Dengan berbisik William kemudian membisikkan ke telinga Alexandra dan berkata. “Rahasia.”Alexandra membuka matanya, dia kecewa karena tak seperti yang dia bayangkan.“Nggak usah dijawab kalau cuma rahasia!” ujar Alexandra William tersenyum. “Kenapa kamu tadi merem?”“Merem? Siapa yang merem!” jawab Alexandra dengan gelagapan.“Terus kenapa?”“Ada debu tadi.”“Dua duanya kemasukan debu matanya?”Alexandra meninggalkan William sendirian dan masuk ke kamar untuk mengambil tasnya. Tak berapa lama dia keluar lagi dengan wajah yang kusam.“Jangan mikir yang aneh aneh,” kata William.“Aneh apanya? Yang mana?”William sedang mengenakan kemejanya di dalam kamarnya. Alexandra yang berdiri di ambang pintu sambil memandangi William dari atas sampai bawah, tapi pandangan itu kembali ke wajah om nya yang sampai saat ini masih sama seperti tahun tahun yang lalu.“Om, dasinya kenapa nggak rapi sih?” keluh Alexandra.Mau tak mau dia menurunkan tasnya, berjalan ke arah William kemudian mencoba untuk
Karena lelah menunggu William yang katanya akan pulang malam, Alexandra pun sudah dulu tidur di dalam kamarnya. Dia terbangun karena ingin memastikan bahwa William sudah pulang belum.Dia pun keluar dari kamar. Kemudian berjalan ke kamar William yang ada di sebelahnya.Kamar William yang dibuka sedikit, membuat Alexandra dapat melihat jika omnya itu sudah tidur. “Udah pulang ternyata,” bisik Alexandra. Tapi ketika dia hendak menutup pintu kamarnya. Dia mendengar suara William yang memanggil ibunya.Alexandra menoleh, dan tahu jika William sedang mengigau.Dia mendekati William dan melihat lelaki itu mengeluarkan banyak keringat dingin.Dengan berhati-hati Alexandra menempelkan telapak tangannya ke kening William dan menyadari jika omnya itu sedang tidak enak badan.Tanpa menunggu lama Alexandraa mengambil handuk dan air hangat untuk mengompres William.“Padahal tadi pagi masih bisa berantem,” gumam Alexandra sambil mengelap wajah William. Dengan perlahan Alexandra mengelap lengan Wil
Di dalam mobilnya William terlihat tidak seperti biasanya. Lelaki itu lebih banyak diam dan terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. Alexandra mencoba menebak tapi dia tidak tahu apa yang sedang menganggu William. Dia teringat dengan igauan William tadi malam yang terus memanggil ibunya. Apakah William sedang merindukan ibunya?“Tadi malam, Om demam,” kata Alexandra akhirnya. Dia tidak tahan dengan keheningan yang sudah berjalan selama sepuluh menit.“Aku cuma ngompres kok, nggak aneh-aneh.”William melirik ke arah Alexandra. “Memangnya yang aneh aneh yang bagaimana, Lex?”Alexandra cegukan. Dia tak sadar mengapa harus mengatakan kata “aneh aneh” pada omnya itu.“Tapi terima kasih,” kata William selanjutnya, melihat keponakannya itu tidak berkutik.Alexandra pun tersenyum.Ketika turun dari mobil, dan melihat mobil William menghilang dari pandangannya. Alexandra masih merasa jika ada yang aneh dengan William. Kendati lelaki itu dapat tersenyum, tapi tak dapat dibohongi bahwa Willi
