“Kenapa bisa? Bagaimana mungkin kamu menikah sudah hampir satu tahun tapi masih virgin? Gak usah bercanda, Nisa!” Dani saking tidak percayanya dengan pernyataan Nisa, ia menganggap bahwa Nisa hanya bergurau saja, tidak lebih.Nisa mengerutkan dahinya sedikit, meskipun memang sudah tidak asing lagi baginya mendapatkan respon demikian ketika ada yang tahu bahwa ia masih virgin, dan hanya sebagian orang saja tentunya yang tahu mengenai masalah ranjangnya Nisa.“Aku serius, untuk apa juga aku berbohong?” Nisa balik bertanya kepada Dani, sebab memang tak ada manfaatnya juga berbohong kepadanya.“Tapi kenapa? Apa ada hubungannya dengan traumamu itu?” Dani menebak, ya ia masih ingat betul bahwa Nisa memiliki trauma terhadap hubungan badan, karena melihat berita pembunuhan seorang wanita muda karena dimasuki gagang pacul dari alat vitalnya.Akan tetapi Dani sendiri tidah pernah menduga bahwa rasa trauma itu menjadikan Nisa tetap bertahan dengan keperawanannya, dan i
Nisa membulatkan matanya, terkejut ketika yang ada di hadapannya itu adalah guru comel, yang selalu saja ikut campur dengan masalah orang lain. Begitu juga dengan Dani, kini lelaki itu sudah menatap Siti dengan tatapan tajam. “Bukanya ikut kegiatan, tapi malah asyik berduaan di sini” seru Siti lagi kepada Nisa dan Dani, yang saat ini ketangkap basah berduaan, ya meskipun di tukang bakso, sehingga menjadikan beberapa pengunjung yang ada di sana pun ikut memperhatikan mereka. “Sama sekali bukan urusan Bu Siti. Lagi pula mana buktinya juga kalau kami hanya berdua? Apa Bu Siti buta? Tidak bisa melihat pengunjung lain yang ada di sini? mereka dianggap apa?” kini Dani membalikkan pertanyaan kepada Siti, seraya menyapu pandang ke arah pengunjung lain. “Iya, benar, mereka berdua hanya ngobrol biasa aja, kami di sini saksinya banyak. Memangnya ibu ini siapa? Kayaknya cemburu banget? Apa memang istrinya?” celetuk salah seorang pengunjung laki-laki yang sepertinya sudah faham dengan apa yang
“Udah sih diam aja! Gak usah sewot gitu, Pak Wahyu! Bukan ngomongin kamu kok, gak ada yang dirugikan sama sekali dari kami,” balas Riri sewot juga kepada Wahyu, karena sudah mengganggu waktunya Nisa untuk bercerita. “Huh, dasar!” Wahyu mendengus kesal karena peringatannya tak digubris oleh Riri dan Nisa, bahkan kini Firman dan Deden pun ikut membela Nisa juga karena memang saat itu dari guru perempuan yang ikut hanya Nisa dan Riri saja, selebihnya kelima lelaki semua. “Udah, biarin aja, Pak Wahyu! Mereka kan emang cewek, dari pada gabung sama bapak-bapak seperti kita nanti obrolannya gak bakal nyambung,” seru Deden seraya terkekeh. “Iya, benar, biarin aja, Pak Wahyu. Biasanya juga gak pernah terganggu, cuek aja,” timpal Firman lagi kepada Wahyu. Hingga akhirnya Wahyu pun cuek, kembali bermain dengan ponsel pintarnya itu. “Udah, Nis! Cepat lanjutkan, tadi kalian ngapain aja? Aku sebagai sahabat kamu perlu tahu apa yang kalian berdua lakukan tadi, untuk mengingatkan agar kamu t
“Yank, ayok dong cepat belajar baca quran, jangan nonton TV aja! Duh, ya kamu ini kenapa susah banget sih buat belajar baca quran aja, padahal quran itu kitab umat islam, masa iya kamu gak bisa bacanya.” Nisa membujuk Reza untuk belajar membaca quran.“duh, udah sih, yank. Yang penting aku udah haji, gak perlu lagi baca quran, semuanya sudah gugur kalau sudah haji,” tolak Reza santai saja, bahkan sudah sangat percaya dirinya dengan gelar hajinya, tidak merasa malu ketika ia sama sekali tidak bisa membaca quran.“Nah, itu dia! Seharusnya kamu malu karena sudah haji tapi gak bisa baca quran, aneh aja deh, kenapa sih kamu malas banget, padahal ini semua demi kebaikan kamu, ayok sini aku ajarin!” Nisa mendesak Reza untuk belajar dengannya.Yaa ia sendiri baru tahu bahwa suaminya itu sama sekali tidak bisa membaca alquran, padahal dulu ketika perkenalan, orang tuanya dan juga Bu Wawat memuji Reza sebagai pemuda yang taat ibadah karena sudah berhaji. Akan tetapi kini bu
