“Rumah kita?” tanya Alexandra tak percaya. “Om bilang rumah kita?”
William mengangguk. Setelah mengusap puncak kepala Alexandra, dia kemudian berdiri dan menatap wajah Martha dengan mengintimidasi.“Saya akan bawa keponakan saya pergi, dan saya harap ke depannya Alexandra tidak perlu bertemu dengan Anda lagi.”Martha tersenyum sinis. “Baguslah kalau begitu, kalau perlu dari kemarin kamu bawa dia dari rumah ini.”William tidak membalas ucapan Martha, dia hendak membalikkan tubuhnya dan pergi tapi Martha ingin memperpanjang masalahnya dengan William.“Setidaknya kamu harus mengganti biaya ketika Alexandra tinggal di sini,” kata Martha yang membuat langkah William terhenti seketika.“Memangnya berapa biaya yang dibutuhkan Alex selama tinggal di sini? Saya lihat keponakan saya kurus dan tidak terurus.”“Satu milliar!”William tertawa sinis.“Evan!” panggil William.Seorang laki-laki yang tak lain adalah supir dan tangan kanan William masuk tak lama setelah itu.“Laporkan wanita ini atas tindak kekerasan pada anak di bawah umur. Kumpulkan semua buktinya. Kalau perlu tuntut sampai dia masuk ke dalam penjara,” kata William dengan tenang yang membuat Martha ketakutan.“Apa katamu!” Martha memekik tak percaya. Sementara Ethan tak dapat berkata apa-apa, dan Emily bersembunyi dari balik punggung ibunya.“Jadi Anda mau apa? Dilaporkan atau saya pergi membawa Alex dengan tenang?”Martha tak mampu berkata apa-apa karena dia tak memiliki pilihan lain.Ketika William hampir mencapai belakang pintu, Martha diam-diam mengendap-endap dan mengambil buku tabungan Alexandra. Tapi Evan lebih dulu meraihnya dan memasukkanya ke dalam saku jasnya.“Ini bukan hak Anda. Kalau Anda memaksa mengambilnya maka ini termasuk tindak pencurian.”Bibir Martha berkedut hebat, tak pernah sebelumnya ada yang menuduhnya sebagai pencuri.“Pencuri katamu?!”“Evan! Ayo kita ke rumah sakit dulu!” panggil William.“Baik Pak!”**Usai diperiksa oleh dokter, Alexandra tidak tahu apa yang nantinya akan terjadi pada hidupnya.Alexandra duduk di tepi brankar rumah sakit. Dia diam saja saat dokter memeriksa lukanya, tapi matanya melihat ke mana saat ini William sedang menelepon seseorang. Terlihat sangat serius, lalu tak berapa lama William tersenyum.“Paman William? Om William?” bisik Alexandra. Alexandra mencoba untuk menggali ingatannya lebih dalam. Apakah benar lelaki itu adalah William adik ayahnya? Apakah dia lupa jika ayahnya pernah menceritakan seorang lelaki yang bernama William itu?“Pasti kamu kaget ya.” Suara Evan membuat pikiran Alexandra terbelah. “Pak William baru saja kembali dari luar negeri demi Anda, setelah mendengar kakaknya meninggal dunia.”Alexandra mengangguk mengerti.“Selama ini dia tinggal di luar negeri, lebih tepatnya lima belas tahun lalu setelah kamu lahir,” jelas Evan lagi. “Jadi, wajar kalau kamu lupa siapa pak William. Tapi saya yakin ayah kamu menyimpan foto bersama dengan pak William.”Alexandra kemudian teringat akan sesuatu. Ayahnya dulu pernah menunjukkan foto padanya, dan mengatakan bahwa laki-laki yang duduk di sebelahnya adalah adiknya.Tapi William di foto masih seperti bocah kecil ingusan yang terlihat sembrono. Bukan seperti William yang sekarang.“Jadi, saya harus manggil Om atau Paman?”Evan tertawa kecil. “Om juga boleh,” jawab Evan.“Om Evan… apa sudah punya istri?” tanya Alexandra takut. Dia trauma jika istri William tidak menyukainya.Evan tertawa lagi. “Kamu nggak perlu cemas. Pak William seratus persen lajang, yah meski punya banyak wanita tapi nggak ada yang serius.”Ada bentuk kelegaan dalam diri Alexandra karena setidaknya tak ada lagi istri dari Om-nya yang akan memusuhi dirinya sama seperti Martha.