“Itu, Bun, Nisa sama si ayah marahin aku, katanya gak usah banyak-banyak makan roti, karena alat pencernaanku belum sembuh benar, padahal aku yang merasakannya sendiri kok, dan aman-aman aja, gak ngerasa sakit atau apa pun setelah makan roti banyak,” tutur Reza laporan kepada Bundanya, Eneng.
Yaa, seperti dapat kekuatan penuh, yang awalnya Reza merasa bad mood dengan apa yang dikatakan oleh Nisa dan Ayahnya mengenai dirinya yang terlalu banyak makan, akan tetapi kini wajahnya begitu cerah setelah kedatangan bundanya, karena sudah pasti ia akan dibela. Eneng diam sejenak, lalu menoleh ke arah Nisa dan Toni bergantian, lalu ke arah meja, lebih tepatnya pada piring yang berisi roti, yang kini hanya tinggal bersisa 3 lagi, padahal sebelum ia pergi arisan, ia meninggalkan 6 bungkus roti. “Memanganya kamu makan berapa bungkus, Za?” tanya Eneng santai saja, bahkan ia masih menenteng tas jinjingnya bak sosialita, ia sama sekali belum menaruh tasnya itu ke kamar, karena su[“Nis, kamu tolong segera ke rumah sakit, urus administrasinya Reza lagi, ya. Reza masuk rumah sakit lagi, perutnya kembung lagi, dan dia mengeluh kesakitan terus menerus.”] ucap Toni memberikan kabar kepada Nisa melalui hubungan telephone.DEGNisa yang mendengar kabar buruk itu, ia langsung saja tersentak, bungkam, tak bisa lagi berkata, hanya terpaku saja pada keadaan tersebut.[“Nis, kamu dengar Ayah, kan?”] Toni bertanya lagi kepada Nisa, karena tak ada jawaban apa pun dari menantunya itu.“Iya, ayah, aku dengar, aku akan segera pergi ke rumah sakit juga, mempersiapkan semua dokumennya,” ucap Nisa spontan karena dibuyarkan lamunannya oleh ayah mertuanya itu.Dan seketika, hubungan komunikasi lewat telephone itu pun terhenti sampai di sana, dan dengan cepat pula Nisa membereskan dokumen-dokumen yang memang berguna untuk administrasi di rumah sakit dengan BPJS.“Duh, ini pasti karena kemarin lusa Reza makan roti banyak, lagi pula, ya itu si Bu
“Eh, yang delapan hari lalu baru pulang, kan Teh?” tanya salah satu perawat ketika Nisa memasuki ruangan perawat untuk mengambil kartu tunggu yang ditukar dengan kartu identitasnya. Yaa, tentu saja perawat yang bertugas di ruangan itu sudah hafal dengan Nisa yang seharian menunggu Reza.Karena saat ini pun Reza masih dirawat di ruangan yang sama, seperti sebelumnya, di kelas satu, yang mana ruangan itu berisi dua orang pasien yang hanya ditutup oleh tirai gorden berwarna hijau saja.“Eh, iya, Bu.” Nisa menjawab ramah dengan bibir yang ia sunggingkan, tersenyum.“Kok bisa sampai dioperasi kedua sih, Teh? Apa memang makannya gak dijaga, ya?” tanya wanita paruh baya yang berpakaian putih dan celana warna hijau muda, ya sebagai seragam dari rumah sakit tersebut.“Saya gak tahu, Bu, sebab yang ngerawat adalah ibu mertua saja sendiri, saya malah disuruh untuk jagain rumah aja,” celetuk Nisa sekenanya saja sehingga perawat itu pun hanya tersenyum getir saja sebelum
Siang berganti menjadi malam, dan hari pun berganti menjadi minggu, begitu pula dengan minggu yang kini sudah berganti menjadi bulan, hingga tibalah pada hari bulan kesatu di mana Reza pulang kembali, setelah melakukan operasi keduanya tujuh hari lalu.“Bun, sebenarnya Nisa kemarin pengin aku pulang aja ke rumah dengannya di rumah Mawar,” celtuk Reza, laporan kepada sang ibu, yang saat ini sedang asyik memainkan ponsel pintarnya dengan dahi mengerut, seketika Eneng pun langsung menoleh ke arah Reza, yang baru saja minum obat yang diberikan oleh dokter.“Kenapa masih ngotot aja sih pengin ngerawat kamu, padahal seharusnya istri kamu itu bersyukur karena ibu mertuanya ini mau merawat suaminya, dikasih enak malah gak tahu berterima kasih, ya!” Sinar mata Eneng kembali bersinar, seolah ada rasa emosi dan dongkol padanya, jika berbicara mengenai menantunya itu, menantu yang sudah tak inginkan olehnya. Sementara Reza hanya mengangkat bahunya saja, tidak tahu.“Me
“Nis, jadi Reza itunolak karena capek kerja, kamu jangan berpikir macam-macam sama dia, kamu harus faham juga kalau misalkan Reza gak bisa setiap malam nerima ajakan kamu untuk berhubungan badan,” celetuk Eneng kepada Nisa.Yaa, ketika menantunya itu berkunjung ke rumah ibu mertuanya untuk menjenguk suaminya sendiri. Sementara itu, Reza seperti biasa malah tertidur, padahal awalnya ia ingin sekali pulang, akan tetapi ibu mertuanya tiba-tiba saja datang dan mengajaknya ngobrol.“Tapi Reza lebih seringnya menolak, mungkin hanya hitungan jari saja kami melakukannya sepanjang pernikahan ini,” jawab Nisa tak ingin kalah, ia tetap mengutarakan bahwa memang Reza jarang sekali memberikan nafkah bathin, padahal nafkah lahirnya saja masih amat sangat kurang.Eneng menghela nafasnya panjang, lelau diembuskannya seraya menyenderkan tubuhnya itu kea rah sofa yang ada di ruang tamu tersebut.“Itu seharusnya pintar-pintar kamunya aja sebagai istri, Nis, bunda juga sama kok
