“Udah sih diam aja! Gak usah sewot gitu, Pak Wahyu! Bukan ngomongin kamu kok, gak ada yang dirugikan sama sekali dari kami,” balas Riri sewot juga kepada Wahyu, karena sudah mengganggu waktunya Nisa untuk bercerita. “Huh, dasar!” Wahyu mendengus kesal karena peringatannya tak digubris oleh Riri dan Nisa, bahkan kini Firman dan Deden pun ikut membela Nisa juga karena memang saat itu dari guru perempuan yang ikut hanya Nisa dan Riri saja, selebihnya kelima lelaki semua. “Udah, biarin aja, Pak Wahyu! Mereka kan emang cewek, dari pada gabung sama bapak-bapak seperti kita nanti obrolannya gak bakal nyambung,” seru Deden seraya terkekeh. “Iya, benar, biarin aja, Pak Wahyu. Biasanya juga gak pernah terganggu, cuek aja,” timpal Firman lagi kepada Wahyu. Hingga akhirnya Wahyu pun cuek, kembali bermain dengan ponsel pintarnya itu. “Udah, Nis! Cepat lanjutkan, tadi kalian ngapain aja? Aku sebagai sahabat kamu perlu tahu apa yang kalian berdua lakukan tadi, untuk mengingatkan agar kamu t
“Yank, ayok dong cepat belajar baca quran, jangan nonton TV aja! Duh, ya kamu ini kenapa susah banget sih buat belajar baca quran aja, padahal quran itu kitab umat islam, masa iya kamu gak bisa bacanya.” Nisa membujuk Reza untuk belajar membaca quran.“duh, udah sih, yank. Yang penting aku udah haji, gak perlu lagi baca quran, semuanya sudah gugur kalau sudah haji,” tolak Reza santai saja, bahkan sudah sangat percaya dirinya dengan gelar hajinya, tidak merasa malu ketika ia sama sekali tidak bisa membaca quran.“Nah, itu dia! Seharusnya kamu malu karena sudah haji tapi gak bisa baca quran, aneh aja deh, kenapa sih kamu malas banget, padahal ini semua demi kebaikan kamu, ayok sini aku ajarin!” Nisa mendesak Reza untuk belajar dengannya.Yaa ia sendiri baru tahu bahwa suaminya itu sama sekali tidak bisa membaca alquran, padahal dulu ketika perkenalan, orang tuanya dan juga Bu Wawat memuji Reza sebagai pemuda yang taat ibadah karena sudah berhaji. Akan tetapi kini bu
“Aku gak tahu lagi harus gimana, capek banget mengerjakan semuanya hanya sendiri aja, belum lagi tugas sekolah dan kampus, wajar kan kalau badanku jadi kurus kering begini? Beneran lelah fisik dan bathinnya. Hik hik hik.” Nisa terus saja bersunut-sungut berbicara kepada seseorang melalui sambungan telephone, dan Reza kini hanya melihat saja di depan pintu, ya, ia menyaksikan istrinya menangis kepada orang lain, mengeluh karena kelelahan, lalu pergi lagi meninggalkan Nisa, Reza pergi keluar rumah, entah ke mana.[“Sabar aja, Nis. Kamu harus sabar, lakukan semua pekerjaan itu karena Allah, ikhlas juga, gak perlu begini,”] balas seseorang di ujung sana, ya orang itu tak lain adalah Dani.Nisa dan Dani keduanya menjalin komunikasi lagi, sejak pertemuannya di lapangan beberapa hari lalu, akan tetapi kali ini lebih tepatnya hanya sebatas curhat saja, entah ada niat terselubung atau tidak pada Dani seperti dulu, padahal ia pun sudah berjanji kepada istrinya, untuk tid
Nisa menoleh kepada suaminya, lelaki itu sama sekali tidak pernah meminta maaf meski sudah jelas bahwa ia penyebab Nisa menangis.“Aku janji, nanti gak akan ajak kamu lagi ke rumah si Bunda, kalau pun nanti ke sana, biarkan aku aja, dan pas kamu lagi kuliah, biar enak alasannya,” ujar Reza yang tahu bahwa Nisa menangis karena tidak ingin bertemu dengan mertuanya.Padahal sebenarnya, Nisa hanya ingin dimengerti saja oleh suaminya itu, akan tetapi ia sudah bosan menjelaskannya, karena menyampaikan dengan bagaimana pun selalu tidak dapat difahami oleh Reza.“Aku maunya bukan itu, tapi kamu setidaknya membantu pekerjaan rumah, padahal kamu sendiri yang udah janji untuk memotong rumput, cuci piring bekas makanmu sendiri, dan cuci baju sendiri, kenapa gak pernah dilakukan hah?” Nisa meralat ucapan Reza, karena itu sama sekali bukan masalah intinya.“Duh, Nis! Kan aku udah bilang juga, kalau aku yang melakukannya gak akan bersih, percuma, jadi dari pada pekerjaann