William membuka matanya, tenggorokannya haus dan kepalanya terasa begitu berat.Ia melihat dirinya berada di sofa dan terkejut. Ia pun terduduk dan memandang kue ulang tahun yang sama sekali tidak tersentuh.William teringat jika tadi malam dia mabuk berat hingga tak tahu bagaimana caranya untuk pulang.“Alex! Kamu sudah bangun!”Tak lama kemudian Alexandra keluar sudah lengkap dengan pakaian seragamnya. Dia menggendong tasnya kemudian melenggang pergi tanpa melihat ke arah William.“Kamu berangkat sama siapa?”“Teman.”“Teman? Siapa?”“Damian, dia bawa motor.”“Nggak. Kamu tunggu om dulu.”Alexandra mendengus. Kemudian menunjuk jam dinding dengan matanya. “Udah telat banget!” ketusnya.William hendak mengejar Alexandra, akan tetapi dia terjatuh karena masih pusing. Alexandra yang tahu hanya diam saja tanpa ada keinginan untuk membantu omnya untuk berdiri.Dalam hatinya dia mengutuk William yang mabuk dan pulang bersama dengan wanita lain, padahal dia sudah menunggu sejak jam enam sor
Awalnya William masih ingin memercayai Alexandra, jadi sepulang dari perusahaan dia langsung ke apartemen. Namun, ketika mendapati keponakannya itu belum pulang, membuat William teringat kembali dengan ucapan Alexandra tadi pagi.“Dia di mana sekarang?” gumam William, jam di tangannnya sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Padahal Alexandra tidak pernah pulang larut seperti ini meski ada masalah.“Evan, cari di mana Alexandra sekarang. Lapor kepadaku kalau sudah ketemu dia di mana,” perintah William pada Evan melalui telepon.“Alexandra belum pulang? Mungkin dia menginap di tempat temannya?”“Tapi dia tidak izin kepadaku untuk menginap.”“Baiklah kalau begitu.”William melepaskan dasinya, melemparkan ke sembarang arah. Ia menjatuhkan dirinya di atas kasur dan matanya memandang atap langit yang berwarna krem bersih.Matanya tertutup pelan karena rasa mengantuk yang tiba tiba menyerang. Bayangan Alexandra dengan wajah tersenyum muncul kemudian menghilang dengan samar, dan pada saat it
Dalam perjalanan menuju rumah, Alexandra tidak berbicara sama sekali. Bahkan ketika William bertanya kepadanya setiap kali Alexandra menghela napasnya.“Masih marah?” tanya William.Alexandra menghela napasnya lagi. Matanya hanya memandang pemandangan di luar jendela.“Sepertinya jalanan lebih menarik daripada aku sekarang,” sindir William.“Maaf,” kata William. “Tadi malam, karyawan ingin merayakan ulang tahun bersama. Karena ini tahun pertamaku bekerja di sini. Aku harus mengenal mereka dengan baik, bukan? Aku gak mau jadi bos yang memiliki jarak yang jauh pada karyawanku.”“Ya, kalian sangat dekat sampai sekertaris baru tau sandi pintu apartemen Om.” Akhirnya Alexandra membuka suara.“Itu Evan yang memberitahu.”“Dan tadi pagi dia datang masuk? Membawakan sarapan?” sindir Alexandra.“Kalau aku menolaknya, itu pasti sangat menyakitinya, kan?”“Ya, sama menyakitkannya menunggu seseorang sampai ketiduran lalu melihat seseorang itu kembali dengan orang lain tanpa merasa bersalah.”Will
Dalam sekejap Alexandra sudah berubah. Wajahnya tak lagi ditekuk seperti kemarin. Kini dia sedang berjalan dengan pakaian santainya dan menggandeng tangan William.William memandang Alexandra dari samping, ia melihat senyum itu terus terukir di bibir Alexandra.“Tadi siapa saja yang ada di rumah Emily?” tanya William, tanpa ada niatan untuk melepas tangan Alexandra.“Siapa ya? Aku lupa. Tapi yang cewek tadi Giana. Yang ada di dalam, jaket yang aku pakai tadi Giofani. Dia naksir aku,” jelas Alexandra.“Giofani? Dia pasti jelek.”“Nggak, om pasti nggak lihat wajah dia tadi. Dia anak yang paling pintar di kelas. Bahkan dia peringkat satu di sekolah. Ketua kelas dan dia sangat berwibawa juga ganteng,” puji ALexandra.“Dan kamu menyukainya? Kayaknya dia suka sama kamu,” kata William.Alexandra menggeleng. “Nggak apa apa, kalau aku pacaran?”William terdiam untuk sesaat. Selama ini dia melarang Alexandra untuk pacaran karena dia tak mau kalau sampai keponakannya itu terluka atau dipermainka
