"Lex aku akan pergi ke tempat Sarah. Kamu baik-baik saja kan di sini sendiri?" "Kapan om pulang?" "Mungkin besok pagi.""Hmm baiklah."Saat William hendak pergi dan hendak membuka pintu, tiba-tiba Alexandra merasa pusing yang sangat hebat. Dia mencoba berdiri tetapi kakinya lemas, lalu pingsan di pelukan William."Lex! Lex, bangun!" seru William panik sambil mencoba membangunkan Alexandra. Dia memegang wajah Alexandra dengan lembut, mencari tanda-tanda kesadaran.Karena khawatir terjadi apa-apa pada Alexandra akhirnya William membawanya ke rumah sakit. **Sementara itu, seorang perawat datang untuk membantu. Mereka bersama-sama mengangkat Alexandra ke tempat tidur yang tersedia di ruang gawat darurat.William duduk di samping tempat tidur, wajahnya penuh kekhawatiran. Dia menggenggam tangan Alexandra dengan erat, berharap gadis itu segera sadar.Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Alexandra akhirnya membuka mata. Dia memandang sekeliling dengan bingung, tidak tahu
Satu minggu kemudian, Alexandra dan William pergi ke taman bermain setelah Alexandra mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Mereka berdua berjalan-jalan di taman yang ramai, menikmati suasana yang ceria."Lex, om sangat bangga padamu. Kamu sudah berusaha keras dan akhirnya mendapatkan nilai yang bagus," ucap William sambil tersenyum pada Alexandra."Terima kasih, Om. Aku senang bisa membuatmu bangga," jawab Alexandra sambil tersenyum cerah.Mereka berdua berjalan-jalan di sekitar taman bermain, melihat anak-anak yang sedang bermain dengan riang. Alexandra merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama William di tempat yang menyenangkan seperti itu.Mereka berdua naik perosotan, bermain ayunan, dan menikmati berbagai permainan di taman bermain. Alexandra merasa sangat bahagia bisa berada di sana bersama William, orang yang sangat ia sayangi.Setelah puas bermain, mereka duduk di bangku taman sambil menikmati pemandangan sekitar. "Terima kasih sudah membawaku ke sini, Om. Aku benar-b
William dan Alexandra kini telah menetap di rumah impian mereka yang terletak di pinggir pantai yang indah. Setiap sore, mereka bersama anak mereka menikmati pemandangan matahari terbenam yang mempesona dari balkon rumah mereka. Angin laut yang sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, menambah kenyamanan suasana kebersamaan keluarga kecil ini.Keduanya telah bekerja keras untuk mencapai impian ini, membangun rumah sederhana namun hangat, di mana mereka dapat menjalani kehidupan yang berkualitas bersama anak mereka. William, seorang pengusaha sukses, selalu meluangkan waktu untuk Alexandra dan anak mereka, sementara Alexandra, seorang penulis handal, selalu memastikan bahwa rumah mereka terjaga dan nyaman untuk ditinggali."Indah sekali sore ini," ujar Alexandra sambil memandang matahari yang perlahan-lahan tenggelam di cakrawala."Ya, benar-benar menakjubkan," jawab William. Ia merangkul Alexandra dengan hangat. "Setiap kali melihat pemandangan ini, aku merasa semua kerja keras kita terbayar
Tiga puluh lima tahun kemudian, rumah tepi pantai itu masih berdiri megah dan menawan, dikelilingi oleh pemandangan yang sama indahnya seperti saat Alexandra dan William pertama kali menempatinya. Namun, kini Alexandra telah berusia 65 tahun dan William telah tiada. Di sore hari yang cerah itu, Alexandra duduk di balkon rumahnya, ditemani oleh anak-anak dan cucu-cucunya. Angin laut yang sepoi-sepoi membawa aroma asin yang familiar, membawa kenangan indah bersama William. "Ini benar-benar tempat yang indah, Bu," kata Michael, anak sulung Alexandra. Ia berdiri di sampingnya, memandang laut yang luas. "Aku bisa mengerti mengapa Ayah dan Ibu memilih tinggal di sini." "Ya, Ayahmu dan aku selalu merasa damai di sini," jawab Alexandra sambil tersenyum. "Setiap hari yang kita habiskan di sini adalah anugerah." Cucu-cucunya berlari-larian di pasir putih, tertawa riang. Sarah, cucu tertuanya, mendekati Alexandra dan memeluknya dengan erat. "Nenek, ceritakan lagi tentang kakek. Apa yang palin
