Malam semakin larut dan Ethan masih terus mencari keberadaan Alexandra. Perasaan tak enak terus menganggu perasaan Ethan meski yang telah melukai perasaan Alexandra adalah ibunya. Tapi tetap saja dia masih tak nyaman jika belum meminta maaf pada sepupunya itu dan membawanya pulang.
Semakin jauh Ethan berjalan, dia melihat bayangan perempuan sedang duduk di taman perumahannya. Tanpa memastikan lagi, Ethan yakin jika perempuan kecil itu adalah Alexandra.“Ayo pulang,” ajak Ethan. Dia sudah berada di depan Alexandra yang wajahnya terus tertunduk.“Aku nggak punya rumah, pulang ke mana?” Suara Alexandra terdengar bergetar. Perempuan itu hampir menangis.“Kamu mau tidur di sini?”“Kamu nggak denger kalau bibi Martha mengusirku tadi?”“Ibu cuma emosi.”“Tapi bibi nggak suka sama aku.”Tiba-tiba Ethan berjongkok. Menangkup kedua sisi wajah Alexandra dan membuat perempuan itu sedikit terkejut. Alexandra yang tidak terbiasa mendapat perlakuan seperti itu dari lawan jenis tentu saja langsung memundurkan wajahnya.Ethan yang tak tahu mengapa dia bersikap seperti itu langsung meminta maaf.“Ayah nitipin kamu ke aku, sehari setelah kamu datang ke rumah kami. Kalau aku nggak bisa jaga kamu. Aku harus bilang apa ke ayah nanti?”“Nggak apa-apa. Ini keputusan aku.”Ethan tersenyum dengan jahil. “Kamu masih kecil. Kalau ada yang nyulik kamu, gimana?”“Ya nggak gimana-gimana.”“Keras kepala juga ya kamu.” Ethan tiba-tiba menarik lengan Alexandra. “Kalau kamu dimarahin sama ibu, aku janji jadi tameng kamu.”**Mobil hitam berhenti tak jauh di rumah Martha. Seorang lelaki menurunkan kaca jendela mobilnya hanya setengah dan melihat keadaan sekitar dari dalam.“Bener ini rumahnya?” tanya lelaki itu.“Benar Pak.”“Terus mengenai kebakaran yang terjadi di rumah kakakku, gimana?”“Detektif sudah memeriksa, katanya kecelakaan bukan disengaja.” Sopir yang ada di depan melihat bosnya melalui kaca spion. “Selama ini, saya tidak tahu kalau Bapak memiliki kakak.”Lelaki itu tersenyum. Matanya kemudian teralihkan pada dua bayangan yang berjalan tidak seiringan. Seorang lelaki berjalan di belakang seorang perempuan. William langsung tahu kalau perempuan itu adalah anak dari kakaknya yang bernama Alexandra.“Sebaiknya Anda harus segera membawa keponakan Anda pergi dari rumah itu, Pak.”“Kenapa? Apa orang di rumah itu tidak bersikap baik pada Alex?”“Alexa tidak diizinkan sekolah. Dan bibinya memperlakukan Alexa seperti pembantu.”Tangan William terkepal. Dia memang belum pernah bertemu dengan Alexa secara langsung. Terakhir dia bertemu dengan Alexa adalah ketika gadis itu baru saja dilahirkan oleh ibunya.William menjenguknya sebentar sebelum akhirnya dia pergi untuk bersekolah ke luar negeri.William mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ada semacam hal yang dia takutkan dalam dirinya. Seperti, apakah Alexa akan percaya padanya jika dia adalah paman Alexa? Apakah gadis itu akan nyaman untuk tinggal bersamanya?Tetapi di sisi lain, William harus menepati janjinya pada kakak angkatnya itu. Jika terjadi sesuatu apa-apa pada dirinya, maka William harus menjaga Alexandra bagaimanapun caranya.Tentu saja, William setuju karena dia harus membalas budi pada ayah Alexandra. Sebab berkat kakek dan nenek Alexandra, William tidak menjadi gelandangan setelah dibuang oleh orangtuanya sendiri.**Alexandra masuk dengan takut-takut, meski ada Ethan di sampingnya. Dia sudah tahu apa yang terjadi jika dirinya kembali ke rumah Oliver lagi.Dan benar saja firasatnya mengatakan seperti itu. Karena baru menampakkan wajahnya saja, Martha sudah murka dan melemparkan vas bunga ke arah Alexandra hingga pecahan beling itu mengenai kakinya yang tak mengenakan alas apa-apa.