“Nis, kok badan kamu kurus banget sih? Kayak kurang makan aja, atau emang ngebathin hidup sama mertuamu di sana?” celetuk salah seorang wanita paruh baya, ya kala itu Nisa mengantarkan pesanan skincare kepada temannya, dan yang berbicara tadi adalah kakak perempuannya.
DEG Nisa hanya diam saja, dan tersenyum, sebenarnya pertanyaan itu tidak perlu dijawab lagi karena lebih tepatnya orang itu bukan bertanya, tapi hanya butuh konfirmasi saja dari Nisa. “Kamu tidak usah menutupi dari kami, kami semua tahu kok kalau memang keluarga itu selalu ingin berkuasa, jangan-jangan kamu di sana selalu diatur gini gitu, ya?” desaknya lagi, dan membuat Nisa semakin tidak bisa berkutik saja, ia hanya bergeming saja dengan senyum getirnya. “Ihh, udah deh, Teh! Ngapain sih kepo aja sama masalah orang lain. Gak usah ikut campur deh!” Ayu, temannya Nisa, sekaligus yang memesan produknya kepada Nisa memperingatkan agar kakak perempuannya itu untuk tidak ikut campur masalah hidup o[GAK USAH BAWA SUAMI KALAU EMANG GAK BISA MEMPERHATIKANNYA!!!]Sebuah pesan dengan tulisan capslock pada ponsel Nisa yang begitu menohok. Sontak Nisa pun yang masih berada di dalam kereta, seketika membelalakan matanya sejenak, ia baru saja menghadiri undangan salah satu temannya di kampung. Dengan cepat pula ia sama sekali tidak menggubris isi pesan tersebut, ia hanya akan membalasnya ketika sudah sampai di rumah nanti.Hujan masih turun di malam hari itu, terpaksa Nisa pun dan Reza berhujan ria menuju rumah menggunakan sepede motornya, yang disimpan di stasisun tersebut. “duh, hujanan lagi aja! Gimana sih kamu ini, padahal orang tuamu mobilnya tiga, tapi masih aja hujanan,” keluh Nisa kepada suaminya.Nisa hanya tidak tahan saja jika setiap hari pada musim penghujan ini ia selalu berhujan ria, selalu membawa baju ganti double untuk ke sekolah atau pun ke mana saja.“Ya, kan itu mobilnya si Bunda, Nis! Bukan punyaku, lagi pula ini motor pun da
“Yah, lihat deh! Si Nisa baru juga baikan sama Bunda, tapi udah buat gara-gara lagi aja!” Eneng mengeluh, mengaduh kepada suaminya, dengan wajah yang sudah masam, bersungut-sungut, menunjukkan rasa mood yang amat buruk baginya.Toni menghela nafasnya lagi, sebenarnya ia sendiri sudah sangat bosan mendengar keluhan istrinya mengenai Nisa, akan tetapi tetap saja, ia tidak bisa berkata banyak, sebab yang ada tentu saja ia akan kena marah lagi jika mengomentarinya.“Memangnya kenapa lagi, Bun?” tanya Toni kepada istrinya seraya mendekati istrinya itu, duduk di sampingnya dan membelai lembut pundak wanita di bawah 50 tahun tersebut.“Si Nisa ngajak Reza undangan ke kampungnya pake sandal. Tahu kan nanti gimana tanggapan orang-orang kampung itu, sudah pasti akan koment, ih si Reza anaknya haji Eneng, biasa aja kok pake sandal, bla bla bla….” Eneng berhenti sejenak, bernafas terlebih dulu karena ia pun butuh pasokan oksigen.Toni masih membelai lembut istrinya, ia
“Reza, Bunda mau agar kamu menceraikan Nisa,” ucap Eneng memutuskan kepada Reza, lantas lelaki itu langsung saja tersentak, dan tidak suka dengan keputusan Bundanya saat ini.“Lho kok gitu, Bun? aku gak mau kalau disuruh cerai sama Nisa, aku cinta sama dia, Bun. aku hanya ingin menikah hanya satu kali saja seumur hidup aku gak mau menikah dengan wanita lain lagi,” tolak Reza lagi kepada Bundanya, ya ini pertama kalinya Reza menolak atas permintaan Bundanya, padahal biasanya ia selalu taat dan patuh.Eneng hanya menghela nafasnya saja berat, ketika mendapati penolakan dari anaknya itu untuk menceraikan istrinya, yang sudah sangat jelas membuat hatinya sakit.“Tapi istri kamu itu selalu buat Bunda jantugan, Reza! Si Nisa ngelunjak sama orang tua, selalu aja membantah kalau dikasih tahu! Dan Bunda gak mau punya mantu seperti itu!” Eneng menjawab lagi dan menjelaskan bahwa ia tidak suka dengan Nisa.Toni yang mendapati anak dan istrinya itu berbeda pendapat pun
