Paginya, Alexandra yang sudah siap dengan seragam sekolahnya tidak menemukan William ada di mana mana. Padahal biasanya omnya itu duduk di kursi meja makan, atau jika tidak sedang membaca laporan dari tablet di sofa depan kamar.Namun, William kali ini sudah berangkat lebih dulu.Dia meninggalkan secarik kertas di atas meja makan yang bertuliskan jika sarapan sudah dia siapkan. Dia ada urusan mendesak hingga tak bisa pergi mengantarnya sekolah. Sebagai ganti, Evan yang akan datang untuk menjemputnya.Dan benar saja, selang beberapa detik Evan sudah masuk dengan pakaiannya yang rapi.“Ayo, kamu udah siap, kan?” tanya Evan.“Om Will kenapa berangkat pagi pagi, Om?” tanya Alexandra.“Dia ada urusan mendesak katanya.”“Tapi kan… dia bisa bangunin aku.”“Mungkin gak sempat, Lex.”Alexandra langsung turun mood-nya pagi itu gara gara omnya. Padahal dia ingin bersama dengan William sedikit lama. Di dalam mobil pun Alexandra tidak berbicara sama sekali. Dia hanya melamun dan menatap jendela d
Setelah memastikan jika Alexandra sudah tidur malam itu. William bergegas membuka pintu apartemen di mana Thea sudah menunggunya satu jam yang lalu.“Dia udah tidur?” tanya Thea. William mengangguk lalu membawanya ke dalam kamarnya.Setibanya di kamar, Thea langsung mencium bibir William dengan rakus seakan dia sudah tidak bertemu dengan William selama bertahun tahun.“Thea, tunggu dulu,” bisik William. “Jangan sekarang, aku takut kalau Alexandra bangun dan kejadian waktu itu terjadi lagi.”“Kejadian apa? Harusnya kamu sudah waktunya memikirkan dirimu sendiri, Sayang? Sampai kapan kamu harus memikirkan Alexandra?”William mengerutkan keningnya. Dia melihat Thea sudah melucuti pakaiannya sendiri. Thea memagut bibir William dan mendorong lelaki itu ke atas ranjang.“Kunci pintunya,” suruh William.**Pagi harinya, William bangun lebih dulu. Dia menyiapkan sarapan seperti biasa di dapur sambil menunggu Alexandra muncul dari kamarnya.Keluar dari kamarnya, Alexandra pagi itu menggulung ra
Sebuah berita mengejutkan Alexandra siang itu. Alih alih tahu sendiri, tapi Alexandra tahu dari temannya, Emily.“Lex! Alex!” teriak Emily begitu masuk di kelas. Dia baru saja dari kantin setelah istirahat.Alexandra yang sedang mencari cari buku sketsanya tidak menghiraukan Emily.“Lex! Kamu udah tau belum!”“Apa sih?” Alexandra masih belum minat.“Kelihatannya kamu belum tau.”“Tau apa?”“Nih!” Emily menyodorkan ponselnya pada Alexandra. Lalu sebuah headline membuat hati Alexandra terasa seperti ada yang mencabik-cabik.“Ini apartemen kamu, kan? Aku ingat banget soalnya pot sama bunganya sama! Terus ini? Foto cowok yang diblur, om William kan?”Wajah Alexandra merah padam. Dia ingat jika pakaian yang dipakai oleh William adalah kaos berwarna putih dan celana panjang berwarna hitam polos. “Lex!”“Aku… aku nggak tau.”“Katanya pacarnya om William,” kata Emily sambil menatap wajah Alexandra yang tiba tiba menjadi pucat.“Semalam dia nginap di apartemen Om William. Kamu nggak tau? Se
Kata kata terakhir ibunya bukanlah sebuah kata manis yang menghiburnya. Melainkan sebuah ancaman halus yang membuat William bingung harus memutuskan harus menikah dengan Thea atau mengirim Alexandra kuliah keluar negeri.“Nanti William beri kabar ibu.”“Janji?”“Iya Bu, William janji.”William mengempaskan dirinya di kursi. Dia terhenyak dan pusing bagaimana bisa foto seperti itu bisa terekspos mengingat selama ini tidak pernah ada kabar mengenai dirinya tersebar di internet.“Jadi, apakah berita ini harus ditutup, Pak?”William mendongak.“Kalau aku menutupnya apakah keadaan bisa membaik?”Evan tidak tahu harus menjawab apa pada William. Jadi dia hanya menelengkan kepalanya dengan ekspresi wajah yang bingung.“Aku akan menjemput Alexandra,” kata William. “Dan langsung pulang.”Evan mengangguk mengerti.Saat membuka pintu, William melihat Thea memandangnya dengan ekspresi yang panik dan gelisah.“Bagaimana ini?” tanya Thea. Dia memegang kedua tangan William.“Jaga sikapmu, Thea. Kita
