Dunia Alexandra hancur di depan matanya. Ia tidak menyangka bahwa kebahagiaan sekejap yang dia rasakan kini berubah menjadi kesedihan usai melihat rumah orangtuanya hangus terbakar.
Tak hanya meleburkan rumah ayah dan ibunya. Kebakaran yang terjadi tadi malam membuat orangtua Alexandra meninggal di dalam sana tanpa sempat menyelamatkan diri.“Alexa! Jangan masuk!” Tangan seorang lelaki paruh baya menahan lengannya. “Bahaya kalau kamu masuk ke sana.”“Tapi, ayah sama ibuku, Paman,” sahut Alexandra dengan suara yang hampir tak terdengar. Tenggelam oleh ratusan suara orang-orang yang tengah melihat rumah Alexandra yang kini hanya tinggal puing-puingnya saja.“Ayah dan ibu kamu sudah meninggal Alexa.”Perasaan yang menyesakkan dada Alexandra kembali menyeruak, membuatnya kesulitan bernapas. Bayangan di sekitar berubah menjadi samar dan buram, hingga akhirnya membuat dirinya terjatuh di atas tanah.**Alexandra masih berharap bahwa apa yang terjadi tadi hanyalah mimpi buruknya saja. Maka, ketika dia membuka matanya saat ini semuanya akan kembali seperti semula.Ayah dan ibunya yang begitu menyayanginya akan mengetuk pintu kamarnya kemudian menyapanya dengan hangat seperti biasa.“Alexa, kamu udah bangun?” Paman Oliver masuk ke kamar dan menghampiri Alexandra.Seketika Alexa tersadar bahwa dia kini tidak sedang berada di dalam kamarnya. Dia sedang berada di ruangan asing.“Tadi kamu pingsan, jadi paman bawa ke sini. Rumah Paman,” kata Oliver.“Ayah sama ibu, gimana Paman?” tanya Alexandra berharap pada Oliver bahwa dia hanya bermimpi buruk.Oliver menggeleng lemah. “Kamu yang tabah ya.”Kepala Alexandra kembali berat. Dia belum tahu penyebab kebakaran rumah ayah dan ibunya.Jika saja Alexandra tidak pergi bersama teman-temannya melakukan perjalanan ke luar kota, apakah semua bisa berubah?“Harusnya Alexa juga mati di dalam sana, Paman,” kata Alexandra dengan suara lirih.“Jangan bilang begitu Alexa, ayah dan ibumu pasti nggak mau kamu bernasib sama seperti mereka!” Oliver memeluk Alexa, menabahkan keponakan kecilnya itu.“Alexa udah nggak punya siapa-siapa lagi.”“Kamu masih punya Paman dan Bibi. Paman akan bertanggungjawab atas hidup kamu Alexa.”Oliver adalah kakak dari ibu kandung Alexandra. Meski jarang bertemu, tapi Alexandra tahu bahwa pamannya itu sangat baik padanya. Tetapi tidak pada istri paman Oliver yang sejak dulu tidak menyukai Alexandra.“Jangan berpikir aneh-aneh, karena paman ada di sini. Semua urusan paman yang urus. Kamu jernihkan pikiran kamu dulu, oke.”Alexandra bahkan tidak memiliki cukup tenaga untuk mengangguk. Dia hanya diam, mematung dan mulai menyalahkan dirinya sendiri.Usai pintu ditutup oleh Oliver. Martha yang tak lain adalah istri Oliver mulai berteriak dan menyalahkan Oliver karena membawa Alexandra ke rumah mereka tanpa izinnya.“Apa aku harus izin kamu dulu, untuk membawa keponakanku, Martha! Dia udah nggak punya siapa-siapa. Apa kamu nggak kasihan sama dia!”Martha mendengus kesal. “Dia anak orang kaya, ayah dan ibunya nggak pernah ada saat kita butuh mereka. Dan kamu sekarang terlalu baik untuk menampung anak manja itu Oliver!”“Jangan berkata begitu, Alexa bisa dengar kamu, Martha.”“Memang kenapa kalau dia dengar? Bagus kan? Setidaknya dia tahu diri untuk nggak merepotkan keluarga kita. Penghasilan kamu pas-pasan tapi sok mau menanggung hidupnya? Kamu udah gila, Oliver!”Alexandra menutup kedua telinganya rapat-rapat. Meski tidak terkejut mendapati bibinya berkata seperti itu, tapi tetap saja dia belum siap mendengarkan kalimat itu sekarang.**Alexandra masih meringkuk di atas tempat tidurnya ketika matahari sudah terbit setengah sempurna. Kelelahan karena menangis membuatnya tertidur tadi malam.