“Duh, ini gimana sih, masih ada debunya, Reza! Gimana ini istri kamu ngebersihinnya? Kayak gak dibersihkan aja. Apa jangan-jangan gak dibersihkan sama sekali?” tanya Eneng kepada Reza seraya menyapu atas TV dengan jari telunjuknya, lalu dilihat dengan mata kepalanya sendiri, ditiupnya, masih ada debu atau tidak yang menempel, dan ternyata memang masih ada debu yang menempel pada jarinya, itu artinya Nisa tidak apik membersihkan rumah.
“Gak tahu, Bun, dibersihkan atau gaknya kemarin, mungkin udah kena debu lagi aja, kan di sini dekat jalan banget, makanya cepat kotor,” jawab Reza kepada Bundanya dengan alasan lain, mencoba untuk melindungi istrinya, namun setengah hati. Sebab memang pada nyatanya, Nisa tidak membersihkan rumah selama dua minggu, selama ini ia hanya mengepel dan menyapu saja, karena memang ia pun sedang sibuk dengan proposal thesisnya. “Alah, kamu gak usah membela istrimu itu, Reza! Bunda tahu bagaimana perbedaannya yang baru saja dibersihkan dan ya“Udah kamu puasin aja dulu makannya di sini, daripada di rumah sana makan hanya dikasih tahu dan tempe aja sama Nisa.” Eneng masih saja terbawa emosi kepada menantunya itu perihal kebersihan rumah dan makanan untuk anaknya.“Iya, Bun, masakan Bunda emang selalu buat kangen aku, dan enak banget, gak ada tandingannya,” jawab Reza seraya terus mengunyah makanan di mulutnya, soto ayam dengan kuah bening, menjadi menu andalan orang tuanya.Meski demikian, masakan Eneng memang enak dan lezat, Nisa pun mengakui hal demikian, dan sering memuji masakan ibu mertuanya.“Ya jelaslah masakan Bunda enak, apalagi kalau dibandingkan dengan masakan Nisa yang memang gak pernah masak. Bunda lihat di kulkas pun tadi sama sekali gak ada bumbu-bumbu, hanya ada bawang merah dan putih aja, apa memang istrimu itu gak suka masak, Reza?” Eneng kembali punya celah untuk mengomentari Nisa.“Gak tahu, Bun, kan aku gak pernah lihat isi kulkas juga, kalau masak, ya paling masak telur, temp
“Mobil, Bu? Dikasih mobil sama si Bunda gitu?” tanya Nisa lagi meyakinkan pertanyaan ibunya mengenai mobil.Nisa hanya mengernyitkan dahinya saja tak percaya dengan apa yang didengar olehnya. Kenapa Bu Wawat bisa sampai seperti itu melebih-lebihkan.‘Apa jangan-jangan juga udah banyak gossip lain lagi yang lebih parah, duh,’ ucap Nisa dalam hatinya merasa ngeri karena sudah salah masuk ke dalam sebuah keluarga, akan tetapi bagaimana pun, tetap saja itu adalah keluarga suaminya.Lelaki yang ia inginkan untuk menjadi suami pertama dan terakhirnya di dunia ini, layaknya seorang wanita pada umumnya, pastinya hanya ingin pernikahan terjadi sekali saja dalam seumur hidupnya.“Emang benar kalau kamu dikasih mobil sama mertuamu itu?” tanya Bu Aisyah lagi kepada Nisa.“Kalau kami dikasih mobil, tentunya itu buat anaknya, Bu, bukan buat Nisa, tapi kan kemarin Nisa hujan-hujanan berangkat dari rumah ke stasiun juga pakai motor.” Nisa menjawab seadanya, ia tak ing
“Kamu harus banyak olah raga, yank, supaya bisa kuat, dan kurangi juga makan nasinya. Kan kamu kerjanya hanya duduk aja, kalori yang masuk gak sepadan dengan aktivitas kamu,” tutur Nisa kepada suaminya itu ketika ia menemani Reza yang sedang menyantap makan malamnya.Raut wajahnya kini mulai berubah lagi, seolah tidak suka dengan apa yang dikatakan oleh Nisa mengenai hal dirinya untuk olah raga dan mengurangi makannya.‘Apaan sih bawa-bawa olah raga dan mengurangi makan juga,’ gerutu Reza dalam hati.“Kalau aku kurang makan, nanti kata si Bunda akan sakit, Nis,” sahut Reza sekenanya saja, dan selalu membawa nama Bundanya di setiap pembahasan mereka. Terlebih karena memang ia sendiri tidak rela jika harus mengurangi porsi makannya.“Sakit apanya? Kamu itu kebanyakan makan nasi, lihat deh perutmu itu buncit kayak orang hamil aja! Katanya itu salah satu tanda kenapa kamu gak tahan lama juga, EDI (Ejakulasi Dini) gimana mau ngejebolin kalau kamunya aja gak tahan
