Sejak Lisa melihat Alexandra kembali tadi malam, ia mulai curiga jika William akan menemui Alexandra dan bersamanya selama seharian ini dengan alasan bermain tenis.Karena tak percaya akhirnya Lisa menyuruh Brian agar mengikuti William diam diam, dan menyelidiki apakah William menemui Alexandra atau tidak.“Beri aku kabar kalau dia menemui Alexandra,” kata Lisa saat menghubungi Brian.“Oke.”Selama seharian berada di rumah, Lisa merasa tak tenang. Dia masih teringat bagaimana tadi malam William mencium Alexandra seperti itu. Hal yang tak pernah dilakukan lelaki itu kepadanya padahal dia jelas istri sahnya.Lisa mengambil ponselnya ketika mendengar ponselnya berdering. Dia berharap dari William meski itu tak mungkin, tapi ternyata memang bukan dari William.“Bagaimana? Dia menemui Alexandra?” tanya Lisa.“Dia bermain tenis, lalu makan siang. Setelah ini aku belum tau dia mau ke mana.”“Kalau begitu ikuti dia terus sampai dia pulang ke rumah.”“Mau sampai kapan kamu terus begini, Lisa?
Lisa akhirnya dibawa ke rumah sakit. William terkejut saat mendapati kenyataan bahwa Lisa sedang mengalami malnutrisi. Mengetahui jika anak satu satunya masuk ke rumah sakit, ayah dan ibu Lisa langsung menuju ke rumah sakit.Begitu masuk ke ruang di mana Lisa sedang tidur karena pengaruh obat, ayah Lisa pun murka.“Malnutrisi?” tanya mertua William tak percaya. “Anakku… bisa bisanya dia malnutri?”William dipukul keras oleh mertuanya. William diam saja ketika menerima pukulan demi pukulan yang dia dapatkan karena dia merasa bersalah atas apa yang menimpa Lisa.“Aku menikahkan anakku denganmu karena aku pikir dia akan bahagia denganmu. Tapi apa? Dia menderita di sepanjang tahun karena menjadi istrimu. Dan kamu sekalipun tidak pernah memberikan perhatian pada Lisa!” Pukulan terakhir mendarat begitu kencang, membuat ayah Lisa cukup terguncang. Dia memegangi dadanya yang tiba tiba terasa sesak.“Sudah, kita tunggu bagaimana hasilnya, kuharap Lisa akan baik baik saja.” Ibu mertua Lisa mem
Setelah beberapa hari, William mendapatkan surat perceraian antara dirinya dan Lisa. Surat tersebut dikirimkan ke kantor perusahaan dan Evan yang menyerahkannya.Hampir lima hari berlalu, dan kini William kembali ke apartemen miliknya. Dia tinggal sendiri di sana dan memulai hidup baru sebagai seorang duda.Tanpa ragu sedikit pun, William menandatangi kertas yang berada di dalam amplop cokelat.Evan yang melihatnya pun sedikit merasa aneh, karena William sama sekali tidak mengatakan apapun kepadanya masalah ini. Padahal William selalu bercerita kepadanya mengenai hal apapun agar bebannya dapat sedikit berkurang.Helaan napas terdengar dari arah William, dia menyandarkan punggungnya di kursi kemudian memandang Evan dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan dengan kata kata.“Aku menemui Alexandra akhir akhir ini,” katanya akhirnya.Evan sedikit terkejut mendapati bahwa William rupanya sudah bertemu dengan Alexandra.“Menemuinya di mana?”“Rumahnya.”“Tahu dari mana?”William tersenyum.“T
