“Eh, yang delapan hari lalu baru pulang, kan Teh?” tanya salah satu perawat ketika Nisa memasuki ruangan perawat untuk mengambil kartu tunggu yang ditukar dengan kartu identitasnya. Yaa, tentu saja perawat yang bertugas di ruangan itu sudah hafal dengan Nisa yang seharian menunggu Reza.
Karena saat ini pun Reza masih dirawat di ruangan yang sama, seperti sebelumnya, di kelas satu, yang mana ruangan itu berisi dua orang pasien yang hanya ditutup oleh tirai gorden berwarna hijau saja. “Eh, iya, Bu.” Nisa menjawab ramah dengan bibir yang ia sunggingkan, tersenyum. “Kok bisa sampai dioperasi kedua sih, Teh? Apa memang makannya gak dijaga, ya?” tanya wanita paruh baya yang berpakaian putih dan celana warna hijau muda, ya sebagai seragam dari rumah sakit tersebut. “Saya gak tahu, Bu, sebab yang ngerawat adalah ibu mertua saja sendiri, saya malah disuruh untuk jagain rumah aja,” celetuk Nisa sekenanya saja sehingga perawat itu pun hanya tersenyum getir saja sebelumSiang berganti menjadi malam, dan hari pun berganti menjadi minggu, begitu pula dengan minggu yang kini sudah berganti menjadi bulan, hingga tibalah pada hari bulan kesatu di mana Reza pulang kembali, setelah melakukan operasi keduanya tujuh hari lalu.“Bun, sebenarnya Nisa kemarin pengin aku pulang aja ke rumah dengannya di rumah Mawar,” celtuk Reza, laporan kepada sang ibu, yang saat ini sedang asyik memainkan ponsel pintarnya dengan dahi mengerut, seketika Eneng pun langsung menoleh ke arah Reza, yang baru saja minum obat yang diberikan oleh dokter.“Kenapa masih ngotot aja sih pengin ngerawat kamu, padahal seharusnya istri kamu itu bersyukur karena ibu mertuanya ini mau merawat suaminya, dikasih enak malah gak tahu berterima kasih, ya!” Sinar mata Eneng kembali bersinar, seolah ada rasa emosi dan dongkol padanya, jika berbicara mengenai menantunya itu, menantu yang sudah tak inginkan olehnya. Sementara Reza hanya mengangkat bahunya saja, tidak tahu.“Me
“Nis, jadi Reza itunolak karena capek kerja, kamu jangan berpikir macam-macam sama dia, kamu harus faham juga kalau misalkan Reza gak bisa setiap malam nerima ajakan kamu untuk berhubungan badan,” celetuk Eneng kepada Nisa.Yaa, ketika menantunya itu berkunjung ke rumah ibu mertuanya untuk menjenguk suaminya sendiri. Sementara itu, Reza seperti biasa malah tertidur, padahal awalnya ia ingin sekali pulang, akan tetapi ibu mertuanya tiba-tiba saja datang dan mengajaknya ngobrol.“Tapi Reza lebih seringnya menolak, mungkin hanya hitungan jari saja kami melakukannya sepanjang pernikahan ini,” jawab Nisa tak ingin kalah, ia tetap mengutarakan bahwa memang Reza jarang sekali memberikan nafkah bathin, padahal nafkah lahirnya saja masih amat sangat kurang.Eneng menghela nafasnya panjang, lelau diembuskannya seraya menyenderkan tubuhnya itu kea rah sofa yang ada di ruang tamu tersebut.“Itu seharusnya pintar-pintar kamunya aja sebagai istri, Nis, bunda juga sama kok
“Nis, kamu ngapain sih bilang-bilang masalah hubungan badan juga sama ayah dan Bunda, kan aku yang kena dampratnya dimarahi.” Reza bersungut-sungut, protes kepada istrinya itu yang datang kembali, seperti biasanya, menjenguk Reza ketika pulang dari mengajar.“Emangnya salah? Kan aku hanya menjelaskan aja, dari pada nanti Bunda kamu berharap agar aku cepat hamil, lebih baik dijelaskan dari awal kan?” Nisa menjawabnya sesuai dengan logikanya yang memang ia ketahui bahwa ibu mertuanya itu sudah lama menginginkan cucu dari Nisa.Reza masih masam wajahnya, tidak tersenyum, terlihat sama sekali tidak suka dengan apa yang dikatakan oleh Nisa, apa pun alasannya, ia tetap tidak suka jika masalah ranjangnya diekspos, meski kepada kedua orang tuanya sendiri.“Iya, tapi aku malu Nis! Memangnya kamugak malu apa masalah pribadi kita, masalah ranjang diceritakan sama orang lain,” sahut Reza, tetap tidak terima dengan alasan Nisa yang menurutnya hanya memperburuk keadaan saja, ba
