“Buat apa juga ngangkat telpon kalau cuma mau dengerin orang marah-marah, gak ada kerjaan juga!” Nisa menggerutu pada dirinya sendiri ketika berada di kantor sekolah, sehingga menjadikan Riri dan Deden saling tatap mendapati Nisamarah-marah seperti itu.“Ada apa lagi, Nis?” tanya Riri langsung saja, tanpa basa-basi lagi.Riri sudah tahu betul dengan kisah rumah tangga Nisa, bahkan sudah sering pula ia menangis di depan Riri jika bercerita.“Itu si Reza nelpon cuma mau marah-marah aja, pasti disuruh bundanya, ya udah aku matiin aja, gak ada gunanya juga dengerin orang marah,” jawab Nisa sekenanya saja kepada Riri.“Iya, bagus banget, Nis. Lebih baik dimatiin aja, dari pada dengerin kalimat toxic seperti itu,” sahut Riri setuju dengan apa yang dikatakan oleh Nisa.“Nah, mendengar kata toxic dari Bu Riri, apa Bu Nisa gak merasa kalau pernikahannya itu toxic?” sambung Deden yang kini malah membahas masalah toxic, Nisa hanya diam saja ketika Deden bertanya seperti itu kepadanya.
“Surat panggilan sidang?” Reza terkejut ketika ia mendapatkan amplop coklat yang berisi surat dari pengadilan agama. Ya, panggilan sidang.“Apa, Reza? surat panggilan sidang apa?” tanya Eneng penasaran, lalu menghampiri anaknya itu yang masih dengan kaku, membuka isi amplop tersebut, lalu dibacanya surat itu.DEGReza tersentak ketika tahu isi dari surat itu, ia sampai mundur satu langkah ke belakang karena saking terkejutnya bahwa surat itu adalah surat panggilan sidang gugatan cerai yang dilayangkan oleh Nisa.Sebab memang sudah satu bulan sejak masalah Bu Wawat, Nisa sudah tidak ada lagi menghubungi Reza, begitu juga dengan sebaliknya, Reza sama sekali tidak ada chat atau apa pun untuk sekadar basa-basi bertanya kabar Nisa yang masih syah menjadi istrinya.Bahkan sudah berbulan-bulan juga Nisa sudah tidak mendapatkan nafkah lahir yang tak seberapa itu, dan juga tentunya nafkah bathin yang tak pernah ia dapatkan.“Bun, Nisa menggugat cerai aku Bun, hiks hiks hiks.” Reza
“Bunda kenapa? Jantungnya sakit lagi?” tanya Toni ketika mendapati istrinya yang terbaring di atas ranjang dan lebih banyak diam, tidak seperti biasanya yang langsung saja menyambut kedatangan sang suami atau marah-marah kepada Reza.Eneng masih dia, terpaku, belum menjawab pertanyaan suaminya itu sepatah kata pun, wajahnya masih menunjukkan rasa emosi berlebih, memerah.“Mau ayah antar berobat?” tanya Toni lagi menawarkan seraya mengambil posisi duduk di samping istrinya ketika ia baru saja selesai mandi, ya karena ketika datang tadi dari kantor, Toni langsung pergi ke kamar kerjanya, menyimpan tasnya di sana, lalu masuk ke dalam kamar istrinya, mengambil baju dan membersihkan tubuhnya di kamar mandi dalam kamar itu.Tanpa menoleh sedikit pun kepada istrinya, karena Toni menganggap bahwa istrinya sedang tidur, karena membalikkan tubuhnya menghadap dinding, akan tetapi setelah Toni selesai dan santai, ia bisa lebih jelas melihat istrinya yang ternyata sejak tadi tidak tidur, m
“Ayah mau tanya sama kamu, jadi benar dengan semua yang Nisa katakan kepada pengadilan mengenai dirinya bahwa dia masih virgin? Dia masih perawan dan kamu masih belum berhasil menjebolkannya?” Toni menunggu jawaban dari Reza.Yaa meskipun ia sudah mendapat jawaban dan penjelasan dari istrinya, akan tetapi ia ingin bertanya langsung kepada sang istri bahwa apa yang dikatakan oleh istrinya itu adalah benar adanya.Reza terdiam saja, ketika ayahnya bertanya demikian, ya bagaimana pun kekuatan lelaki di atas ranjang adalah sebuah aib bagi lelaki tersebut, apalagi sampai usia pernikahannya satu tahun, sudah pasti ada yang tidak beres.“Jawab, Reza! apa memang benar dengan apa yang Nisa katakan mengenai kamu?” Toni mendesak Reza karena tak kunjung dijawab pertanyaannya itu.“Iya, Ayah, Nisa memang masih virgin, aku belum berhasil menjebolkannya,” jawab Reza dengan terpaksa, dan menundukkan wajahnya, takut dan malu, ya keduanya menjadi satu, kini harga dirinya sebagai lelaki turun d