“William! William!” Lisa mengguncangkan tubuh William tapi lelaki itu tidak terpengaruh sedikit pun. Lisa makin khawatir apalagi ketika orang suruhan ayahnya menyeret William ke luar dari ruangan itu.“Jangan bawa dia! Kalian mau bawa dia ke mana!” teriak Lisa.Lisa mengejar ayahnya, lalu berlutut di depan ayahnya dan memohon pada ayahnya agar melepaskan William.“Melepaskan katamu? Tidak semudah itu Lisa, dia sudah mempermalukan keluarga kita.”“Jangan bunuh dia, Ayah. Kalau ayah membunuhnya, maka aku akan mati dengan William.”Mata ayah Lisa membulat.“Apa maksudmu!”“Aku berjanji, akan pergi jika William ayah bebaskan. Aku mohon ayah. Aku juga akan menikah dengan lelaki pilihanmu. Aku tidak akan menolaknya lagi.”Ayah Lisa mengembuskan napasnya. Tidak menyangka jika putri satu satunya akan bertindak senekat itu demi William.“Baiklah, tapi ada syaratnya,” kata ayah Lisa.Lisa mendongakan wajahnya lalu menatap ayahnya memohon.“Aku akan lepaskan dia, tapi setelah dua minggu. Aku aka
Alexandra langsung menghubungi Evan, sedikit berharap jika lelaki itu tidak mengganti nomornya sampai saat ini.“Halo?”“Om Evan?” tanya Alexandra sedikit ragu.“Ya.. siapa ini?”“Om ini aku, Alex!”“Alex!” ujarnya dengan senang dan ada nada kelegaan saat tahu jika yang menghubunginya adalah Alexandra. “Kebetulan aku mau ketemu sama kamu, kamu tau di mana William sekarang?” tanya Evan.“Aku barusan mau tanya sama om Evan, aku lihat di berita. Kenapa om William dibilang nggak bertanggungjawab Om?”Evan terdiam, terdengar helaan napas yang berat.“Kupikir William denganmu sekarang, dia sudah menghilang sejak tiga hari yang lalu!”“Apa!”Keduanya kemudian diam, tak ada yang bersuara hingga tiga menit kemudian… “Apa ini ada hubungannya sama Lisa, ya?” tanya Evan.“Tante Lisa, istri om Will?”“Iya, mereka berdua sudah bercerai. Kejadiannya kenapa pas banget setelah William menandatangani surat cerai itu. Terus perusahaan sekarang lagi kacau.”“Bisa ketemu langsung, Om?” tanya Alexandra.“
Dua minggu berlalu, William akhirnya bisa keluar dari tawanan mantan ayah mertuanya. Dengan diantar oleh Lisa, malam itu adalah malam terakhir bagi William dan Lisa bertemu karena setelah hari itu, Lisa memutuskan akan pergi keluar negeri seperti janjinya pada ayahnya.William memasuki apartemennya, dia terkejut ketika melihat Evan dan Alexandra ada di sana.Mereka berdua juga terkejut melihat kedatangan William yang tiba tiba.“Om!” panggil Alexandra, dia langsung memeluk William,“Om ke mana aja? Dua minggu nggak ada kabar?” lanjutnya lagi.William sempat tersenyum meski terlihat lesu, dia berjalan ke arah sofa di mana Evan sudah menunggu jawaban yang dia cari selama ini.“Aku hampir melaporkan Anda ke kantor polisi karena menghilang selama dua minggu,” kata Evan.Lagi lagi William tersenyum tipis.“Pasti ada sesuatu yang terjadi, Om nggak sengaja menghilang seperti yang diberitakan oleh orang orang, kan?” William menghela napasnya, dia pun menceritakan semuanya pada Evan dan Alexa
“Sebaiknya aku pergi, sepertinya aku datang di tempat yang salah.” William berdiri setelah mengambil jasnya. Namun sedetik kemudian dia membeku ketika wanita itu berkata,“Bukankah kamu ingin merebut lagi posisimu? Mau sampai kapan kamu terpuruk seperti ini?“Dan.. ingat. Aku ke sini bukan karena menyukaimu, tapi gadis itu datang kepadaku dan memohon padaku agar membantumu. Karena dia tahu, dia tak ada kekuatan untuk menolongmu saat ini.”William menoleh dengan sinis.“Kamu yakin dia bilang seperti itu kepadamu?”Kini Nikita giliran Nikita yang menarik satu sudut bibirnya.“Memangnya dari mana aku bisa tau kamu ada di sini kalau bukan gadis itu yang mengaturnya.“Duduklah, kalau kamu mau tau apa yang sebenarnya bisa aku bantu. Tapi kamu harus membantuku.”**Malam itu perasaan William bercampuraduk, antara kesal dan kecewa pada Alexandra karena sudah membohonginya.Dia berusaha untuk menelpon Alexandra tapi tak diangkatnya. Dan ketika dia mencoba mendatangi rumahnya, tempat itu sepi