“Kamu kenapa? Kok kayaknya ada yang sakit gitu?” tanya Nisa kepada suaminya, ketika ia melihat keringat dingin pada tubuh lelaki itu, bahkan kini wajahnya pun nampak pucat, tak berekspresi seperti sedang menahan rasa sakit yang mendalam, seraya memegangi perutnya.“Aku gak tahu, tapi perutku sakit banget.” Reza meringis menahan rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ia tahan. Nisa tahu itu, karena memang jam baru menunjukkan pukul empat pagi, karena biasanya Reza tidak pernah bangun sepagi itu.“Ayok kita berobat aja!” Nisa pun ikut panic melihat keadaan suaminya itu, ia tak tahu harus bagaimana. Wanita muda itu kini merapikan penampilannya yang masih awut-awutan karena baru saja bangun tidur.“Berobat ke mana? Jam segini gak ada yang buka?” jawab Reza lagi dengan wajah yang masih menahan nyeri yang tak tertahankan, seperti ada yang menusuk-nusuk di dalam perutnya, entah apalah itu.“Terus aku harus gimana? Bagian mana yang memangnya sakit?” Nisa masih berta
“Kamu kenapa, Reza? Apanya yang sakit?” tanya Toni, ketika baru saja datang, dan kini sudah menemukan anaknya tergeletak lemah tak berdaya menahan rasa sakitnya di perut, dengan tangan yang selalu memegangi perutnya, seolah dengan pegangan perutnya itu bisa sedikit meredakan rasa nyerinya.“Ayah, aku sakit perutnya,” jawab Reza lirih kepada Toni, bahkan kini tatapan itu bersinar seolah ia merasa lega sekali ketika mendapati ayahnya datang. Layaknya seperti anak kecil yang baru saja bertemu dengan ayahnya setelah satu bulan pergi bekerja.“Duh, kenapa bisa begini? Gimana tadinya, Nis?” tanya Toni kepada Nisa seraya mulai menuntun Reza untuk bangkit dari tidurnya.“Aku sendiri gak tahu, Ayah, sebab Reza sama sekali tidak mengeluh sedikit pun, aku tahu sejak tadi subuh saja, dia mulai mengeluh sakit perutnya.” Nisa menjelaskan lagi lebih detail kepada Ayah mertuanya itu.Yaa, setidaknya jawaban Nisa lebih detail daripada jawaban dari Reza sendiri, yang hanya me
“Udah, Bun, ke sini aja, ya. Biar enak ayah ngejelasinnya,” jawab Toni lagi kepada istrinya itu.Terdengar embusan nafas berat di ujung sana, ya ia tahu bahwa istrinya itu mendengus emosi atas kabar yang baru saja didengar olehnya.“Gimana, Yah? Udah ngasih tahu, Bunda?” tanya Reza khawatir kepada Toni, ayahnya itu, ya selalu saja Bundanya yang ditanyakan pertama kalinya, bukan istrinya, Nisa.“Udah, nanti bentar lagi Bunda akan ke sini, Nisa juga sama langsung jalan,” jawab Toni singkat dan padat kepada anaknya itu seraya menatapnya dengan tatapan datar saja, karena di dalam lubuk hatinya pun kini ia merasa khawatir kepada hubungan rumah tangga Nisa dan Reza.“Tapi kamu serius gak makan apa pun selama ini? Selama tinggal sama Nisa? kan kami gak tahu juga kamu selama 6 bulan ini makannya bagaimana, ya meskipun Ayah tahu kalau badan kamu itu sekarang tambah gemuk saja,” tutur Toni lagi yang kini membahas masalah baru lagi.Sementara Reza saat ini sudah
