“Eh, Nis, udah datang.” Wajah Eneng pias karena kedatangan Nisa yang tiba-tiba saja, di saat ia sedang membahas masalah menantunya itu, ya meskipun bagi Nisa sendiri sudah tidak aneh lagi mendengar cemoohan dari ibu mertuanya, akan tetapi tetap saja jika langsung ketangkap basah seperti itu, Eneng ketar-ketir, karena ia pun selalu ingin nampak baik, sempurna di mata semuanya, termasuk di mata Nisa.“Iya, Bun, udah.” Nisa menjawab seraya meletakkan obat yang dibungkus oleh plastic putih tersebut. Lalu menghempaskan tubuhnya dan duduk di sofa dekat dengan Reza.“Ya udah kalian berdua ngobrol aja dulu, ya! Ayah dan Bunda mau ke kamar dulu istirahat.” Eneng bergegas dari duduknya, diikuti oleh suaminya Toni.Dan kini hanya tinggal tersisa Reza dan Nisa saja di sana, dengan mangkuk yang sudah kosong, sepertinya bekas makan siang Reza yang belum dibersihkan.“Kenapa sih aku gak boleh nginep di sini?” tanya Nisa kepada suaminya, hal yang tentunya tak akan ada manfaat apa pun jika be
“Mas, kamu ketemu lagi sama Nisa?” Rika bertanya dengan tatapan mata tajam kepada suaminya itu, yang ketahuan kembali bertemu dengan Nisa, boneka mainannya dulu.Dani yang mendengarnya pun langsung menoleh ke arah Rika, mengerutkan dahinya, menatap rika dengan tatapan terkejut dan juga khawatir jika istrinya itu kembali marah.“Kamu tahu dari siapa, sayang? jangan asal menuduh saja!” Dani bertanya balik kepada Rika dengan perkataan yang lembut, bahkan kini tangannya sudah menjulur, membelai lembut rambut sang istri, akan tetapi sentuhan lembut suaminya itu ditepiskan oleh Rika.“Jawab jujur! Gak usah ke mana-mana dulu tangannya!” Rika menegaskan, menatap Dani dengan serius, menuntut jawaban dari suami.“Iya, aku tanya dulu kamu tahu dari siapa? Apa Bu Siti lagi yang laporan sama kamu?” Dani menebak, bahwa Sitilah yang ada di balik semuanya ini, karena hanya dialah satu-satunya orang yang usil kepada dirinya dan juga Rika, mungkin masih ada dendam karena cintanya ditolak oleh
“Lho, ada roti, kamu dikasih makan roti sama si Bunda?” Nisa yang baru saja tidak di rumah mertuanya, untuk menjenguk Reza terperanjat karena mendapati sepiring roti dengan merk ternama terhidang di meja, depan.“Si Bunda yang ngasih, katanya gak apa-apa, roti ini lembut banget, kan roti mahal,” jawab Reza sekenanya saja, dan kini mulai membuka kembai bungkusan roti tersebut, lalu dimasukkannya ke dalam mulut dengan lahap.Nisa mengaduh, merutuki kebodohan ibu mertuanya itu, entah memang bodoh atau terlalu pintar, sampai tidak bisa membedakan makanan yang harus masuk ke dalam tubuh Reza.“Astaga, kan kamu lagi sakit, Reza! Dan yang bermasalah adanya alat pencernaan kamu, bagaimana mungkin kamu dikasih makan yang keras seperti roti itu.” Nisa menyampaikan rasa gundahnya, khawatir jika nanti terjadi apa-apa dengan suaminya itu akibat perawatan yang salah dari ibu mertuanya.“Kamu ini gak usah berlebihan gitu, Nis! Kan si Bunda juga bilang kalau roti ini gak apa-apa, karena ini
“Itu, Bun, Nisa sama si ayah marahin aku, katanya gak usah banyak-banyak makan roti, karena alat pencernaanku belum sembuh benar, padahal aku yang merasakannya sendiri kok, dan aman-aman aja, gak ngerasa sakit atau apa pun setelah makan roti banyak,” tutur Reza laporan kepada Bundanya, Eneng.Yaa, seperti dapat kekuatan penuh, yang awalnya Reza merasa bad mood dengan apa yang dikatakan oleh Nisa dan Ayahnya mengenai dirinya yang terlalu banyak makan, akan tetapi kini wajahnya begitu cerah setelah kedatangan bundanya, karena sudah pasti ia akan dibela.Eneng diam sejenak, lalu menoleh ke arah Nisa dan Toni bergantian, lalu ke arah meja, lebih tepatnya pada piring yang berisi roti, yang kini hanya tinggal bersisa 3 lagi, padahal sebelum ia pergi arisan, ia meninggalkan 6 bungkus roti.“Memanganya kamu makan berapa bungkus, Za?” tanya Eneng santai saja, bahkan ia masih menenteng tas jinjingnya bak sosialita, ia sama sekali belum menaruh tasnya itu ke kamar, karena su