Entah mengapa William harus berada di sana, di tengah tengah sebuah keluarga yang memandangnya dengan tatapan yang sinis. Sesaat setelah Nikita mengatakan bahwa dia akan menikah dengan William, sontak keluar besar Nikita menentangnya karena mengetahui masalalu William yang terlalu banyak skandal. Tidak hanya itu, William saat ini sudah tidak memiliki apapun selain kepercayaan dirinya untuk menikahi Nikita.“Ayah, ini sudah keputusanku, memangnya apa bedanya kalau aku menikah dengan anak teman ayah?”Ayahnya mendengus mengejek. “Kamu cuma mau mempermalukan keluargamu, kan?”Nikita menyesap air putihnya lalu tersenyum.“Batalkan keinginanmu untuk menikahinya, atau jika tidak sebaiknya kamu pergi dari rumah ini dan hotel itu akan diambil alih adikmu.”William melirik ke arah Nikita yang seakan tidak gentar pada pendiriannya. Dia masih duduk dengan wajah yang tenang.“Baiklah, kalau mau ayah begitu. Toh, aku sudah banyak pengalaman dalam bidang ini dibandingkan Naomi. Ada banyak perusaha
Tiga puluh lima tahun kemudian, rumah tepi pantai itu masih berdiri megah dan menawan, dikelilingi oleh pemandangan yang sama indahnya seperti saat Alexandra dan William pertama kali menempatinya. Namun, kini Alexandra telah berusia 65 tahun dan William telah tiada. Di sore hari yang cerah itu, Alexandra duduk di balkon rumahnya, ditemani oleh anak-anak dan cucu-cucunya. Angin laut yang sepoi-sepoi membawa aroma asin yang familiar, membawa kenangan indah bersama William. "Ini benar-benar tempat yang indah, Bu," kata Michael, anak sulung Alexandra. Ia berdiri di sampingnya, memandang laut yang luas. "Aku bisa mengerti mengapa Ayah dan Ibu memilih tinggal di sini." "Ya, Ayahmu dan aku selalu merasa damai di sini," jawab Alexandra sambil tersenyum. "Setiap hari yang kita habiskan di sini adalah anugerah." Cucu-cucunya berlari-larian di pasir putih, tertawa riang. Sarah, cucu tertuanya, mendekati Alexandra dan memeluknya dengan erat. "Nenek, ceritakan lagi tentang kakek. Apa yang palin
William dan Alexandra kini telah menetap di rumah impian mereka yang terletak di pinggir pantai yang indah. Setiap sore, mereka bersama anak mereka menikmati pemandangan matahari terbenam yang mempesona dari balkon rumah mereka. Angin laut yang sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, menambah kenyamanan suasana kebersamaan keluarga kecil ini.Keduanya telah bekerja keras untuk mencapai impian ini, membangun rumah sederhana namun hangat, di mana mereka dapat menjalani kehidupan yang berkualitas bersama anak mereka. William, seorang pengusaha sukses, selalu meluangkan waktu untuk Alexandra dan anak mereka, sementara Alexandra, seorang penulis handal, selalu memastikan bahwa rumah mereka terjaga dan nyaman untuk ditinggali."Indah sekali sore ini," ujar Alexandra sambil memandang matahari yang perlahan-lahan tenggelam di cakrawala."Ya, benar-benar menakjubkan," jawab William. Ia merangkul Alexandra dengan hangat. "Setiap kali melihat pemandangan ini, aku merasa semua kerja keras kita terbayar