“Bagus, emang udah seharusnya kamu melepaskan wanita durhaka itu, gak tahu diuntung, masalah harga diri kamu dan bunda di kampungnya di Nisa, gampanglah nanti tinggal kita bujuk saja Uwa Ineu untuk menyebarkan gossip lain…“kalau masalah gossip lebih baik andalkan Uwa Ineu aja, karena kalau Uwa Wawat, dia gak bakal mau,” tutur Eneng yang kini juga menghampiri Reza dan Toni di kamar anaknya itu.“Eh, bunda, iya, bun, siap. Lagi pula emang aku juga capek sama si Nisa itu, dia banyak ngatur ini itu, kerjaannya dulu di rumah Cuma nangis dan marah-marah aja,” sahut Reza yang sepertinya kini sudah mudah sekali terpengaruh oleh Bundanya.Padahal beberapa jam lalu, ia masih belum bisa menerima untuk berpisah dengan Nisa, akan tetapi kini berbeda lagi, ia lebih patuh dan tunduk apa yang diperintahkan oleh bundanya sendiri dari pada keinginannya, karena memang menurutnya, bagi Reza yang bergantung penuh pada bundanya, itu artinya ia harus patuh dengan segala apa pun yang menyangkut masa
“Jadi bu Nisa sudah menggugat Reza? sejak kapan? Kok saya tidak tahu sama sekali?” kini Reza memberondongi Riri dan Nisa pertanyaan, menatap kedua wanita yang ada di hadapannya itu secara bergantian.“Saya juga gak tahu, Pak Den, baru tahu tadi ketika Nisa bilang kalau dia udah dapat surat panggilan sidang,” jawab Riri menjelaskan.“Iya, benar dengan apa yang dikatakan Bu Riri, Pak, saya masih merahasiakan semuanya dulu dari semua orang, sebab kemarin masih ragu, takut dengan keputusan saya ini adalah salah dan keliru,” sahut Nisa yang kini ikut berbicara.“Gak kok, Bu, ini adalah keputusan yang tepat, sudah seharusnya juga keluar dari kondisi toxic seperti itu, gak ada gunanya juga kan bertahan dalam hubungan yang selalu disetir oleh orang ketiga?” balas Deden menimpali ucapan Nisa.“Terus kapan panggilan sidangnya, Nis?” tanya Riri yang juga memang belum tahu, karena tadi ia hanya focus pada keputusan Nisa saja.“Tiga hari lagi, semoga aja dilancarkan dan semoga aja si Re
“Eh, Bu Aisyah, mau beli sayur, bu?” tanya ibu tukang sayur, sementara ketiga ibu lainnya tadi hanya diam saja, karena orang yang sedang digosipin ada di depan mata.“Iya saya nyari brokoli, Nisa pengin itu katanya, ada, Bu?” tanya Bu Aisyah lagi kepada ibu tukang sayur.“Ada, bu, ini ada kok,” jawab ibu tukang sayur seraya menyerahkan sayuran yang diminta oleh ibunya Nisa.“Ehm, Bu Aisyah, memangnya benar kalau Nisa itu melayangkan gugatan cerai Reza ke pengadilan agama?” salah satu ibu berdaster merah bertanya, setelah sebelumnya berdehem terlebih dulu.Ibunya Nisa sontak saja menoleh ke arah sang penanya.“Iya, benar, Nisa yang menggugat cerai Reza,” jawab Bu Aisyah singkat dan padat.“Kenapa alasannya, Bu? Kenapa Nisa sampai nekat meminta cerai dari Reza, padahal kata Bu Ine kehidupan Nisa di kota itu dibuat enak oleh mertuanya, dikasih rumah dan mobil,” celetuk ibu berdaster kuning yang kini sudah mulai berani bertanya juga setelah sebelumnya didahului oleh ibu berda