[“Nis, kamu tolong segera ke rumah sakit, urus administrasinya Reza lagi, ya. Reza masuk rumah sakit lagi, perutnya kembung lagi, dan dia mengeluh kesakitan terus menerus.”] ucap Toni memberikan kabar kepada Nisa melalui hubungan telephone.DEGNisa yang mendengar kabar buruk itu, ia langsung saja tersentak, bungkam, tak bisa lagi berkata, hanya terpaku saja pada keadaan tersebut.[“Nis, kamu dengar Ayah, kan?”] Toni bertanya lagi kepada Nisa, karena tak ada jawaban apa pun dari menantunya itu.“Iya, ayah, aku dengar, aku akan segera pergi ke rumah sakit juga, mempersiapkan semua dokumennya,” ucap Nisa spontan karena dibuyarkan lamunannya oleh ayah mertuanya itu.Dan seketika, hubungan komunikasi lewat telephone itu pun terhenti sampai di sana, dan dengan cepat pula Nisa membereskan dokumen-dokumen yang memang berguna untuk administrasi di rumah sakit dengan BPJS.“Duh, ini pasti karena kemarin lusa Reza makan roti banyak, lagi pula, ya itu si Bu
“Eh, yang delapan hari lalu baru pulang, kan Teh?” tanya salah satu perawat ketika Nisa memasuki ruangan perawat untuk mengambil kartu tunggu yang ditukar dengan kartu identitasnya. Yaa, tentu saja perawat yang bertugas di ruangan itu sudah hafal dengan Nisa yang seharian menunggu Reza.Karena saat ini pun Reza masih dirawat di ruangan yang sama, seperti sebelumnya, di kelas satu, yang mana ruangan itu berisi dua orang pasien yang hanya ditutup oleh tirai gorden berwarna hijau saja.“Eh, iya, Bu.” Nisa menjawab ramah dengan bibir yang ia sunggingkan, tersenyum.“Kok bisa sampai dioperasi kedua sih, Teh? Apa memang makannya gak dijaga, ya?” tanya wanita paruh baya yang berpakaian putih dan celana warna hijau muda, ya sebagai seragam dari rumah sakit tersebut.“Saya gak tahu, Bu, sebab yang ngerawat adalah ibu mertua saja sendiri, saya malah disuruh untuk jagain rumah aja,” celetuk Nisa sekenanya saja sehingga perawat itu pun hanya tersenyum getir saja sebelum
Siang berganti menjadi malam, dan hari pun berganti menjadi minggu, begitu pula dengan minggu yang kini sudah berganti menjadi bulan, hingga tibalah pada hari bulan kesatu di mana Reza pulang kembali, setelah melakukan operasi keduanya tujuh hari lalu.“Bun, sebenarnya Nisa kemarin pengin aku pulang aja ke rumah dengannya di rumah Mawar,” celtuk Reza, laporan kepada sang ibu, yang saat ini sedang asyik memainkan ponsel pintarnya dengan dahi mengerut, seketika Eneng pun langsung menoleh ke arah Reza, yang baru saja minum obat yang diberikan oleh dokter.“Kenapa masih ngotot aja sih pengin ngerawat kamu, padahal seharusnya istri kamu itu bersyukur karena ibu mertuanya ini mau merawat suaminya, dikasih enak malah gak tahu berterima kasih, ya!” Sinar mata Eneng kembali bersinar, seolah ada rasa emosi dan dongkol padanya, jika berbicara mengenai menantunya itu, menantu yang sudah tak inginkan olehnya. Sementara Reza hanya mengangkat bahunya saja, tidak tahu.“Me
“Nis, jadi Reza itunolak karena capek kerja, kamu jangan berpikir macam-macam sama dia, kamu harus faham juga kalau misalkan Reza gak bisa setiap malam nerima ajakan kamu untuk berhubungan badan,” celetuk Eneng kepada Nisa.Yaa, ketika menantunya itu berkunjung ke rumah ibu mertuanya untuk menjenguk suaminya sendiri. Sementara itu, Reza seperti biasa malah tertidur, padahal awalnya ia ingin sekali pulang, akan tetapi ibu mertuanya tiba-tiba saja datang dan mengajaknya ngobrol.“Tapi Reza lebih seringnya menolak, mungkin hanya hitungan jari saja kami melakukannya sepanjang pernikahan ini,” jawab Nisa tak ingin kalah, ia tetap mengutarakan bahwa memang Reza jarang sekali memberikan nafkah bathin, padahal nafkah lahirnya saja masih amat sangat kurang.Eneng menghela nafasnya panjang, lelau diembuskannya seraya menyenderkan tubuhnya itu kea rah sofa yang ada di ruang tamu tersebut.“Itu seharusnya pintar-pintar kamunya aja sebagai istri, Nis, bunda juga sama kok