Seperti biasa Lisa pergi ke bar dan minum minum sendirian. Dia bertekad akan melakukan hal itu sampai William mau memperhatikannya. Meski sudah dilarang oleh Brian tapi wanita itu tak mendengarkan apa kata asistennya.“Sebaiknya kita pulang,” kata Brian.Lisa menyingkirkan tangan Brian yang memegang tangan Lisa.“Jangan menyentuhku.”“Kalau begitu kita pulang sekarang. Bagaimana kalau ayahmu tau jika ternyata kamu setiap malam terus begini.”Lisa berpura-pura tidak mendengarkan ucapan Brian. Dia malah menambahkan wine ke dalam gelasnya lagi.Hingga sebuah bayangan muncul dan berdiri di samping Lisa.“Mau sampai kapan kamu begini?” tanya William, dia merebut gelas yang hendak diminum oleh Lisa.Lisa tersenyum seperti orang bodoh. Memandangi William seolah sosok itu hanyalah manusia bayangan.“Kamu William?” tangan Lisa menangkup sisi wajah Lisa. “Mana mungkin kamu William. William nggak pernah peduli padaku,” katanya dengan sedih.William mengambil tangan Lisa, lalu diletakkannya di at
Sudah seperti yang dibayangkan oleh William, jika makan malam di rumah mertuanya membuatnya tak nyaman. Dia tak berharap makan malam yang mewah dengan segala masakan ada di atas meja, hanya saja dia berharap jika mertuanya tidak “menghakiminya” di meja makan.“Kalian sudah menikah selama lima tahun, tapi belum memiliki seorang anak? Apa ada masalah dengan kalian?” tanya ayah Lisa.“Nggak ada, Yah. Lisa memang belum mau punya anak, merepotkan,” jawabnya. Padahal jelas bukan itu yang ingin dikatakan oleh Lisa. Dia tentu ingin memiliki seorang anak dari William. Dia bahkan tak akan mengatakan bahwa itu merepotkan karna dia diam diam ingin menjadi seorang ibu yang baik untuk anaknya.“Tapi ini sudah lima tahun, Lisa? Teman teman kamu sudah menikah semua dan memiliki anak. Dan cuma kamu yang belum,” tambah ibunya.“Pernikahan dan memiliki anak kan bukan ajang kompetisi, Bu. Bisa saja tahun depan aku berubah pikiran dan mau punya anak. Ya kan, William?” Lisa melirik ke arah William yang rau
Sudah dua hari sejak Lisa tidak pulang ke rumah. Wanita itu juga tidak memberi kabar apapun pada William seakan menghilang ditelan bumi.Sore ini William akan menghadiri pameran lukisan yang diadakan salah satu teman koleganya. William wajib datang karena dia diundang secara resmi.“Kamu datang dengan siapa?” tanya Evan melalui telepon.“Sendiri.”“Istrimu?”“Di rumah orangtuanya.”“Bagaimana kalau orang orang melihatmu datang sendirian?”“Tak masalah,” jawab William.Pikiran William juga kalut sejak dia datang ke rumah mertuanya. Dia memikirkan bagaimana ayah mertuanya itu tahu jika dirinya jatuh cinta pada Alexandra?Ketika sampai di gedung pameran, William disambut baik oleh pemilik acara meski tak sedikit yang bertanya di manakah Lisa, mengapa tak dibawa olehnya?“Maaf aku datang terlambat,” kata Lisa. Dia berjalan menghampiri William kemudian menggandeng lengan William.William yang melihat cukup terkejut, apalagi saat wanita itu datang seakan tidak pernah terjadi apa apa.“Aku d