“Wajar aja kalau adik saya marah-marah aja ke si Nisa, orang jelas dia yang selalu buat gara-gara aja, dari mulai ngasih makan anaknya dengan ikan asing, terus malah KB (keluarga berencana) juga, padahal kan dia tahu kalau adik saya itu pengin cepat punya cucu…“eh, tapi malah ditunda segala macem, alasan belum siap atau inilah, itulah, dan masalah si Nisa yang sekarang jadi kurus, ya wajar juga, karena dia diet, kenapa malah nyalahin keponakan dan anak saya,” cerocos Bu Ineu bersungut-sungut kembali kepada ibu-ibu di tukang sayur itu.“Wah, seriusan, Bu Ineu?” tanya Bu Rini, salah satu tetangga dekat Bu Ineu yang cukup bar-bar dan selalu ingin tahu dengan urusan orang lain, ratu gossip.“Ya, seriuslah ngapain juga saya bohong, gak ada gunanya, kalau gak percaya, tanya aja sana langsung sama si Nisa orangnya kalau berani,” jawab Bu Ineu dengan ketus, seraya memicingkan matanya, ya ia sengaja mengompori Bu Rini agar langsung melabrak Nisa.Karena ia tahu bahwa Nisa sudah past
“Nisa menolak, Neng. Dan kedua orang tuanya pun sudah tidak bisa lagi membujuknya, karena Nisa sudah memberikan peringatan kepada kedua orang tuanya untuk tidak lagi ikut campur dengan urusannya, apa lagi yang menyangkut masa depannya, bahkan Nisa akan meninggalkan rumah jika bapak dan ibunya tetap memaksakan kehendak.”Bu Wawat panjang lebar memberikan penjelasan kepada Eneng dan suaminya yang ada di sana, termasuk Reza, seketika wajah ketiganya pun kini berubah menjadi muram, hanya kekecewaan saja yang terpancar.“Kamu yang sabar, ya Reza! mungkin memang sudah sebaiknya kita harus introspeksi diri atas apa yang pernah kita lakukan pada Nisa, Bunda juga menyesal, Za, sungguh menyesal, gak kebayang jika anak perempuan bunda pun akan diperlakukan seperti Nisa oleh ibu mertuanya…“Yang jelas Bunda sebagai orang tua, akan membawa kembali si Anggi ke rumah jika ia diperlakukan tidak baik oleh suami dan mertuanya.” Eneng panjang lebar, ia kini sudah sadar, ya sepenuhnya, sudah menga
“Eh, Bu Wawat,” seru Bu Aisyah ketika tahu bahwa yang bertamu ke rumahnya itu adalah Bu Wawat, entah mau apa? Apa mungkin ada kaitannya dengan pesan yang dikirimkan oleh Erma kepada Nisa tadi malam? Begitu pikir Bu Aisyah di dalam hatinya. “Ayok silakan masuk, Bu!” Bu Aisyah mempersilakan Bu Wawat untuk masuk ke dalam rumahnya. Duduk di ruang tamu dengan sofa yang sudah pudar warnanya, kusam, akan tetapi di atas meja itu sudah ada air mineral gelas dan toples berisi kue kering, sehingga Bu Aisyah tidak pelru repot-repot lagi membuatkan minum untuk tamu yang datang. “Mohn maaf nih, Bu, kalau pagi-pagi udah ke sini, he he.” Bu Wawat basa-basi kepada bu Aisyah, sebelum akhirnya mengatakan tujuan dan maksudnya datang ke rumahnya. “Gak apa-apa, Bu. Saya sudah beres semuanya kok, Nisa juga udah berangkat sekolah,” sahut Bu Aisyah seraya masih tersenyum juga. “Sebenarnya saya datang ke sini untuk minta maaf, dengan kabar dua hari lalu yang saya berikan, mengenai pernikahan Reza, terny
“Nis, saya mau tanya sama kamu, boleh?” Erma mengirimkan pesan kepada Nisa atas permintaan ibunya sendiri, Bu Wawat, bahkan wanita paruh baya itu pun masih di sana menunggu balasan Nisa.“Gimana, Er? Udah ada balasan dari Nisa belum?” tanya Bu Wawat tidak sadar kepada anaknya itu,yang masih setia menunggu.“Belum, Mah. Sabar dulu, kan baru dikirim tadi pesannya juga,” jawab Erma kepada Mamahnya yang memang sudah tidak sabaran lagi, lalu kini Bu Wawat hanya diam saja, seraya matanya kini focus kembali pada TV, karena ia sedang menonton acara sinetron kesukaannya.“Tapi kalau Nisa nolak, kenapa Mamah gak bujuk orang tuanya aja kayak kemarin, aku rasa Nisa akan nurut aja kalau orang tuanya yang minta,” celetuk Erma memberikan saran jika memang nanti Nisa menolak untuk diajak rujuk oleh Reza.Bu Wawat terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh anaknya itu, mengenai saran untuk membujuk orang tuanya Nisa saja, yang menurut Erma lebih efektive.“Eh, iya juga, ya.
