~ Sebagian manusia memang bisa super tega. Berbuat kesalahan besar, namun bersikap seolah tak berdosa~
Delia melihat ke arah kepalan tangan Jidan, dia malah tersenyum. Yakin sekali Delia, jika kepalan tangan itu hanya akan tetap menjadi kepalan tangan. Tidak akan berubah menjadi bogem mentah yang mendarat di wajahnya.
"Tolong! Kalian jangan mengira jika aku tidak terluka atau bahkan merasa dirugikan dengan semua kejadian itu. Aku juga dirugikan. Bahkan bisa dibilang menderita. Sayangnya aku memilih untuk tetap menjalani hidup dengan sebaik mungkin."
"Kamu enggak perlu sok jadi korban. Jelas-jelas di sini kamu penjahatnya. Kalau kamu tidak menggoda Danar, ini semua tidak akan terjadi. Dan Sagita pasti akan baik-baik saja."
"Bodoh!" Delia berkata dengan kasar.
"Eh! Apa maksud kamu bilang kami bodoh?
~Setiap masalah pasti ada solusinya~"Ceraikan Sagita dan nikahi Delia." Jidan berkata dengan keyakinan penuh. Yoga yang mendengar itu sekali lagi terbatuk-batuk."Tidak! Aku tidak akan menceraikan Sagita." Danar sontak membantah solusi dari Jidan."Lalu? Kamu mau terus sama Sagita? Pertanyaanku apa Sagita mau untuk terus jadi istri kamu?""Dengar Jidan! Saat ini Sagita memang belum memaafkanku. Namun hanya belum. Besok-besok kalau hatinya sudah tenang, dia pasti memaafkanku. Pasti. Dan Delia? Dia cantik. Meskipun tidak perawan lagi, masih banyak pria baik di luar sana yang mau menerimanya.""Lihatlah temanmu ini Yoga! Kau ingat? Kemarin itu dia bilang jika dia dan Delia tidak macam-macam. Sekarang di depan kita, dia sendiri yang mengaku jika dia sudah mengambil keperawanan Delia. Kurang brengsek apa coba?""Cukup Jidan! Itu solusi terbaik. Terserah kamu mau bilang aku brengsek atau apa. Aku tidak peduli. Mau dibilang brengsek 1000
~Sebuah cerita, sebuah pencerahan. Sebuah cerita, sebuah kesempatan. Kesempatan untuk mengambil pelajaran~Cika dan Risa tinggal di sebuah rumah kontrakan yang jelas cukup luas jika ditinggalin dua orang saja. Ada 4 kamar tidur, sebuah ruang tamu, dapur, teras dan bahkan perkarangan belakang yang cukup luas. Sagita menarik napas dalam-dalam. Sudah ada rencana dalam kepala Sagita Tetang apa yang akan dia lakukan di rumah ini. Lebih dekat pada Tuhan.Sagita ingin menghabiskan waktunya untuk beribadah. Dengan demikian hatinya akan menjadi lebih tenang. Sagita tengah duduk menghadap ke halaman belakang rumah.Cika dan Risa jelas punya selera dekorasi yang baik. Perkarangan ini sangat nyaman. Rumput hijau bagai permadani dan ada banyak rumput gantung yang menjuntai dari atas atap. Semuanya tertata rapi dan bersih."Semoga Kakak suka ya sama tempat ini. Semoga betah juga." Cika menepuk pundak Cika."Iya. Kalian kuliah yang baik ya. Jangan
~Bunga memang indah, namun seindah-indahnya bunga, bunga tidak sepenuhnya sanggup menyembuhkan hati yang patah~Sudah satu pekan, rumah Cika dan Risa dibanjiri pake buket bunga. Bukan. Bukan untuk Cika dan Risa. Dua gadis cantik ini meskipun jomblo tetap tidak ada yang mengirimi bunga. Semua bunga itu diperuntukkan seorang Sagita. Dan siapa lagi pengirimnya jika bukan Danar?"Bunga apa hari ini?" tanya Cika pada Risa yang sedang sibuk memasak di dapur."Bunga tulip," jawab Risa singkat."Mawar udah, anggrek udah, edelweis udah, dahlia, krisan, lantana, kayaknya semua udah. Curiga aku Ris. Jangan-jangan besok Mas Danar kirimnya bunga bangkai raflesia arnoldi." Cika tertawa kecil sambil tangannya tetap mengaduk sayur."Kak Sagita udah selesai mandi?""Belum Ris.""Aku rasa mau bunga apapun yang dikirimkan sama Mas Danar, tetap enggak akan ngaruh. Kak Sagita kemaren udah ngomong sama aku, bakal tetep mau cerai sama Mas Danar."