“Udah, Bun. aku udah ngasih tahu kok, tapi ya itu susah banget diomonginnya, Nisa memang kerasa kepala,” jawab Reza seraya bundanya masih mengelap bagian atas tubuhnya yang terbuka dengan penuh kehati-hatian, khawatir jika air akan membasahi luka bekas operasinya. Dan bagian bawah tubuh Reza hanya tertutup oleh sarung sarang.Sebenarnya Reza sendiri bisa melakukan hal itu tanpa harus dimandiin oleh bundanya, sudah bukan waktunya lagi dengan statusnya saat ini yang sudah menjadi suami, bukan lagi seorang anak kecil.“Itu kamu tahu kalau istrimu itu keras kepala, kenapa kamu juga masih ngotot mempertahankannya? Kenapa kamu gak ceraikan saja Nisa, Reza? Bunda yakin bahwa kamu nanti akan mendapatkan penggantinya lebih baik dari pada Nisa.” Eneng kembali memengaruhi Reza untuk menceraikan Nisa.Karena memang bagi Eneng, Nisa sudah sangat mengecewakan dirinya, bukan hanya satu kali saja, tapi sudah berulang kali, dan tak bisa untuk diperbaiki lagi, dengan sifat Nisa yang masih saja k
[Kamu ada di mana, Nis? Ada di rumah Mawar gak?] tanya Toni kepada Nisa melalui pesan singkat yang dikirimkan olehnya, dan Nisa yang membaca isi pesan itu pun tentu saja langsung saja membalasnya.“Iya, ayah. aku lagi di rumah Mawar.” Nisa menjawab dengan singkat, seraya masih menunggu balasan lagi dari ayah mertuanya itu, karena tak biasanya juga ia mendapatkan pesan dengan pertanyaan macam itu, biasanya langsung saja ditelpon jika mengenai Reza.[Ya sudah nanti ayah ke sana, ya. Bentar lagi nyampe, udah nyampe Pom bensin, ada hal yang ingin ayah bicarakan sama kamu.] balasan pesan yang dikirimkan oleh ayah mertuanya itu kepada Nisa lagi.‘Ada apa, ya? Si Ayah ke sini? apa yang mau dikatakannya padaku?’ Nisa bertanya-tanya dalam hatinya, menerka hal apa yang akan dikatakan oleh Ayah mertuanya.‘Apa ada hubungannya dengan Reza?’ ucapnya lagi, akan tetapi saat itu pula Nisa segera membuyarkan lamunannya, menepis pikiran-pikiran buruk, dan segera bergegas bersih-bersih karena a
“KAMU JAHAT, MEMBIARKAN AKU DITURUNKAN DI JALAN BEGITU AJA, PADAHAL LAGI GERIMIS. GAK ADA BASA-BASINYA MENAWARKANKU UNTUK MAMPIR SEJENAK DI RUMAH.” Nisa mengirimkan isi pesan tersebut kepada Reza terisak karena saking sedihnya ketika ia sudah datang di rumahnya itu, dan kini ia hanya menelungkupkan wajahnya saja pada bantal.‘Kamu jahat! Kenapa begitu tega sama istri sendiri hanya demi membuat bundamu senang, membiarkan istri sendiri kehujanan, bahkan anak dan ayah sama aja, gak peduli sama sekali, karena saking takutnya pada si Bunda,’ tutur Nisa lagi dalam hatinya yang masih saja terisak.‘Apa mungkin pernikahan ini masih bisa dipertahankan jika kondisinya seperti ini? Aku terasa didzolimi oleh mertua dan suami sendiri, gak ada yang membelaku seorang pun dalam keluarga mereka, hik hik hik.’ Nisa terus saja menangis.Entahlah sudah berapa banyak air mata yang keluar, tak terhingga lagi, bahkan tubuh Nisa kini sudah semakin kurus kering saja, sakit fisik dan bathinnya tak terhi