Karena takut seperti kejadian yang sudah sudah, jadi William sore itu langsung pulang ke apartemen untuk memastikan jika Alexandra berada di rumah.Dan betapa leganya William ternyata Alexandra tidak kabur seperti kemarin.Anak itu sedang mencuci piringnya di wastafel lalu masuk ke kamar lagi.Meski William ada di dekatnya, tapi Alexandra tidak menganggap omnya ada di sana.“Alex,” panggil William dengan suara yang lembut. Tapi Alexandra tidak menyahut, dia langsung mengunci pintu kamarnya lalu hening.Hal ini semakin membuat William frustrasi karena Alexandra berubah 180 derajat lantaran ucapannya tadi malam.“Kamu mau jalan jalan malam ini, Alex?” tanya William membujuk Alexandra.Tak ada sahutan.“Katanya kamu mau makan di restoran yang ada di gedung lantai paling atas! Kita ke sana malam ini gimana!”Tak ada sahutan, padahal sejak lama Alexandra ingin sekali makan di restoran itu berdua saja dengan William. Tapi William dulu selalu menolaknya dengan alasan bahwa restoran itu tida
Tiga puluh lima tahun kemudian, rumah tepi pantai itu masih berdiri megah dan menawan, dikelilingi oleh pemandangan yang sama indahnya seperti saat Alexandra dan William pertama kali menempatinya. Namun, kini Alexandra telah berusia 65 tahun dan William telah tiada. Di sore hari yang cerah itu, Alexandra duduk di balkon rumahnya, ditemani oleh anak-anak dan cucu-cucunya. Angin laut yang sepoi-sepoi membawa aroma asin yang familiar, membawa kenangan indah bersama William. "Ini benar-benar tempat yang indah, Bu," kata Michael, anak sulung Alexandra. Ia berdiri di sampingnya, memandang laut yang luas. "Aku bisa mengerti mengapa Ayah dan Ibu memilih tinggal di sini." "Ya, Ayahmu dan aku selalu merasa damai di sini," jawab Alexandra sambil tersenyum. "Setiap hari yang kita habiskan di sini adalah anugerah." Cucu-cucunya berlari-larian di pasir putih, tertawa riang. Sarah, cucu tertuanya, mendekati Alexandra dan memeluknya dengan erat. "Nenek, ceritakan lagi tentang kakek. Apa yang palin
William dan Alexandra kini telah menetap di rumah impian mereka yang terletak di pinggir pantai yang indah. Setiap sore, mereka bersama anak mereka menikmati pemandangan matahari terbenam yang mempesona dari balkon rumah mereka. Angin laut yang sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, menambah kenyamanan suasana kebersamaan keluarga kecil ini.Keduanya telah bekerja keras untuk mencapai impian ini, membangun rumah sederhana namun hangat, di mana mereka dapat menjalani kehidupan yang berkualitas bersama anak mereka. William, seorang pengusaha sukses, selalu meluangkan waktu untuk Alexandra dan anak mereka, sementara Alexandra, seorang penulis handal, selalu memastikan bahwa rumah mereka terjaga dan nyaman untuk ditinggali."Indah sekali sore ini," ujar Alexandra sambil memandang matahari yang perlahan-lahan tenggelam di cakrawala."Ya, benar-benar menakjubkan," jawab William. Ia merangkul Alexandra dengan hangat. "Setiap kali melihat pemandangan ini, aku merasa semua kerja keras kita terbayar