Eneng menoleh ke arah Nisa ketika menatunya itu mengatakan permintaan maaf kepadanya, ya seperti asing saja di telinganya, padahal pada beberapa moment yang memang menurut Nisa genting, ia selalu minta maaf juga.Seperti kali ini, di saat suaminya sedang berada di rumah sakit, tentunya ia hanya ingin yang terbaik saja untuk suaminya itu, meski sementara harus mengesampingkan ego dan harga dirinya di depan ibu mertuanya itu.Toni masih membelai lembut pundak istrinya itu, lebih lembut dan lebih sering lagi gerakannya, seolah ingin membuyarkan lamunan Eneng dari ucapan maaf Nisa, dan agar segera ditanggapi olehnya.“Reza itu adalah anak yang baik, soleh banget, makanya Bunda selama ini selalu marah-marah sama kamu hanya karena ingin agar Reza dilayani dengan baik oleh istrinya saja, Nis,” ucap Eneng setelah menghela nafasnya panjang.Begitu pula dengan Nisa, yang mengaduh di dalam hatinya, tetap saja ibu mertuanya itu tidak ubah pendiriannya, ia tetap masih
“Nisa menolak, Neng. Dan kedua orang tuanya pun sudah tidak bisa lagi membujuknya, karena Nisa sudah memberikan peringatan kepada kedua orang tuanya untuk tidak lagi ikut campur dengan urusannya, apa lagi yang menyangkut masa depannya, bahkan Nisa akan meninggalkan rumah jika bapak dan ibunya tetap memaksakan kehendak.”Bu Wawat panjang lebar memberikan penjelasan kepada Eneng dan suaminya yang ada di sana, termasuk Reza, seketika wajah ketiganya pun kini berubah menjadi muram, hanya kekecewaan saja yang terpancar.“Kamu yang sabar, ya Reza! mungkin memang sudah sebaiknya kita harus introspeksi diri atas apa yang pernah kita lakukan pada Nisa, Bunda juga menyesal, Za, sungguh menyesal, gak kebayang jika anak perempuan bunda pun akan diperlakukan seperti Nisa oleh ibu mertuanya…“Yang jelas Bunda sebagai orang tua, akan membawa kembali si Anggi ke rumah jika ia diperlakukan tidak baik oleh suami dan mertuanya.” Eneng panjang lebar, ia kini sudah sadar, ya sepenuhnya, sudah menga
“Eh, Bu Wawat,” seru Bu Aisyah ketika tahu bahwa yang bertamu ke rumahnya itu adalah Bu Wawat, entah mau apa? Apa mungkin ada kaitannya dengan pesan yang dikirimkan oleh Erma kepada Nisa tadi malam? Begitu pikir Bu Aisyah di dalam hatinya. “Ayok silakan masuk, Bu!” Bu Aisyah mempersilakan Bu Wawat untuk masuk ke dalam rumahnya. Duduk di ruang tamu dengan sofa yang sudah pudar warnanya, kusam, akan tetapi di atas meja itu sudah ada air mineral gelas dan toples berisi kue kering, sehingga Bu Aisyah tidak pelru repot-repot lagi membuatkan minum untuk tamu yang datang. “Mohn maaf nih, Bu, kalau pagi-pagi udah ke sini, he he.” Bu Wawat basa-basi kepada bu Aisyah, sebelum akhirnya mengatakan tujuan dan maksudnya datang ke rumahnya. “Gak apa-apa, Bu. Saya sudah beres semuanya kok, Nisa juga udah berangkat sekolah,” sahut Bu Aisyah seraya masih tersenyum juga. “Sebenarnya saya datang ke sini untuk minta maaf, dengan kabar dua hari lalu yang saya berikan, mengenai pernikahan Reza, terny
“Nis, saya mau tanya sama kamu, boleh?” Erma mengirimkan pesan kepada Nisa atas permintaan ibunya sendiri, Bu Wawat, bahkan wanita paruh baya itu pun masih di sana menunggu balasan Nisa.“Gimana, Er? Udah ada balasan dari Nisa belum?” tanya Bu Wawat tidak sadar kepada anaknya itu,yang masih setia menunggu.“Belum, Mah. Sabar dulu, kan baru dikirim tadi pesannya juga,” jawab Erma kepada Mamahnya yang memang sudah tidak sabaran lagi, lalu kini Bu Wawat hanya diam saja, seraya matanya kini focus kembali pada TV, karena ia sedang menonton acara sinetron kesukaannya.“Tapi kalau Nisa nolak, kenapa Mamah gak bujuk orang tuanya aja kayak kemarin, aku rasa Nisa akan nurut aja kalau orang tuanya yang minta,” celetuk Erma memberikan saran jika memang nanti Nisa menolak untuk diajak rujuk oleh Reza.Bu Wawat terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh anaknya itu, mengenai saran untuk membujuk orang tuanya Nisa saja, yang menurut Erma lebih efektive.“Eh, iya juga, ya.