Jam satu malam, Lisa menunggu William di rumah mereka. Tapi pria itu tak juga pulang.Setelah dari pameran tadi, Lisa dibawa pulang oleh Brian. Awalnya Brian ingin memulangkan Lisa ke tempat orangtuanya. Akan tetapi, Lisa menolak dan lebih memilih untuk kembali ke rumahnya sendiri karena dia ingin bertemu dengan William.“Tidurlah, lelaki itu nggak akan pulang malam ini,” kata Brian.“Dia akan pulang meski terlambat.”“Siapa gadis itu? Dia yang selama ini dicintai oleh suamimu?”Mata Lisa melirik tajam ke arah Brian, tak suka jika lelaki itu berkata begitu kepadanya.“William hanya mencintaiku.”“Sampai kapan kamu mau berpura-pura buta, Lisa? Kamu jelas melihatnya tadi. Dia memeluk dan mencium gadis itu!”“Kamu sebaiknya pergi, Brian. Aku nggak mau lihat kamu untuk sementara waktu.”**Saat Rafael pulang dari mengantarkan Alexandra ke rumahnya. Baru lah setelah itu William memarkikan mobilnya di dekat rumah Alexandra.Dia masuk ketika pagar rumah ALexandra tidak dikunci dari dalam.Wi
Sejak Lisa melihat Alexandra kembali tadi malam, ia mulai curiga jika William akan menemui Alexandra dan bersamanya selama seharian ini dengan alasan bermain tenis.Karena tak percaya akhirnya Lisa menyuruh Brian agar mengikuti William diam diam, dan menyelidiki apakah William menemui Alexandra atau tidak.“Beri aku kabar kalau dia menemui Alexandra,” kata Lisa saat menghubungi Brian.“Oke.”Selama seharian berada di rumah, Lisa merasa tak tenang. Dia masih teringat bagaimana tadi malam William mencium Alexandra seperti itu. Hal yang tak pernah dilakukan lelaki itu kepadanya padahal dia jelas istri sahnya.Lisa mengambil ponselnya ketika mendengar ponselnya berdering. Dia berharap dari William meski itu tak mungkin, tapi ternyata memang bukan dari William.“Bagaimana? Dia menemui Alexandra?” tanya Lisa.“Dia bermain tenis, lalu makan siang. Setelah ini aku belum tau dia mau ke mana.”“Kalau begitu ikuti dia terus sampai dia pulang ke rumah.”“Mau sampai kapan kamu terus begini, Lisa?
Lisa akhirnya dibawa ke rumah sakit. William terkejut saat mendapati kenyataan bahwa Lisa sedang mengalami malnutrisi. Mengetahui jika anak satu satunya masuk ke rumah sakit, ayah dan ibu Lisa langsung menuju ke rumah sakit.Begitu masuk ke ruang di mana Lisa sedang tidur karena pengaruh obat, ayah Lisa pun murka.“Malnutrisi?” tanya mertua William tak percaya. “Anakku… bisa bisanya dia malnutri?”William dipukul keras oleh mertuanya. William diam saja ketika menerima pukulan demi pukulan yang dia dapatkan karena dia merasa bersalah atas apa yang menimpa Lisa.“Aku menikahkan anakku denganmu karena aku pikir dia akan bahagia denganmu. Tapi apa? Dia menderita di sepanjang tahun karena menjadi istrimu. Dan kamu sekalipun tidak pernah memberikan perhatian pada Lisa!” Pukulan terakhir mendarat begitu kencang, membuat ayah Lisa cukup terguncang. Dia memegangi dadanya yang tiba tiba terasa sesak.“Sudah, kita tunggu bagaimana hasilnya, kuharap Lisa akan baik baik saja.” Ibu mertua Lisa mem
Setelah beberapa hari, William mendapatkan surat perceraian antara dirinya dan Lisa. Surat tersebut dikirimkan ke kantor perusahaan dan Evan yang menyerahkannya.Hampir lima hari berlalu, dan kini William kembali ke apartemen miliknya. Dia tinggal sendiri di sana dan memulai hidup baru sebagai seorang duda.Tanpa ragu sedikit pun, William menandatangi kertas yang berada di dalam amplop cokelat.Evan yang melihatnya pun sedikit merasa aneh, karena William sama sekali tidak mengatakan apapun kepadanya masalah ini. Padahal William selalu bercerita kepadanya mengenai hal apapun agar bebannya dapat sedikit berkurang.Helaan napas terdengar dari arah William, dia menyandarkan punggungnya di kursi kemudian memandang Evan dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan dengan kata kata.“Aku menemui Alexandra akhir akhir ini,” katanya akhirnya.Evan sedikit terkejut mendapati bahwa William rupanya sudah bertemu dengan Alexandra.“Menemuinya di mana?”“Rumahnya.”“Tahu dari mana?”William tersenyum.“T
