Kini giliran Toni yang tersentak mendengar pertanyaan dari Nisa, kenapa menantunya itu bisa menyimpulkan demikian? Apa tahu dari Reza, padahal ia dan istrinya sudah mewanti-wanti Reza agar permintaan istrinya beberapa minggu lalu, jangan sampai bocor kepada Nisa.
“Benar kan, Ayah?” tanya Nisa lagi karena memang Toni hanya diam saja, mematung, nampak pada wajahnya rasa kikuk dan khawatir seperti maling yang ketangkap basah saja. “Eh, kamu jangan menyimpulkan demikian, Nis, gak boleh! Kamu tetap gak boleh mengira bahwa Bunda menginginkan perpisahan kamu dengan Reza, bagaimana pun sebagai orang tua, tentu saja kami menginginkan hal terbaik untuk anak-anaknya, kamu gak usah berpikir jauh seperti itu, ya!” Toni membantah. Nisa hanya diam saja, sudah tidak lagi mendesak Toni, karena memang tidak sopan juga mendesak mertuanya itu yang bersikap baik kepadanya meskipun DKI (di bawah ketiak istri) tidak bisa membela dirinya ketika butuh bantuan dari ibu mertuanya. Nis“Bagaimana, Dok?” tanya Toni dengan wajah panic dan penuh harap ketika dokter yang menangani Reza operasi sudah keluar. “Kita lihat perkembangannya nanti, ya ketika pasien sudah sadar, sebab usus buntu yang udah pecah, berantakan ke mana-mana, dan kami tidak bisa membersihkannya dengan total, khawatir akan merusak organ tubuh yang lain juga, karena memang sudah tersebar,” tutur Dokter muda itu menjelaskan kepada Toni. “Tapi anak saya bakal kembali sembuh total kan, Dok? Dan berapa lama akan sadar?” tanya Toni lagi. “Tergantung daya tahan tubuh Pasien, bisa 6 sampai 10 jam. Kita berdoa saja, ya Pak. Kita lihat perkembangannya nanti, selamat sore, saya harus pergi dulu.” Dokter itu pun berlalu meninggalkan Toni dan Nisa, sementara Reza? Dari ruang operasi dipindahkan ke ruang ICU (Intensive Car Unit). Toni menghela nafasnya lagi berat, ia tak menyangka setelah menunggu hampir 3 jam di ruang operasi karena memang untuk membersihkan kotoran yang sudah menye
“Sebaiknya kamu pulang saja, Nis, ini sudah malam, dan kemungkinan Reza juga siumannya tengah malam,” ucap Toni kepada menantunya, Nisa untuk pulang lagi, dan beristirahat di rumahnya saja.“Tapi, Yah…” Nisa sedikit menolak, karena ia masih saja belum tenang dengan perasaannya, iamasih dilanda begitu banyak rasa takut dan khawatir, ya takut jika suaminya itu kenapa-kenapa.“Gak apa-apa, kamu yakin saja, ya bahwa cerita si Bunda mengenai tetangganya itu gak akan berlaku untuk Reza,” balas Toni seolah tahu dengan apa yang ada di dalam pikirannya Nisa.Nisa diam sejenak, dengan wajah yang masih saja diliputi banyak sekali kesenduan, tentu istri mana pula yang akan merasa baik-baik saja jika suaminya masih belum jelas keadaannya saat ini, padahal sebelumnya sudah melewati masa kritis di meja hijau juga, akan tetapi itu saja belum cukup.“Masalahnya sih karena usus buntunya aja yang pecah, mungkin kalau gak pecah, Reza akan lebih mudah disembuhkan, Nis!” ucap Ton
“Alhamdulillah kamu sadar juga, Reza,” ucap Eneng penuh haru ketika mendapati anak kesayangannya itu telah sadar, meski masih berada di ruangan ICU dan masih belum bisa apa pun, masih banyak selang yang terpasanga pada tubuhnya.Reza tak menjawab, sebab memang keadaannya masih sangat kritis, dan di hidungny pun masih terpasang selang, sehingga menjadikannya tidak bisa menjawab, hanya matanya saja yang sayu mampu berbicara.“Iya, Bun, ayah juga senang banget akhirnya anak kita ini bisa sadar juga,” seru Toni ikut berbicara juga, yang kini masing-masing ada di sisi kanan dan kirinya Reza, sementara Nisa tentu saja ada di bawah.“Oha, ya Nis, tolong bersihkan diappersnya Reza, ya! Sudah 6 jam lalu dipasang oleh perawat, terpaksa, dia juga malu kalau harus dipasang oleh perawat karena memang tadi malam gak ada orang lagi,” tutur Toni memberikan imbauan kepada menantunya, Nisa, agar menggantikan diappernnya Reza.Yaa, Reza sudah sadar hampir 12 jam, dan memang b
