“Yank, ayok dong cepat belajar baca quran, jangan nonton TV aja! Duh, ya kamu ini kenapa susah banget sih buat belajar baca quran aja, padahal quran itu kitab umat islam, masa iya kamu gak bisa bacanya.” Nisa membujuk Reza untuk belajar membaca quran.“duh, udah sih, yank. Yang penting aku udah haji, gak perlu lagi baca quran, semuanya sudah gugur kalau sudah haji,” tolak Reza santai saja, bahkan sudah sangat percaya dirinya dengan gelar hajinya, tidak merasa malu ketika ia sama sekali tidak bisa membaca quran.“Nah, itu dia! Seharusnya kamu malu karena sudah haji tapi gak bisa baca quran, aneh aja deh, kenapa sih kamu malas banget, padahal ini semua demi kebaikan kamu, ayok sini aku ajarin!” Nisa mendesak Reza untuk belajar dengannya.Yaa ia sendiri baru tahu bahwa suaminya itu sama sekali tidak bisa membaca alquran, padahal dulu ketika perkenalan, orang tuanya dan juga Bu Wawat memuji Reza sebagai pemuda yang taat ibadah karena sudah berhaji. Akan tetapi kini bu
“Aku gak tahu lagi harus gimana, capek banget mengerjakan semuanya hanya sendiri aja, belum lagi tugas sekolah dan kampus, wajar kan kalau badanku jadi kurus kering begini? Beneran lelah fisik dan bathinnya. Hik hik hik.” Nisa terus saja bersunut-sungut berbicara kepada seseorang melalui sambungan telephone, dan Reza kini hanya melihat saja di depan pintu, ya, ia menyaksikan istrinya menangis kepada orang lain, mengeluh karena kelelahan, lalu pergi lagi meninggalkan Nisa, Reza pergi keluar rumah, entah ke mana.[“Sabar aja, Nis. Kamu harus sabar, lakukan semua pekerjaan itu karena Allah, ikhlas juga, gak perlu begini,”] balas seseorang di ujung sana, ya orang itu tak lain adalah Dani.Nisa dan Dani keduanya menjalin komunikasi lagi, sejak pertemuannya di lapangan beberapa hari lalu, akan tetapi kali ini lebih tepatnya hanya sebatas curhat saja, entah ada niat terselubung atau tidak pada Dani seperti dulu, padahal ia pun sudah berjanji kepada istrinya, untuk tid
Nisa menoleh kepada suaminya, lelaki itu sama sekali tidak pernah meminta maaf meski sudah jelas bahwa ia penyebab Nisa menangis.“Aku janji, nanti gak akan ajak kamu lagi ke rumah si Bunda, kalau pun nanti ke sana, biarkan aku aja, dan pas kamu lagi kuliah, biar enak alasannya,” ujar Reza yang tahu bahwa Nisa menangis karena tidak ingin bertemu dengan mertuanya.Padahal sebenarnya, Nisa hanya ingin dimengerti saja oleh suaminya itu, akan tetapi ia sudah bosan menjelaskannya, karena menyampaikan dengan bagaimana pun selalu tidak dapat difahami oleh Reza.“Aku maunya bukan itu, tapi kamu setidaknya membantu pekerjaan rumah, padahal kamu sendiri yang udah janji untuk memotong rumput, cuci piring bekas makanmu sendiri, dan cuci baju sendiri, kenapa gak pernah dilakukan hah?” Nisa meralat ucapan Reza, karena itu sama sekali bukan masalah intinya.“Duh, Nis! Kan aku udah bilang juga, kalau aku yang melakukannya gak akan bersih, percuma, jadi dari pada pekerjaann
“Kamu kenapa? Kok kayaknya ada yang sakit gitu?” tanya Nisa kepada suaminya, ketika ia melihat keringat dingin pada tubuh lelaki itu, bahkan kini wajahnya pun nampak pucat, tak berekspresi seperti sedang menahan rasa sakit yang mendalam, seraya memegangi perutnya.“Aku gak tahu, tapi perutku sakit banget.” Reza meringis menahan rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ia tahan. Nisa tahu itu, karena memang jam baru menunjukkan pukul empat pagi, karena biasanya Reza tidak pernah bangun sepagi itu.“Ayok kita berobat aja!” Nisa pun ikut panic melihat keadaan suaminya itu, ia tak tahu harus bagaimana. Wanita muda itu kini merapikan penampilannya yang masih awut-awutan karena baru saja bangun tidur.“Berobat ke mana? Jam segini gak ada yang buka?” jawab Reza lagi dengan wajah yang masih menahan nyeri yang tak tertahankan, seperti ada yang menusuk-nusuk di dalam perutnya, entah apalah itu.“Terus aku harus gimana? Bagian mana yang memangnya sakit?” Nisa masih berta
