Nisa menoleh kepada suaminya, lelaki itu sama sekali tidak pernah meminta maaf meski sudah jelas bahwa ia penyebab Nisa menangis.“Aku janji, nanti gak akan ajak kamu lagi ke rumah si Bunda, kalau pun nanti ke sana, biarkan aku aja, dan pas kamu lagi kuliah, biar enak alasannya,” ujar Reza yang tahu bahwa Nisa menangis karena tidak ingin bertemu dengan mertuanya.Padahal sebenarnya, Nisa hanya ingin dimengerti saja oleh suaminya itu, akan tetapi ia sudah bosan menjelaskannya, karena menyampaikan dengan bagaimana pun selalu tidak dapat difahami oleh Reza.“Aku maunya bukan itu, tapi kamu setidaknya membantu pekerjaan rumah, padahal kamu sendiri yang udah janji untuk memotong rumput, cuci piring bekas makanmu sendiri, dan cuci baju sendiri, kenapa gak pernah dilakukan hah?” Nisa meralat ucapan Reza, karena itu sama sekali bukan masalah intinya.“Duh, Nis! Kan aku udah bilang juga, kalau aku yang melakukannya gak akan bersih, percuma, jadi dari pada pekerjaann
“Kamu kenapa? Kok kayaknya ada yang sakit gitu?” tanya Nisa kepada suaminya, ketika ia melihat keringat dingin pada tubuh lelaki itu, bahkan kini wajahnya pun nampak pucat, tak berekspresi seperti sedang menahan rasa sakit yang mendalam, seraya memegangi perutnya.“Aku gak tahu, tapi perutku sakit banget.” Reza meringis menahan rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ia tahan. Nisa tahu itu, karena memang jam baru menunjukkan pukul empat pagi, karena biasanya Reza tidak pernah bangun sepagi itu.“Ayok kita berobat aja!” Nisa pun ikut panic melihat keadaan suaminya itu, ia tak tahu harus bagaimana. Wanita muda itu kini merapikan penampilannya yang masih awut-awutan karena baru saja bangun tidur.“Berobat ke mana? Jam segini gak ada yang buka?” jawab Reza lagi dengan wajah yang masih menahan nyeri yang tak tertahankan, seperti ada yang menusuk-nusuk di dalam perutnya, entah apalah itu.“Terus aku harus gimana? Bagian mana yang memangnya sakit?” Nisa masih berta
“Kamu kenapa, Reza? Apanya yang sakit?” tanya Toni, ketika baru saja datang, dan kini sudah menemukan anaknya tergeletak lemah tak berdaya menahan rasa sakitnya di perut, dengan tangan yang selalu memegangi perutnya, seolah dengan pegangan perutnya itu bisa sedikit meredakan rasa nyerinya.“Ayah, aku sakit perutnya,” jawab Reza lirih kepada Toni, bahkan kini tatapan itu bersinar seolah ia merasa lega sekali ketika mendapati ayahnya datang. Layaknya seperti anak kecil yang baru saja bertemu dengan ayahnya setelah satu bulan pergi bekerja.“Duh, kenapa bisa begini? Gimana tadinya, Nis?” tanya Toni kepada Nisa seraya mulai menuntun Reza untuk bangkit dari tidurnya.“Aku sendiri gak tahu, Ayah, sebab Reza sama sekali tidak mengeluh sedikit pun, aku tahu sejak tadi subuh saja, dia mulai mengeluh sakit perutnya.” Nisa menjelaskan lagi lebih detail kepada Ayah mertuanya itu.Yaa, setidaknya jawaban Nisa lebih detail daripada jawaban dari Reza sendiri, yang hanya me
“Udah, Bun, ke sini aja, ya. Biar enak ayah ngejelasinnya,” jawab Toni lagi kepada istrinya itu.Terdengar embusan nafas berat di ujung sana, ya ia tahu bahwa istrinya itu mendengus emosi atas kabar yang baru saja didengar olehnya.“Gimana, Yah? Udah ngasih tahu, Bunda?” tanya Reza khawatir kepada Toni, ayahnya itu, ya selalu saja Bundanya yang ditanyakan pertama kalinya, bukan istrinya, Nisa.“Udah, nanti bentar lagi Bunda akan ke sini, Nisa juga sama langsung jalan,” jawab Toni singkat dan padat kepada anaknya itu seraya menatapnya dengan tatapan datar saja, karena di dalam lubuk hatinya pun kini ia merasa khawatir kepada hubungan rumah tangga Nisa dan Reza.“Tapi kamu serius gak makan apa pun selama ini? Selama tinggal sama Nisa? kan kami gak tahu juga kamu selama 6 bulan ini makannya bagaimana, ya meskipun Ayah tahu kalau badan kamu itu sekarang tambah gemuk saja,” tutur Toni lagi yang kini membahas masalah baru lagi.Sementara Reza saat ini sudah