~Mengancam bukan jalan yang baik, namun bagi orang-orang yang terdesak, ancaman terkadang ampuh~Danar melangkah gontai masuk ke dalam rumah. Perasaan hatinya masih tidak menentu. Selama dia belum mendapat maaf dari Sagita, selama itu juga hatinya tidak tenang. Danar lapar, ia segera menuju ke dapur. Aroma bumbu ayam goreng kalasan tercium dari arah dapur. Hal itu membuat perut Danar yang lapar semakin lapar. Ibunya pasti memasak ayam kalasan."Kamu sudah pulang?"Danar menghentikan langkahnya. Baru saja dia melewati ruang tengah, sebuah suara yang tidak asing terdengar olehnya. Begitu Danar menoleh ke belakang, jantungnya terasa seperti ingin berhenti."Del, Delia, kamu ngapain di sini?" tanya Danar setengah panik."Kenapa kamu panik Danar? Jangan panik seperti itu. Aku datang baik-baik. Ibu sama bapak kamu yang tadi mengizinkan aku untuk menunggu kamu di dalam rumah ini. Padahal mereka sendiri sedang pergi ke tempat tetangga kamu yang la
~orang yang benar, terkadang memang selalu disalahkan~"Kak Git. Ada yang nyariin tuh! Kak Jidan di depan." Risa berkata pada Sagita."Loh! Aku enggak dicariin?" Cika menyela."Ngapain nyariin kamu Cika. Kak Jidan sekarang urusannya sama Kak Sagita. Bukan sama kita.""Iya Cika. Kakak memang yang menghubungi Kak Jidan. Kakak mau minta bantuan Kak Jidan. Bantu urusin pengajuan cerai kakak."Cika dan Risa terdiam. Jelas itu bukan masalah sepele. Mereka tidak berani lagi berkomentar. Sagita keluar kamar bergeges menemui Jidan. Dia meninggalkan Risa dan Cika."Itu di tangan kamu apa?" tanya Cika pada Risa."Martabak.""Dari Kak Jidan.""Iya.""Martabak kacang? Kesukaan aku?""Iya. Kenapa? Kamu ma
~Cinta adalah benda tak kasatmata, namun tetap bisa disadari adanya~"Sini! Saya kasih tau semua perbuatannya Danar, Tante."Ibu dan bapaknya Danar memasang telinga baik-baik. Bahkan mereka lebih mendekatkan posisi berdirinya ke arah Jidan."Danar! Danar telah selingkuh. Om, Tante. Kalian harus tau perbuatan anak kesayangan kalian itu.""Apa? Tidak mungkin." Ibu Danar menyangkal."Terserah, Om dan Tante mau percaya atau tidak. Tapi itulah faktanya. Itulah kenyataannya. Suka atau tidak suka, Om dan Tante harus terima. Saya, Yoga dan dua teman perempuan kami jadi saksi matanya.""Halah! Bohong aja kamu Jidan. Kamu yang selingkuh dengan Sagita, malah balik nuduh Danar yang selingkuh. Kamu kalau iri sama Danar bilang saja.""Iri? Maaf Tante. Saya tidak pernah iri apalagi ingin mengusik hidup Danar. Saya bicara apa adanya. Dan Tante tau? Danar selingkuh dengan siapa? Delia Tante. DE-LI-A. Perempuan yang barusan Tante bangga-ba
~Carilah makan, minimal makan untukmu sendiri. Jangan mudah berpangku tangan~"Cantik, sepertinya pinter juga. Saya suka. Tapi meskipun dapet rekomendasi dari kamu, dia wajib lulus tes dulu loh." Bos Don berkat pada Jidan. Matanya memperhatikan Sagita dari dalam ruangan kacanya. Ruangan kaca yang sengaja didesain agar dia bisa melihat ke arah luar dengan jelas, sedangkan orang yang dari luar tidak bisa melihat ke arah dalam."Tapi ada satu yang kurang, Jidan.""Apa, Pak?" tanya Jidan dengan penasaran. Hari ini dia membawa Sagita ke kantornya untuk melamar pekerjaan baru."Tidak seksi. Apa kamu tidak bisa mencari yang agak sedikit hot gitu? Yang roknya agak-agak segini?" Bos Don menggerak-gerakkan jarinya di atas paha."Inget binik di rumah Pak." Jidan berkata dengan ketus."Hei! Saya inget kalau sama binik. Kamu kira saya amnesia? Tapi kamu kan tahu, kita di kantor ini bisa sambil menyelam minum air?"Jidan mengerutkan
