Beranda / Romansa / Cinta Pertama Uncle Will / Bab 3. Lelaki Misterius

Share

Bab 3. Lelaki Misterius

Malam semakin larut dan Ethan masih terus mencari keberadaan Alexandra. Perasaan tak enak terus menganggu perasaan Ethan meski yang telah melukai perasaan Alexandra adalah ibunya. Tapi tetap saja dia masih tak nyaman jika belum meminta maaf pada sepupunya itu dan membawanya pulang.

Semakin jauh Ethan berjalan, dia melihat bayangan perempuan sedang duduk di taman perumahannya. Tanpa memastikan lagi, Ethan yakin jika perempuan kecil itu adalah Alexandra.

“Ayo pulang,” ajak Ethan. Dia sudah berada di depan Alexandra yang wajahnya terus tertunduk.

“Aku nggak punya rumah, pulang ke mana?” Suara Alexandra terdengar bergetar. Perempuan itu hampir menangis.

“Kamu mau tidur di sini?”

“Kamu nggak denger kalau bibi Martha mengusirku tadi?”

“Ibu cuma emosi.”

“Tapi bibi nggak suka sama aku.”

Tiba-tiba Ethan berjongkok. Menangkup kedua sisi wajah Alexandra dan membuat perempuan itu sedikit terkejut. Alexandra yang tidak terbiasa mendapat perlakuan seperti itu dari lawan jenis tentu saja langsung memundurkan wajahnya.

Ethan yang tak tahu mengapa dia bersikap seperti itu langsung meminta maaf.

“Ayah nitipin kamu ke aku, sehari setelah kamu datang ke rumah kami. Kalau aku nggak bisa jaga kamu. Aku harus bilang apa ke ayah nanti?”

“Nggak apa-apa. Ini keputusan aku.”

Ethan tersenyum dengan jahil. “Kamu masih kecil. Kalau ada yang nyulik kamu, gimana?”

“Ya nggak gimana-gimana.”

“Keras kepala juga ya kamu.” Ethan tiba-tiba menarik lengan Alexandra. “Kalau kamu dimarahin sama ibu, aku janji jadi tameng kamu.”

**

Mobil hitam berhenti tak jauh di rumah Martha. Seorang lelaki menurunkan kaca jendela mobilnya hanya setengah dan melihat keadaan sekitar dari dalam.

“Bener ini rumahnya?” tanya lelaki itu.

“Benar Pak.”

“Terus mengenai kebakaran yang terjadi di rumah kakakku, gimana?”

“Detektif sudah memeriksa, katanya kecelakaan bukan disengaja.” Sopir yang ada di depan melihat bosnya melalui kaca spion. “Selama ini, saya tidak tahu kalau Bapak memiliki kakak.”

Lelaki itu tersenyum. Matanya kemudian teralihkan pada dua bayangan yang berjalan tidak seiringan. Seorang lelaki berjalan di belakang seorang perempuan. William langsung tahu kalau perempuan itu adalah anak dari kakaknya yang bernama Alexandra.

“Sebaiknya Anda harus segera membawa keponakan Anda pergi dari rumah itu, Pak.”

“Kenapa? Apa orang di rumah itu tidak bersikap baik pada Alex?”

“Alexa tidak diizinkan sekolah. Dan bibinya memperlakukan Alexa seperti pembantu.”

Tangan William terkepal. Dia memang belum pernah bertemu dengan Alexa secara langsung. Terakhir dia bertemu dengan Alexa adalah ketika gadis itu baru saja dilahirkan oleh ibunya.

William menjenguknya sebentar sebelum akhirnya dia pergi untuk bersekolah ke luar negeri.

William mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ada semacam hal yang dia takutkan dalam dirinya. Seperti, apakah Alexa akan percaya padanya jika dia adalah paman Alexa? Apakah gadis itu akan nyaman untuk tinggal bersamanya?

Tetapi di sisi lain, William harus menepati janjinya pada kakak angkatnya itu. Jika terjadi sesuatu apa-apa pada dirinya, maka William harus menjaga Alexandra bagaimanapun caranya.