“Evan!” panggil William. Lelaki itu berdiri dari duduknya dan menunjukkan tingginya yang hampir dua meter. Pantas saja jika Alexandra kesulitan melihat wajahnya.Lelaki itu tampan dengan garis wajah yang tegas, bibir bawah yang tebal dan bulu mata yang panjang dan indah. Matanya cokelat terang tak mirip seperti milik ayahnya. Alexandra lupa, bahwa William memang tidak sedarah dengan ayahnya.Dari jauh William melihat Alexandra sekilas lalu menepuk bahu Evan.Evan pun kemudian pergi dari hadapan William, sementara William berjalan ke arah Alexandra.“Kata dokter nggak apa-apa, kan?” tanya William. “Evan udah bilang sama aku tadi.”Alexandra memandang wajah William seakan berkata, jika sudah tahu kenapa harus bertanya padaku.“Evan pergi, jadi kita pulang berdua,” kata William lagi.Alexandra mengangguk.“Kita nggak pulang ke rumah, karena aku nggak punya rumah.”“... Ya?” Alexandra terkejut. “Terus? Kita tinggal di jalanan?”William tertawa. “Bukan, maksudku aku tinggal di apartemen. Karena belum lama kembali ke sini, jadi aku beli apartemen alih-alih beli rumah.”Mulut Alexandra membentuk huruf O.“Aku datang jauh-jauh ke sini demi keponakanku,” gumam William. “Lucu ya,” seolah William berkata pada dirinya sendiri.“Kapan-kapan kita pergi ke rumah nenek. Kamu udah lama nggak ketemu mereka kan?”Alexandra mengangguk.“Nenek tau… kalau ayah… ““Tentu tahu, tapi… “ William melirik ke arah Alexandra. Dia tak jadi melanjutkan kalimatnya. Tak mau membuat Alexandra semakin merasa bersalah jika dia tahu bahwa neneknya tidak pernah menyetujui hubungan ibunya dan ayahnya di masa lalu.“Aku tahu kok om. Kalau nenek nggak suka sama ibu.”William terkejut.“Makanya nenek nggak mau tau.”Tangan William mengusap kepala Alexandra dengan lembut. “Kamu salah. Nenek diam-diam selalu mau tau kabar kalian kok. Tapi karena gengsi jadi dia nggak mau terlalu jelas.”Saat Alexandra mendongak, William tersenyum.“Aku nggak pernah bohong,” kata William lagi.Alexandra tidak menyangka jika dia akan tinggal bersama seorang Om yang baru pertama kali ia temui. Berjalan dengan ragu, Alexandra selalu berjalan di belakang William sambil memandang punggung lelaki itu.Ketika William berhenti dari langkahnya, kepala Alexandra tak sengaja menabrak punggung William hingga terpental sedikit ke belakang.William menoleh ke belakang. “Kamu malu berjalan di sampingku?” tanya William.Alexandra menggeleng cepat.“Lalu?”“Itu… “William memindai bayangan Alexandra dari atas sampai bawah. “Untung aku minta Evan beli pakaian buat kamu,” katanya yang mengalihkan pembicaraan. Dia menarik lengan Alexandra agar berjalan di sampingnya. “Besok lusa kita akan daftar sekolah yang baru. Karena nggak mungkin kamu bersekoiah di tempat yang lama, kan? Jauh.”Apakah William selalu seperti itu? Seakan dia bicara pada dirinya sendiri?“Terserah Om,” jawab Alexandra.Ketika William berhenti di depan sebuah pintu. Alexandra yang berjalan lebih jauh langsung memutar kakinya