~Bos adalah bos. Terserah seorang bos mau tanya apa~"Jadi nama kamu Sagita ya?" Bos Don bertanya pada Sagita. Senyumnya membuah Sagita resah."Iya Pak!""Bisa komputer?""Bisa Pak! Bisa Microsoft, bisa juga edit-edit sama beberapa perangkat lunak lainnya.""Iya. Jidan juga udah cerita. Ah, kalau kamu diterima, kerjanya gampang. Cuman ngurusin berkas aja, yang penting teliti dan rapi. Entar kerjanya bareng Jidan.""Iya Pak.""Kenapa kamu malah cari kerja, kenapa enggak cari suami aja? Kan, enak gitu loh! Ada yang carikan makan. Enggak perlu repot-repot cari makan sendiri."Sagita tercekat. Bagaimana mungkin bos yang satu ini tidak tahu jika Sagita sudah punya suami? Itu artinya Bos Don belum membaca CV milik Sagita."Sa, sa, saya sudah punya suami Pak.""Apa? Loh! Bukannya masih gadis?"Sagita menggeleng. Bos Don mengerutkn dahinya. Pikirannya menerawang. Dia berpikir jika Sagita itu istimewa bagi
~Setiap cerita selalu memiliki akhir, entah itu akhir yang menyenangkan atau menyedihkan. Apapun akhir ceritanya, sebuah cerita tetaplah cerita. Itu adalah alur terbaik untuk setiap tokohnya~Gaun putih itu memang cantik. Namun tetap saja kecantikannya bertambah berkali-kali lipat karena digunakan oleh Sagita. Risa dan Cika juga tidak kalah cantik, mereka ada di barisan paling depan sebagai pagar ayu. Di sisi seberang sana juga tidak kalah luar biasanya. Ada pagar bagus yang dipimpin oleh Dino dan Doni. Ini adalah hari pernikahan Sagita dan Jidan.Pernikahan mereka memang sempat tertunda selama beberapa Minggu hingga Sagita benar-benar bisa pulih. Namun begitu bisa pulih, Sagita dan Jidan langsung menyelenggarakan pernikahan di kebun milih Jidan."Kamu cantik Sagita." Jidan berbisik pada Sagita yang ada di sebelahnya. Mereka sesaat lagi akan sah menjadi suami istri. Tuan penghulu sudah ada di depan Jidan dan siap menjabat tangan Jidan. Jidan
~Dosa paling mengerikan yang dilakukan manusia adalah membunuh sesamanya sendiri~"Sagita..." Jidan memanggil Sagita. Sagita berusaha untuk membuka matanya pelan-pelan. Bagaimanapun ceritanya obat bius itu masih bekerja. Sagita melihat Jidan di depannya, dengan senyum mengembang dan mata yang berkaca-kaca."Kak," Sagita berkata lemah.Yoga, Dino dan Doni menarik napas lega. Satu kabar baik terbit. Sagita sudah sadar dan dokter bilang jika ia akan baik-baik saja. Hanya saja memang Sagita butuh waktu untuk bisa pulih."Terima kasih banyak Sagita. Terima kasih banyak kamu sudah bertahan." Jidan berkata pada Sagita sambil menatap mata Sagita lekat-lekat. Sungguh pandangan mata itu sangat romantis."Apa aku ada di surga?" Sagita bertanya pada sekitarnya."Ini masih di dunia Sagita. Ini masih di dunia. Ini masih di dunia yang sama tempat dimana orang-orang tega memperlakukan kamu dengan kejam. Walau aku berusaha me