“Alexa bangun!” Bibi Martha berdiri di sebelah ranjang Alexa dengan wajah yang geram.“Sudah jam berapa ini? Kamu mau malas-malasan!”Alexandra membuka matanya perlahan. Lalu terduduk karena terkejut.“Bereskan rumah ini sebelum sarapan! Nggak ada yang gratis di dunia ini!” Martha melemparkan sapu ke arah Alexandra.Sebelum keluar dari kamar, Martha berdiri di belakang pintu lalu menoleh ke arah Alexandra.“Oh ya, aku mau ingatkan sama kamu satu hal. Kalau kami mau menerimamu di sini bukan berarti kamu akan kami perlakukan seperti anak kami. Nggak ada sekolah, tugas kamu hanya membereskan rumah kami dan melayani Emily juga Ethan. Mengerti!”Alexandra menelan ludahnya sendiri.“Pemakaman ayah dan ibu, bagaimana Bi?” tanya Alexandra takut-takut.“Paman kamu sudah mengurusnya. Lagi pula apa yang kamu harapkan, jasad ayah dan ibu kamu sudah menjadi abu. Tak perlu dikremasi. Dan tak perlu diadakan pemakaman besar-besaran.”“Alexa mau ke upacara pemakaman ayah dan ibu, boleh kan?”Martha menjengitkan hidungnya. Wajahnya yang putih pucat langsung memerah seakan darah naik memenuhi wajahnya.“Bereskan rumah ini dulu, kamu lupa aku bilang apa sama kamu?” Martha berbicara sambil menggeram lalu membuka pintu dan menutupnya dengan kasar.Kesedihan kehilangan orangtuanya hanya Alexandra yang rasakan. Bahkan pagi ini, bibinya bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa pada iparnya.Dengan perut yang kosong dan pikiran yang rumit. Alexandra menurunkan kakinya satu per satu. Dia berjalan ke arah pintu dan memulai pekerjaannya pagi itu.Namun, baru saja dia hendak menarik pintu seseorang sudah lebih dulu mendorongnya dari luar.Alexandra tersentak dan mundur ke belakang karena terkejut.“Hai!” sapa seorang lelaki yang berada di depannya. Tangannya melambai ke arah Alexandra. Laki-laki itu memakai seragam SMA. Alexandra tidak kenal betul siapa laki-laki yang terlihat sangat sembrono itu.“Lupa ya? Aku Ethan! Terakhir ketemu waktu kamu masih TK,” sapanya dengan ramah.“Oh ya?”Berbeda dengan Martha, setidaknya Ethan menyambutnya dengan hangat.“Katanya kamu mulai tinggal di sini ya. Selamat datang!”“ETHAN MAKAN SARAPANMU!” teriak Martha.“See you!” bisik Ethan lalu tersenyum pada Alexandra.Alexandra terpaku memandang kepergian Ethan. Laki-laki itu duduk di kursi meja makan lalu memakan sarapannya dengan tenang.“Wah kita kedatangan pembantu baru.” Kali ini seorang gadis seumurannya tiba-tiba muncul di depannya.“Kerja yang bener. Kamu cuma numpang di rumah ini,” bisik Emily dengan sinis. Lalu meninggalkan Alexandra mematung sendirian di depan kamar.“Ibu nggak keluar duit kan buat bayar pembantu itu?” tanya Emily yang terdengar sampai ke telinga Alexandra.“Nggak lah, udah untung ada yang mau nampung dia di sini.”Ethan melirik ke arah Alexandra dengan kasihan. Tapi dia berlanjut memasukkan nasi ke dalam mulutnya.“Lho, kok kamu belum mandi?” Oliver baru saja masuk dari luar dengan tergesa-gesa. “Mandi dan pakai pakaian rapi untuk ke pemakaman orangtua kamu Alexa.”Ethan yang kebetulan masih ada di ruang tamu sedang memakai sepatu melihat ayah dan Alexandra bergantian.“Ethan ikut boleh nggak, Yah?” tanya Ethan.“Nggak! Kamu kan harus sekolah Ethan!” sahut Martha dari dalam.“Ambilkan pakaian Emily, Martha. Dia butuh pakaian untuk ke pemakaman,” suruh Oliver.Martha bersungut-sungut sambil memaki Alexandra tanpa sepengetahuan Oliver.“Bu! Jangan ambil pakaian yang bagus. Ambil yang ada di dalam kardus!” teriak Emily. “Enak aja pinjem baju.”“Pelit banget,” sahut Ethan.“Kamu udah makan?” Oliver melihat keponakannya yang pucat merasa khawatir dengan keadaannya.“Belum Yah, bangun tidur disuruh ibu buat beresin rumah.” Ethan yang menjawab.Tak lama kemudian Martha memberikan pakaian bekas milik anaknya pada Alexandra. Tidak bisa dikatakan bahwa pakaian itu bagus, karena bagian renda yang ada di l