“Kamu kenapa, Reza? Apanya yang sakit?” tanya Toni, ketika baru saja datang, dan kini sudah menemukan anaknya tergeletak lemah tak berdaya menahan rasa sakitnya di perut, dengan tangan yang selalu memegangi perutnya, seolah dengan pegangan perutnya itu bisa sedikit meredakan rasa nyerinya.“Ayah, aku sakit perutnya,” jawab Reza lirih kepada Toni, bahkan kini tatapan itu bersinar seolah ia merasa lega sekali ketika mendapati ayahnya datang. Layaknya seperti anak kecil yang baru saja bertemu dengan ayahnya setelah satu bulan pergi bekerja.“Duh, kenapa bisa begini? Gimana tadinya, Nis?” tanya Toni kepada Nisa seraya mulai menuntun Reza untuk bangkit dari tidurnya.“Aku sendiri gak tahu, Ayah, sebab Reza sama sekali tidak mengeluh sedikit pun, aku tahu sejak tadi subuh saja, dia mulai mengeluh sakit perutnya.” Nisa menjelaskan lagi lebih detail kepada Ayah mertuanya itu.Yaa, setidaknya jawaban Nisa lebih detail daripada jawaban dari Reza sendiri, yang hanya me
“Udah, Bun, ke sini aja, ya. Biar enak ayah ngejelasinnya,” jawab Toni lagi kepada istrinya itu.Terdengar embusan nafas berat di ujung sana, ya ia tahu bahwa istrinya itu mendengus emosi atas kabar yang baru saja didengar olehnya.“Gimana, Yah? Udah ngasih tahu, Bunda?” tanya Reza khawatir kepada Toni, ayahnya itu, ya selalu saja Bundanya yang ditanyakan pertama kalinya, bukan istrinya, Nisa.“Udah, nanti bentar lagi Bunda akan ke sini, Nisa juga sama langsung jalan,” jawab Toni singkat dan padat kepada anaknya itu seraya menatapnya dengan tatapan datar saja, karena di dalam lubuk hatinya pun kini ia merasa khawatir kepada hubungan rumah tangga Nisa dan Reza.“Tapi kamu serius gak makan apa pun selama ini? Selama tinggal sama Nisa? kan kami gak tahu juga kamu selama 6 bulan ini makannya bagaimana, ya meskipun Ayah tahu kalau badan kamu itu sekarang tambah gemuk saja,” tutur Toni lagi yang kini membahas masalah baru lagi.Sementara Reza saat ini sudah
Eneng menoleh ke arah Nisa ketika menatunya itu mengatakan permintaan maaf kepadanya, ya seperti asing saja di telinganya, padahal pada beberapa moment yang memang menurut Nisa genting, ia selalu minta maaf juga.Seperti kali ini, di saat suaminya sedang berada di rumah sakit, tentunya ia hanya ingin yang terbaik saja untuk suaminya itu, meski sementara harus mengesampingkan ego dan harga dirinya di depan ibu mertuanya itu.Toni masih membelai lembut pundak istrinya itu, lebih lembut dan lebih sering lagi gerakannya, seolah ingin membuyarkan lamunan Eneng dari ucapan maaf Nisa, dan agar segera ditanggapi olehnya.“Reza itu adalah anak yang baik, soleh banget, makanya Bunda selama ini selalu marah-marah sama kamu hanya karena ingin agar Reza dilayani dengan baik oleh istrinya saja, Nis,” ucap Eneng setelah menghela nafasnya panjang.Begitu pula dengan Nisa, yang mengaduh di dalam hatinya, tetap saja ibu mertuanya itu tidak ubah pendiriannya, ia tetap masih
Kini giliran Toni yang tersentak mendengar pertanyaan dari Nisa, kenapa menantunya itu bisa menyimpulkan demikian? Apa tahu dari Reza, padahal ia dan istrinya sudah mewanti-wanti Reza agar permintaan istrinya beberapa minggu lalu, jangan sampai bocor kepada Nisa.“Benar kan, Ayah?” tanya Nisa lagi karena memang Toni hanya diam saja, mematung, nampak pada wajahnya rasa kikuk dan khawatir seperti maling yang ketangkap basah saja.“Eh, kamu jangan menyimpulkan demikian, Nis, gak boleh! Kamu tetap gak boleh mengira bahwa Bunda menginginkan perpisahan kamu dengan Reza, bagaimana pun sebagai orang tua, tentu saja kami menginginkan hal terbaik untuk anak-anaknya, kamu gak usah berpikir jauh seperti itu, ya!” Toni membantah.Nisa hanya diam saja, sudah tidak lagi mendesak Toni, karena memang tidak sopan juga mendesak mertuanya itu yang bersikap baik kepadanya meskipun DKI (di bawah ketiak istri) tidak bisa membela dirinya ketika butuh bantuan dari ibu mertuanya.Nis