~Dalam gelap sekalipun akan tetap ada cahaya harapan walau hanya setitik~Gelap, Sagita hanya melihat gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia hanya bisa mendengar duru napas dan detak jantungnya. Sagita pasrah, ia merasa mungkin kini ia telah mati. Ia merasa jika ia hanya tinggal mendengar malaikan Izrail berseru. Benar saja, beberapa saat kemudian, Sagita melihat cahaya putih. Cahaya itu terang dan terasa lembut mengenai mata, tidak menyilaukan sama sekali. Cahaya itu mendekati Sagita, seolah punya kaki. Lalu cahaya terang tersebut menggumpal dan membentuk wajah dan tubuh manusia. Sagita menarik napas dalam-dalam. Ia seperti itu wajah siapa."Ayah, Ibu." Sagita memanggil nama itu. Cahaya itu menjelma menjadi wajah ayah dan ibunya Sagita. Kedua cahaya itu saling pandang dan lalu merentangkan tangannya ke arah Sagita. Sagita tersenyum dan berusaha untuk bangkit menyambut cahaya itu. Sudah lama ia menahan rindu pada ayah dan ibunya. Sudah lama seka
~Manusia dari zaman ke zaman tetap seperti itu tabiatnya, mereka saling menyakiti satu sama lain~Rumah itu cek. Jidan, Yoga dan yang lain memerika rumah itu dengan cermat. Hancur hati Jidan begitu melihat ada darah di lantai. Ia ngeri membayangkan bagaimana jika ternyata itu adalah darah Sagita."Jendela ini dibuka paksa dari luar. Itu artinya Sagita pasti melarikan diri lewat jendela ini. Hei, mereka menemukan jejak di sebalah sana. Ayo kita ikuti jejak itu dan mulai mencari dimana keberadaan Sagita. Kalian jangan ada yang tangan kosong. Bawa minilam pisau. Dan jangan jauh-jauh dari polisi karena mereka punya senjata. Kita tidak pernah tahu apa yang dibawa oleh Danar. Bisa jadi Danar memiliki senjata api. Dan itu bisa membahayakan kita semua. Kamu juga jangan gegabah Jidan. Jangan karena menuruti rasa khawatir kamu lalu kamu jadi lemah." Yoga memberikan pengarahan panjang lebar. Dan semua orang segera menuju ke arah jejak yang dikatakan oleh Yo
~Menyelamatkan seseorang dari bahaya adalah sebuah kebaikan besar~Hujan deras turun disertai angin kencang. Hal ini membuat perjalanan Jidan dan semua tim penyelamat untuk Sagita benar-benar terhambat. Yoga mau tidak mau bahkan harus mengurangi kecepatan mobilnya. Apalagi saat ini mereka melalui jalan yang berkelok-kelok dan kanan kirinya berbatasan dengan jurang."Kita harus lebih cepat Yoga." Jidan mendesak."Lebih cepat bagaimana? Mobil Doni yang ada di depan kita saja mengurangi kecepatan. Kamu enggak liat apa hujan segini derasnya? Jarak pandang terbatas Jidan. Kita memang akan menyelamatkan Sagita tapi bukan berarti kita yang jadi tidak selamat. Tenanglah!""Bagaimana aku bisa tenang membayangkan Sagita kehujanan di luar sana. Dengan hujan sederas ini dan tanpa tahu apa yang sedang ia hadapi sekarang. Bagaimana aku bisa tenang?""Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Apa hikmah di balik ini semua ya Allah. Per