Dunia Alexandra hancur di depan matanya. Ia tidak menyangka bahwa kebahagiaan sekejap yang dia rasakan kini berubah menjadi kesedihan usai melihat rumah orangtuanya hangus terbakar.Tak hanya meleburkan rumah ayah dan ibunya. Kebakaran yang terjadi tadi malam membuat orangtua Alexandra meninggal di dalam sana tanpa sempat menyelamatkan diri.“Alexa! Jangan masuk!” Tangan seorang lelaki paruh baya menahan lengannya. “Bahaya kalau kamu masuk ke sana.”“Tapi, ayah sama ibuku, Paman,” sahut Alexandra dengan suara yang hampir tak terdengar. Tenggelam oleh ratusan suara orang-orang yang tengah melihat rumah Alexandra yang kini hanya tinggal puing-puingnya saja.“Ayah dan ibu kamu sudah meninggal Alexa.”Perasaan yang menyesakkan dada Alexandra kembali menyeruak, membuatnya kesulitan bernapas. Bayangan di sekitar berubah menjadi samar dan buram, hingga akhirnya membuat dirinya terjatuh di atas tanah.**Alexandra masih berharap bahwa apa yang terjadi tadi hanyalah mimpi buruknya saja. Maka,
“Lho, kok kamu belum mandi?” Oliver baru saja masuk dari luar dengan tergesa-gesa. “Mandi dan pakai pakaian rapi untuk ke pemakaman orangtua kamu Alexa.”Ethan yang kebetulan masih ada di ruang tamu sedang memakai sepatu melihat ayah dan Alexandra bergantian.“Ethan ikut boleh nggak, Yah?” tanya Ethan.“Nggak! Kamu kan harus sekolah Ethan!” sahut Martha dari dalam.“Ambilkan pakaian Emily, Martha. Dia butuh pakaian untuk ke pemakaman,” suruh Oliver.Martha bersungut-sungut sambil memaki Alexandra tanpa sepengetahuan Oliver.“Bu! Jangan ambil pakaian yang bagus. Ambil yang ada di dalam kardus!” teriak Emily. “Enak aja pinjem baju.”“Pelit banget,” sahut Ethan.“Kamu udah makan?” Oliver melihat keponakannya yang pucat merasa khawatir dengan keadaannya.“Belum Yah, bangun tidur disuruh ibu buat beresin rumah.” Ethan yang menjawab.Tak lama kemudian Martha memberikan pakaian bekas milik anaknya pada Alexandra. Tidak bisa dikatakan bahwa pakaian itu bagus, karena bagian renda yang ada di l
Malam semakin larut dan Ethan masih terus mencari keberadaan Alexandra. Perasaan tak enak terus menganggu perasaan Ethan meski yang telah melukai perasaan Alexandra adalah ibunya. Tapi tetap saja dia masih tak nyaman jika belum meminta maaf pada sepupunya itu dan membawanya pulang.Semakin jauh Ethan berjalan, dia melihat bayangan perempuan sedang duduk di taman perumahannya. Tanpa memastikan lagi, Ethan yakin jika perempuan kecil itu adalah Alexandra.“Ayo pulang,” ajak Ethan. Dia sudah berada di depan Alexandra yang wajahnya terus tertunduk.“Aku nggak punya rumah, pulang ke mana?” Suara Alexandra terdengar bergetar. Perempuan itu hampir menangis.“Kamu mau tidur di sini?”“Kamu nggak denger kalau bibi Martha mengusirku tadi?”“Ibu cuma emosi.”“Tapi bibi nggak suka sama aku.”Tiba-tiba Ethan berjongkok. Menangkup kedua sisi wajah Alexandra dan membuat perempuan itu sedikit terkejut. Alexandra yang tidak terbiasa mendapat perlakuan seperti itu dari lawan jenis tentu saja langsung me
“Rumah kita?” tanya Alexandra tak percaya. “Om bilang rumah kita?” William mengangguk. Setelah mengusap puncak kepala Alexandra, dia kemudian berdiri dan menatap wajah Martha dengan mengintimidasi.“Saya akan bawa keponakan saya pergi, dan saya harap ke depannya Alexandra tidak perlu bertemu dengan Anda lagi.”Martha tersenyum sinis. “Baguslah kalau begitu, kalau perlu dari kemarin kamu bawa dia dari rumah ini.”William tidak membalas ucapan Martha, dia hendak membalikkan tubuhnya dan pergi tapi Martha ingin memperpanjang masalahnya dengan William.“Setidaknya kamu harus mengganti biaya ketika Alexandra tinggal di sini,” kata Martha yang membuat langkah William terhenti seketika.“Memangnya berapa biaya yang dibutuhkan Alex selama tinggal di sini? Saya lihat keponakan saya kurus dan tidak terurus.”“Satu milliar!”William tertawa sinis.“Evan!” panggil William.Seorang laki-laki yang tak lain adalah supir dan tangan kanan William masuk tak lama setelah itu.“Laporkan wanita ini atas