Tentu saja, William setuju karena dia harus membalas budi pada ayah Alexandra. Sebab berkat kakek dan nenek Alexandra, William tidak menjadi gelandangan setelah dibuang oleh orangtuanya sendiri.

**

Alexandra masuk dengan takut-takut, meski ada Ethan di sampingnya. Dia sudah tahu apa yang terjadi jika dirinya kembali ke rumah Oliver lagi.

Dan benar saja firasatnya mengatakan seperti itu. Karena baru menampakkan wajahnya saja, Martha sudah murka dan melemparkan vas bunga ke arah Alexandra hingga pecahan beling itu mengenai kakinya yang tak mengenakan alas apa-apa.

“Ibu!” seru Ethan tak percaya.

Martha dengan marah menunjukkan buku tabungan pada Alexandra.

“Kamu menumpang di sini, dan bersikap seolah-olah kamu tidak mempunyai apa-apa. Kamu menjadi benalu di sini padahal kamu diberikan tabungan oleh ayahmu sebanyak 2 milliar!”

Ethan terkejut dengan ucapan ibunya sendiri. Tapi dia tak berhak menghakimi Alexandra, karena uang itu adalah hak sepupunya.

“Oh aku tau, setelah kamu membuat kami jatuh miskin. Kamu pergi dengan uangmu sendiri dan mencampakkan kami, begitu kan?” tanya Martha lalu membuang buku tabungan itu ke wajah Alexandra.

Alexandra menggeleng lemah. “Bukan begitu Bi. Bukan begitu,” jawabnya.

“Alexa mau bilang malam ini, tapi bibi… “

“Alah alasan!” hardik Martha

“Bu, kenapa ibu begini sih,” Ethan malah semakin merasa bersalah karena mengajak Alexandra pulang ke rumah.

Sementara itu di luar rumah, William mendengar sumpah serapah dan amarah yang diucapkan oleh Martha pada keponakannya itu. Rasanya sangat menyakitkan melihat anak kesayangan kakaknya diperlakukan kasar oleh orang lain.

Di dalam rumah, Alexandra bahkan sudah tidak dapat menangis lagi. Dia hanya tergugu dan melihat kakinya yang terus mengeluarkan darah. Tapi mengapa dia tidak merasakan sakit itu lagi? Apakah dia sudah mati rasa?

“Kalau kamu memang benar mau memberikan pada kami, berikan uang itu untuk kami hidup. Kamu harus tanggung jawab atas kematian paman kamu Oliver,” kata Martha seolah membuat Alexandra menjadi tersangka dalam kasus kematian Oliver.

“Kenapa harus Alex yang harus bertanggungjawab?”

Suara berat itu terdengar dari pintu yang tidak dkunci oleh Ethan. Seorang lelaki masuk dengan kemeja putihnya yang rapi dan juga sepatunya yang mengkilap.

Mata Martha hampir copot karena melihat orang asing tidak melepas sepatunya saat masuk ke dalam rumahnya.

“Kam… kamu siapa?” tanya Martha.

“Aku? Aku pamannya Alex. Ehmm, Paman atau Om ya lebih cocoknya. Pokoknya seperti itu,” jawab William dengan santai.

Tak hanya Martha yang terkejut, tapi juga Alexandra yang tidak mengenal siapa William. Ataukah ada kerabat lain yang tidak dia kenal?

“Baguslah kalau begitu, kamu bisa bawa pergi anak ini. Tapi kuperingatkan, dia anak pembawa sial.”

William tersenyum mengejek Martha. “Apakah Anda masih percaya dengan hal seperti itu? Bagaimana kalau Alex adalah jimat keberuntungan saya?”

“Ah pokoknya bawa pergi anak ini dari rumahku!”

William melirik pecahan vas di depan matanya. Pandangannya kemudian terarah pada kaki Alexandra yang mengalirkan darah segar.

Tanpa berkata apa-apa, Wlliam kemudian membalut kaki Alexandra dengan sapu tangan yang ada di sakunya.

“Kayaknya kita harus ke rumah sakit dulu sebelum pulang ke rumah,” kata William.

“Rumah siapa?” tanya Alexandra pelan.

William mendongak, menyamakan pandangannya pada Alexandra.

“Tentu saja rumah kita.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status