Satu minggu kemudian, Alexandra dan William pergi ke taman bermain setelah Alexandra mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Mereka berdua berjalan-jalan di taman yang ramai, menikmati suasana yang ceria."Lex, om sangat bangga padamu. Kamu sudah berusaha keras dan akhirnya mendapatkan nilai yang bagus," ucap William sambil tersenyum pada Alexandra."Terima kasih, Om. Aku senang bisa membuatmu bangga," jawab Alexandra sambil tersenyum cerah.Mereka berdua berjalan-jalan di sekitar taman bermain, melihat anak-anak yang sedang bermain dengan riang. Alexandra merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama William di tempat yang menyenangkan seperti itu.Mereka berdua naik perosotan, bermain ayunan, dan menikmati berbagai permainan di taman bermain. Alexandra merasa sangat bahagia bisa berada di sana bersama William, orang yang sangat ia sayangi.Setelah puas bermain, mereka duduk di bangku taman sambil menikmati pemandangan sekitar. "Terima kasih sudah membawaku ke sini, Om. Aku benar-b
"Lex aku akan pergi ke tempat Sarah. Kamu baik-baik saja kan di sini sendiri?" "Kapan om pulang?" "Mungkin besok pagi.""Hmm baiklah."Saat William hendak pergi dan hendak membuka pintu, tiba-tiba Alexandra merasa pusing yang sangat hebat. Dia mencoba berdiri tetapi kakinya lemas, lalu pingsan di pelukan William."Lex! Lex, bangun!" seru William panik sambil mencoba membangunkan Alexandra. Dia memegang wajah Alexandra dengan lembut, mencari tanda-tanda kesadaran.Karena khawatir terjadi apa-apa pada Alexandra akhirnya William membawanya ke rumah sakit. **Sementara itu, seorang perawat datang untuk membantu. Mereka bersama-sama mengangkat Alexandra ke tempat tidur yang tersedia di ruang gawat darurat.William duduk di samping tempat tidur, wajahnya penuh kekhawatiran. Dia menggenggam tangan Alexandra dengan erat, berharap gadis itu segera sadar.Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Alexandra akhirnya membuka mata. Dia memandang sekeliling dengan bingung, tidak tahu
William tiba di apartemennya setelah seharian kerja. Saat ia memasuki ruang tamu, ia melihat Alexandra tertidur pulas di balkon. Bulan purnama menerangi wajah muda Alexandra yang tenang. William menghampirinya dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkannya. "Dingin sekali di sini," gumam William sambil menyelimuti Alexandra dengan lembut. Gadis itu merasa hangat dan sedikit menggeliat, tetapi tetap tertidur.Setelah meyakinkan diri bahwa Alexandra nyaman dengan selimutnya, William memutuskan untuk membopongnya ke dalam kamar. Tubuh Alexandra yang ringan membuatnya mudah diangkat. Langkahnya pelan, tidak ingin mengganggu tidur Alexandra yang lelap. Sampai di dalam kamar, William meletakkan Alexandra dengan lembut di atas tempat tidur. Ia memandang wajah gadis itu dengan penuh perhatian sejenak, lalu menutup pintu kamar perlahan ketika meninggalkannya untuk tidur dengan tenang.--Malam itu, Alexandra terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Ia tampak gelisah, terli
Evan duduk gelisah di ruang tamu rumahnya, memikirkan nasib Arini yang belum diketahui keberadaannya. Hatinya penuh kekhawatiran dan rasa bersalah karena tidak bisa melindungi Arini. Ponselnya tiba-tiba berdering, mengagetkannya. Dia buru-buru mengambilnya dan melihat panggilan masuk dari nomor polisi.Evan mengangkat telepon, "Halo, ini Evan.""Halo, Pak Evan. Kami dari kepolisian ingin memberitahukan bahwa Arini telah ditemukan. Dia sedang dirawat di rumah sakit setelah mengalami kejadian yang traumatis. Anda bisa menjemputnya di sana."Evan merasa lega, "Oh, syukurlah. Terima kasih banyak atas informasinya. Saya akan segera ke sana."Evan segera mengambil kunci mobilnya dan bergegas ke rumah sakit. Saat tiba di sana, dia langsung menuju ruang perawatan tempat Arini berada. Dia melihat Arini terbaring di tempat tidur, tampak lemah dan pucat, tetapi dia merasa lega melihat Arini selamat.Evan duduk di samping tempat tidur Arini. "Arini. Bagaimana kabarmu?"Arini dengan suara lemah. "