“William! William!” Lisa mengguncangkan tubuh William tapi lelaki itu tidak terpengaruh sedikit pun. Lisa makin khawatir apalagi ketika orang suruhan ayahnya menyeret William ke luar dari ruangan itu.“Jangan bawa dia! Kalian mau bawa dia ke mana!” teriak Lisa.Lisa mengejar ayahnya, lalu berlutut di depan ayahnya dan memohon pada ayahnya agar melepaskan William.“Melepaskan katamu? Tidak semudah itu Lisa, dia sudah mempermalukan keluarga kita.”“Jangan bunuh dia, Ayah. Kalau ayah membunuhnya, maka aku akan mati dengan William.”Mata ayah Lisa membulat.“Apa maksudmu!”“Aku berjanji, akan pergi jika William ayah bebaskan. Aku mohon ayah. Aku juga akan menikah dengan lelaki pilihanmu. Aku tidak akan menolaknya lagi.”Ayah Lisa mengembuskan napasnya. Tidak menyangka jika putri satu satunya akan bertindak senekat itu demi William.“Baiklah, tapi ada syaratnya,” kata ayah Lisa.Lisa mendongakan wajahnya lalu menatap ayahnya memohon.“Aku akan lepaskan dia, tapi setelah dua minggu. Aku aka
Tiga puluh lima tahun kemudian, rumah tepi pantai itu masih berdiri megah dan menawan, dikelilingi oleh pemandangan yang sama indahnya seperti saat Alexandra dan William pertama kali menempatinya. Namun, kini Alexandra telah berusia 65 tahun dan William telah tiada. Di sore hari yang cerah itu, Alexandra duduk di balkon rumahnya, ditemani oleh anak-anak dan cucu-cucunya. Angin laut yang sepoi-sepoi membawa aroma asin yang familiar, membawa kenangan indah bersama William. "Ini benar-benar tempat yang indah, Bu," kata Michael, anak sulung Alexandra. Ia berdiri di sampingnya, memandang laut yang luas. "Aku bisa mengerti mengapa Ayah dan Ibu memilih tinggal di sini." "Ya, Ayahmu dan aku selalu merasa damai di sini," jawab Alexandra sambil tersenyum. "Setiap hari yang kita habiskan di sini adalah anugerah." Cucu-cucunya berlari-larian di pasir putih, tertawa riang. Sarah, cucu tertuanya, mendekati Alexandra dan memeluknya dengan erat. "Nenek, ceritakan lagi tentang kakek. Apa yang palin
William dan Alexandra kini telah menetap di rumah impian mereka yang terletak di pinggir pantai yang indah. Setiap sore, mereka bersama anak mereka menikmati pemandangan matahari terbenam yang mempesona dari balkon rumah mereka. Angin laut yang sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, menambah kenyamanan suasana kebersamaan keluarga kecil ini.Keduanya telah bekerja keras untuk mencapai impian ini, membangun rumah sederhana namun hangat, di mana mereka dapat menjalani kehidupan yang berkualitas bersama anak mereka. William, seorang pengusaha sukses, selalu meluangkan waktu untuk Alexandra dan anak mereka, sementara Alexandra, seorang penulis handal, selalu memastikan bahwa rumah mereka terjaga dan nyaman untuk ditinggali."Indah sekali sore ini," ujar Alexandra sambil memandang matahari yang perlahan-lahan tenggelam di cakrawala."Ya, benar-benar menakjubkan," jawab William. Ia merangkul Alexandra dengan hangat. "Setiap kali melihat pemandangan ini, aku merasa semua kerja keras kita terbayar
