“Nih formulirnya, Nis! Kamu bisa pergi ke kantor BPJS sekarang juga biar Reza ayah dan Bunda aja yang jaga, karena memang hari ini ada teman-teman Bunda yang akan menjenguk Reza ke sini,” tutur Eneng menyerahkan lembaran kertas formulir pendaftaran, memberikan perintah kepada Nisa agar segera berlalu dan pergi.
“Eh, iya, Bun.” Nisa segera meraih kertas yang diberikan oleh ibu mertuanya itu, melihatnya dengan seksama, ya memang benar itu adalah formulir pendaftaran BPJS. “Kamu ambil kelas satu aja, yang paling bagus!” ucapnya lagi memberikan perintah. “Iya, Bun.” Nisa menjawab seraya masih memperhatikan kata demi kata tulisan yang tertera di kertas itu, mencoba untuk memahaminya, sebelum diisi. “Ya udah kamu ke sana sekarang! Mumpung masih pagi juga, antriannya pasti lama, Nis!” Eneng seperti mengusir Nisa saja untuk segera pergi dari rumah sakit itu. “Iya, Nis, benar kata Bunda, lebih baik kamu pergi sekarang aja, ya tolong, biar cepat beres juga,” sah“Wah, Bu Haji, kita ketemu lagi di sini,” seru wanita paruh baya yang usianya tak jauh dari Eneng, ya itu adalah kepala sekolah yang ada di sekolah Eneng, dia datang bersama satu rekan gurunya lagi sebagai perwakilan saja karena memang pada weekend sudah biasa jika banyak sekali acara.“Iya nih Bu Endah, ayok masuk sini, Bu Endah, Bu Hani!” Eneng mempersilakan kedua tamunya itu untuk masuk ke dalam ruangan, di mana Reza masih dirawat.“Duh anak jagoan si Bunda lagi sakit, ya. Masih kerasa sakit, ga?” sapa wanita paruh baya yang bernama Endah itu menyapa Reza.“Alhamdulillah sudah baikan, Bu. He he he.” Reza menjawab seraya tersenyum simpul kepada tamu Bundanya itu.“Syukurlah kalau memang sudah baikan, biar cepat pulang! Kasihan tuh Bundanya, katanya harus menyiapkan uang banyak untuk biaya rumah sakit ini,” cetus Bu Hani yang kini ikut menimpali.“Untung aja, ya Ayah dan bundanya banyak uang, jadi gak perlu ketakutan kurang biaya,” sahut Bu Endah lagi
“Besok Reza pulang, untuk sementara waktu dia akan tinggal di rumah Bunda dulu, ya Nis, tapi kamu tetap tinggal di rumah Mawar (rumah yang ditempati Reza dan Nisa, hasil pemberian dari orang tuanya Reza)” ungkap Eneng memberitahu Nisa. Nisa yang mendengar penuturan dari ibu mertuanya pun kini tersentak kaget. ‘lho, kenapa harus tinggal terpisah?’ tanya Nisa dalam hatinya, dengan dahi yang terlipat, belum faham sepenuhnya dengan tujuan ibu mertuanya itu. “Kamu gak usah berpikir ke mana-mana dulu, Nis. Tujuannya Reza tinggal di rumah Bunda tentunya agar bisa terawat dengan baik, makanannya juga gak boleh asal, kan? Dan kenapa juga kamu tetap tinggal di rumah Mawar karena rumah itu tetap harus dijaga dan dirawat, karena nyawa rumah itu adalah penghuninya… “kalau ditinggalkan yang ada nanti rusak, kamu boleh kok menemani Reza nanti di rumah Bunda, tapi tidurnya tetap di rumah Mawar, ya.” Eneng menjelaskan dengan gamblang. Ya meksip
“Oh jadi si Bunda bilang begitu, kamu ikuti aja dulu, ya apa yang diinginkan oleh si Bunda, biar dia gak marah-marah lagi ke kamu, Nis.” Toni memberikan saran kepada Nisa agar ia turut dan patuh saja kepada istrinya, tentunya demi kebaikan semuanya, karena pada dasarnya, Toni sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa. “Iya, Ayah,” jawab Nisa singkat dan padat, seraya menganggukkan kepalanya, Reza masih diam saja, seperti biasa, ia tetap cuek dengan istrinya, seolah apa yang terjadi antara istri dan Bundanya itu adalah urusan keduanya saja, ia tak punya andil apa pun untuk ikut campur. Ketiganya pun kini sampai di tempat tujuan, ya di rumah Toni yang ia beli sebelum menikah, bahkan dijadikan salah satu sebagai mahar untuk Eneng, karena saking cintanya. Dulu toni habis-habisan menyerahkan semua hartanya kepada Eneng, akan tetapi Eneng sendiri melarang anaknya, Reza untuk bertindak seperti itu kepada istrinya, entahlah! “Perbannya ka
[“Nis, kamu udah ambil antrian belum?”] tanya Toni melalui hubungan telephone.“Belum, Ya. Ini masih antri daftarnya dulu, kan untuk pertama kali harus daftar dulu, selebihnya nanti mungkin akan lebih mudah.” Nisa menjawab karena memang meskipun ia datang pagi-pagi sekali, tetap saja ternyata sudah lebih banyak orang yang datang lebih pagi darinya.[“Wah, kamu kesiangan, ya tadi ke sananya?”] Toni menyimpulkan.“Gak, kok Ayah. Tadi aku nyampe sini jam 5.30 pagi, tapi ternyata memang sudah banyak yang antri, dan pendaftaran bukanya tetap jam 8 pagi.” Nisa menjelaskan, dan saat ini jam sudah menunjukkan pukul 9, dan Nisa sama sekali belum mendapatkan antrian ke dokter yang dituju.Ia masih antri untuk mengurus administrasinya terlebih dulu, ahh, memang banyak sekali prosedurenya yang harus dilalui, untung saja ada satpam di sana, yang bisa Nisa tanya ketika ia tidak mengerti.[“Ya udah kalau begitu, nanti kasih tahu aja, ya kalau antriannya udah dekat, biar ayah dan Reza di s
