Beranda / Romansa / Cinta Pertama Uncle Will / Bab 1. Rasa Kehilangan yang Menyakitkan

Share

Cinta Pertama Uncle Will
Cinta Pertama Uncle Will
Penulis: Intan SR

Bab 1. Rasa Kehilangan yang Menyakitkan

Dunia Alexandra hancur di depan matanya. Ia tidak menyangka bahwa kebahagiaan sekejap yang dia rasakan kini berubah menjadi kesedihan usai melihat rumah orangtuanya hangus terbakar.

Tak hanya meleburkan rumah ayah dan ibunya. Kebakaran yang terjadi tadi malam membuat orangtua Alexandra meninggal di dalam sana tanpa sempat menyelamatkan diri.

“Alexa! Jangan masuk!” Tangan seorang lelaki paruh baya menahan lengannya. “Bahaya kalau kamu masuk ke sana.”

“Tapi, ayah sama ibuku, Paman,” sahut Alexandra dengan suara yang hampir tak terdengar. Tenggelam oleh ratusan suara orang-orang yang tengah melihat rumah Alexandra yang kini hanya tinggal puing-puingnya saja.

“Ayah dan ibu kamu sudah meninggal Alexa.”

Perasaan yang menyesakkan dada Alexandra kembali menyeruak, membuatnya kesulitan bernapas. Bayangan di sekitar berubah menjadi samar dan buram, hingga akhirnya membuat dirinya terjatuh di atas tanah.

**

Alexandra masih berharap bahwa apa yang terjadi tadi hanyalah mimpi buruknya saja. Maka, ketika dia membuka matanya saat ini semuanya akan kembali seperti semula.

Ayah dan ibunya yang begitu menyayanginya akan mengetuk pintu kamarnya kemudian menyapanya dengan hangat seperti biasa.

“Alexa, kamu udah bangun?” Paman Oliver masuk ke kamar dan menghampiri Alexandra.

Seketika Alexa tersadar bahwa dia kini tidak sedang berada di dalam kamarnya. Dia sedang berada di ruangan asing.

“Tadi kamu pingsan, jadi paman bawa ke sini. Rumah Paman,” kata Oliver.

“Ayah sama ibu, gimana Paman?” tanya Alexandra berharap pada Oliver bahwa dia hanya bermimpi buruk.

Oliver menggeleng lemah. “Kamu yang tabah ya.”

Kepala Alexandra kembali berat. Dia belum tahu penyebab kebakaran rumah ayah dan ibunya.

Jika saja Alexandra tidak pergi bersama teman-temannya melakukan perjalanan ke luar kota, apakah semua bisa berubah?

“Harusnya Alexa juga mati di dalam sana, Paman,” kata Alexandra dengan suara lirih.

“Jangan bilang begitu Alexa, ayah dan ibumu pasti nggak mau kamu bernasib sama seperti mereka!” Oliver memeluk Alexa, menabahkan keponakan kecilnya itu.

“Alexa udah nggak punya siapa-siapa lagi.”

“Kamu masih punya Paman dan Bibi. Paman akan bertanggungjawab atas hidup kamu Alexa.”

Oliver adalah kakak dari ibu kandung Alexandra. Meski jarang bertemu, tapi Alexandra tahu bahwa pamannya itu sangat baik padanya. Tetapi tidak pada istri paman Oliver yang sejak dulu tidak menyukai Alexandra.

“Jangan berpikir aneh-aneh, karena paman ada di sini. Semua urusan paman yang urus. Kamu jernihkan pikiran kamu dulu, oke.”

Alexandra bahkan tidak memiliki cukup tenaga untuk mengangguk. Dia hanya diam, mematung dan mulai menyalahkan dirinya sendiri.

Usai pintu ditutup oleh Oliver. Martha yang tak lain adalah istri Oliver mulai berteriak dan menyalahkan Oliver karena membawa Alexandra ke rumah mereka tanpa izinnya.

“Apa aku harus izin kamu dulu, untuk membawa keponakanku, Martha! Dia udah nggak punya siapa-siapa. Apa kamu nggak kasihan sama dia!”

Martha mendengus kesal. “Dia anak orang kaya, ayah dan ibunya nggak pernah ada saat kita butuh mereka. Dan kamu sekarang terlalu baik untuk menampung anak manja itu Oliver!”