Polisi setelah menerima laporan penculikan dari Evan, segera melakukan penyelidikan dan menemukan keberadaan rumah Edward. Dengan sigap, mereka menggerebek rumah tersebut dengan harapan menemukan Arini.Saat polisi memasuki rumah, mereka menemukan Edward sedang berusaha untuk melarikan diri melalui pintu belakang. Dengan cepat, polisi mengejar dan berusaha menghentikannya. Namun, Edward menolak untuk menyerah dan terus berlari.Dalam keputusasaan, salah satu polisi memutuskan untuk menembak ke arah kaki Edward untuk menghentikannya. Peluru tersebut mengenai kakinya, membuat Edward jatuh tersungkur ke tanah dengan rasa sakit yang luar biasa.Polisi segera menangkap Edward dan memeriksanya untuk memastikan dia tidak membawa senjata atau bahaya lainnya. Setelah yakin aman, mereka membawanya ke mobil patroli dan membawanya ke kantor polisi untuk dimintai keterangan lebih lanjut.Sementara itu, Arini telah dibawa pulang oleh pria yang menolongnya di hutan. Dia merasa lega karena telah sela
Arini duduk tegak di dalam kamar yang gelap dan hening. Dia merasa terjebak dalam situasi yang mencekam dan tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari situasi tersebut. Mendadak, pintu terbuka dan Edward masuk membawa sebuah piring makanan."Dengar, Arini. Aku tidak akan membiarkanmu kelaparan. Silakan makan," ucap Edward dengan suara yang tenang, lalu dia duduk di depan Arini.Arini menatap piring makanan itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa menolak akan membuat situasinya semakin buruk, tetapi dia juga tidak ingin bergantung pada Edward.Tanpa kata, Arini menerima piring makanan itu dari tangan Edward. Dia mencoba untuk memakannya dengan lambat, tetapi perasaannya yang campur aduk membuatnya kesulitan menelan makanan. Akhirnya, rasa mual yang teramat sangat membuatnya tidak tahan lagi, dan dia memuntahkan semua makanan yang sudah dimakan ke piring di hadapannya.Edward terkejut melihat tindakan Arini. "Kenapa kau melakukan itu, Arini? Aku mencoba untuk memperlakukanmu de
Arini merasa panik ketika mobil yang dikemudikan oleh Edward semakin menjauh dari tempat pesta pernikahan. Dia mencoba untuk tetap tenang, tetapi kekhawatirannya semakin memuncak ketika dia menyadari bahwa dia sedang dibawa ke suatu tempat yang tidak diketahuinya.Edward tidak mengucapkan sepatah kata pun selama perjalanan. Arini mencoba mencari peluang untuk melarikan diri, tetapi dia sadar bahwa dia tidak bisa melawan sendirian. Dia merasa semakin terjebak dalam situasi yang mencekam.Setelah beberapa saat, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang besar dan mewah. Edward membawa Arini masuk ke dalam rumah tersebut tanpa berkata apa-apa. Arini mencoba untuk tetap tenang, tetapi ketakutan yang dirasakannya membuatnya gemetar.Di dalam rumah, Arini dibawa ke sebuah ruangan yang gelap. Edward menutup pintu dan duduk di depan Arini dengan tatapan dingin. "Kau tahu mengapa aku membawamu ke sini, kan?" ucap Edward dengan suara yang dingin.Arini menelan ludahnya. "Apa yang kau in