Malam semakin larut dan Ethan masih terus mencari keberadaan Alexandra. Perasaan tak enak terus menganggu perasaan Ethan meski yang telah melukai perasaan Alexandra adalah ibunya. Tapi tetap saja dia masih tak nyaman jika belum meminta maaf pada sepupunya itu dan membawanya pulang.Semakin jauh Ethan berjalan, dia melihat bayangan perempuan sedang duduk di taman perumahannya. Tanpa memastikan lagi, Ethan yakin jika perempuan kecil itu adalah Alexandra.“Ayo pulang,” ajak Ethan. Dia sudah berada di depan Alexandra yang wajahnya terus tertunduk.“Aku nggak punya rumah, pulang ke mana?” Suara Alexandra terdengar bergetar. Perempuan itu hampir menangis.“Kamu mau tidur di sini?”“Kamu nggak denger kalau bibi Martha mengusirku tadi?”“Ibu cuma emosi.”“Tapi bibi nggak suka sama aku.”Tiba-tiba Ethan berjongkok. Menangkup kedua sisi wajah Alexandra dan membuat perempuan itu sedikit terkejut. Alexandra yang tidak terbiasa mendapat perlakuan seperti itu dari lawan jenis tentu saja langsung me
“Rumah kita?” tanya Alexandra tak percaya. “Om bilang rumah kita?” William mengangguk. Setelah mengusap puncak kepala Alexandra, dia kemudian berdiri dan menatap wajah Martha dengan mengintimidasi.“Saya akan bawa keponakan saya pergi, dan saya harap ke depannya Alexandra tidak perlu bertemu dengan Anda lagi.”Martha tersenyum sinis. “Baguslah kalau begitu, kalau perlu dari kemarin kamu bawa dia dari rumah ini.”William tidak membalas ucapan Martha, dia hendak membalikkan tubuhnya dan pergi tapi Martha ingin memperpanjang masalahnya dengan William.“Setidaknya kamu harus mengganti biaya ketika Alexandra tinggal di sini,” kata Martha yang membuat langkah William terhenti seketika.“Memangnya berapa biaya yang dibutuhkan Alex selama tinggal di sini? Saya lihat keponakan saya kurus dan tidak terurus.”“Satu milliar!”William tertawa sinis.“Evan!” panggil William.Seorang laki-laki yang tak lain adalah supir dan tangan kanan William masuk tak lama setelah itu.“Laporkan wanita ini atas
Alexandra tidak menyangka jika dia akan tinggal bersama seorang Om yang baru pertama kali ia temui. Berjalan dengan ragu, Alexandra selalu berjalan di belakang William sambil memandang punggung lelaki itu.Ketika William berhenti dari langkahnya, kepala Alexandra tak sengaja menabrak punggung William hingga terpental sedikit ke belakang.William menoleh ke belakang. “Kamu malu berjalan di sampingku?” tanya William.Alexandra menggeleng cepat.“Lalu?”“Itu… “William memindai bayangan Alexandra dari atas sampai bawah. “Untung aku minta Evan beli pakaian buat kamu,” katanya yang mengalihkan pembicaraan. Dia menarik lengan Alexandra agar berjalan di sampingnya. “Besok lusa kita akan daftar sekolah yang baru. Karena nggak mungkin kamu bersekoiah di tempat yang lama, kan? Jauh.”Apakah William selalu seperti itu? Seakan dia bicara pada dirinya sendiri?“Terserah Om,” jawab Alexandra.Ketika William berhenti di depan sebuah pintu. Alexandra yang berjalan lebih jauh langsung memutar kakinya