Satu minggu kemudian, Alexandra dan William pergi ke taman bermain setelah Alexandra mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Mereka berdua berjalan-jalan di taman yang ramai, menikmati suasana yang ceria."Lex, om sangat bangga padamu. Kamu sudah berusaha keras dan akhirnya mendapatkan nilai yang bagus," ucap William sambil tersenyum pada Alexandra."Terima kasih, Om. Aku senang bisa membuatmu bangga," jawab Alexandra sambil tersenyum cerah.Mereka berdua berjalan-jalan di sekitar taman bermain, melihat anak-anak yang sedang bermain dengan riang. Alexandra merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama William di tempat yang menyenangkan seperti itu.Mereka berdua naik perosotan, bermain ayunan, dan menikmati berbagai permainan di taman bermain. Alexandra merasa sangat bahagia bisa berada di sana bersama William, orang yang sangat ia sayangi.Setelah puas bermain, mereka duduk di bangku taman sambil menikmati pemandangan sekitar. "Terima kasih sudah membawaku ke sini, Om. Aku benar-b
"Lex aku akan pergi ke tempat Sarah. Kamu baik-baik saja kan di sini sendiri?" "Kapan om pulang?" "Mungkin besok pagi.""Hmm baiklah."Saat William hendak pergi dan hendak membuka pintu, tiba-tiba Alexandra merasa pusing yang sangat hebat. Dia mencoba berdiri tetapi kakinya lemas, lalu pingsan di pelukan William."Lex! Lex, bangun!" seru William panik sambil mencoba membangunkan Alexandra. Dia memegang wajah Alexandra dengan lembut, mencari tanda-tanda kesadaran.Karena khawatir terjadi apa-apa pada Alexandra akhirnya William membawanya ke rumah sakit. **Sementara itu, seorang perawat datang untuk membantu. Mereka bersama-sama mengangkat Alexandra ke tempat tidur yang tersedia di ruang gawat darurat.William duduk di samping tempat tidur, wajahnya penuh kekhawatiran. Dia menggenggam tangan Alexandra dengan erat, berharap gadis itu segera sadar.Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Alexandra akhirnya membuka mata. Dia memandang sekeliling dengan bingung, tidak tahu
William tiba di apartemennya setelah seharian kerja. Saat ia memasuki ruang tamu, ia melihat Alexandra tertidur pulas di balkon. Bulan purnama menerangi wajah muda Alexandra yang tenang. William menghampirinya dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkannya. "Dingin sekali di sini," gumam William sambil menyelimuti Alexandra dengan lembut. Gadis itu merasa hangat dan sedikit menggeliat, tetapi tetap tertidur.Setelah meyakinkan diri bahwa Alexandra nyaman dengan selimutnya, William memutuskan untuk membopongnya ke dalam kamar. Tubuh Alexandra yang ringan membuatnya mudah diangkat. Langkahnya pelan, tidak ingin mengganggu tidur Alexandra yang lelap. Sampai di dalam kamar, William meletakkan Alexandra dengan lembut di atas tempat tidur. Ia memandang wajah gadis itu dengan penuh perhatian sejenak, lalu menutup pintu kamar perlahan ketika meninggalkannya untuk tidur dengan tenang.--Malam itu, Alexandra terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Ia tampak gelisah, terli
Evan duduk gelisah di ruang tamu rumahnya, memikirkan nasib Arini yang belum diketahui keberadaannya. Hatinya penuh kekhawatiran dan rasa bersalah karena tidak bisa melindungi Arini. Ponselnya tiba-tiba berdering, mengagetkannya. Dia buru-buru mengambilnya dan melihat panggilan masuk dari nomor polisi.Evan mengangkat telepon, "Halo, ini Evan.""Halo, Pak Evan. Kami dari kepolisian ingin memberitahukan bahwa Arini telah ditemukan. Dia sedang dirawat di rumah sakit setelah mengalami kejadian yang traumatis. Anda bisa menjemputnya di sana."Evan merasa lega, "Oh, syukurlah. Terima kasih banyak atas informasinya. Saya akan segera ke sana."Evan segera mengambil kunci mobilnya dan bergegas ke rumah sakit. Saat tiba di sana, dia langsung menuju ruang perawatan tempat Arini berada. Dia melihat Arini terbaring di tempat tidur, tampak lemah dan pucat, tetapi dia merasa lega melihat Arini selamat.Evan duduk di samping tempat tidur Arini. "Arini. Bagaimana kabarmu?"Arini dengan suara lemah. "