“Jangan berkata begitu, Alexa bisa dengar kamu, Martha.”

“Memang kenapa kalau dia dengar? Bagus kan? Setidaknya dia tahu diri untuk nggak merepotkan keluarga kita. Penghasilan kamu pas-pasan tapi sok mau menanggung hidupnya? Kamu udah gila, Oliver!”

Alexandra menutup kedua telinganya rapat-rapat. Meski tidak terkejut mendapati bibinya berkata seperti itu, tapi tetap saja dia belum siap mendengarkan kalimat itu sekarang.

**

Alexandra masih meringkuk di atas tempat tidurnya ketika matahari sudah terbit setengah sempurna. Kelelahan karena menangis membuatnya tertidur tadi malam.

“Alexa bangun!” Bibi Martha berdiri di sebelah ranjang Alexa dengan wajah yang geram.

“Sudah jam berapa ini? Kamu mau malas-malasan!”

Alexandra membuka matanya perlahan. Lalu terduduk karena terkejut.

“Bereskan rumah ini sebelum sarapan! Nggak ada yang gratis di dunia ini!” Martha melemparkan sapu ke arah Alexandra.

Sebelum keluar dari kamar, Martha berdiri di belakang pintu lalu menoleh ke arah Alexandra.

“Oh ya, aku mau ingatkan sama kamu satu hal. Kalau kami mau menerimamu di sini bukan berarti kamu akan kami perlakukan seperti anak kami. Nggak ada sekolah, tugas kamu hanya membereskan rumah kami dan melayani Emily juga Ethan. Mengerti!”

Alexandra menelan ludahnya sendiri.

“Pemakaman ayah dan ibu, bagaimana Bi?” tanya Alexandra takut-takut.

“Paman kamu sudah mengurusnya. Lagi pula apa yang kamu harapkan, jasad ayah dan ibu kamu sudah menjadi abu. Tak perlu dikremasi. Dan tak perlu diadakan pemakaman besar-besaran.”

“Alexa mau ke upacara pemakaman ayah dan ibu, boleh kan?”

Martha menjengitkan hidungnya. Wajahnya yang putih pucat langsung memerah seakan darah naik memenuhi wajahnya.

“Bereskan rumah ini dulu, kamu lupa aku bilang apa sama kamu?” Martha berbicara sambil menggeram lalu membuka pintu dan menutupnya dengan kasar.

Kesedihan kehilangan orangtuanya hanya Alexandra yang rasakan. Bahkan pagi ini, bibinya bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa pada iparnya.

Dengan perut yang kosong dan pikiran yang rumit. Alexandra menurunkan kakinya satu per satu. Dia berjalan ke arah pintu dan memulai pekerjaannya pagi itu.

Namun, baru saja dia hendak menarik pintu seseorang sudah lebih dulu mendorongnya dari luar.

Alexandra tersentak dan mundur ke belakang karena terkejut.

“Hai!” sapa seorang lelaki yang berada di depannya. Tangannya melambai ke arah Alexandra. Laki-laki itu memakai seragam SMA. Alexandra tidak kenal betul siapa laki-laki yang terlihat sangat sembrono itu.

“Lupa ya? Aku Ethan! Terakhir ketemu waktu kamu masih TK,” sapanya dengan ramah.

“Oh ya?”

Berbeda dengan Martha, setidaknya Ethan menyambutnya dengan hangat.

“Katanya kamu mulai tinggal di sini ya. Selamat datang!”

“ETHAN MAKAN SARAPANMU!” teriak Martha.

“See you!” bisik Ethan lalu tersenyum pada Alexandra.

Alexandra terpaku memandang kepergian Ethan. Laki-laki itu duduk di kursi meja makan lalu memakan sarapannya dengan tenang.

“Wah kita kedatangan pembantu baru.” Kali ini seorang gadis seumurannya tiba-tiba muncul di depannya.

“Kerja yang bener. Kamu cuma numpang di rumah ini,” bisik Emily dengan sinis. Lalu meninggalkan Alexandra mematung sendirian di depan kamar.

“Ibu nggak keluar duit kan buat bayar pembantu itu?” tanya Emily yang terdengar sampai ke telinga Alexandra.

“Nggak lah, udah untung ada yang mau nampung dia di sini.”

Ethan melirik ke arah Alexandra dengan kasihan. Tapi dia berlanjut memasukkan nasi ke dalam mulutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status