“Lho, ada di rumah, Nis? Kamu makin kurus aja badannya,” tanya Bu Wawat ketika Nisa mengantarkan pesanan Erma, anaknya Bu Wawat ke rumahnya.“Iya, Bu, udah lama juga di sini, lagi pula ngapain juga di sana kalau hanya suruh nungguin rumah di Mawar, jadi satpam aja,” celetuk Nisa sekenanya saja, ia sudah tidak bisa membendung lagi rasa kesalnya kepada mertuanya itu.“Lho, Uwa Wawat pikir kamu nememin Reza di rumahnya si bunda, nginep di sana, emangnya gak?” tanya Bu Wawat yang sekarang memanggil namanya kepada Nisa dengan sebutan Uwa, bukan Bu lagi seperti biasanya.“Gak boleh, Uwa. Hanya boleh nemenin sampe sore aja, tidurnya tetap harus di rumah Mawar,” jawab Nisa seadanya.“Wah kok gitu banget si bunda sama kamu, ya udah nanti biar Uwa yang bantu ngomong sama si bunda, ya. Kamu tenang aja.” Bu Wawat membela Nisa, ya memang hanya bu Wawatlah satu-satunya orang yang baik kepada Nisa, dan jarang sekali ikut bergibah.Mungkin karena paling tua, meskipuna terkadang sifat bawa
Sebenarnya tanpa diberitahu oleh Nisa pun, ibunya itu sudah tahu bahwa memang Nisa sedang tidak baik-baik saja, bagaimana pula seorang anak bisa menyembunyikan sesuatu dari ibunya yang sudah mengandungnya selama 9 bulan dan menyusuinya selama 2 tahun itu? ya, sekalipun katanya Nisa tidak terlalu dekat juga dengan orang tuanya.Akan tetapi tetap saja bahwa mereka adalah ibunya, bapaknya, yang tahu dengan apa yang Nisa rasakan saat ini, bahkan kesedihan Nisa pun bisa dirasakan oleh keduanya.“Kemarin Nisa diturunkan di jalan sama si Ayah karena tahu kalau si bunda gak mau ketemu Nisa, padahal kemarin gerimis, gak ada basa-basinya sama sekali mengajak mampir, bahkan Reza pun hanya diam saja,” tutur Nisa dengan mata yang kini sudah berkaca lagi.DEGSemakin perih saja kini hati ibunya mendengar ketika anaknya diperlakukan tidak baik oleh mertua dan suaminya.“Sabar, Nis sabar, ya! Kalau memang kamu sudah tidak kuat lagi, udah lepaskan aja! Gak usah dipaksa, gak akan benar seper
“Nisa menolak, Neng. Dan kedua orang tuanya pun sudah tidak bisa lagi membujuknya, karena Nisa sudah memberikan peringatan kepada kedua orang tuanya untuk tidak lagi ikut campur dengan urusannya, apa lagi yang menyangkut masa depannya, bahkan Nisa akan meninggalkan rumah jika bapak dan ibunya tetap memaksakan kehendak.”Bu Wawat panjang lebar memberikan penjelasan kepada Eneng dan suaminya yang ada di sana, termasuk Reza, seketika wajah ketiganya pun kini berubah menjadi muram, hanya kekecewaan saja yang terpancar.“Kamu yang sabar, ya Reza! mungkin memang sudah sebaiknya kita harus introspeksi diri atas apa yang pernah kita lakukan pada Nisa, Bunda juga menyesal, Za, sungguh menyesal, gak kebayang jika anak perempuan bunda pun akan diperlakukan seperti Nisa oleh ibu mertuanya…“Yang jelas Bunda sebagai orang tua, akan membawa kembali si Anggi ke rumah jika ia diperlakukan tidak baik oleh suami dan mertuanya.” Eneng panjang lebar, ia kini sudah sadar, ya sepenuhnya, sudah menga
“Eh, Bu Wawat,” seru Bu Aisyah ketika tahu bahwa yang bertamu ke rumahnya itu adalah Bu Wawat, entah mau apa? Apa mungkin ada kaitannya dengan pesan yang dikirimkan oleh Erma kepada Nisa tadi malam? Begitu pikir Bu Aisyah di dalam hatinya. “Ayok silakan masuk, Bu!” Bu Aisyah mempersilakan Bu Wawat untuk masuk ke dalam rumahnya. Duduk di ruang tamu dengan sofa yang sudah pudar warnanya, kusam, akan tetapi di atas meja itu sudah ada air mineral gelas dan toples berisi kue kering, sehingga Bu Aisyah tidak pelru repot-repot lagi membuatkan minum untuk tamu yang datang. “Mohn maaf nih, Bu, kalau pagi-pagi udah ke sini, he he.” Bu Wawat basa-basi kepada bu Aisyah, sebelum akhirnya mengatakan tujuan dan maksudnya datang ke rumahnya. “Gak apa-apa, Bu. Saya sudah beres semuanya kok, Nisa juga udah berangkat sekolah,” sahut Bu Aisyah seraya masih tersenyum juga. “Sebenarnya saya datang ke sini untuk minta maaf, dengan kabar dua hari lalu yang saya berikan, mengenai pernikahan Reza, terny