“Iya, Teh, rujuk, Reza ingin rujuk dengan Nisa, dan Neng pun kini sadar dengan kesalahan Neng, bahwa gak ada lagi memang yang bisa menerima Reza selain Nisa, makanya Neng ingin agar Reza kembali rujuk dengan Nisa.” Eneng menjelaskan lagi.Bu Wawat hanya menghela nafasnya saja pelan ketika mendengar penjelasan dari adiknya itu, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak menyangka bahwa adiknya saat ini bisa mengakui kesalahan dirinya sendiri, tidak seperti biasanya, yang selalu keras kepala.“Tapi kalau Nisa menolak gimana? Kok kalian bisa sih semudah itu berpikir kalau Nisa mau menerima begitu aja setelah apa yang kalian lakukan?” Bu Wawat tidak mengerti dengan jalan pikiran adiknya itu, ya meskipun Eneng itu adalah adiknya sendiri, akan tetapi setelah tahu dengan kejadian yang sebenarnya terjadi, seperti apa yang Nisa katakan pada Bu Rini dan Bu Ineu pada beberapa bulan lalu, maka ia faham dan mengerti bahwa adik dan keponakannya itu salah.“Ya, siapa tahu, karena setahu Neng
“Tuh, kan Bun! benar apa kataku juga, gak ada wanita yang mau menerimaku selain Nisa,” keluh Reza atas nasib yang menimpanya, ya selama satu tahun perceraian ini, sudah 3 kali ia dikenalkan dengan anak dari teman Ayah dan Bundanya.Akan tetapi, pada pertemuan kedua atau ketiga setelah perkenalan, sang wanita akan mundur dengan teratur, karena menganggap bahwa Reza bukanlah lelaki yang baik untuk dijadikan suami.Ya meskipun pengakuan Eneng dan Toni adalah bahwa Reza bercerai karena ditinggalkan oleh istrinya yang tidak bertanggung jawab. Akan tetapi ternyata perlahan, semuanya terbuka, siapa yang sebenarnya bersalah dalam perceraian tersebut.“Sabar, Reza! teman Ayah dan Bunda masih banyak yang punya anak single, kamu tenang aja dulu, ya. Baru juga nyoba tiga kali, kamu jangan bosan!” Eneng meyakinkan anaknya itu bahwa suatu saat nanti akan ada wanita yang mau menerimanya sebagai suami.“Tapi, Bun, aku yakin gak akan mudah, coba aja dulu kalau aku gak bercerai dengan Nisa, k
Hari berganti menjadi minggu, begiut pula dengan minggu kini sudah berganti menjadi bulan, kondisi Nisa saat ini sudah jauh lebih baik, tidak ada lagi penyerangan yang terjadi dari keluarga mantan suaminya. Mungkin sudah bosan juga.“Nisa belum menikah lagi, Bu Aisyah? Kalau Reza Alhamdulillah udah menikah lagi, dapat istri PNS (pegawai negeri sispil)” ungkap Bu Wawat ketika bertemu dengan ibunya Nisa, ya lebih tepatnya sengaja mendatangi rumahnya Nisa ketika Nisa sedang di sekolah, entah untuk apa, hanya sekadar untuk memberikan informasi tidak jelas saja.“Oh begitu, ya syukur kalau Reza sudah menikah lagi, kalau Nisa belum, kayaknya dia masih belum siap juga,” jawab Bu Asiyah kikuk, meski di dalam hatinya menggerutu, ‘untuk apa juga bilang itu ke saya? Apa Cuma mau pamer aja kalau setelah lepas dari Nisa bisa langsung nikah lagi?’Bu Wawat mangguk-mangguk saja ketika mendengar jawaban dari Bu Aisyah itu mengenai responnya kepada Reza.“Ya sudah kalau begitu, saya pamit dul