“Eh, Bu Ri. Bu Nisa baik-baik aja, kan?” tanya Deden tiba-tiba saja kepada Riri mengenai Nisa. Seketika Riri yang ditanya pun langsung mendongak, dengan kening sedikit berkerut, tidak mengerti maksud Deden sebenarnya.“Baik-baik gimana maksudnya, Pak Den?” tanya Riri mengeluarkan rasa tidak mengertinya kepada lelaki yang berusia 32 tahun tersebut.“Ya, itu maksud saya, Bu Nisa semakin kurus aja sekarang, dan kayaknya wajahnya itu layu banget, kayak yang lelah gitu, apa dia baik-baik aja?” Deden menjelaskan maksud dan tujuannya kepada Riri, yang dianggap sebagai sahabat dekat Nisa, yang menurut Deden sudah pasti tahu akan keadaan Nisa apa pun itu.Riri diam sejenak, mencoba mencerna ucapan rekan kerjanya itu, wanita itu kini hanya menghela nafasnya saja pelan, sebelum akhirnya mengeluarkan suara.“Saya juga gak tahu jelas bagaimana keadaan Nisa saat ini, Pak Den. Saya gak enak kalau tanya masalah pribadinya, kecuali dia yang berceritta sendiri seperti masalah
Bukan hanya Nisa saja yang tersentak, bahkan Deden pun kini ikut tersentak mendengar ucapan Riri demikian, karena tentu saja Deden yang tinggal berbeda kecamatan dengan Nisa tidak akan tahu dengan permasalahan dan sifat angkuh keluarga mertunya Nisa.Sedangkan Riri? Tentu saja, ia pasti sudah mendengar rumor yang tersebar di kampungnya itu mengenai Nisa dan mertuanya. Sudah banyak sekali desas desus bahwa Nisa diatur oleh mertuanya sehingga menjadikan Nisa membathin, kurus badannya.‘Ah, pasti Riri sudah tahu dengan gossip yang tersebar juga di kampung, duh emang, ya mulut tetangga di kampung itu lebih pedas dari pada cabe setan!’ seru Nisa di dalam hatinya.“Maaf, ya, Nis! Aku hanya ingin memastikan saja dengan gossip yang beredar di kampung kita, apa benar kamu banyak diatur oleh mertuamu itu?” tanya Riri, kali ini lebih menegaskan dan lebih detail pertanyaannya.Bahkan kini Deden menyimak saja, ia tidak mengeluarkan suara terlebih dulu karena memang tidak
“Ngelunjak? Gimana tadinya, Bu Nisa dibilang ngelunjak?” Deden bertanya lagi, semakin seru dan panas saja dengan pembahasan Nisa kali ini mengenai rumah tangganya, padahal masalah kebutuhan bathinnya saja belum terpenuhi, kini nafkah lahirnya pun tidak dapat.“Kok jadi semakin aneh aja, ya mertua kamu itu, Nis!” Riri ikut berkomentar, Nisa sebenarnya masih bisa menahan jika hubungan keadaan hatinya sedang baik, akan tetapi setelah hal yang terjadi kepada Nisa beberapa hari lalu, membuat dirinya jadi blak-blakan.“Iya, aku dianggap ngelunjak karena selalu menjawab kalau dinasihati, padahal aku hanya membela diri saja dan menjelaskan kenapa bisa terjadi seperti itu,” jawab Nisa masih ambigu, sehingga membuat Riri dan Deden masih menampakan wajah bingungnya.“Contohnya, Nis?” tanya Riri lagi yang kini meminta contoh.“Kayak beberapa hari lalu, hari minggu tepatnya, aku kan ajak Reza undangan ke rumahnya Melda, kamu tahu kan, Ri? Di mana rumahnya?” Riri h