“Ibu!” seru Ethan tak percaya.Martha dengan marah menunjukkan buku tabungan pada Alexandra.“Kamu menumpang di sini, dan bersikap seolah-olah kamu tidak mempunyai apa-apa. Kamu menjadi benalu di sini padahal kamu diberikan tabungan oleh ayahmu sebanyak 2 milliar!”Ethan terkejut dengan ucapan ibunya sendiri. Tapi dia tak berhak menghakimi Alexandra, karena uang itu adalah hak sepupunya.“Oh aku tau, setelah kamu membuat kami jatuh miskin. Kamu pergi dengan uangmu sendiri dan mencampakkan kami, begitu kan?” tanya Martha lalu membuang buku tabungan itu ke wajah Alexandra.Alexandra menggeleng lemah. “Bukan begitu Bi. Bukan begitu,” jawabnya.“Alexa mau bilang malam ini, tapi bibi… ““Alah alasan!” hardik Martha“Bu, kenapa ibu begini sih,” Ethan malah semakin merasa bersalah karena mengajak Alexandra pulang ke rumah.Sementara itu di luar rumah, William mendengar sumpah serapah dan amarah yang diucapkan oleh Martha pada keponakannya itu. Rasanya sangat menyakitkan melihat anak kesayangan kakaknya diperlakukan kasar oleh orang lain.Di dalam rumah, Alexandra bahkan sudah tidak dapat menangis lagi. Dia hanya tergugu dan melihat kakinya yang terus mengeluarkan darah. Tapi mengapa dia tidak merasakan sakit itu lagi? Apakah dia sudah mati rasa?“Kalau kamu memang benar mau memberikan pada kami, berikan uang itu untuk kami hidup. Kamu harus tanggung jawab atas kematian paman kamu Oliver,” kata Martha seolah membuat Alexandra menjadi tersangka dalam kasus kematian Oliver.“Kenapa harus Alex yang harus bertanggungjawab?”Suara berat itu terdengar dari pintu yang tidak dkunci oleh Ethan. Seorang lelaki masuk dengan kemeja putihnya yang rapi dan juga sepatunya yang mengkilap.Mata Martha hampir copot karena melihat orang asing tidak melepas sepatunya saat masuk ke dalam rumahnya.“Kam… kamu siapa?” tanya Martha.“Aku? Aku pamannya Alex. Ehmm, Paman atau Om ya lebih cocoknya. Pokoknya seperti itu,” jawab William dengan santai.Tak hanya Martha yang terkejut, tapi juga Alexandra yang tidak mengenal siapa William. Ataukah ada kerabat lain yang tidak dia kenal?“Baguslah kalau begitu, kamu bisa bawa pergi anak ini. Tapi kuperingatkan, dia anak pembawa sial.”William tersenyum mengejek Martha. “Apakah Anda masih percaya dengan hal seperti itu? Bagaimana kalau Alex adalah jimat keberuntungan saya?”“Ah pokoknya bawa pergi anak ini dari rumahku!”William melirik pecahan vas di depan matanya. Pandangannya kemudian terarah pada kaki Alexandra yang mengalirkan darah segar.Tanpa berkata apa-apa, Wlliam kemudian membalut kaki Alexandra dengan sapu tangan yang ada di sakunya.“Kayaknya kita harus ke rumah sakit dulu sebelum pulang ke rumah,” kata William.“Rumah siapa?” tanya Alexandra pelan.William mendongak, menyamakan pandangannya pada Alexandra.“Tentu saja rumah kita.”“Rumah kita?” tanya Alexandra tak percaya. “Om bilang rumah kita?” William mengangguk. Setelah mengusap puncak kepala Alexandra, dia kemudian berdiri dan menatap wajah Martha dengan mengintimidasi.“Saya akan bawa keponakan saya pergi, dan saya harap ke depannya Alexandra tidak perlu bertemu dengan Anda lagi.”Martha tersenyum sinis. “Baguslah kalau begitu, kalau perlu dari kemarin kamu bawa dia dari rumah ini.”William tidak membalas ucapan Martha, dia hendak membalikkan tubuhnya dan pergi tapi Martha ingin memperpanjang masalahnya dengan William.“Setidaknya kamu harus mengganti biaya ketika Alexandra tinggal di sini,” kata Martha yang membuat langkah William terhenti seketika.“Memangnya berapa biaya yang dibutuhkan Alex selama tinggal di sini? Saya lihat keponakan saya kurus dan tidak terurus.”“Satu milliar!”William tertawa sinis.“Evan!” panggil William.Seorang laki-laki yang tak lain adalah supir dan tangan kanan William masuk tak lama setelah itu.“Laporkan wanita ini atas