Eneng menoleh ke arah Nisa ketika menatunya itu mengatakan permintaan maaf kepadanya, ya seperti asing saja di telinganya, padahal pada beberapa moment yang memang menurut Nisa genting, ia selalu minta maaf juga.Seperti kali ini, di saat suaminya sedang berada di rumah sakit, tentunya ia hanya ingin yang terbaik saja untuk suaminya itu, meski sementara harus mengesampingkan ego dan harga dirinya di depan ibu mertuanya itu.Toni masih membelai lembut pundak istrinya itu, lebih lembut dan lebih sering lagi gerakannya, seolah ingin membuyarkan lamunan Eneng dari ucapan maaf Nisa, dan agar segera ditanggapi olehnya.“Reza itu adalah anak yang baik, soleh banget, makanya Bunda selama ini selalu marah-marah sama kamu hanya karena ingin agar Reza dilayani dengan baik oleh istrinya saja, Nis,” ucap Eneng setelah menghela nafasnya panjang.Begitu pula dengan Nisa, yang mengaduh di dalam hatinya, tetap saja ibu mertuanya itu tidak ubah pendiriannya, ia tetap masih
Kini giliran Toni yang tersentak mendengar pertanyaan dari Nisa, kenapa menantunya itu bisa menyimpulkan demikian? Apa tahu dari Reza, padahal ia dan istrinya sudah mewanti-wanti Reza agar permintaan istrinya beberapa minggu lalu, jangan sampai bocor kepada Nisa.“Benar kan, Ayah?” tanya Nisa lagi karena memang Toni hanya diam saja, mematung, nampak pada wajahnya rasa kikuk dan khawatir seperti maling yang ketangkap basah saja.“Eh, kamu jangan menyimpulkan demikian, Nis, gak boleh! Kamu tetap gak boleh mengira bahwa Bunda menginginkan perpisahan kamu dengan Reza, bagaimana pun sebagai orang tua, tentu saja kami menginginkan hal terbaik untuk anak-anaknya, kamu gak usah berpikir jauh seperti itu, ya!” Toni membantah.Nisa hanya diam saja, sudah tidak lagi mendesak Toni, karena memang tidak sopan juga mendesak mertuanya itu yang bersikap baik kepadanya meskipun DKI (di bawah ketiak istri) tidak bisa membela dirinya ketika butuh bantuan dari ibu mertuanya.Nis
“Bagaimana, Dok?” tanya Toni dengan wajah panic dan penuh harap ketika dokter yang menangani Reza operasi sudah keluar. “Kita lihat perkembangannya nanti, ya ketika pasien sudah sadar, sebab usus buntu yang udah pecah, berantakan ke mana-mana, dan kami tidak bisa membersihkannya dengan total, khawatir akan merusak organ tubuh yang lain juga, karena memang sudah tersebar,” tutur Dokter muda itu menjelaskan kepada Toni. “Tapi anak saya bakal kembali sembuh total kan, Dok? Dan berapa lama akan sadar?” tanya Toni lagi. “Tergantung daya tahan tubuh Pasien, bisa 6 sampai 10 jam. Kita berdoa saja, ya Pak. Kita lihat perkembangannya nanti, selamat sore, saya harus pergi dulu.” Dokter itu pun berlalu meninggalkan Toni dan Nisa, sementara Reza? Dari ruang operasi dipindahkan ke ruang ICU (Intensive Car Unit). Toni menghela nafasnya lagi berat, ia tak menyangka setelah menunggu hampir 3 jam di ruang operasi karena memang untuk membersihkan kotoran yang sudah menye
“Sebaiknya kamu pulang saja, Nis, ini sudah malam, dan kemungkinan Reza juga siumannya tengah malam,” ucap Toni kepada menantunya, Nisa untuk pulang lagi, dan beristirahat di rumahnya saja.“Tapi, Yah…” Nisa sedikit menolak, karena ia masih saja belum tenang dengan perasaannya, iamasih dilanda begitu banyak rasa takut dan khawatir, ya takut jika suaminya itu kenapa-kenapa.“Gak apa-apa, kamu yakin saja, ya bahwa cerita si Bunda mengenai tetangganya itu gak akan berlaku untuk Reza,” balas Toni seolah tahu dengan apa yang ada di dalam pikirannya Nisa.Nisa diam sejenak, dengan wajah yang masih saja diliputi banyak sekali kesenduan, tentu istri mana pula yang akan merasa baik-baik saja jika suaminya masih belum jelas keadaannya saat ini, padahal sebelumnya sudah melewati masa kritis di meja hijau juga, akan tetapi itu saja belum cukup.“Masalahnya sih karena usus buntunya aja yang pecah, mungkin kalau gak pecah, Reza akan lebih mudah disembuhkan, Nis!” ucap Ton