“Nisa?” “Mas Dani?” Keduanya sama-sama takjub, matanya bersinar ketika tidak sengaja dipertemukan lagi pada acara jalan santai, dalam memperingati hari ulang tahun PGRI. Sontak kedua insan yang saat ini sudah sama-sama memiliki pasangan pun saling melempar senyum. Nampak pada wajah keduanya dan juga sinar matanya, bahwa keduanya sangat-sangat bahagia dengan situasi kali ini, situasi yang sama sekali tidak disangka olehnya. “Kita ke pinggir sebentar yuk! Kita minum di sana sambil makan bakso!” ajak Dani seraya menunjukkan tangannya ke ujung barat sana. Ia mengajak Nisa untuk menepi sejenak ke sebuah warung bakso yang seharusnya berkumpul di lapangan karena sedang mengumumkan kupon undian. Nisa menoleh ke arah Riri, yang memang saat itu tidak jauh darinya, sahabatnya itu hanya mengangkat bahunya saja, setelah saling menatap cukup lama, seolah mata mereka sedang berkata, berdiskusi, Nisa meminta izin kepada Riri. “Eh, iya, Mas. Ayok!” pada akhirnya Nisa pun menerima tawaran da
“Nihil, Mas. Sudah berulang kali aku menjelaskannya, bahkan sudah memberikan dengan contoh Rasul, dan kamu yang selalu membantu istrinya, akan tetapi dia lebih percaya kepada ibunya saja yang mengatakan bahwa tugas rumah itu sepenuhnya adalah tugas istri…“Jika suami membantu, itu artinya dia adalah banci,” tutur Nisa lagi menjelaskan, dan Dani membulatkan matanya ketika mendengar kalimat akhir yang dikatakan oleh Nisa.“Sampai seperti itu? mengatakan banci?” tanya Dani lagi memastikan bahwa Nisa tidak berlebihan.“Untuk apa lagi aku berbohong, Mas? Reza lebih percaya apa pun dengan orang tuanya, segala apa pun keputusan yang ada di dalam rumah tangga kami, selalu berdasar apa kata Bunda, apa kata Ayah, atau nanti bilang si Bunda dulu, bilang si ayah dulu.” Nisa kini memperagakan apa yang baisa diucapkan oleh Reza.“Itu artinya ibu mertuamu menyetir rumah tangga kalian berdua.” Dani menyimpulkan dengan cerita Nisa yang baru setengah diungkapkan.“Iya, benar. Bahkan dari se
“Nisa menolak, Neng. Dan kedua orang tuanya pun sudah tidak bisa lagi membujuknya, karena Nisa sudah memberikan peringatan kepada kedua orang tuanya untuk tidak lagi ikut campur dengan urusannya, apa lagi yang menyangkut masa depannya, bahkan Nisa akan meninggalkan rumah jika bapak dan ibunya tetap memaksakan kehendak.”Bu Wawat panjang lebar memberikan penjelasan kepada Eneng dan suaminya yang ada di sana, termasuk Reza, seketika wajah ketiganya pun kini berubah menjadi muram, hanya kekecewaan saja yang terpancar.“Kamu yang sabar, ya Reza! mungkin memang sudah sebaiknya kita harus introspeksi diri atas apa yang pernah kita lakukan pada Nisa, Bunda juga menyesal, Za, sungguh menyesal, gak kebayang jika anak perempuan bunda pun akan diperlakukan seperti Nisa oleh ibu mertuanya…“Yang jelas Bunda sebagai orang tua, akan membawa kembali si Anggi ke rumah jika ia diperlakukan tidak baik oleh suami dan mertuanya.” Eneng panjang lebar, ia kini sudah sadar, ya sepenuhnya, sudah menga
“Eh, Bu Wawat,” seru Bu Aisyah ketika tahu bahwa yang bertamu ke rumahnya itu adalah Bu Wawat, entah mau apa? Apa mungkin ada kaitannya dengan pesan yang dikirimkan oleh Erma kepada Nisa tadi malam? Begitu pikir Bu Aisyah di dalam hatinya. “Ayok silakan masuk, Bu!” Bu Aisyah mempersilakan Bu Wawat untuk masuk ke dalam rumahnya. Duduk di ruang tamu dengan sofa yang sudah pudar warnanya, kusam, akan tetapi di atas meja itu sudah ada air mineral gelas dan toples berisi kue kering, sehingga Bu Aisyah tidak pelru repot-repot lagi membuatkan minum untuk tamu yang datang. “Mohn maaf nih, Bu, kalau pagi-pagi udah ke sini, he he.” Bu Wawat basa-basi kepada bu Aisyah, sebelum akhirnya mengatakan tujuan dan maksudnya datang ke rumahnya. “Gak apa-apa, Bu. Saya sudah beres semuanya kok, Nisa juga udah berangkat sekolah,” sahut Bu Aisyah seraya masih tersenyum juga. “Sebenarnya saya datang ke sini untuk minta maaf, dengan kabar dua hari lalu yang saya berikan, mengenai pernikahan Reza, terny