Polisi setelah menerima laporan penculikan dari Evan, segera melakukan penyelidikan dan menemukan keberadaan rumah Edward. Dengan sigap, mereka menggerebek rumah tersebut dengan harapan menemukan Arini.Saat polisi memasuki rumah, mereka menemukan Edward sedang berusaha untuk melarikan diri melalui pintu belakang. Dengan cepat, polisi mengejar dan berusaha menghentikannya. Namun, Edward menolak untuk menyerah dan terus berlari.Dalam keputusasaan, salah satu polisi memutuskan untuk menembak ke arah kaki Edward untuk menghentikannya. Peluru tersebut mengenai kakinya, membuat Edward jatuh tersungkur ke tanah dengan rasa sakit yang luar biasa.Polisi segera menangkap Edward dan memeriksanya untuk memastikan dia tidak membawa senjata atau bahaya lainnya. Setelah yakin aman, mereka membawanya ke mobil patroli dan membawanya ke kantor polisi untuk dimintai keterangan lebih lanjut.Sementara itu, Arini telah dibawa pulang oleh pria yang menolongnya di hutan. Dia merasa lega karena telah sela
Arini duduk tegak di dalam kamar yang gelap dan hening. Dia merasa terjebak dalam situasi yang mencekam dan tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari situasi tersebut. Mendadak, pintu terbuka dan Edward masuk membawa sebuah piring makanan."Dengar, Arini. Aku tidak akan membiarkanmu kelaparan. Silakan makan," ucap Edward dengan suara yang tenang, lalu dia duduk di depan Arini.Arini menatap piring makanan itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa menolak akan membuat situasinya semakin buruk, tetapi dia juga tidak ingin bergantung pada Edward.Tanpa kata, Arini menerima piring makanan itu dari tangan Edward. Dia mencoba untuk memakannya dengan lambat, tetapi perasaannya yang campur aduk membuatnya kesulitan menelan makanan. Akhirnya, rasa mual yang teramat sangat membuatnya tidak tahan lagi, dan dia memuntahkan semua makanan yang sudah dimakan ke piring di hadapannya.Edward terkejut melihat tindakan Arini. "Kenapa kau melakukan itu, Arini? Aku mencoba untuk memperlakukanmu de
Arini merasa panik ketika mobil yang dikemudikan oleh Edward semakin menjauh dari tempat pesta pernikahan. Dia mencoba untuk tetap tenang, tetapi kekhawatirannya semakin memuncak ketika dia menyadari bahwa dia sedang dibawa ke suatu tempat yang tidak diketahuinya.Edward tidak mengucapkan sepatah kata pun selama perjalanan. Arini mencoba mencari peluang untuk melarikan diri, tetapi dia sadar bahwa dia tidak bisa melawan sendirian. Dia merasa semakin terjebak dalam situasi yang mencekam.Setelah beberapa saat, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang besar dan mewah. Edward membawa Arini masuk ke dalam rumah tersebut tanpa berkata apa-apa. Arini mencoba untuk tetap tenang, tetapi ketakutan yang dirasakannya membuatnya gemetar.Di dalam rumah, Arini dibawa ke sebuah ruangan yang gelap. Edward menutup pintu dan duduk di depan Arini dengan tatapan dingin. "Kau tahu mengapa aku membawamu ke sini, kan?" ucap Edward dengan suara yang dingin.Arini menelan ludahnya. "Apa yang kau in