Alexandra tersentak dari tidurnya, mimpi buruknya masih berlangsung bahkan ketika dia sudah pindah dari rumah Martha.Namun perasaannya langsung lega ketika dia mendapati dirinya berada di apartemen William saat ini.Suara seorang wanita yang berkata-kata dengan manja mengejutkan Alexandra.Siapakah dia? Apakah kekasih om William?Alexandra menurunkan kakinya lalu berjalan ke arah pintu untuk mengintip siapa yang sebenarnya datang ke apartemen pamannya. Dia terkejut ketika melihat seorang wanita cantik dengan pakaian seksinya sedang mencium bibir om-nya seakan hal itu sudah biasa.“Pacar om William,” gumam Alexandra. Dia urung keluar karena tak mau menganggu kesenangan William pagi itu.“Tapi, om William kan lama di luar negeri, kenapa dia bisa punya pacar secepat ini?” gumam Alexandra lagi, tak mengerti bagaimana cara kerja mendapatkan kekasih meski baru datang dari luar negeri.“Alex! Sarapan sudah siap! Kamu mandi dulu setelah itu sarapan!” seru William. “Om langsung berangkat ke k
Sudah delapan jam Willona berada di apartemen William, dan perempuan itu tak juga segera pergi seolah dia tak memiliki pekerjaan apa-apa selain memeluk William seharian.Alexandra yang malam itu sedang mempersiapkan dirinya untuk sekolah besok mencuri pandang bayangan William dan Willona. Dia merasa asing jika Willona berada di sana. Dan dia tak memiliki waktu untuk mengobrol berdua dengan omnya itu.Setelah menyiapkan pakaian seragam yang sudah dibeli oleh William. Alexandra duduk dan melihat wajahnya di cermin. Dia merasa wajahnya sangat kurus, jauh berbeda sebelum dia ditinggal pergi oleh ayah dan ibunya.Tiba-tiba saja bayangan masa lalu tentang orangtuanya terlintas dan membuat Alexandra merasa kesepian.Air mata menetes tanpa dia sadari dan membasahi pipi. Suara sesenggukan itu tanpa ia tahu terdengar sampai ke ruang tamu. Hingga membuat William menoleh dan menghampiri Alexandra yang sedang menangis di depan kaca rias.“Kamu kenapa, Alex?” tanya William. Lelaki jangkung itu suda
Alexandra menutup mulutnya rapat-rapat. Dia berjalan menjauhi pintu karna terkejut.Tak jadi mengambil air untuk minum, Alexandra pun masuk kembali ke kamarnya.Dengan wajah yang memerah dan jantung yang berdegub Alexandra terus teringat dengan adegan itu.“Aku harus lupain!” gumam Alexandra sambil menggelengkan kepalanya.Akan tetapi, kejadian itu ternyata terus berputar di kepalanya sampai pagi tiba. Matanya menghitam karena tidak cukup tidur pada malam itu.Keluar dari kamarnya, Alexandra sudah menemukan William sedang memasakkan sarapan untuk dirinya. Sementara Willona sudah tidak ada di dalam kamar omnya maupun di mana-mana.“Tante Wilona ke mana, Om?” tanya Alexandra ragu.“Sudah pulang, barusan, kenapa?” tanya William.“Nggak apa-apa,” jawabnya gugup.William yang merasa jika nada bicara Alexandra terdengar aneh pun menoleh. Dia melihat keponakannya itu sedang menekuri kedua tangannya yang ada di atas meja.“Kamu mikir sekolah hari ini ya?” tanya William.Alexandra mendongak, m
Seluruh murid terutama murid perempuan menoleh ke arah mobil William yang berhenti di sekolah mereka. Alexandra bukannya bangga tapi dia malu karena sudah menjadi pusat perhatian di hari pertama dia pindah sekolah.Lain halnya dengan William, sepertinya dia menyukai tatapan para murid apalagi guru muda yang tak berkedip melihatnya.“Om.” Alexandra meraih ujung jas William dengan jari-jarinya yang mungil.William berhenti kemudian menoleh ke arah Alexandra.“Kenapa?”“Besok… aku dianter sama om Evan aja, ya.”William terkejut mendengar permintaan dari Alexandra.“Kenapa? Kamu malu?”Alexandra tidak dapat menjawabnya. Dia hanya diam, kemudian mengikuti langkah William menuju ruang guru.Di hari pertama dia masuk sekolah. Semua murid memperhatikan Alexandra dari atas sampai bawah. Ada murid lelaki yang berbisik dan memuji ALexandra yang cantik.Namun, Alexandra tidak pernah menyangka jika dia akan ditanya oleh teman barunya, Emily yang duduk di sebelahnya.“Tadi papa kamu?” tanya Emily.