“Aku gak tahu lagi harus gimana, capek banget mengerjakan semuanya hanya sendiri aja, belum lagi tugas sekolah dan kampus, wajar kan kalau badanku jadi kurus kering begini? Beneran lelah fisik dan bathinnya. Hik hik hik.” Nisa terus saja bersunut-sungut berbicara kepada seseorang melalui sambungan telephone, dan Reza kini hanya melihat saja di depan pintu, ya, ia menyaksikan istrinya menangis kepada orang lain, mengeluh karena kelelahan, lalu pergi lagi meninggalkan Nisa, Reza pergi keluar rumah, entah ke mana.[“Sabar aja, Nis. Kamu harus sabar, lakukan semua pekerjaan itu karena Allah, ikhlas juga, gak perlu begini,”] balas seseorang di ujung sana, ya orang itu tak lain adalah Dani.Nisa dan Dani keduanya menjalin komunikasi lagi, sejak pertemuannya di lapangan beberapa hari lalu, akan tetapi kali ini lebih tepatnya hanya sebatas curhat saja, entah ada niat terselubung atau tidak pada Dani seperti dulu, padahal ia pun sudah berjanji kepada istrinya, untuk tid
Nisa menoleh kepada suaminya, lelaki itu sama sekali tidak pernah meminta maaf meski sudah jelas bahwa ia penyebab Nisa menangis.“Aku janji, nanti gak akan ajak kamu lagi ke rumah si Bunda, kalau pun nanti ke sana, biarkan aku aja, dan pas kamu lagi kuliah, biar enak alasannya,” ujar Reza yang tahu bahwa Nisa menangis karena tidak ingin bertemu dengan mertuanya.Padahal sebenarnya, Nisa hanya ingin dimengerti saja oleh suaminya itu, akan tetapi ia sudah bosan menjelaskannya, karena menyampaikan dengan bagaimana pun selalu tidak dapat difahami oleh Reza.“Aku maunya bukan itu, tapi kamu setidaknya membantu pekerjaan rumah, padahal kamu sendiri yang udah janji untuk memotong rumput, cuci piring bekas makanmu sendiri, dan cuci baju sendiri, kenapa gak pernah dilakukan hah?” Nisa meralat ucapan Reza, karena itu sama sekali bukan masalah intinya.“Duh, Nis! Kan aku udah bilang juga, kalau aku yang melakukannya gak akan bersih, percuma, jadi dari pada pekerjaann
“Kamu kenapa? Kok kayaknya ada yang sakit gitu?” tanya Nisa kepada suaminya, ketika ia melihat keringat dingin pada tubuh lelaki itu, bahkan kini wajahnya pun nampak pucat, tak berekspresi seperti sedang menahan rasa sakit yang mendalam, seraya memegangi perutnya.“Aku gak tahu, tapi perutku sakit banget.” Reza meringis menahan rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ia tahan. Nisa tahu itu, karena memang jam baru menunjukkan pukul empat pagi, karena biasanya Reza tidak pernah bangun sepagi itu.“Ayok kita berobat aja!” Nisa pun ikut panic melihat keadaan suaminya itu, ia tak tahu harus bagaimana. Wanita muda itu kini merapikan penampilannya yang masih awut-awutan karena baru saja bangun tidur.“Berobat ke mana? Jam segini gak ada yang buka?” jawab Reza lagi dengan wajah yang masih menahan nyeri yang tak tertahankan, seperti ada yang menusuk-nusuk di dalam perutnya, entah apalah itu.“Terus aku harus gimana? Bagian mana yang memangnya sakit?” Nisa masih berta
“Kamu kenapa, Reza? Apanya yang sakit?” tanya Toni, ketika baru saja datang, dan kini sudah menemukan anaknya tergeletak lemah tak berdaya menahan rasa sakitnya di perut, dengan tangan yang selalu memegangi perutnya, seolah dengan pegangan perutnya itu bisa sedikit meredakan rasa nyerinya.“Ayah, aku sakit perutnya,” jawab Reza lirih kepada Toni, bahkan kini tatapan itu bersinar seolah ia merasa lega sekali ketika mendapati ayahnya datang. Layaknya seperti anak kecil yang baru saja bertemu dengan ayahnya setelah satu bulan pergi bekerja.“Duh, kenapa bisa begini? Gimana tadinya, Nis?” tanya Toni kepada Nisa seraya mulai menuntun Reza untuk bangkit dari tidurnya.“Aku sendiri gak tahu, Ayah, sebab Reza sama sekali tidak mengeluh sedikit pun, aku tahu sejak tadi subuh saja, dia mulai mengeluh sakit perutnya.” Nisa menjelaskan lagi lebih detail kepada Ayah mertuanya itu.Yaa, setidaknya jawaban Nisa lebih detail daripada jawaban dari Reza sendiri, yang hanya me