“Bagaimana, Nis? Kamu mau kan minta maaf sama si Bunda? Supaya rumah tangga kita ini selalu aman kalau atas restu orang tua,” desak Reza lagi kepada Nisa.
Nisa mengerutkan keningnya ketika mendengar ucapan suaminya itu, ‘restu orang tua’ padahal masalahnya hanya karena pekerjaan rumah dan kebutuhan hidup saja, kenapa malah menjadi melebar ke mana-mana. “Kan kamu selalu bilang kalau ingin pernikahan cukup satu kali seumur hidup, sama, aku juga pengin satu kali aja seumur hidup, makanya kita harus jaga, ya,” tutur Reza lagi, yang kini malah menasihati Nisa untuk menjaga pernikahannya. Padahal yang seharusnya menjaga rumah tangga adalah Reza sendiri sebagai kepala rumah tangga, terlebih masalah utamanya ada pada Bundanya yang selalu ikut campur. Nisa menghela nafasnya panjang, lalu diembuskannya lagi, sebelum akhirnya ia memutuskan dengan terpaksa. “Ya udah kalau begitu, demi rumah tangga kita, aku mau minta maaf sama si Bunda.” Nisa memasang wajah terpak“Tuh, kan? Apa kataku juga, Nis! Pasti si Bunda akan cepat baik lagi kalau kitanya mau minta maaf dan melakukan apa yang dia mau,” seru Reza ketika keduanya sudah berada di rumah, ya sudah pulang dari rumah Eneng, mertua Nisa.Akan tetapi kini Nisa masih merenung saja sejenak, entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini, ia hanya merasa bahwa beban hidupnya kini malah bertambah berat, padahal niatnya menikah dengan tujuan agar bisa berbagi beban hidup.Tapi faktanya malah menambah saja, karena Nisa melakukan semua pekerjaan rumah hanya seorang diri, wajib atas perintah Ibu mertuanya.“Masa aku harus minta maaf aja sih, meskipun gak salah,” cerocos Nisa, sedikit mengganjal dengan apa yang dikatakan oleh suaminya itu.“Iyalah, Nis! Kan si Bunda itu adalah orang tua kita, dan kita berdua ini adalah sebagai anak, dituntut harus berbakti, harus mengikuti apa yang diperintahkan olehnya, gak usah membantah, jangan durhaka nantinya masuk neraka!” Reza ber
“Duh, iya, ya! Belum juga ada setahun, menantu kita itu udah buat Bunda jantungan aja, Yah. Eh, jangankan setahun ketika awal persiapan mau nikah saja udah buat Bunda jantungan,” balas Eneng lagi, bahkan kini lebih parahnya mengatakan bahwa Nisa sudah membuat penyakit jantungnya kumat, sesaat ketika persiapan pernikahan.“Eh, iya, ya, karena masalah undangan itu! Nisa memang keras kepala, padahal kita sudah menjelaskan sebelumnya bahwa kita gak mengundang teman-teman kita, tapi eh dia malah posting di Facebook, lalu pake tag Bunda segala, kan kita jadi gak enak ke teman-teman,” sahut Toni teringat kembali dengan kejadian sebelum pernikahan.Eneng menghela nafasnya panjang, seolah Nisa memang adalah beban berat baginya, padahal ia sudah habis-habisan membeli rumah untuk ditempat oleh Nisa.“Berarti rasa khawatir Bunda itu dulu jadi kenyataan, Yah pada Nisa? Dulu kan kita wanti-wanti juga agar kedepannya gak akan terjadi hal seperti dulu lagi dengan sikap keras kepa
“Dulu Reza itu selalu Bunda dan Ayah bawa ke pantai hampir setiap minggu ketika kecil, makanya sekarang kayaknya dia udah bosan banget, Nis.” Eneng sedang bernostalgia kepada Nisa di pesisir pantai.Ya hubungan keduanya kini sudah benar-benar membaik, bahkan Nisa diajak ke pantai bersama oleh mertuanya dan juga bersama adik iparnya.“Iya, Bun.” Nisa hanya mengiyakan saja, seraya tersenyum, sebab ia takut jika banyak bicara akan salah lagi di mata mertuanya itu.“Kok kamu hanya diam saja sih, Nis? Dari tadi hanya bilang iya, iya aja. Kenapa?” tanya Toni, ayah mertuanya yang memang sudah memperhatikan Nisa sejak tadi. “Eh, gak kok, Yah. Biasa aja, Nisa gak apa-apa,” jawab Nisa sedikit kaku.“Iya nih Reza! Istri kamu sejak tadi ngelamun aja, badannya juga sekarang kurusan, kayak orang gak bahagia aja, dan kurang makan,” celetuk Eneng lagi yang kini membuat Nisa semakin kaku berada di sana. Ingin sekali ia menjawab bahwa ia memang sedang kelelahan, dan bu