“Iya, Teh, rujuk, Reza ingin rujuk dengan Nisa, dan Neng pun kini sadar dengan kesalahan Neng, bahwa gak ada lagi memang yang bisa menerima Reza selain Nisa, makanya Neng ingin agar Reza kembali rujuk dengan Nisa.” Eneng menjelaskan lagi.Bu Wawat hanya menghela nafasnya saja pelan ketika mendengar penjelasan dari adiknya itu, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak menyangka bahwa adiknya saat ini bisa mengakui kesalahan dirinya sendiri, tidak seperti biasanya, yang selalu keras kepala.“Tapi kalau Nisa menolak gimana? Kok kalian bisa sih semudah itu berpikir kalau Nisa mau menerima begitu aja setelah apa yang kalian lakukan?” Bu Wawat tidak mengerti dengan jalan pikiran adiknya itu, ya meskipun Eneng itu adalah adiknya sendiri, akan tetapi setelah tahu dengan kejadian yang sebenarnya terjadi, seperti apa yang Nisa katakan pada Bu Rini dan Bu Ineu pada beberapa bulan lalu, maka ia faham dan mengerti bahwa adik dan keponakannya itu salah.“Ya, siapa tahu, karena setahu Neng
“Tuh, kan Bun! benar apa kataku juga, gak ada wanita yang mau menerimaku selain Nisa,” keluh Reza atas nasib yang menimpanya, ya selama satu tahun perceraian ini, sudah 3 kali ia dikenalkan dengan anak dari teman Ayah dan Bundanya.Akan tetapi, pada pertemuan kedua atau ketiga setelah perkenalan, sang wanita akan mundur dengan teratur, karena menganggap bahwa Reza bukanlah lelaki yang baik untuk dijadikan suami.Ya meskipun pengakuan Eneng dan Toni adalah bahwa Reza bercerai karena ditinggalkan oleh istrinya yang tidak bertanggung jawab. Akan tetapi ternyata perlahan, semuanya terbuka, siapa yang sebenarnya bersalah dalam perceraian tersebut.“Sabar, Reza! teman Ayah dan Bunda masih banyak yang punya anak single, kamu tenang aja dulu, ya. Baru juga nyoba tiga kali, kamu jangan bosan!” Eneng meyakinkan anaknya itu bahwa suatu saat nanti akan ada wanita yang mau menerimanya sebagai suami.“Tapi, Bun, aku yakin gak akan mudah, coba aja dulu kalau aku gak bercerai dengan Nisa, k
Hari berganti menjadi minggu, begiut pula dengan minggu kini sudah berganti menjadi bulan, kondisi Nisa saat ini sudah jauh lebih baik, tidak ada lagi penyerangan yang terjadi dari keluarga mantan suaminya. Mungkin sudah bosan juga.“Nisa belum menikah lagi, Bu Aisyah? Kalau Reza Alhamdulillah udah menikah lagi, dapat istri PNS (pegawai negeri sispil)” ungkap Bu Wawat ketika bertemu dengan ibunya Nisa, ya lebih tepatnya sengaja mendatangi rumahnya Nisa ketika Nisa sedang di sekolah, entah untuk apa, hanya sekadar untuk memberikan informasi tidak jelas saja.“Oh begitu, ya syukur kalau Reza sudah menikah lagi, kalau Nisa belum, kayaknya dia masih belum siap juga,” jawab Bu Asiyah kikuk, meski di dalam hatinya menggerutu, ‘untuk apa juga bilang itu ke saya? Apa Cuma mau pamer aja kalau setelah lepas dari Nisa bisa langsung nikah lagi?’Bu Wawat mangguk-mangguk saja ketika mendengar jawaban dari Bu Aisyah itu mengenai responnya kepada Reza.“Ya sudah kalau begitu, saya pamit dul