Satu minggu kemudian, Alexandra dan William pergi ke taman bermain setelah Alexandra mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Mereka berdua berjalan-jalan di taman yang ramai, menikmati suasana yang ceria."Lex, om sangat bangga padamu. Kamu sudah berusaha keras dan akhirnya mendapatkan nilai yang bagus," ucap William sambil tersenyum pada Alexandra."Terima kasih, Om. Aku senang bisa membuatmu bangga," jawab Alexandra sambil tersenyum cerah.Mereka berdua berjalan-jalan di sekitar taman bermain, melihat anak-anak yang sedang bermain dengan riang. Alexandra merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama William di tempat yang menyenangkan seperti itu.Mereka berdua naik perosotan, bermain ayunan, dan menikmati berbagai permainan di taman bermain. Alexandra merasa sangat bahagia bisa berada di sana bersama William, orang yang sangat ia sayangi.Setelah puas bermain, mereka duduk di bangku taman sambil menikmati pemandangan sekitar. "Terima kasih sudah membawaku ke sini, Om. Aku benar-b
"Lex aku akan pergi ke tempat Sarah. Kamu baik-baik saja kan di sini sendiri?" "Kapan om pulang?" "Mungkin besok pagi.""Hmm baiklah."Saat William hendak pergi dan hendak membuka pintu, tiba-tiba Alexandra merasa pusing yang sangat hebat. Dia mencoba berdiri tetapi kakinya lemas, lalu pingsan di pelukan William."Lex! Lex, bangun!" seru William panik sambil mencoba membangunkan Alexandra. Dia memegang wajah Alexandra dengan lembut, mencari tanda-tanda kesadaran.Karena khawatir terjadi apa-apa pada Alexandra akhirnya William membawanya ke rumah sakit. **Sementara itu, seorang perawat datang untuk membantu. Mereka bersama-sama mengangkat Alexandra ke tempat tidur yang tersedia di ruang gawat darurat.William duduk di samping tempat tidur, wajahnya penuh kekhawatiran. Dia menggenggam tangan Alexandra dengan erat, berharap gadis itu segera sadar.Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Alexandra akhirnya membuka mata. Dia memandang sekeliling dengan bingung, tidak tahu
William tiba di apartemennya setelah seharian kerja. Saat ia memasuki ruang tamu, ia melihat Alexandra tertidur pulas di balkon. Bulan purnama menerangi wajah muda Alexandra yang tenang. William menghampirinya dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkannya. "Dingin sekali di sini," gumam William sambil menyelimuti Alexandra dengan lembut. Gadis itu merasa hangat dan sedikit menggeliat, tetapi tetap tertidur.Setelah meyakinkan diri bahwa Alexandra nyaman dengan selimutnya, William memutuskan untuk membopongnya ke dalam kamar. Tubuh Alexandra yang ringan membuatnya mudah diangkat. Langkahnya pelan, tidak ingin mengganggu tidur Alexandra yang lelap. Sampai di dalam kamar, William meletakkan Alexandra dengan lembut di atas tempat tidur. Ia memandang wajah gadis itu dengan penuh perhatian sejenak, lalu menutup pintu kamar perlahan ketika meninggalkannya untuk tidur dengan tenang.--Malam itu, Alexandra terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Ia tampak gelisah, terli
Evan duduk gelisah di ruang tamu rumahnya, memikirkan nasib Arini yang belum diketahui keberadaannya. Hatinya penuh kekhawatiran dan rasa bersalah karena tidak bisa melindungi Arini. Ponselnya tiba-tiba berdering, mengagetkannya. Dia buru-buru mengambilnya dan melihat panggilan masuk dari nomor polisi.Evan mengangkat telepon, "Halo, ini Evan.""Halo, Pak Evan. Kami dari kepolisian ingin memberitahukan bahwa Arini telah ditemukan. Dia sedang dirawat di rumah sakit setelah mengalami kejadian yang traumatis. Anda bisa menjemputnya di sana."Evan merasa lega, "Oh, syukurlah. Terima kasih banyak atas informasinya. Saya akan segera ke sana."Evan segera mengambil kunci mobilnya dan bergegas ke rumah sakit. Saat tiba di sana, dia langsung menuju ruang perawatan tempat Arini berada. Dia melihat Arini terbaring di tempat tidur, tampak lemah dan pucat, tetapi dia merasa lega melihat Arini selamat.Evan duduk di samping tempat tidur Arini. "Arini. Bagaimana kabarmu?"Arini dengan suara lemah. "