Alexandra masuk ke dalam mobil William setelah membuat om-nya itu menunggu selama dua jam lebih. Dia duduk dan mengenakan sabuk pengaman tanpa mengatakan apa apa pada William.“Aku nggak ada maksud buat bohong sama kamu,” kata William. Mobil berjalan meninggalkan kafe.“Aku udah nggak peduli lagi, Om.”William seperti tak percaya dengan ucapan Alexandra barusan.“Cuma, aku jadi yakin alasan apa yang membuat om mau aku pindah ke asrama sekolah.“Karena Thea kan?”William diam. Bahkan dia tidak sanggup melirik ke arah Alexandra karena kebohongannya sudah ketahuan begitu cepat.“Jadi begitu? Ngusir aku biar kalian bebas di apartemen berdua. Karena aku cuma beban buat Om.”“Bukan begitu, Lex.”“Terus apa?”William diam sampai bermenit menit kemudian.Alexandra tertawa sarkas. “Om udah nggak bisa menyangkal.” kemudian Alexandra diam sampai tiba di apartemen.Dia berharap bisa beristirahat dengan tenang di dalam kamarnya. Karena hari ini dia benar benar dibuat jungkir balik oleh pria yang b
“Kamu mau ke mana, William?” tanya Thea saat William meninggalkan meja makan.“Makan di luar.”“Tapi… makananmu kan belum kamu habiskan.”“Aku nggak nafsu makan.”Thea berdecak kesal saat makanan yang sudah dia buat menjadi sia-sia. Padahal dia berharap jika setelah memakan masakan darinya William jadi sedikit berubah dan berbalik membenci Alxandra. Namun, idenya itu malah tidak sesuai rencana karena William lebih memilih untuk makan di luar.“Dasar gadis sialan, dia nggak tau berapa banyak uang yang aku keluarkan untuk membeli ramuan itu,” gerutu Thea.**William pulang setelah dua jam kemudian.Lampu di seluruh ruangan sudah mati, tapi dia tak yakin kalau ALexandra sudah tidur malam itu. Sebab William sempat melihat jika keponakannya itu masih aktif di media sosialnya beberapa menit yang lalu.William menggantungkan makanan di knop pintu kamar Alexandra. Ayam goreng pedas adalah kesukaan Alexandra. Jadi saat perjalanan pulang dia membelikannya untuk Alexandra karena tadi dia melihat
Alexandra berjalan di lorong sekolah dengan hati yang sedikit lebih ringan daripada kemarin. Suasana hatinya sedang baik saat ini, apalagi tadi malam dia tidur dengan William. Bukan tidur di satu ranjang yang sama, melainkan dia tidur di atas pangkuan William. Sementara William dalam posisi duduk dengan punggung bersandar di sofa. Hingga tadi pagi keduanya pun bangun dan mendapati seluruh badan pegal pegal karena tidur tidak benar.“Lex!” panggil Emily. Dia berada jauh di belakang Alexandra.Alexandra menunggu sahabatnya itu dan berjalan bersama.“Udah buka grup chat kelas kita?” tanya Emily.Alexandra menggeleng.“Buka mading sekolah dulu, habis itu buka grup chat.”Alexandra memandang bingung Emily. Karena Emily tidak sabar dengan kelemotan Alexandra akhirnya dia membuka ponselnya sendiri kemudian menunjukkan sebuah video yang membuatnya terkejut setengah mati.“Ini … ini.. siapa yang mempostingnya di sini?”Emily menutup mulutnya karena terkejut.“Jadi ini bener kamu, Lex? Kamu sa
Alexandra keluar dari ruang guru meninggalkan William yang masih bicara dengan wali kelasnya. Ia yakin jika bukan karena om-nya adalah penyumbang terbesar di sekolah, dia sudah dikeluarkan sejak video itu tersebar di sekolah.“Gimana hasilnya?” tanya Emily.“Disuruh tinggal di asrama.”“Nggak apa-apa deh, daripada dikeluarin.”Alexandra menghela napasnya. Kemudian mengingat ingat kejadian tadi malam. Dia yakin jika Thea yang sudah mengambil video mereka berdua. Jika bukan, siapa lagi yang ingin membuat dirinya menghilang dari apartemen tersebut agar bisa berduaan dengan William.“Bener bener licik!” Alexandra mengacak-acak rambutnya sendiri. Ada penyesalan dalam dirinya mengapa harus melakukan hal itu padahal dia tahu ada Thea di apartemen William.“Terus om kamu gimana?”“Ya nggak gimana-gimana. Lulus sekolah aku mau ikut nenek aja.”“Yah, kalah dong dari sekertaris gatel itu.”Alexandra menaikkan satu alisnya.“Rebut balik om Will. Ngapain kamu ke luar negeri. Kalau emang bukan sama