“Eh, Nis, udah datang.” Wajah Eneng pias karena kedatangan Nisa yang tiba-tiba saja, di saat ia sedang membahas masalah menantunya itu, ya meskipun bagi Nisa sendiri sudah tidak aneh lagi mendengar cemoohan dari ibu mertuanya, akan tetapi tetap saja jika langsung ketangkap basah seperti itu, Eneng ketar-ketir, karena ia pun selalu ingin nampak baik, sempurna di mata semuanya, termasuk di mata Nisa.“Iya, Bun, udah.” Nisa menjawab seraya meletakkan obat yang dibungkus oleh plastic putih tersebut. Lalu menghempaskan tubuhnya dan duduk di sofa dekat dengan Reza.“Ya udah kalian berdua ngobrol aja dulu, ya! Ayah dan Bunda mau ke kamar dulu istirahat.” Eneng bergegas dari duduknya, diikuti oleh suaminya Toni.Dan kini hanya tinggal tersisa Reza dan Nisa saja di sana, dengan mangkuk yang sudah kosong, sepertinya bekas makan siang Reza yang belum dibersihkan.“Kenapa sih aku gak boleh nginep di sini?” tanya Nisa kepada suaminya, hal yang tentunya tak akan ada manfaat apa pun jika be
“Mas, kamu ketemu lagi sama Nisa?” Rika bertanya dengan tatapan mata tajam kepada suaminya itu, yang ketahuan kembali bertemu dengan Nisa, boneka mainannya dulu.Dani yang mendengarnya pun langsung menoleh ke arah Rika, mengerutkan dahinya, menatap rika dengan tatapan terkejut dan juga khawatir jika istrinya itu kembali marah.“Kamu tahu dari siapa, sayang? jangan asal menuduh saja!” Dani bertanya balik kepada Rika dengan perkataan yang lembut, bahkan kini tangannya sudah menjulur, membelai lembut rambut sang istri, akan tetapi sentuhan lembut suaminya itu ditepiskan oleh Rika.“Jawab jujur! Gak usah ke mana-mana dulu tangannya!” Rika menegaskan, menatap Dani dengan serius, menuntut jawaban dari suami.“Iya, aku tanya dulu kamu tahu dari siapa? Apa Bu Siti lagi yang laporan sama kamu?” Dani menebak, bahwa Sitilah yang ada di balik semuanya ini, karena hanya dialah satu-satunya orang yang usil kepada dirinya dan juga Rika, mungkin masih ada dendam karena cintanya ditolak oleh
“Lho, ada roti, kamu dikasih makan roti sama si Bunda?” Nisa yang baru saja tidak di rumah mertuanya, untuk menjenguk Reza terperanjat karena mendapati sepiring roti dengan merk ternama terhidang di meja, depan.“Si Bunda yang ngasih, katanya gak apa-apa, roti ini lembut banget, kan roti mahal,” jawab Reza sekenanya saja, dan kini mulai membuka kembai bungkusan roti tersebut, lalu dimasukkannya ke dalam mulut dengan lahap.Nisa mengaduh, merutuki kebodohan ibu mertuanya itu, entah memang bodoh atau terlalu pintar, sampai tidak bisa membedakan makanan yang harus masuk ke dalam tubuh Reza.“Astaga, kan kamu lagi sakit, Reza! Dan yang bermasalah adanya alat pencernaan kamu, bagaimana mungkin kamu dikasih makan yang keras seperti roti itu.” Nisa menyampaikan rasa gundahnya, khawatir jika nanti terjadi apa-apa dengan suaminya itu akibat perawatan yang salah dari ibu mertuanya.“Kamu ini gak usah berlebihan gitu, Nis! Kan si Bunda juga bilang kalau roti ini gak apa-apa, karena ini
“Itu, Bun, Nisa sama si ayah marahin aku, katanya gak usah banyak-banyak makan roti, karena alat pencernaanku belum sembuh benar, padahal aku yang merasakannya sendiri kok, dan aman-aman aja, gak ngerasa sakit atau apa pun setelah makan roti banyak,” tutur Reza laporan kepada Bundanya, Eneng.Yaa, seperti dapat kekuatan penuh, yang awalnya Reza merasa bad mood dengan apa yang dikatakan oleh Nisa dan Ayahnya mengenai dirinya yang terlalu banyak makan, akan tetapi kini wajahnya begitu cerah setelah kedatangan bundanya, karena sudah pasti ia akan dibela.Eneng diam sejenak, lalu menoleh ke arah Nisa dan Toni bergantian, lalu ke arah meja, lebih tepatnya pada piring yang berisi roti, yang kini hanya tinggal bersisa 3 lagi, padahal sebelum ia pergi arisan, ia meninggalkan 6 bungkus roti.“Memanganya kamu makan berapa bungkus, Za?” tanya Eneng santai saja, bahkan ia masih menenteng tas jinjingnya bak sosialita, ia sama sekali belum menaruh tasnya itu ke kamar, karena su