“Nis, saya mau tanya sama kamu, boleh?” Erma mengirimkan pesan kepada Nisa atas permintaan ibunya sendiri, Bu Wawat, bahkan wanita paruh baya itu pun masih di sana menunggu balasan Nisa.“Gimana, Er? Udah ada balasan dari Nisa belum?” tanya Bu Wawat tidak sadar kepada anaknya itu,yang masih setia menunggu.“Belum, Mah. Sabar dulu, kan baru dikirim tadi pesannya juga,” jawab Erma kepada Mamahnya yang memang sudah tidak sabaran lagi, lalu kini Bu Wawat hanya diam saja, seraya matanya kini focus kembali pada TV, karena ia sedang menonton acara sinetron kesukaannya.“Tapi kalau Nisa nolak, kenapa Mamah gak bujuk orang tuanya aja kayak kemarin, aku rasa Nisa akan nurut aja kalau orang tuanya yang minta,” celetuk Erma memberikan saran jika memang nanti Nisa menolak untuk diajak rujuk oleh Reza.Bu Wawat terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh anaknya itu, mengenai saran untuk membujuk orang tuanya Nisa saja, yang menurut Erma lebih efektive.“Eh, iya juga, ya.
“Iya, Teh, rujuk, Reza ingin rujuk dengan Nisa, dan Neng pun kini sadar dengan kesalahan Neng, bahwa gak ada lagi memang yang bisa menerima Reza selain Nisa, makanya Neng ingin agar Reza kembali rujuk dengan Nisa.” Eneng menjelaskan lagi.Bu Wawat hanya menghela nafasnya saja pelan ketika mendengar penjelasan dari adiknya itu, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak menyangka bahwa adiknya saat ini bisa mengakui kesalahan dirinya sendiri, tidak seperti biasanya, yang selalu keras kepala.“Tapi kalau Nisa menolak gimana? Kok kalian bisa sih semudah itu berpikir kalau Nisa mau menerima begitu aja setelah apa yang kalian lakukan?” Bu Wawat tidak mengerti dengan jalan pikiran adiknya itu, ya meskipun Eneng itu adalah adiknya sendiri, akan tetapi setelah tahu dengan kejadian yang sebenarnya terjadi, seperti apa yang Nisa katakan pada Bu Rini dan Bu Ineu pada beberapa bulan lalu, maka ia faham dan mengerti bahwa adik dan keponakannya itu salah.“Ya, siapa tahu, karena setahu Neng
“Tuh, kan Bun! benar apa kataku juga, gak ada wanita yang mau menerimaku selain Nisa,” keluh Reza atas nasib yang menimpanya, ya selama satu tahun perceraian ini, sudah 3 kali ia dikenalkan dengan anak dari teman Ayah dan Bundanya.Akan tetapi, pada pertemuan kedua atau ketiga setelah perkenalan, sang wanita akan mundur dengan teratur, karena menganggap bahwa Reza bukanlah lelaki yang baik untuk dijadikan suami.Ya meskipun pengakuan Eneng dan Toni adalah bahwa Reza bercerai karena ditinggalkan oleh istrinya yang tidak bertanggung jawab. Akan tetapi ternyata perlahan, semuanya terbuka, siapa yang sebenarnya bersalah dalam perceraian tersebut.“Sabar, Reza! teman Ayah dan Bunda masih banyak yang punya anak single, kamu tenang aja dulu, ya. Baru juga nyoba tiga kali, kamu jangan bosan!” Eneng meyakinkan anaknya itu bahwa suatu saat nanti akan ada wanita yang mau menerimanya sebagai suami.“Tapi, Bun, aku yakin gak akan mudah, coba aja dulu kalau aku gak bercerai dengan Nisa, k