~Mau tidak mau, suka tidak suka, rasa luka memang sakit~Danar mendengar suara panggilan dari bapak dan ibunya. Ia menuju ke sumber suara itu. Dan mendapati bapak dan ibunya yang tengah ketakutan. Danar justru menggelengkan kepala. Melihat ada Danar di bawah sana, Sagita semakin takut. Ia berpegangan dengan erat pada batang pohon dengan kuat."Pak Bu. Ngapain di sini? Kenapa malah cuman duduk, bukan malah bantu Danar cari Sagita. Apaan sih? Kalian enggak mau Sagita cepat ketemu apa?""Aduh Danar. Bapak ini bukan enggak mau bantu kamu. Kami tentu mau bantu kamu. Tapi lihat cuaca saat ini! Kamu lihat tidak. Hujan akan turun. Kita belum tentu bisa menemukan Sagita. Justru sebaliknya, kita bahaya saat ada di hutan hujan deras begini. Kita sebaiknya balik ke rumah Nak. Itu saran Bapak.""Apa? Balik tanpa hasil? Tidak Pak. Buruanku masih ada di luar sini. Justru cuaca yang seperti ini sangat menguntungkan kita. Sagita tidak akan b
~Berdoalah untuk kebaikan jangan untuk kejahatan~"Seberapa genting situasinya?" Yoga bertanya pada Jidan."Tadi Doni menjelakan. Katanya mereka dikejar dengan senjata dan orang yang mengejar mereka adalah Danar. Jelas sudah jika prediksi kita benar, Danar bedebah itu adalah dalang dari semuanya.""Apa aku bilang Jidan? Tidak mungkin salah lagi. Jadi apa si Arif temannya Doni itu bisa kembali dihubungi?""Tidak. Handphonennya mati.""Ah, sial. Mereka mungkin sengaja mematikan handphonenya karena sedang bersembunyi atau apa. Apa temannya Doni sendiri?""Iya. Dia sendiri. Terpisah dari rombongannya.""Hmmm. Mereka harus bertahan sendiri. Kita akan butuh waktu untuk bisa sampai ke sana tepat waktu. Tempat itu cukup jauh Jidan. Danar terlalu pintar mencari tempat yang susah dijangkau. Belum lagi kita harus jalan kaki ke dalamnya."Jidan mengangguk. Perjalanan mereka memang akan sangat
~Siapkan senjata terbaikmu, saat berada dalam bahaya~Danar berang. Tadi begitu tahu Sagita sudah tidak di tempatnya ia segera membangunkan ibu dan bapaknya. Danar merasa kecolongan. Ia tahu jika Sagita tidak mungkin bisa lolos sendiri. Siapapun yang membanti Sagita bagi Danar harus diberi pelajaran."Haduh bagaimana ini Danar? Kenapa bisa kita kecolongan? Siapa yang membantu Sagita? Kok bisa anak itu keluar dari rumah bahkan tanpa kita tahu? Pasti sudah ada yang bantu? Apa Jidan yang menemukan? Apa Yoga? Apa jangan-jangan polisi?""Tenanglah Bu. Kita harus mencari. Ibu dan Bapak ke arah sana dan saya akan cari ke arah sana. Kita harus menemukan Sagita. Siapapun yang membantu Sagita, tampaknya dia sendirian. Buktinya dia tidak berani menyerang kita dan hanya fokus menyelamatkan Sagita. Tapi kita harus waspada, sepertinya dia punya senjata atau bahkan sesuatu yang bisa dibuat untuk menghajar kita. Lihat saja dia bisa dengan mudah
~Terkadang orang asing juga bersedia membntu~"Dino, bangun, bangun Dino!" Doni membangunkan Dino yang sedang tertidur lelap. Dino yang merasa sangat mengantuk dan lelah karena mencari Sagita seharian tersentak mendengar jeritan dari Doni."Ada apa Don? Ada apa? Ada gempa? Kebakaran? Atau apa? Hah? Ada apa?""Kak Sagita. Arif menemukan Kak Sagita. Kita harus ke sana. Ke tempat mereka. Cepat, Din.""Arif? Arif mana? Arif siapa? Hah?""Arif. Teman aku yang polisi hutan itu. Dia menemukan Sagita di hutan. Di salah satu rumah yang ada di hutan. Katanya kondisinya cukup mengenaskan.""Apa? Mengenaskan? Tapi Kak Sagita masih hidupkan?""Masih. Masih hidup. Tapi lemah. Mungkin sudah lebih dulu disiksa. Kita harus segera memberi kabar ini pada Kak Jidan, Risa dan yang lainnya. Jadi ayo kamu harus bangun. Kita harus bergerak cepat."Doni langsung menuju ke garasi mobil. Dino ke kamar mandi