Alexandra tersentak dari tidurnya, mimpi buruknya masih berlangsung bahkan ketika dia sudah pindah dari rumah Martha.Namun perasaannya langsung lega ketika dia mendapati dirinya berada di apartemen William saat ini.Suara seorang wanita yang berkata-kata dengan manja mengejutkan Alexandra.Siapakah dia? Apakah kekasih om William?Alexandra menurunkan kakinya lalu berjalan ke arah pintu untuk mengintip siapa yang sebenarnya datang ke apartemen pamannya. Dia terkejut ketika melihat seorang wanita cantik dengan pakaian seksinya sedang mencium bibir om-nya seakan hal itu sudah biasa.“Pacar om William,” gumam Alexandra. Dia urung keluar karena tak mau menganggu kesenangan William pagi itu.“Tapi, om William kan lama di luar negeri, kenapa dia bisa punya pacar secepat ini?” gumam Alexandra lagi, tak mengerti bagaimana cara kerja mendapatkan kekasih meski baru datang dari luar negeri.“Alex! Sarapan sudah siap! Kamu mandi dulu setelah itu sarapan!” seru William. “Om langsung berangkat ke k
Sudah delapan jam Willona berada di apartemen William, dan perempuan itu tak juga segera pergi seolah dia tak memiliki pekerjaan apa-apa selain memeluk William seharian.Alexandra yang malam itu sedang mempersiapkan dirinya untuk sekolah besok mencuri pandang bayangan William dan Willona. Dia merasa asing jika Willona berada di sana. Dan dia tak memiliki waktu untuk mengobrol berdua dengan omnya itu.Setelah menyiapkan pakaian seragam yang sudah dibeli oleh William. Alexandra duduk dan melihat wajahnya di cermin. Dia merasa wajahnya sangat kurus, jauh berbeda sebelum dia ditinggal pergi oleh ayah dan ibunya.Tiba-tiba saja bayangan masa lalu tentang orangtuanya terlintas dan membuat Alexandra merasa kesepian.Air mata menetes tanpa dia sadari dan membasahi pipi. Suara sesenggukan itu tanpa ia tahu terdengar sampai ke ruang tamu. Hingga membuat William menoleh dan menghampiri Alexandra yang sedang menangis di depan kaca rias.“Kamu kenapa, Alex?” tanya William. Lelaki jangkung itu suda
Alexandra menutup mulutnya rapat-rapat. Dia berjalan menjauhi pintu karna terkejut.Tak jadi mengambil air untuk minum, Alexandra pun masuk kembali ke kamarnya.Dengan wajah yang memerah dan jantung yang berdegub Alexandra terus teringat dengan adegan itu.“Aku harus lupain!” gumam Alexandra sambil menggelengkan kepalanya.Akan tetapi, kejadian itu ternyata terus berputar di kepalanya sampai pagi tiba. Matanya menghitam karena tidak cukup tidur pada malam itu.Keluar dari kamarnya, Alexandra sudah menemukan William sedang memasakkan sarapan untuk dirinya. Sementara Willona sudah tidak ada di dalam kamar omnya maupun di mana-mana.“Tante Wilona ke mana, Om?” tanya Alexandra ragu.“Sudah pulang, barusan, kenapa?” tanya William.“Nggak apa-apa,” jawabnya gugup.William yang merasa jika nada bicara Alexandra terdengar aneh pun menoleh. Dia melihat keponakannya itu sedang menekuri kedua tangannya yang ada di atas meja.“Kamu mikir sekolah hari ini ya?” tanya William.Alexandra mendongak, m
Seluruh murid terutama murid perempuan menoleh ke arah mobil William yang berhenti di sekolah mereka. Alexandra bukannya bangga tapi dia malu karena sudah menjadi pusat perhatian di hari pertama dia pindah sekolah.Lain halnya dengan William, sepertinya dia menyukai tatapan para murid apalagi guru muda yang tak berkedip melihatnya.“Om.” Alexandra meraih ujung jas William dengan jari-jarinya yang mungil.William berhenti kemudian menoleh ke arah Alexandra.“Kenapa?”“Besok… aku dianter sama om Evan aja, ya.”William terkejut mendengar permintaan dari Alexandra.“Kenapa? Kamu malu?”Alexandra tidak dapat menjawabnya. Dia hanya diam, kemudian mengikuti langkah William menuju ruang guru.Di hari pertama dia masuk sekolah. Semua murid memperhatikan Alexandra dari atas sampai bawah. Ada murid lelaki yang berbisik dan memuji ALexandra yang cantik.Namun, Alexandra tidak pernah menyangka jika dia akan ditanya oleh teman barunya, Emily yang duduk di sebelahnya.“Tadi papa kamu?” tanya Emily.