“KAMU JAHAT, MEMBIARKAN AKU DITURUNKAN DI JALAN BEGITU AJA, PADAHAL LAGI GERIMIS. GAK ADA BASA-BASINYA MENAWARKANKU UNTUK MAMPIR SEJENAK DI RUMAH.” Nisa mengirimkan isi pesan tersebut kepada Reza terisak karena saking sedihnya ketika ia sudah datang di rumahnya itu, dan kini ia hanya menelungkupkan wajahnya saja pada bantal.‘Kamu jahat! Kenapa begitu tega sama istri sendiri hanya demi membuat bundamu senang, membiarkan istri sendiri kehujanan, bahkan anak dan ayah sama aja, gak peduli sama sekali, karena saking takutnya pada si Bunda,’ tutur Nisa lagi dalam hatinya yang masih saja terisak.‘Apa mungkin pernikahan ini masih bisa dipertahankan jika kondisinya seperti ini? Aku terasa didzolimi oleh mertua dan suami sendiri, gak ada yang membelaku seorang pun dalam keluarga mereka, hik hik hik.’ Nisa terus saja menangis.Entahlah sudah berapa banyak air mata yang keluar, tak terhingga lagi, bahkan tubuh Nisa kini sudah semakin kurus kering saja, sakit fisik dan bathinnya tak terhi
“Lho, ada di rumah, Nis? Kamu makin kurus aja badannya,” tanya Bu Wawat ketika Nisa mengantarkan pesanan Erma, anaknya Bu Wawat ke rumahnya.“Iya, Bu, udah lama juga di sini, lagi pula ngapain juga di sana kalau hanya suruh nungguin rumah di Mawar, jadi satpam aja,” celetuk Nisa sekenanya saja, ia sudah tidak bisa membendung lagi rasa kesalnya kepada mertuanya itu.“Lho, Uwa Wawat pikir kamu nememin Reza di rumahnya si bunda, nginep di sana, emangnya gak?” tanya Bu Wawat yang sekarang memanggil namanya kepada Nisa dengan sebutan Uwa, bukan Bu lagi seperti biasanya.“Gak boleh, Uwa. Hanya boleh nemenin sampe sore aja, tidurnya tetap harus di rumah Mawar,” jawab Nisa seadanya.“Wah kok gitu banget si bunda sama kamu, ya udah nanti biar Uwa yang bantu ngomong sama si bunda, ya. Kamu tenang aja.” Bu Wawat membela Nisa, ya memang hanya bu Wawatlah satu-satunya orang yang baik kepada Nisa, dan jarang sekali ikut bergibah.Mungkin karena paling tua, meskipuna terkadang sifat bawa
Sebenarnya tanpa diberitahu oleh Nisa pun, ibunya itu sudah tahu bahwa memang Nisa sedang tidak baik-baik saja, bagaimana pula seorang anak bisa menyembunyikan sesuatu dari ibunya yang sudah mengandungnya selama 9 bulan dan menyusuinya selama 2 tahun itu? ya, sekalipun katanya Nisa tidak terlalu dekat juga dengan orang tuanya.Akan tetapi tetap saja bahwa mereka adalah ibunya, bapaknya, yang tahu dengan apa yang Nisa rasakan saat ini, bahkan kesedihan Nisa pun bisa dirasakan oleh keduanya.“Kemarin Nisa diturunkan di jalan sama si Ayah karena tahu kalau si bunda gak mau ketemu Nisa, padahal kemarin gerimis, gak ada basa-basinya sama sekali mengajak mampir, bahkan Reza pun hanya diam saja,” tutur Nisa dengan mata yang kini sudah berkaca lagi.DEGSemakin perih saja kini hati ibunya mendengar ketika anaknya diperlakukan tidak baik oleh mertua dan suaminya.“Sabar, Nis sabar, ya! Kalau memang kamu sudah tidak kuat lagi, udah lepaskan aja! Gak usah dipaksa, gak akan benar seper
“Reza, coba chat istrimu itu, ngapain sampe bilang ke Erma dan Uwa Wawat segala masalah rumah tangganya, bikin malu aja!” Eneng kini meminta Reza untuk segera menegur Nisa lewat chat.“Eh, iya, Bun.” Reza menjawab, lalu meraih ponsel yang ada di atas meja itu.“Apa lagai kaau sampe berkoar-koar ke orang lain, gak usah banyak omong, malu-maluin aja,” imbuh Eneng lagi yang kini sudah disulut emosi, bahkan Toni dengan setia sudah membelai lembut punggung istrinya itu, menenangkannya, agar emosinya kembali stabil, karena bahaya juga bagi Eneng yang memiliki penyakit jantung.“Sabar, Bun. jangan sampe jantung bunda kambuh lagi, tarik nafas, ya lalu keluarkan pelan-pelan.” Toni memberikan saran kepada istrinya yang wajahnya sudah memerah itu, sehingga Eneng pun akhirnya mengikuti apa yang dikatakan oleh suaminya untuk menghela nafas, berulang kali.“Gak usah dichat, ditelpon aja langsung!” Eneng meralat ucapannya itu kepada Reza, yang masih sibuk mengetik di screen keyboard.“Oh,
“Buat apa juga ngangkat telpon kalau cuma mau dengerin orang marah-marah, gak ada kerjaan juga!” Nisa menggerutu pada dirinya sendiri ketika berada di kantor sekolah, sehingga menjadikan Riri dan Deden saling tatap mendapati Nisamarah-marah seperti itu.“Ada apa lagi, Nis?” tanya Riri langsung saja, tanpa basa-basi lagi.Riri sudah tahu betul dengan kisah rumah tangga Nisa, bahkan sudah sering pula ia menangis di depan Riri jika bercerita.“Itu si Reza nelpon cuma mau marah-marah aja, pasti disuruh bundanya, ya udah aku matiin aja, gak ada gunanya juga dengerin orang marah,” jawab Nisa sekenanya saja kepada Riri.“Iya, bagus banget, Nis. Lebih baik dimatiin aja, dari pada dengerin kalimat toxic seperti itu,” sahut Riri setuju dengan apa yang dikatakan oleh Nisa.“Nah, mendengar kata toxic dari Bu Riri, apa Bu Nisa gak merasa kalau pernikahannya itu toxic?” sambung Deden yang kini malah membahas masalah toxic, Nisa hanya diam saja ketika Deden bertanya seperti itu kepadanya.