“Nis, kok badan kamu kurus banget sih? Kayak kurang makan aja, atau emang ngebathin hidup sama mertuamu di sana?” celetuk salah seorang wanita paruh baya, ya kala itu Nisa mengantarkan pesanan skincare kepada temannya, dan yang berbicara tadi adalah kakak perempuannya.DEGNisa hanya diam saja, dan tersenyum, sebenarnya pertanyaan itu tidak perlu dijawab lagi karena lebih tepatnya orang itu bukan bertanya, tapi hanya butuh konfirmasi saja dari Nisa.“Kamu tidak usah menutupi dari kami, kami semua tahu kok kalau memang keluarga itu selalu ingin berkuasa, jangan-jangan kamu di sana selalu diatur gini gitu, ya?” desaknya lagi, dan membuat Nisa semakin tidak bisa berkutik saja, ia hanya bergeming saja dengan senyum getirnya.“Ihh, udah deh, Teh! Ngapain sih kepo aja sama masalah orang lain. Gak usah ikut campur deh!” Ayu, temannya Nisa, sekaligus yang memesan produknya kepada Nisa memperingatkan agar kakak perempuannya itu untuk tidak ikut campur masalah hidup o
[GAK USAH BAWA SUAMI KALAU EMANG GAK BISA MEMPERHATIKANNYA!!!]Sebuah pesan dengan tulisan capslock pada ponsel Nisa yang begitu menohok. Sontak Nisa pun yang masih berada di dalam kereta, seketika membelalakan matanya sejenak, ia baru saja menghadiri undangan salah satu temannya di kampung. Dengan cepat pula ia sama sekali tidak menggubris isi pesan tersebut, ia hanya akan membalasnya ketika sudah sampai di rumah nanti.Hujan masih turun di malam hari itu, terpaksa Nisa pun dan Reza berhujan ria menuju rumah menggunakan sepede motornya, yang disimpan di stasisun tersebut. “duh, hujanan lagi aja! Gimana sih kamu ini, padahal orang tuamu mobilnya tiga, tapi masih aja hujanan,” keluh Nisa kepada suaminya.Nisa hanya tidak tahan saja jika setiap hari pada musim penghujan ini ia selalu berhujan ria, selalu membawa baju ganti double untuk ke sekolah atau pun ke mana saja.“Ya, kan itu mobilnya si Bunda, Nis! Bukan punyaku, lagi pula ini motor pun da
“Yah, lihat deh! Si Nisa baru juga baikan sama Bunda, tapi udah buat gara-gara lagi aja!” Eneng mengeluh, mengaduh kepada suaminya, dengan wajah yang sudah masam, bersungut-sungut, menunjukkan rasa mood yang amat buruk baginya.Toni menghela nafasnya lagi, sebenarnya ia sendiri sudah sangat bosan mendengar keluhan istrinya mengenai Nisa, akan tetapi tetap saja, ia tidak bisa berkata banyak, sebab yang ada tentu saja ia akan kena marah lagi jika mengomentarinya.“Memangnya kenapa lagi, Bun?” tanya Toni kepada istrinya seraya mendekati istrinya itu, duduk di sampingnya dan membelai lembut pundak wanita di bawah 50 tahun tersebut.“Si Nisa ngajak Reza undangan ke kampungnya pake sandal. Tahu kan nanti gimana tanggapan orang-orang kampung itu, sudah pasti akan koment, ih si Reza anaknya haji Eneng, biasa aja kok pake sandal, bla bla bla….” Eneng berhenti sejenak, bernafas terlebih dulu karena ia pun butuh pasokan oksigen.Toni masih membelai lembut istrinya, ia
“Reza, Bunda mau agar kamu menceraikan Nisa,” ucap Eneng memutuskan kepada Reza, lantas lelaki itu langsung saja tersentak, dan tidak suka dengan keputusan Bundanya saat ini.“Lho kok gitu, Bun? aku gak mau kalau disuruh cerai sama Nisa, aku cinta sama dia, Bun. aku hanya ingin menikah hanya satu kali saja seumur hidup aku gak mau menikah dengan wanita lain lagi,” tolak Reza lagi kepada Bundanya, ya ini pertama kalinya Reza menolak atas permintaan Bundanya, padahal biasanya ia selalu taat dan patuh.Eneng hanya menghela nafasnya saja berat, ketika mendapati penolakan dari anaknya itu untuk menceraikan istrinya, yang sudah sangat jelas membuat hatinya sakit.“Tapi istri kamu itu selalu buat Bunda jantugan, Reza! Si Nisa ngelunjak sama orang tua, selalu aja membantah kalau dikasih tahu! Dan Bunda gak mau punya mantu seperti itu!” Eneng menjawab lagi dan menjelaskan bahwa ia tidak suka dengan Nisa.Toni yang mendapati anak dan istrinya itu berbeda pendapat pun
“Eh, Bu Ri. Bu Nisa baik-baik aja, kan?” tanya Deden tiba-tiba saja kepada Riri mengenai Nisa. Seketika Riri yang ditanya pun langsung mendongak, dengan kening sedikit berkerut, tidak mengerti maksud Deden sebenarnya.“Baik-baik gimana maksudnya, Pak Den?” tanya Riri mengeluarkan rasa tidak mengertinya kepada lelaki yang berusia 32 tahun tersebut.“Ya, itu maksud saya, Bu Nisa semakin kurus aja sekarang, dan kayaknya wajahnya itu layu banget, kayak yang lelah gitu, apa dia baik-baik aja?” Deden menjelaskan maksud dan tujuannya kepada Riri, yang dianggap sebagai sahabat dekat Nisa, yang menurut Deden sudah pasti tahu akan keadaan Nisa apa pun itu.Riri diam sejenak, mencoba mencerna ucapan rekan kerjanya itu, wanita itu kini hanya menghela nafasnya saja pelan, sebelum akhirnya mengeluarkan suara.“Saya juga gak tahu jelas bagaimana keadaan Nisa saat ini, Pak Den. Saya gak enak kalau tanya masalah pribadinya, kecuali dia yang berceritta sendiri seperti masalah