau tidak suka, Om dan Tante harus terima. Saya, Yoga dan dua teman perempuan kami jadi saksi matanya.""Halah! Bohong aja kamu Jidan. Kamu yang selingkuh dengan Sagita, malah balik nuduh Danar yang selingkuh. Kamu kalau iri sama Danar bilang saja.""Iri? Maaf Tante. Saya tidak pernah iri apalagi ingin mengusik hidup Danar. Saya bicara apa adanya. Dan Tante tau? Danar selingkuh dengan siapa? Delia Tante. DE-LI-A. Perempuan yang barusan Tante bangga-ba
~Carilah makan, minimal makan untukmu sendiri. Jangan mudah berpangku tangan~"Cantik, sepertinya pinter juga. Saya suka. Tapi meskipun dapet rekomendasi dari kamu, dia wajib lulus tes dulu loh." Bos Don berkat pada Jidan. Matanya memperhatikan Sagita dari dalam ruangan kacanya. Ruangan kaca yang sengaja didesain agar dia bisa melihat ke arah luar dengan jelas, sedangkan orang yang dari luar tidak bisa melihat ke arah dalam."Tapi ada satu yang kurang, Jidan.""Apa, Pak?" tanya Jidan dengan penasaran. Hari ini dia membawa Sagita ke kantornya untuk melamar pekerjaan baru."Tidak seksi. Apa kamu tidak bisa mencari yang agak sedikit hot gitu? Yang roknya agak-agak segini?" Bos Don menggerak-gerakkan jarinya di atas paha."Inget binik di rumah Pak." Jidan berkata dengan ketus."Hei! Saya inget kalau sama binik. Kamu kira saya amnesia? Tapi kamu kan tahu, kita di kantor ini bisa sambil menyelam minum air?"Jidan mengerutkan