Setelah kejadian tadi, keadaan di dalam mobil menjadi canggung. William menarik tangannya dan meremas stir karena tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah kurang wajar.Akan tetapi, sungguh dia tidak menyangka jika akan terjadi seperti tadi.William takut jika sudah membuat Alexandra tidak nyaman.Di sisi lain, Alexandra langsung membuang mukanya ke arah jendela. Tiba-tiba bayangan yang sudah berhasil dia hempaskan seharian ini datang kembali dan berkelebat dengan jelas di kepalanya.Dia malu, dia merasa ada yang aneh. Tapi dia tidak bisa marah karena tahu William tidak sengaja.Tetapi, suasana sudah terlanjur canggung karena William juga tak berkata apapun setelahnya.“Ehmm, aku ketemu teman di restoran steak, kamu gak ada alergi sama daging sapi, kan?” tanya William yang sebenarnya sama sekali tidak penting.“Aku ngga ada alergi sama makanan apapun om,” jawabnya.Lalu hening. Lagipula Alexandra juga tak tahu harus berkata apa pada William.“Maaf,” kata William dengan jelas.Alexandra
William tidak turun dari mobilnya ketika sudah sampai di parkir apartemen. Membuat Alexandra menatap omnya itu cukup lama.Seakan tahu apa yang dipikirkan oleh Alexandra, William pun berkata, “kamu masuklah duluan. Kalau urusanku selesai aku pulang,” katanya kemudian melajukan mobilnya seperti kesetanan.Alexandra memandang kepergian mobil William dengan perasaan bercampuraduk, takut jika William marah padanya karena sudah melanggar privasinya atau muak karena sifatnya yang ingin tahu.Perasaan sedih itu pun melanda Alexandra, karena pengalaman pahitnya dengan bibi Martha ia berpikir jika William bisa saja mengusirnya karena sudah menganggu kesenangannya dengan Wilona.**William ke apartemen Wilona setelah tahu jika perempuan itu sedang ada di sana.Willona langsung memeluk William begitu melihat lelaki tinggi itu berdiri di depan pintu apartemennya.“Kenapa? Kamu sudah kangen sama aku ya?” Wilona memeluk William dari belakang. Tapi oleh lelaki itu, Wilona langsung dihempaskan.“Kita
Hari demi hari berlalu, dan kini Alexandra sudah berumur delapan belas tahun. Dia sudah duduk di kelas tiga SMA.Tubuhnya sudah mulai terbentuk, membentuk lekuk tubuh yang seksi. Wajahnya yang mulai memasuki masa masa gadis muda, membuatnya terlihat semakin cantik dan menarik.“Alex! Sarapanmu sudah siap!”Alexandra yang kini sudah semakin dekat dengan William sudah tidak secanggung seperti dulu. Bahkan dia sangat dekat dengan William layaknya seperti kakaknya sendiri.“Alex! Rokmu terlalu pendek! Masuk dan ganti atau om akan membelikanmu celana panjang untuk sekolah!” ujar William ketika baru saja melihat Alexandra keluar dari kamarnya dengan rok setinggi atas lutut.“Tapi om, ini udah panjang. Lagipula aku udah 18 tahun, lho!”“Om nggak akan antar kamu ke sekolah, selama kamu masih pakai rok itu.” William duduk dan mulai membelah telur ceplok yang ia buat barusan.Alexandra mau tak mau menuruti apa kata William. Karena dia tak mau naik angkutan umum seperti beberapa waktu yang lal