“Nis, saya mau tanya sama kamu, boleh?” Erma mengirimkan pesan kepada Nisa atas permintaan ibunya sendiri, Bu Wawat, bahkan wanita paruh baya itu pun masih di sana menunggu balasan Nisa.“Gimana, Er? Udah ada balasan dari Nisa belum?” tanya Bu Wawat tidak sadar kepada anaknya itu,yang masih setia menunggu.“Belum, Mah. Sabar dulu, kan baru dikirim tadi pesannya juga,” jawab Erma kepada Mamahnya yang memang sudah tidak sabaran lagi, lalu kini Bu Wawat hanya diam saja, seraya matanya kini focus kembali pada TV, karena ia sedang menonton acara sinetron kesukaannya.“Tapi kalau Nisa nolak, kenapa Mamah gak bujuk orang tuanya aja kayak kemarin, aku rasa Nisa akan nurut aja kalau orang tuanya yang minta,” celetuk Erma memberikan saran jika memang nanti Nisa menolak untuk diajak rujuk oleh Reza.Bu Wawat terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh anaknya itu, mengenai saran untuk membujuk orang tuanya Nisa saja, yang menurut Erma lebih efektive.“Eh, iya juga, ya.
“Iya, Teh, rujuk, Reza ingin rujuk dengan Nisa, dan Neng pun kini sadar dengan kesalahan Neng, bahwa gak ada lagi memang yang bisa menerima Reza selain Nisa, makanya Neng ingin agar Reza kembali rujuk dengan Nisa.” Eneng menjelaskan lagi.Bu Wawat hanya menghela nafasnya saja pelan ketika mendengar penjelasan dari adiknya itu, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak menyangka bahwa adiknya saat ini bisa mengakui kesalahan dirinya sendiri, tidak seperti biasanya, yang selalu keras kepala.“Tapi kalau Nisa menolak gimana? Kok kalian bisa sih semudah itu berpikir kalau Nisa mau menerima begitu aja setelah apa yang kalian lakukan?” Bu Wawat tidak mengerti dengan jalan pikiran adiknya itu, ya meskipun Eneng itu adalah adiknya sendiri, akan tetapi setelah tahu dengan kejadian yang sebenarnya terjadi, seperti apa yang Nisa katakan pada Bu Rini dan Bu Ineu pada beberapa bulan lalu, maka ia faham dan mengerti bahwa adik dan keponakannya itu salah.“Ya, siapa tahu, karena setahu Neng
“Tuh, kan Bun! benar apa kataku juga, gak ada wanita yang mau menerimaku selain Nisa,” keluh Reza atas nasib yang menimpanya, ya selama satu tahun perceraian ini, sudah 3 kali ia dikenalkan dengan anak dari teman Ayah dan Bundanya.Akan tetapi, pada pertemuan kedua atau ketiga setelah perkenalan, sang wanita akan mundur dengan teratur, karena menganggap bahwa Reza bukanlah lelaki yang baik untuk dijadikan suami.Ya meskipun pengakuan Eneng dan Toni adalah bahwa Reza bercerai karena ditinggalkan oleh istrinya yang tidak bertanggung jawab. Akan tetapi ternyata perlahan, semuanya terbuka, siapa yang sebenarnya bersalah dalam perceraian tersebut.“Sabar, Reza! teman Ayah dan Bunda masih banyak yang punya anak single, kamu tenang aja dulu, ya. Baru juga nyoba tiga kali, kamu jangan bosan!” Eneng meyakinkan anaknya itu bahwa suatu saat nanti akan ada wanita yang mau menerimanya sebagai suami.“Tapi, Bun, aku yakin gak akan mudah, coba aja dulu kalau aku gak bercerai dengan Nisa, k