“Nis, kamu ngapain sih bilang-bilang masalah hubungan badan juga sama ayah dan Bunda, kan aku yang kena dampratnya dimarahi.” Reza bersungut-sungut, protes kepada istrinya itu yang datang kembali, seperti biasanya, menjenguk Reza ketika pulang dari mengajar.“Emangnya salah? Kan aku hanya menjelaskan aja, dari pada nanti Bunda kamu berharap agar aku cepat hamil, lebih baik dijelaskan dari awal kan?” Nisa menjawabnya sesuai dengan logikanya yang memang ia ketahui bahwa ibu mertuanya itu sudah lama menginginkan cucu dari Nisa.Reza masih masam wajahnya, tidak tersenyum, terlihat sama sekali tidak suka dengan apa yang dikatakan oleh Nisa, apa pun alasannya, ia tetap tidak suka jika masalah ranjangnya diekspos, meski kepada kedua orang tuanya sendiri.“Iya, tapi aku malu Nis! Memangnya kamugak malu apa masalah pribadi kita, masalah ranjang diceritakan sama orang lain,” sahut Reza, tetap tidak terima dengan alasan Nisa yang menurutnya hanya memperburuk keadaan saja, ba
“Udah, Bun. aku udah ngasih tahu kok, tapi ya itu susah banget diomonginnya, Nisa memang kerasa kepala,” jawab Reza seraya bundanya masih mengelap bagian atas tubuhnya yang terbuka dengan penuh kehati-hatian, khawatir jika air akan membasahi luka bekas operasinya. Dan bagian bawah tubuh Reza hanya tertutup oleh sarung sarang.Sebenarnya Reza sendiri bisa melakukan hal itu tanpa harus dimandiin oleh bundanya, sudah bukan waktunya lagi dengan statusnya saat ini yang sudah menjadi suami, bukan lagi seorang anak kecil.“Itu kamu tahu kalau istrimu itu keras kepala, kenapa kamu juga masih ngotot mempertahankannya? Kenapa kamu gak ceraikan saja Nisa, Reza? Bunda yakin bahwa kamu nanti akan mendapatkan penggantinya lebih baik dari pada Nisa.” Eneng kembali memengaruhi Reza untuk menceraikan Nisa.Karena memang bagi Eneng, Nisa sudah sangat mengecewakan dirinya, bukan hanya satu kali saja, tapi sudah berulang kali, dan tak bisa untuk diperbaiki lagi, dengan sifat Nisa yang masih saja k
[Kamu ada di mana, Nis? Ada di rumah Mawar gak?] tanya Toni kepada Nisa melalui pesan singkat yang dikirimkan olehnya, dan Nisa yang membaca isi pesan itu pun tentu saja langsung saja membalasnya.“Iya, ayah. aku lagi di rumah Mawar.” Nisa menjawab dengan singkat, seraya masih menunggu balasan lagi dari ayah mertuanya itu, karena tak biasanya juga ia mendapatkan pesan dengan pertanyaan macam itu, biasanya langsung saja ditelpon jika mengenai Reza.[Ya sudah nanti ayah ke sana, ya. Bentar lagi nyampe, udah nyampe Pom bensin, ada hal yang ingin ayah bicarakan sama kamu.] balasan pesan yang dikirimkan oleh ayah mertuanya itu kepada Nisa lagi.‘Ada apa, ya? Si Ayah ke sini? apa yang mau dikatakannya padaku?’ Nisa bertanya-tanya dalam hatinya, menerka hal apa yang akan dikatakan oleh Ayah mertuanya.‘Apa ada hubungannya dengan Reza?’ ucapnya lagi, akan tetapi saat itu pula Nisa segera membuyarkan lamunannya, menepis pikiran-pikiran buruk, dan segera bergegas bersih-bersih karena a
“KAMU JAHAT, MEMBIARKAN AKU DITURUNKAN DI JALAN BEGITU AJA, PADAHAL LAGI GERIMIS. GAK ADA BASA-BASINYA MENAWARKANKU UNTUK MAMPIR SEJENAK DI RUMAH.” Nisa mengirimkan isi pesan tersebut kepada Reza terisak karena saking sedihnya ketika ia sudah datang di rumahnya itu, dan kini ia hanya menelungkupkan wajahnya saja pada bantal.‘Kamu jahat! Kenapa begitu tega sama istri sendiri hanya demi membuat bundamu senang, membiarkan istri sendiri kehujanan, bahkan anak dan ayah sama aja, gak peduli sama sekali, karena saking takutnya pada si Bunda,’ tutur Nisa lagi dalam hatinya yang masih saja terisak.‘Apa mungkin pernikahan ini masih bisa dipertahankan jika kondisinya seperti ini? Aku terasa didzolimi oleh mertua dan suami sendiri, gak ada yang membelaku seorang pun dalam keluarga mereka, hik hik hik.’ Nisa terus saja menangis.Entahlah sudah berapa banyak air mata yang keluar, tak terhingga lagi, bahkan tubuh Nisa kini sudah semakin kurus kering saja, sakit fisik dan bathinnya tak terhi