Alexandra tidak menyangka jika dia akan tinggal bersama seorang Om yang baru pertama kali ia temui. Berjalan dengan ragu, Alexandra selalu berjalan di belakang William sambil memandang punggung lelaki itu.Ketika William berhenti dari langkahnya, kepala Alexandra tak sengaja menabrak punggung William hingga terpental sedikit ke belakang.William menoleh ke belakang. “Kamu malu berjalan di sampingku?” tanya William.Alexandra menggeleng cepat.“Lalu?”“Itu… “William memindai bayangan Alexandra dari atas sampai bawah. “Untung aku minta Evan beli pakaian buat kamu,” katanya yang mengalihkan pembicaraan. Dia menarik lengan Alexandra agar berjalan di sampingnya. “Besok lusa kita akan daftar sekolah yang baru. Karena nggak mungkin kamu bersekoiah di tempat yang lama, kan? Jauh.”Apakah William selalu seperti itu? Seakan dia bicara pada dirinya sendiri?“Terserah Om,” jawab Alexandra.Ketika William berhenti di depan sebuah pintu. Alexandra yang berjalan lebih jauh langsung memutar kakinya
Alexandra tersentak dari tidurnya, mimpi buruknya masih berlangsung bahkan ketika dia sudah pindah dari rumah Martha.Namun perasaannya langsung lega ketika dia mendapati dirinya berada di apartemen William saat ini.Suara seorang wanita yang berkata-kata dengan manja mengejutkan Alexandra.Siapakah dia? Apakah kekasih om William?Alexandra menurunkan kakinya lalu berjalan ke arah pintu untuk mengintip siapa yang sebenarnya datang ke apartemen pamannya. Dia terkejut ketika melihat seorang wanita cantik dengan pakaian seksinya sedang mencium bibir om-nya seakan hal itu sudah biasa.“Pacar om William,” gumam Alexandra. Dia urung keluar karena tak mau menganggu kesenangan William pagi itu.“Tapi, om William kan lama di luar negeri, kenapa dia bisa punya pacar secepat ini?” gumam Alexandra lagi, tak mengerti bagaimana cara kerja mendapatkan kekasih meski baru datang dari luar negeri.“Alex! Sarapan sudah siap! Kamu mandi dulu setelah itu sarapan!” seru William. “Om langsung berangkat ke k
Sudah delapan jam Willona berada di apartemen William, dan perempuan itu tak juga segera pergi seolah dia tak memiliki pekerjaan apa-apa selain memeluk William seharian.Alexandra yang malam itu sedang mempersiapkan dirinya untuk sekolah besok mencuri pandang bayangan William dan Willona. Dia merasa asing jika Willona berada di sana. Dan dia tak memiliki waktu untuk mengobrol berdua dengan omnya itu.Setelah menyiapkan pakaian seragam yang sudah dibeli oleh William. Alexandra duduk dan melihat wajahnya di cermin. Dia merasa wajahnya sangat kurus, jauh berbeda sebelum dia ditinggal pergi oleh ayah dan ibunya.Tiba-tiba saja bayangan masa lalu tentang orangtuanya terlintas dan membuat Alexandra merasa kesepian.Air mata menetes tanpa dia sadari dan membasahi pipi. Suara sesenggukan itu tanpa ia tahu terdengar sampai ke ruang tamu. Hingga membuat William menoleh dan menghampiri Alexandra yang sedang menangis di depan kaca rias.“Kamu kenapa, Alex?” tanya William. Lelaki jangkung itu suda