Polisi setelah menerima laporan penculikan dari Evan, segera melakukan penyelidikan dan menemukan keberadaan rumah Edward. Dengan sigap, mereka menggerebek rumah tersebut dengan harapan menemukan Arini.Saat polisi memasuki rumah, mereka menemukan Edward sedang berusaha untuk melarikan diri melalui pintu belakang. Dengan cepat, polisi mengejar dan berusaha menghentikannya. Namun, Edward menolak untuk menyerah dan terus berlari.Dalam keputusasaan, salah satu polisi memutuskan untuk menembak ke arah kaki Edward untuk menghentikannya. Peluru tersebut mengenai kakinya, membuat Edward jatuh tersungkur ke tanah dengan rasa sakit yang luar biasa.Polisi segera menangkap Edward dan memeriksanya untuk memastikan dia tidak membawa senjata atau bahaya lainnya. Setelah yakin aman, mereka membawanya ke mobil patroli dan membawanya ke kantor polisi untuk dimintai keterangan lebih lanjut.Sementara itu, Arini telah dibawa pulang oleh pria yang menolongnya di hutan. Dia merasa lega karena telah sela
Arini duduk tegak di dalam kamar yang gelap dan hening. Dia merasa terjebak dalam situasi yang mencekam dan tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari situasi tersebut. Mendadak, pintu terbuka dan Edward masuk membawa sebuah piring makanan."Dengar, Arini. Aku tidak akan membiarkanmu kelaparan. Silakan makan," ucap Edward dengan suara yang tenang, lalu dia duduk di depan Arini.Arini menatap piring makanan itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa menolak akan membuat situasinya semakin buruk, tetapi dia juga tidak ingin bergantung pada Edward.Tanpa kata, Arini menerima piring makanan itu dari tangan Edward. Dia mencoba untuk memakannya dengan lambat, tetapi perasaannya yang campur aduk membuatnya kesulitan menelan makanan. Akhirnya, rasa mual yang teramat sangat membuatnya tidak tahan lagi, dan dia memuntahkan semua makanan yang sudah dimakan ke piring di hadapannya.Edward terkejut melihat tindakan Arini. "Kenapa kau melakukan itu, Arini? Aku mencoba untuk memperlakukanmu de
Arini merasa panik ketika mobil yang dikemudikan oleh Edward semakin menjauh dari tempat pesta pernikahan. Dia mencoba untuk tetap tenang, tetapi kekhawatirannya semakin memuncak ketika dia menyadari bahwa dia sedang dibawa ke suatu tempat yang tidak diketahuinya.Edward tidak mengucapkan sepatah kata pun selama perjalanan. Arini mencoba mencari peluang untuk melarikan diri, tetapi dia sadar bahwa dia tidak bisa melawan sendirian. Dia merasa semakin terjebak dalam situasi yang mencekam.Setelah beberapa saat, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang besar dan mewah. Edward membawa Arini masuk ke dalam rumah tersebut tanpa berkata apa-apa. Arini mencoba untuk tetap tenang, tetapi ketakutan yang dirasakannya membuatnya gemetar.Di dalam rumah, Arini dibawa ke sebuah ruangan yang gelap. Edward menutup pintu dan duduk di depan Arini dengan tatapan dingin. "Kau tahu mengapa aku membawamu ke sini, kan?" ucap Edward dengan suara yang dingin.Arini menelan ludahnya. "Apa yang kau in