Hari berganti menjadi minggu, begiut pula dengan minggu kini sudah berganti menjadi bulan, kondisi Nisa saat ini sudah jauh lebih baik, tidak ada lagi penyerangan yang terjadi dari keluarga mantan suaminya. Mungkin sudah bosan juga.“Nisa belum menikah lagi, Bu Aisyah? Kalau Reza Alhamdulillah udah menikah lagi, dapat istri PNS (pegawai negeri sispil)” ungkap Bu Wawat ketika bertemu dengan ibunya Nisa, ya lebih tepatnya sengaja mendatangi rumahnya Nisa ketika Nisa sedang di sekolah, entah untuk apa, hanya sekadar untuk memberikan informasi tidak jelas saja.“Oh begitu, ya syukur kalau Reza sudah menikah lagi, kalau Nisa belum, kayaknya dia masih belum siap juga,” jawab Bu Asiyah kikuk, meski di dalam hatinya menggerutu, ‘untuk apa juga bilang itu ke saya? Apa Cuma mau pamer aja kalau setelah lepas dari Nisa bisa langsung nikah lagi?’Bu Wawat mangguk-mangguk saja ketika mendengar jawaban dari Bu Aisyah itu mengenai responnya kepada Reza.“Ya sudah kalau begitu, saya pamit dul
[“Jadi benar dengan kabar yang tersebar, Nis? Kamu sudah resmi bercerai?”] isi pesan yang dikirimkan oleh Dani kepada Nisa pada siang hari itu, ketika Nisa sedang berada di kantor sekolah, seperti biasanya.Nisa diam sejenak ketika mendapati isi pesan dari Dani yang kini tiba-tiba datang kembali setelah beberapa bulan ini menghilang, seperti biasaya, datang dan pergi begitu saja karena memang ada istrinya pula yang harus dijaga.Wanita muda itu kini menghela nafasnya panjang, berat, ia tahu dengan kondisinya saat ini jika membalas pesan Dani hanya akan membuat suasananya semakin kacau saja, akan ada salah faham antara Dani dan istrinya lagi.“Kenapa? Kayaknya gabut banget?” tanya Riri kepada Nisa kini sedang menyandarkan tubuhnya itu di sandaran kursi.Nisa tak menjawab, ia tak ingin Riri tahu bahwa dirinya baru saja mendapat pesan dari Dani, ia tak ingin Riri tahu juga jika Dani kembali mengirim pesan, karena memang tak ada gunanya juga, untuk saat ini Nisa ingin menjauhi Da
“Wah, Nis, gila tahu gossip kamu rame banget, emangnya gimana tadinya sampe debat gitu sama Bu Ineu dan Bu Rini si ratu gossip?” tanya Riri kepada Nisa ketika di sekolah, seperti biasa, penasaran, karena memang Riri yang jarak rumahnya hanya sekitar 500 m saja, tentu sudah dapat mendengar desas desus apa yang terjadi kepada Nisa.Nisa hanya mengerutkan dahinya saja, tidak langsung menjawabnya. Dan membuat Riri harus bertanya untuk kedua kalinya.“Dih, kamu kebiasaan deh kalau aku nanya, pasti gak langsung dijawab, harus dua kali nanya aja,” keluh Riri, menggerutu, tidak suka dengan kebiasaan Nisa. Nisa terkekeh saja, sebelum akhirnya ia menjawab.“Ya, merekanya duluan yang lebih dulu marah-marah gak jelas di depan rumah orang, ya aku lawanlah, sekalian orang model begitu harus dikasih pelajaran, biar kapok, mereka pikir, aku akan diam aja kali, ya, gak bakal ngelawan,”“Ha ha ha. Iya juga sih, benar. Banyak yang bilang ibu-ibu, katanya lu adalah orang yang paling berani melaw
“Gimana, Teh? Aman kan semuanya? Udah beres?” baru saja Bu Ineu sampai di rumah Eneng, akan tetapi sang pemilik rumah sudah memberondongi tanya kepadanya, menanyakan hal yang memang ia tugaskan kepada Tetehnya itu untuk menyebarkan gossip mengenai Nisa.Akan tetapi orang yang ditanya kini malah menghempaskan tubuhnya pada sandaran sofa, lalu menghela nafas berat, dan diam saja untuk beberapa saat sehingga menjadikan Eneng bertanya-tanya.“Kok lemas gitu sih, Teh? Ada apa memangnya?” tanya Eneng lagi penasaran dengan tetehnya itu, yang ia harapkan tentunya mendapat kabar baik mengenai nama baiknya itu di kampung, meski pada faktanya bertolak belakang dengan keinginan wanita tersebut.“Kenapa kamu gak bilang kalau si Reza itu impoten, Neng?” Bu ineu bertanya langsung saja pada masalah intinya, sehingga menjadikan Eneng tersentak dan hanya membulatkan matanya saja, sempurna, tidak percaya dengan pertanyaan yang dilayangkan oleh tetehnya itu.“Lho kok Teh Ineu malah nanya itu sih