Tiga puluh lima tahun kemudian, rumah tepi pantai itu masih berdiri megah dan menawan, dikelilingi oleh pemandangan yang sama indahnya seperti saat Alexandra dan William pertama kali menempatinya. Namun, kini Alexandra telah berusia 65 tahun dan William telah tiada. Di sore hari yang cerah itu, Alexandra duduk di balkon rumahnya, ditemani oleh anak-anak dan cucu-cucunya. Angin laut yang sepoi-sepoi membawa aroma asin yang familiar, membawa kenangan indah bersama William. "Ini benar-benar tempat yang indah, Bu," kata Michael, anak sulung Alexandra. Ia berdiri di sampingnya, memandang laut yang luas. "Aku bisa mengerti mengapa Ayah dan Ibu memilih tinggal di sini." "Ya, Ayahmu dan aku selalu merasa damai di sini," jawab Alexandra sambil tersenyum. "Setiap hari yang kita habiskan di sini adalah anugerah." Cucu-cucunya berlari-larian di pasir putih, tertawa riang. Sarah, cucu tertuanya, mendekati Alexandra dan memeluknya dengan erat. "Nenek, ceritakan lagi tentang kakek. Apa yang palin
Dunia Alexandra hancur di depan matanya. Ia tidak menyangka bahwa kebahagiaan sekejap yang dia rasakan kini berubah menjadi kesedihan usai melihat rumah orangtuanya hangus terbakar.Tak hanya meleburkan rumah ayah dan ibunya. Kebakaran yang terjadi tadi malam membuat orangtua Alexandra meninggal di dalam sana tanpa sempat menyelamatkan diri.“Alexa! Jangan masuk!” Tangan seorang lelaki paruh baya menahan lengannya. “Bahaya kalau kamu masuk ke sana.”“Tapi, ayah sama ibuku, Paman,” sahut Alexandra dengan suara yang hampir tak terdengar. Tenggelam oleh ratusan suara orang-orang yang tengah melihat rumah Alexandra yang kini hanya tinggal puing-puingnya saja.“Ayah dan ibu kamu sudah meninggal Alexa.”Perasaan yang menyesakkan dada Alexandra kembali menyeruak, membuatnya kesulitan bernapas. Bayangan di sekitar berubah menjadi samar dan buram, hingga akhirnya membuat dirinya terjatuh di atas tanah.**Alexandra masih berharap bahwa apa yang terjadi tadi hanyalah mimpi buruknya saja. Maka,
“Lho, kok kamu belum mandi?” Oliver baru saja masuk dari luar dengan tergesa-gesa. “Mandi dan pakai pakaian rapi untuk ke pemakaman orangtua kamu Alexa.”Ethan yang kebetulan masih ada di ruang tamu sedang memakai sepatu melihat ayah dan Alexandra bergantian.“Ethan ikut boleh nggak, Yah?” tanya Ethan.“Nggak! Kamu kan harus sekolah Ethan!” sahut Martha dari dalam.“Ambilkan pakaian Emily, Martha. Dia butuh pakaian untuk ke pemakaman,” suruh Oliver.Martha bersungut-sungut sambil memaki Alexandra tanpa sepengetahuan Oliver.“Bu! Jangan ambil pakaian yang bagus. Ambil yang ada di dalam kardus!” teriak Emily. “Enak aja pinjem baju.”“Pelit banget,” sahut Ethan.“Kamu udah makan?” Oliver melihat keponakannya yang pucat merasa khawatir dengan keadaannya.“Belum Yah, bangun tidur disuruh ibu buat beresin rumah.” Ethan yang menjawab.Tak lama kemudian Martha memberikan pakaian bekas milik anaknya pada Alexandra. Tidak bisa dikatakan bahwa pakaian itu bagus, karena bagian renda yang ada di l
Malam semakin larut dan Ethan masih terus mencari keberadaan Alexandra. Perasaan tak enak terus menganggu perasaan Ethan meski yang telah melukai perasaan Alexandra adalah ibunya. Tapi tetap saja dia masih tak nyaman jika belum meminta maaf pada sepupunya itu dan membawanya pulang.Semakin jauh Ethan berjalan, dia melihat bayangan perempuan sedang duduk di taman perumahannya. Tanpa memastikan lagi, Ethan yakin jika perempuan kecil itu adalah Alexandra.“Ayo pulang,” ajak Ethan. Dia sudah berada di depan Alexandra yang wajahnya terus tertunduk.“Aku nggak punya rumah, pulang ke mana?” Suara Alexandra terdengar bergetar. Perempuan itu hampir menangis.“Kamu mau tidur di sini?”“Kamu nggak denger kalau bibi Martha mengusirku tadi?”“Ibu cuma emosi.”“Tapi bibi nggak suka sama aku.”Tiba-tiba Ethan berjongkok. Menangkup kedua sisi wajah Alexandra dan membuat perempuan itu sedikit terkejut. Alexandra yang tidak terbiasa mendapat perlakuan seperti itu dari lawan jenis tentu saja langsung me