“Iya,” sahut Nisa dengan mata haru, dan hati yang sudah yakin bahwa Reza pun akan meminta maaf kepada dirinya itu.“Kamu pun harus minta maaf sama Ayah dan Bunda, ya. Karena semua ini terjadi diakibatkan kita berdua banyak membantah dan menyela apa yang dinasihati oleh Bunda,” tutur Reza dengan terbata-bata, akan tetapi cukup jelas di telinga Nisa dan hatinya.DEGNisa yang awalnya menyangka bahwa ia akan mendengar kalimat maaf dari suaminya, dan menyesali dengan apa yang diperbuat olehnya, akan tetapi ternyata keliru, lelaki itu malah meminta dirinya untuk meminta maaf kepada mertuanya.“Tuh, Nis, dengar! Suamimu itu memang benaran suami yang baik dan idaman, kan? Dia gak mau hanya minta maaf sendiri saja, ia mengajak istrinya agar sama-sama segera kembali ke jalan yang benar, gak banyak membantah lagi ketika dinasihati,” sambung Eneng.Dan semakin sakit saja kini hatinya Nisa, ya tertusuk oleh kata-kata yang dikeluarkan oleh suami dan ibu mertuanya,
“Nih formulirnya, Nis! Kamu bisa pergi ke kantor BPJS sekarang juga biar Reza ayah dan Bunda aja yang jaga, karena memang hari ini ada teman-teman Bunda yang akan menjenguk Reza ke sini,” tutur Eneng menyerahkan lembaran kertas formulir pendaftaran, memberikan perintah kepada Nisa agar segera berlalu dan pergi.“Eh, iya, Bun.” Nisa segera meraih kertas yang diberikan oleh ibu mertuanya itu, melihatnya dengan seksama, ya memang benar itu adalah formulir pendaftaran BPJS.“Kamu ambil kelas satu aja, yang paling bagus!” ucapnya lagi memberikan perintah.“Iya, Bun.” Nisa menjawab seraya masih memperhatikan kata demi kata tulisan yang tertera di kertas itu, mencoba untuk memahaminya, sebelum diisi.“Ya udah kamu ke sana sekarang! Mumpung masih pagi juga, antriannya pasti lama, Nis!” Eneng seperti mengusir Nisa saja untuk segera pergi dari rumah sakit itu.“Iya, Nis, benar kata Bunda, lebih baik kamu pergi sekarang aja, ya tolong, biar cepat beres juga,” sah
“Wah, Bu Haji, kita ketemu lagi di sini,” seru wanita paruh baya yang usianya tak jauh dari Eneng, ya itu adalah kepala sekolah yang ada di sekolah Eneng, dia datang bersama satu rekan gurunya lagi sebagai perwakilan saja karena memang pada weekend sudah biasa jika banyak sekali acara.“Iya nih Bu Endah, ayok masuk sini, Bu Endah, Bu Hani!” Eneng mempersilakan kedua tamunya itu untuk masuk ke dalam ruangan, di mana Reza masih dirawat.“Duh anak jagoan si Bunda lagi sakit, ya. Masih kerasa sakit, ga?” sapa wanita paruh baya yang bernama Endah itu menyapa Reza.“Alhamdulillah sudah baikan, Bu. He he he.” Reza menjawab seraya tersenyum simpul kepada tamu Bundanya itu.“Syukurlah kalau memang sudah baikan, biar cepat pulang! Kasihan tuh Bundanya, katanya harus menyiapkan uang banyak untuk biaya rumah sakit ini,” cetus Bu Hani yang kini ikut menimpali.“Untung aja, ya Ayah dan bundanya banyak uang, jadi gak perlu ketakutan kurang biaya,” sahut Bu Endah lagi
“Besok Reza pulang, untuk sementara waktu dia akan tinggal di rumah Bunda dulu, ya Nis, tapi kamu tetap tinggal di rumah Mawar (rumah yang ditempati Reza dan Nisa, hasil pemberian dari orang tuanya Reza)” ungkap Eneng memberitahu Nisa. Nisa yang mendengar penuturan dari ibu mertuanya pun kini tersentak kaget. ‘lho, kenapa harus tinggal terpisah?’ tanya Nisa dalam hatinya, dengan dahi yang terlipat, belum faham sepenuhnya dengan tujuan ibu mertuanya itu. “Kamu gak usah berpikir ke mana-mana dulu, Nis. Tujuannya Reza tinggal di rumah Bunda tentunya agar bisa terawat dengan baik, makanannya juga gak boleh asal, kan? Dan kenapa juga kamu tetap tinggal di rumah Mawar karena rumah itu tetap harus dijaga dan dirawat, karena nyawa rumah itu adalah penghuninya… “kalau ditinggalkan yang ada nanti rusak, kamu boleh kok menemani Reza nanti di rumah Bunda, tapi tidurnya tetap di rumah Mawar, ya.” Eneng menjelaskan dengan gamblang. Ya meksip
“Oh jadi si Bunda bilang begitu, kamu ikuti aja dulu, ya apa yang diinginkan oleh si Bunda, biar dia gak marah-marah lagi ke kamu, Nis.” Toni memberikan saran kepada Nisa agar ia turut dan patuh saja kepada istrinya, tentunya demi kebaikan semuanya, karena pada dasarnya, Toni sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa. “Iya, Ayah,” jawab Nisa singkat dan padat, seraya menganggukkan kepalanya, Reza masih diam saja, seperti biasa, ia tetap cuek dengan istrinya, seolah apa yang terjadi antara istri dan Bundanya itu adalah urusan keduanya saja, ia tak punya andil apa pun untuk ikut campur. Ketiganya pun kini sampai di tempat tujuan, ya di rumah Toni yang ia beli sebelum menikah, bahkan dijadikan salah satu sebagai mahar untuk Eneng, karena saking cintanya. Dulu toni habis-habisan menyerahkan semua hartanya kepada Eneng, akan tetapi Eneng sendiri melarang anaknya, Reza untuk bertindak seperti itu kepada istrinya, entahlah! “Perbannya ka