Hari berganti menjadi minggu, begiut pula dengan minggu kini sudah berganti menjadi bulan, kondisi Nisa saat ini sudah jauh lebih baik, tidak ada lagi penyerangan yang terjadi dari keluarga mantan suaminya. Mungkin sudah bosan juga.“Nisa belum menikah lagi, Bu Aisyah? Kalau Reza Alhamdulillah udah menikah lagi, dapat istri PNS (pegawai negeri sispil)” ungkap Bu Wawat ketika bertemu dengan ibunya Nisa, ya lebih tepatnya sengaja mendatangi rumahnya Nisa ketika Nisa sedang di sekolah, entah untuk apa, hanya sekadar untuk memberikan informasi tidak jelas saja.“Oh begitu, ya syukur kalau Reza sudah menikah lagi, kalau Nisa belum, kayaknya dia masih belum siap juga,” jawab Bu Asiyah kikuk, meski di dalam hatinya menggerutu, ‘untuk apa juga bilang itu ke saya? Apa Cuma mau pamer aja kalau setelah lepas dari Nisa bisa langsung nikah lagi?’Bu Wawat mangguk-mangguk saja ketika mendengar jawaban dari Bu Aisyah itu mengenai responnya kepada Reza.“Ya sudah kalau begitu, saya pamit dul
[“Jadi benar dengan kabar yang tersebar, Nis? Kamu sudah resmi bercerai?”] isi pesan yang dikirimkan oleh Dani kepada Nisa pada siang hari itu, ketika Nisa sedang berada di kantor sekolah, seperti biasanya.Nisa diam sejenak ketika mendapati isi pesan dari Dani yang kini tiba-tiba datang kembali setelah beberapa bulan ini menghilang, seperti biasaya, datang dan pergi begitu saja karena memang ada istrinya pula yang harus dijaga.Wanita muda itu kini menghela nafasnya panjang, berat, ia tahu dengan kondisinya saat ini jika membalas pesan Dani hanya akan membuat suasananya semakin kacau saja, akan ada salah faham antara Dani dan istrinya lagi.“Kenapa? Kayaknya gabut banget?” tanya Riri kepada Nisa kini sedang menyandarkan tubuhnya itu di sandaran kursi.Nisa tak menjawab, ia tak ingin Riri tahu bahwa dirinya baru saja mendapat pesan dari Dani, ia tak ingin Riri tahu juga jika Dani kembali mengirim pesan, karena memang tak ada gunanya juga, untuk saat ini Nisa ingin menjauhi Da
“Wah, Nis, gila tahu gossip kamu rame banget, emangnya gimana tadinya sampe debat gitu sama Bu Ineu dan Bu Rini si ratu gossip?” tanya Riri kepada Nisa ketika di sekolah, seperti biasa, penasaran, karena memang Riri yang jarak rumahnya hanya sekitar 500 m saja, tentu sudah dapat mendengar desas desus apa yang terjadi kepada Nisa.Nisa hanya mengerutkan dahinya saja, tidak langsung menjawabnya. Dan membuat Riri harus bertanya untuk kedua kalinya.“Dih, kamu kebiasaan deh kalau aku nanya, pasti gak langsung dijawab, harus dua kali nanya aja,” keluh Riri, menggerutu, tidak suka dengan kebiasaan Nisa. Nisa terkekeh saja, sebelum akhirnya ia menjawab.“Ya, merekanya duluan yang lebih dulu marah-marah gak jelas di depan rumah orang, ya aku lawanlah, sekalian orang model begitu harus dikasih pelajaran, biar kapok, mereka pikir, aku akan diam aja kali, ya, gak bakal ngelawan,”“Ha ha ha. Iya juga sih, benar. Banyak yang bilang ibu-ibu, katanya lu adalah orang yang paling berani melaw
“Gimana, Teh? Aman kan semuanya? Udah beres?” baru saja Bu Ineu sampai di rumah Eneng, akan tetapi sang pemilik rumah sudah memberondongi tanya kepadanya, menanyakan hal yang memang ia tugaskan kepada Tetehnya itu untuk menyebarkan gossip mengenai Nisa.Akan tetapi orang yang ditanya kini malah menghempaskan tubuhnya pada sandaran sofa, lalu menghela nafas berat, dan diam saja untuk beberapa saat sehingga menjadikan Eneng bertanya-tanya.“Kok lemas gitu sih, Teh? Ada apa memangnya?” tanya Eneng lagi penasaran dengan tetehnya itu, yang ia harapkan tentunya mendapat kabar baik mengenai nama baiknya itu di kampung, meski pada faktanya bertolak belakang dengan keinginan wanita tersebut.“Kenapa kamu gak bilang kalau si Reza itu impoten, Neng?” Bu ineu bertanya langsung saja pada masalah intinya, sehingga menjadikan Eneng tersentak dan hanya membulatkan matanya saja, sempurna, tidak percaya dengan pertanyaan yang dilayangkan oleh tetehnya itu.“Lho kok Teh Ineu malah nanya itu sih