“Rumah kita?” tanya Alexandra tak percaya. “Om bilang rumah kita?” William mengangguk. Setelah mengusap puncak kepala Alexandra, dia kemudian berdiri dan menatap wajah Martha dengan mengintimidasi.“Saya akan bawa keponakan saya pergi, dan saya harap ke depannya Alexandra tidak perlu bertemu dengan Anda lagi.”Martha tersenyum sinis. “Baguslah kalau begitu, kalau perlu dari kemarin kamu bawa dia dari rumah ini.”William tidak membalas ucapan Martha, dia hendak membalikkan tubuhnya dan pergi tapi Martha ingin memperpanjang masalahnya dengan William.“Setidaknya kamu harus mengganti biaya ketika Alexandra tinggal di sini,” kata Martha yang membuat langkah William terhenti seketika.“Memangnya berapa biaya yang dibutuhkan Alex selama tinggal di sini? Saya lihat keponakan saya kurus dan tidak terurus.”“Satu milliar!”William tertawa sinis.“Evan!” panggil William.Seorang laki-laki yang tak lain adalah supir dan tangan kanan William masuk tak lama setelah itu.“Laporkan wanita ini atas
Alexandra tidak menyangka jika dia akan tinggal bersama seorang Om yang baru pertama kali ia temui. Berjalan dengan ragu, Alexandra selalu berjalan di belakang William sambil memandang punggung lelaki itu.Ketika William berhenti dari langkahnya, kepala Alexandra tak sengaja menabrak punggung William hingga terpental sedikit ke belakang.William menoleh ke belakang. “Kamu malu berjalan di sampingku?” tanya William.Alexandra menggeleng cepat.“Lalu?”“Itu… “William memindai bayangan Alexandra dari atas sampai bawah. “Untung aku minta Evan beli pakaian buat kamu,” katanya yang mengalihkan pembicaraan. Dia menarik lengan Alexandra agar berjalan di sampingnya. “Besok lusa kita akan daftar sekolah yang baru. Karena nggak mungkin kamu bersekoiah di tempat yang lama, kan? Jauh.”Apakah William selalu seperti itu? Seakan dia bicara pada dirinya sendiri?“Terserah Om,” jawab Alexandra.Ketika William berhenti di depan sebuah pintu. Alexandra yang berjalan lebih jauh langsung memutar kakinya
Alexandra tersentak dari tidurnya, mimpi buruknya masih berlangsung bahkan ketika dia sudah pindah dari rumah Martha.Namun perasaannya langsung lega ketika dia mendapati dirinya berada di apartemen William saat ini.Suara seorang wanita yang berkata-kata dengan manja mengejutkan Alexandra.Siapakah dia? Apakah kekasih om William?Alexandra menurunkan kakinya lalu berjalan ke arah pintu untuk mengintip siapa yang sebenarnya datang ke apartemen pamannya. Dia terkejut ketika melihat seorang wanita cantik dengan pakaian seksinya sedang mencium bibir om-nya seakan hal itu sudah biasa.“Pacar om William,” gumam Alexandra. Dia urung keluar karena tak mau menganggu kesenangan William pagi itu.“Tapi, om William kan lama di luar negeri, kenapa dia bisa punya pacar secepat ini?” gumam Alexandra lagi, tak mengerti bagaimana cara kerja mendapatkan kekasih meski baru datang dari luar negeri.“Alex! Sarapan sudah siap! Kamu mandi dulu setelah itu sarapan!” seru William. “Om langsung berangkat ke k
Sudah delapan jam Willona berada di apartemen William, dan perempuan itu tak juga segera pergi seolah dia tak memiliki pekerjaan apa-apa selain memeluk William seharian.Alexandra yang malam itu sedang mempersiapkan dirinya untuk sekolah besok mencuri pandang bayangan William dan Willona. Dia merasa asing jika Willona berada di sana. Dan dia tak memiliki waktu untuk mengobrol berdua dengan omnya itu.Setelah menyiapkan pakaian seragam yang sudah dibeli oleh William. Alexandra duduk dan melihat wajahnya di cermin. Dia merasa wajahnya sangat kurus, jauh berbeda sebelum dia ditinggal pergi oleh ayah dan ibunya.Tiba-tiba saja bayangan masa lalu tentang orangtuanya terlintas dan membuat Alexandra merasa kesepian.Air mata menetes tanpa dia sadari dan membasahi pipi. Suara sesenggukan itu tanpa ia tahu terdengar sampai ke ruang tamu. Hingga membuat William menoleh dan menghampiri Alexandra yang sedang menangis di depan kaca rias.“Kamu kenapa, Alex?” tanya William. Lelaki jangkung itu suda