[“Jadi benar dengan kabar yang tersebar, Nis? Kamu sudah resmi bercerai?”] isi pesan yang dikirimkan oleh Dani kepada Nisa pada siang hari itu, ketika Nisa sedang berada di kantor sekolah, seperti biasanya.Nisa diam sejenak ketika mendapati isi pesan dari Dani yang kini tiba-tiba datang kembali setelah beberapa bulan ini menghilang, seperti biasaya, datang dan pergi begitu saja karena memang ada istrinya pula yang harus dijaga.Wanita muda itu kini menghela nafasnya panjang, berat, ia tahu dengan kondisinya saat ini jika membalas pesan Dani hanya akan membuat suasananya semakin kacau saja, akan ada salah faham antara Dani dan istrinya lagi.“Kenapa? Kayaknya gabut banget?” tanya Riri kepada Nisa kini sedang menyandarkan tubuhnya itu di sandaran kursi.Nisa tak menjawab, ia tak ingin Riri tahu bahwa dirinya baru saja mendapat pesan dari Dani, ia tak ingin Riri tahu juga jika Dani kembali mengirim pesan, karena memang tak ada gunanya juga, untuk saat ini Nisa ingin menjauhi Da
“Wah, Nis, gila tahu gossip kamu rame banget, emangnya gimana tadinya sampe debat gitu sama Bu Ineu dan Bu Rini si ratu gossip?” tanya Riri kepada Nisa ketika di sekolah, seperti biasa, penasaran, karena memang Riri yang jarak rumahnya hanya sekitar 500 m saja, tentu sudah dapat mendengar desas desus apa yang terjadi kepada Nisa.Nisa hanya mengerutkan dahinya saja, tidak langsung menjawabnya. Dan membuat Riri harus bertanya untuk kedua kalinya.“Dih, kamu kebiasaan deh kalau aku nanya, pasti gak langsung dijawab, harus dua kali nanya aja,” keluh Riri, menggerutu, tidak suka dengan kebiasaan Nisa. Nisa terkekeh saja, sebelum akhirnya ia menjawab.“Ya, merekanya duluan yang lebih dulu marah-marah gak jelas di depan rumah orang, ya aku lawanlah, sekalian orang model begitu harus dikasih pelajaran, biar kapok, mereka pikir, aku akan diam aja kali, ya, gak bakal ngelawan,”“Ha ha ha. Iya juga sih, benar. Banyak yang bilang ibu-ibu, katanya lu adalah orang yang paling berani melaw
“Gimana, Teh? Aman kan semuanya? Udah beres?” baru saja Bu Ineu sampai di rumah Eneng, akan tetapi sang pemilik rumah sudah memberondongi tanya kepadanya, menanyakan hal yang memang ia tugaskan kepada Tetehnya itu untuk menyebarkan gossip mengenai Nisa.Akan tetapi orang yang ditanya kini malah menghempaskan tubuhnya pada sandaran sofa, lalu menghela nafas berat, dan diam saja untuk beberapa saat sehingga menjadikan Eneng bertanya-tanya.“Kok lemas gitu sih, Teh? Ada apa memangnya?” tanya Eneng lagi penasaran dengan tetehnya itu, yang ia harapkan tentunya mendapat kabar baik mengenai nama baiknya itu di kampung, meski pada faktanya bertolak belakang dengan keinginan wanita tersebut.“Kenapa kamu gak bilang kalau si Reza itu impoten, Neng?” Bu ineu bertanya langsung saja pada masalah intinya, sehingga menjadikan Eneng tersentak dan hanya membulatkan matanya saja, sempurna, tidak percaya dengan pertanyaan yang dilayangkan oleh tetehnya itu.“Lho kok Teh Ineu malah nanya itu sih