“Hiks hiks hiks.” Tiba-tiba saja, keluar buliran bening dari matanya Nisa yang sejak tadi ia tahan, akan tetapi tetap saja ia tidak bisa membendungnya lebih lama lagi, wanita muda itu kini lari menuju ke kamarnya, meninggalkan Reza yang masih ada di ruang tengah itu dengan penuh tanda tanya.“Loh, sayang, kamu kenapa?” tanya Reza setengah berteriak, akan tetapi tidak ada jawaban dari Nisa, ia tetap lari menuju kamar dengan keadaan hati yang terluka.‘Kenapa sih Nisa? Kok dikit-dikit nangis, dikit-dikit nangis, bingung aku harus gimana sama kamu,’ ucap Reza dalam hatinya, ia pun kini mulai bangkit dari duduknya, menuju dapur untuk meletakkan piring kotor.Sementara itu Nisa di kamar sudah tersedu sedan, lidahnya kelu, tak bersuara lagi, selain suara isak tangis padanya, entahlah mulutnya itu yang tadi banyak mengeluarkan kalimat kepada suaminya, seolah terkunci begitu saja.“Sayang, kamu kenapa sih? Kok jadi nangis gitu?” tanya Reza lembut kepada Nisa yang ki
“Bagaimana, Nis? Kamu mau kan minta maaf sama si Bunda? Supaya rumah tangga kita ini selalu aman kalau atas restu orang tua,” desak Reza lagi kepada Nisa.Nisa mengerutkan keningnya ketika mendengar ucapan suaminya itu, ‘restu orang tua’ padahal masalahnya hanya karena pekerjaan rumah dan kebutuhan hidup saja, kenapa malah menjadi melebar ke mana-mana.“Kan kamu selalu bilang kalau ingin pernikahan cukup satu kali seumur hidup, sama, aku juga pengin satu kali aja seumur hidup, makanya kita harus jaga, ya,” tutur Reza lagi, yang kini malah menasihati Nisa untuk menjaga pernikahannya.Padahal yang seharusnya menjaga rumah tangga adalah Reza sendiri sebagai kepala rumah tangga, terlebih masalah utamanya ada pada Bundanya yang selalu ikut campur.Nisa menghela nafasnya panjang, lalu diembuskannya lagi, sebelum akhirnya ia memutuskan dengan terpaksa.“Ya udah kalau begitu, demi rumah tangga kita, aku mau minta maaf sama si Bunda.” Nisa memasang wajah terpak
“Tuh, kan? Apa kataku juga, Nis! Pasti si Bunda akan cepat baik lagi kalau kitanya mau minta maaf dan melakukan apa yang dia mau,” seru Reza ketika keduanya sudah berada di rumah, ya sudah pulang dari rumah Eneng, mertua Nisa.Akan tetapi kini Nisa masih merenung saja sejenak, entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini, ia hanya merasa bahwa beban hidupnya kini malah bertambah berat, padahal niatnya menikah dengan tujuan agar bisa berbagi beban hidup.Tapi faktanya malah menambah saja, karena Nisa melakukan semua pekerjaan rumah hanya seorang diri, wajib atas perintah Ibu mertuanya.“Masa aku harus minta maaf aja sih, meskipun gak salah,” cerocos Nisa, sedikit mengganjal dengan apa yang dikatakan oleh suaminya itu.“Iyalah, Nis! Kan si Bunda itu adalah orang tua kita, dan kita berdua ini adalah sebagai anak, dituntut harus berbakti, harus mengikuti apa yang diperintahkan olehnya, gak usah membantah, jangan durhaka nantinya masuk neraka!” Reza ber
“Duh, iya, ya! Belum juga ada setahun, menantu kita itu udah buat Bunda jantungan aja, Yah. Eh, jangankan setahun ketika awal persiapan mau nikah saja udah buat Bunda jantungan,” balas Eneng lagi, bahkan kini lebih parahnya mengatakan bahwa Nisa sudah membuat penyakit jantungnya kumat, sesaat ketika persiapan pernikahan.“Eh, iya, ya, karena masalah undangan itu! Nisa memang keras kepala, padahal kita sudah menjelaskan sebelumnya bahwa kita gak mengundang teman-teman kita, tapi eh dia malah posting di Facebook, lalu pake tag Bunda segala, kan kita jadi gak enak ke teman-teman,” sahut Toni teringat kembali dengan kejadian sebelum pernikahan.Eneng menghela nafasnya panjang, seolah Nisa memang adalah beban berat baginya, padahal ia sudah habis-habisan membeli rumah untuk ditempat oleh Nisa.“Berarti rasa khawatir Bunda itu dulu jadi kenyataan, Yah pada Nisa? Dulu kan kita wanti-wanti juga agar kedepannya gak akan terjadi hal seperti dulu lagi dengan sikap keras kepa
“Dulu Reza itu selalu Bunda dan Ayah bawa ke pantai hampir setiap minggu ketika kecil, makanya sekarang kayaknya dia udah bosan banget, Nis.” Eneng sedang bernostalgia kepada Nisa di pesisir pantai.Ya hubungan keduanya kini sudah benar-benar membaik, bahkan Nisa diajak ke pantai bersama oleh mertuanya dan juga bersama adik iparnya.“Iya, Bun.” Nisa hanya mengiyakan saja, seraya tersenyum, sebab ia takut jika banyak bicara akan salah lagi di mata mertuanya itu.“Kok kamu hanya diam saja sih, Nis? Dari tadi hanya bilang iya, iya aja. Kenapa?” tanya Toni, ayah mertuanya yang memang sudah memperhatikan Nisa sejak tadi. “Eh, gak kok, Yah. Biasa aja, Nisa gak apa-apa,” jawab Nisa sedikit kaku.“Iya nih Reza! Istri kamu sejak tadi ngelamun aja, badannya juga sekarang kurusan, kayak orang gak bahagia aja, dan kurang makan,” celetuk Eneng lagi yang kini membuat Nisa semakin kaku berada di sana. Ingin sekali ia menjawab bahwa ia memang sedang kelelahan, dan bu