“Surat panggilan sidang?” Reza terkejut ketika ia mendapatkan amplop coklat yang berisi surat dari pengadilan agama. Ya, panggilan sidang.“Apa, Reza? surat panggilan sidang apa?” tanya Eneng penasaran, lalu menghampiri anaknya itu yang masih dengan kaku, membuka isi amplop tersebut, lalu dibacanya surat itu.DEGReza tersentak ketika tahu isi dari surat itu, ia sampai mundur satu langkah ke belakang karena saking terkejutnya bahwa surat itu adalah surat panggilan sidang gugatan cerai yang dilayangkan oleh Nisa.Sebab memang sudah satu bulan sejak masalah Bu Wawat, Nisa sudah tidak ada lagi menghubungi Reza, begitu juga dengan sebaliknya, Reza sama sekali tidak ada chat atau apa pun untuk sekadar basa-basi bertanya kabar Nisa yang masih syah menjadi istrinya.Bahkan sudah berbulan-bulan juga Nisa sudah tidak mendapatkan nafkah lahir yang tak seberapa itu, dan juga tentunya nafkah bathin yang tak pernah ia dapatkan.“Bun, Nisa menggugat cerai aku Bun, hiks hiks hiks.” Reza
“Bunda kenapa? Jantungnya sakit lagi?” tanya Toni ketika mendapati istrinya yang terbaring di atas ranjang dan lebih banyak diam, tidak seperti biasanya yang langsung saja menyambut kedatangan sang suami atau marah-marah kepada Reza.Eneng masih dia, terpaku, belum menjawab pertanyaan suaminya itu sepatah kata pun, wajahnya masih menunjukkan rasa emosi berlebih, memerah.“Mau ayah antar berobat?” tanya Toni lagi menawarkan seraya mengambil posisi duduk di samping istrinya ketika ia baru saja selesai mandi, ya karena ketika datang tadi dari kantor, Toni langsung pergi ke kamar kerjanya, menyimpan tasnya di sana, lalu masuk ke dalam kamar istrinya, mengambil baju dan membersihkan tubuhnya di kamar mandi dalam kamar itu.Tanpa menoleh sedikit pun kepada istrinya, karena Toni menganggap bahwa istrinya sedang tidur, karena membalikkan tubuhnya menghadap dinding, akan tetapi setelah Toni selesai dan santai, ia bisa lebih jelas melihat istrinya yang ternyata sejak tadi tidak tidur, m
“Ayah mau tanya sama kamu, jadi benar dengan semua yang Nisa katakan kepada pengadilan mengenai dirinya bahwa dia masih virgin? Dia masih perawan dan kamu masih belum berhasil menjebolkannya?” Toni menunggu jawaban dari Reza.Yaa meskipun ia sudah mendapat jawaban dan penjelasan dari istrinya, akan tetapi ia ingin bertanya langsung kepada sang istri bahwa apa yang dikatakan oleh istrinya itu adalah benar adanya.Reza terdiam saja, ketika ayahnya bertanya demikian, ya bagaimana pun kekuatan lelaki di atas ranjang adalah sebuah aib bagi lelaki tersebut, apalagi sampai usia pernikahannya satu tahun, sudah pasti ada yang tidak beres.“Jawab, Reza! apa memang benar dengan apa yang Nisa katakan mengenai kamu?” Toni mendesak Reza karena tak kunjung dijawab pertanyaannya itu.“Iya, Ayah, Nisa memang masih virgin, aku belum berhasil menjebolkannya,” jawab Reza dengan terpaksa, dan menundukkan wajahnya, takut dan malu, ya keduanya menjadi satu, kini harga dirinya sebagai lelaki turun d