Alexandra menutup mulutnya rapat-rapat. Dia berjalan menjauhi pintu karna terkejut.Tak jadi mengambil air untuk minum, Alexandra pun masuk kembali ke kamarnya.Dengan wajah yang memerah dan jantung yang berdegub Alexandra terus teringat dengan adegan itu.“Aku harus lupain!” gumam Alexandra sambil menggelengkan kepalanya.Akan tetapi, kejadian itu ternyata terus berputar di kepalanya sampai pagi tiba. Matanya menghitam karena tidak cukup tidur pada malam itu.Keluar dari kamarnya, Alexandra sudah menemukan William sedang memasakkan sarapan untuk dirinya. Sementara Willona sudah tidak ada di dalam kamar omnya maupun di mana-mana.“Tante Wilona ke mana, Om?” tanya Alexandra ragu.“Sudah pulang, barusan, kenapa?” tanya William.“Nggak apa-apa,” jawabnya gugup.William yang merasa jika nada bicara Alexandra terdengar aneh pun menoleh. Dia melihat keponakannya itu sedang menekuri kedua tangannya yang ada di atas meja.“Kamu mikir sekolah hari ini ya?” tanya William.Alexandra mendongak, m
Seluruh murid terutama murid perempuan menoleh ke arah mobil William yang berhenti di sekolah mereka. Alexandra bukannya bangga tapi dia malu karena sudah menjadi pusat perhatian di hari pertama dia pindah sekolah.Lain halnya dengan William, sepertinya dia menyukai tatapan para murid apalagi guru muda yang tak berkedip melihatnya.“Om.” Alexandra meraih ujung jas William dengan jari-jarinya yang mungil.William berhenti kemudian menoleh ke arah Alexandra.“Kenapa?”“Besok… aku dianter sama om Evan aja, ya.”William terkejut mendengar permintaan dari Alexandra.“Kenapa? Kamu malu?”Alexandra tidak dapat menjawabnya. Dia hanya diam, kemudian mengikuti langkah William menuju ruang guru.Di hari pertama dia masuk sekolah. Semua murid memperhatikan Alexandra dari atas sampai bawah. Ada murid lelaki yang berbisik dan memuji ALexandra yang cantik.Namun, Alexandra tidak pernah menyangka jika dia akan ditanya oleh teman barunya, Emily yang duduk di sebelahnya.“Tadi papa kamu?” tanya Emily.
Setelah kejadian tadi, keadaan di dalam mobil menjadi canggung. William menarik tangannya dan meremas stir karena tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah kurang wajar.Akan tetapi, sungguh dia tidak menyangka jika akan terjadi seperti tadi.William takut jika sudah membuat Alexandra tidak nyaman.Di sisi lain, Alexandra langsung membuang mukanya ke arah jendela. Tiba-tiba bayangan yang sudah berhasil dia hempaskan seharian ini datang kembali dan berkelebat dengan jelas di kepalanya.Dia malu, dia merasa ada yang aneh. Tapi dia tidak bisa marah karena tahu William tidak sengaja.Tetapi, suasana sudah terlanjur canggung karena William juga tak berkata apapun setelahnya.“Ehmm, aku ketemu teman di restoran steak, kamu gak ada alergi sama daging sapi, kan?” tanya William yang sebenarnya sama sekali tidak penting.“Aku ngga ada alergi sama makanan apapun om,” jawabnya.Lalu hening. Lagipula Alexandra juga tak tahu harus berkata apa pada William.“Maaf,” kata William dengan jelas.Alexandra
William tidak turun dari mobilnya ketika sudah sampai di parkir apartemen. Membuat Alexandra menatap omnya itu cukup lama.Seakan tahu apa yang dipikirkan oleh Alexandra, William pun berkata, “kamu masuklah duluan. Kalau urusanku selesai aku pulang,” katanya kemudian melajukan mobilnya seperti kesetanan.Alexandra memandang kepergian mobil William dengan perasaan bercampuraduk, takut jika William marah padanya karena sudah melanggar privasinya atau muak karena sifatnya yang ingin tahu.Perasaan sedih itu pun melanda Alexandra, karena pengalaman pahitnya dengan bibi Martha ia berpikir jika William bisa saja mengusirnya karena sudah menganggu kesenangannya dengan Wilona.**William ke apartemen Wilona setelah tahu jika perempuan itu sedang ada di sana.Willona langsung memeluk William begitu melihat lelaki tinggi itu berdiri di depan pintu apartemennya.“Kenapa? Kamu sudah kangen sama aku ya?” Wilona memeluk William dari belakang. Tapi oleh lelaki itu, Wilona langsung dihempaskan.“Kita