[“Jadi benar dengan kabar yang tersebar, Nis? Kamu sudah resmi bercerai?”] isi pesan yang dikirimkan oleh Dani kepada Nisa pada siang hari itu, ketika Nisa sedang berada di kantor sekolah, seperti biasanya.Nisa diam sejenak ketika mendapati isi pesan dari Dani yang kini tiba-tiba datang kembali setelah beberapa bulan ini menghilang, seperti biasaya, datang dan pergi begitu saja karena memang ada istrinya pula yang harus dijaga.Wanita muda itu kini menghela nafasnya panjang, berat, ia tahu dengan kondisinya saat ini jika membalas pesan Dani hanya akan membuat suasananya semakin kacau saja, akan ada salah faham antara Dani dan istrinya lagi.“Kenapa? Kayaknya gabut banget?” tanya Riri kepada Nisa kini sedang menyandarkan tubuhnya itu di sandaran kursi.Nisa tak menjawab, ia tak ingin Riri tahu bahwa dirinya baru saja mendapat pesan dari Dani, ia tak ingin Riri tahu juga jika Dani kembali mengirim pesan, karena memang tak ada gunanya juga, untuk saat ini Nisa ingin menjauhi Da
“Wah, Nis, gila tahu gossip kamu rame banget, emangnya gimana tadinya sampe debat gitu sama Bu Ineu dan Bu Rini si ratu gossip?” tanya Riri kepada Nisa ketika di sekolah, seperti biasa, penasaran, karena memang Riri yang jarak rumahnya hanya sekitar 500 m saja, tentu sudah dapat mendengar desas desus apa yang terjadi kepada Nisa.Nisa hanya mengerutkan dahinya saja, tidak langsung menjawabnya. Dan membuat Riri harus bertanya untuk kedua kalinya.“Dih, kamu kebiasaan deh kalau aku nanya, pasti gak langsung dijawab, harus dua kali nanya aja,” keluh Riri, menggerutu, tidak suka dengan kebiasaan Nisa. Nisa terkekeh saja, sebelum akhirnya ia menjawab.“Ya, merekanya duluan yang lebih dulu marah-marah gak jelas di depan rumah orang, ya aku lawanlah, sekalian orang model begitu harus dikasih pelajaran, biar kapok, mereka pikir, aku akan diam aja kali, ya, gak bakal ngelawan,”“Ha ha ha. Iya juga sih, benar. Banyak yang bilang ibu-ibu, katanya lu adalah orang yang paling berani melaw
“Gimana, Teh? Aman kan semuanya? Udah beres?” baru saja Bu Ineu sampai di rumah Eneng, akan tetapi sang pemilik rumah sudah memberondongi tanya kepadanya, menanyakan hal yang memang ia tugaskan kepada Tetehnya itu untuk menyebarkan gossip mengenai Nisa.Akan tetapi orang yang ditanya kini malah menghempaskan tubuhnya pada sandaran sofa, lalu menghela nafas berat, dan diam saja untuk beberapa saat sehingga menjadikan Eneng bertanya-tanya.“Kok lemas gitu sih, Teh? Ada apa memangnya?” tanya Eneng lagi penasaran dengan tetehnya itu, yang ia harapkan tentunya mendapat kabar baik mengenai nama baiknya itu di kampung, meski pada faktanya bertolak belakang dengan keinginan wanita tersebut.“Kenapa kamu gak bilang kalau si Reza itu impoten, Neng?” Bu ineu bertanya langsung saja pada masalah intinya, sehingga menjadikan Eneng tersentak dan hanya membulatkan matanya saja, sempurna, tidak percaya dengan pertanyaan yang dilayangkan oleh tetehnya itu.“Lho kok Teh Ineu malah nanya itu sih