Setelah memastikan jika Alexandra sudah tidur malam itu. William bergegas membuka pintu apartemen di mana Thea sudah menunggunya satu jam yang lalu.“Dia udah tidur?” tanya Thea. William mengangguk lalu membawanya ke dalam kamarnya.Setibanya di kamar, Thea langsung mencium bibir William dengan rakus seakan dia sudah tidak bertemu dengan William selama bertahun tahun.“Thea, tunggu dulu,” bisik William. “Jangan sekarang, aku takut kalau Alexandra bangun dan kejadian waktu itu terjadi lagi.”“Kejadian apa? Harusnya kamu sudah waktunya memikirkan dirimu sendiri, Sayang? Sampai kapan kamu harus memikirkan Alexandra?”William mengerutkan keningnya. Dia melihat Thea sudah melucuti pakaiannya sendiri. Thea memagut bibir William dan mendorong lelaki itu ke atas ranjang.“Kunci pintunya,” suruh William.**Pagi harinya, William bangun lebih dulu. Dia menyiapkan sarapan seperti biasa di dapur sambil menunggu Alexandra muncul dari kamarnya.Keluar dari kamarnya, Alexandra pagi itu menggulung ra
Sebuah berita mengejutkan Alexandra siang itu. Alih alih tahu sendiri, tapi Alexandra tahu dari temannya, Emily.“Lex! Alex!” teriak Emily begitu masuk di kelas. Dia baru saja dari kantin setelah istirahat.Alexandra yang sedang mencari cari buku sketsanya tidak menghiraukan Emily.“Lex! Kamu udah tau belum!”“Apa sih?” Alexandra masih belum minat.“Kelihatannya kamu belum tau.”“Tau apa?”“Nih!” Emily menyodorkan ponselnya pada Alexandra. Lalu sebuah headline membuat hati Alexandra terasa seperti ada yang mencabik-cabik.“Ini apartemen kamu, kan? Aku ingat banget soalnya pot sama bunganya sama! Terus ini? Foto cowok yang diblur, om William kan?”Wajah Alexandra merah padam. Dia ingat jika pakaian yang dipakai oleh William adalah kaos berwarna putih dan celana panjang berwarna hitam polos. “Lex!”“Aku… aku nggak tau.”“Katanya pacarnya om William,” kata Emily sambil menatap wajah Alexandra yang tiba tiba menjadi pucat.“Semalam dia nginap di apartemen Om William. Kamu nggak tau? Se
Kata kata terakhir ibunya bukanlah sebuah kata manis yang menghiburnya. Melainkan sebuah ancaman halus yang membuat William bingung harus memutuskan harus menikah dengan Thea atau mengirim Alexandra kuliah keluar negeri.“Nanti William beri kabar ibu.”“Janji?”“Iya Bu, William janji.”William mengempaskan dirinya di kursi. Dia terhenyak dan pusing bagaimana bisa foto seperti itu bisa terekspos mengingat selama ini tidak pernah ada kabar mengenai dirinya tersebar di internet.“Jadi, apakah berita ini harus ditutup, Pak?”William mendongak.“Kalau aku menutupnya apakah keadaan bisa membaik?”Evan tidak tahu harus menjawab apa pada William. Jadi dia hanya menelengkan kepalanya dengan ekspresi wajah yang bingung.“Aku akan menjemput Alexandra,” kata William. “Dan langsung pulang.”Evan mengangguk mengerti.Saat membuka pintu, William melihat Thea memandangnya dengan ekspresi yang panik dan gelisah.“Bagaimana ini?” tanya Thea. Dia memegang kedua tangan William.“Jaga sikapmu, Thea. Kita
Alexandra masuk ke dalam mobil William setelah membuat om-nya itu menunggu selama dua jam lebih. Dia duduk dan mengenakan sabuk pengaman tanpa mengatakan apa apa pada William.“Aku nggak ada maksud buat bohong sama kamu,” kata William. Mobil berjalan meninggalkan kafe.“Aku udah nggak peduli lagi, Om.”William seperti tak percaya dengan ucapan Alexandra barusan.“Cuma, aku jadi yakin alasan apa yang membuat om mau aku pindah ke asrama sekolah.“Karena Thea kan?”William diam. Bahkan dia tidak sanggup melirik ke arah Alexandra karena kebohongannya sudah ketahuan begitu cepat.“Jadi begitu? Ngusir aku biar kalian bebas di apartemen berdua. Karena aku cuma beban buat Om.”“Bukan begitu, Lex.”“Terus apa?”William diam sampai bermenit menit kemudian.Alexandra tertawa sarkas. “Om udah nggak bisa menyangkal.” kemudian Alexandra diam sampai tiba di apartemen.Dia berharap bisa beristirahat dengan tenang di dalam kamarnya. Karena hari ini dia benar benar dibuat jungkir balik oleh pria yang b
“Kamu mau ke mana, William?” tanya Thea saat William meninggalkan meja makan.“Makan di luar.”“Tapi… makananmu kan belum kamu habiskan.”“Aku nggak nafsu makan.”Thea berdecak kesal saat makanan yang sudah dia buat menjadi sia-sia. Padahal dia berharap jika setelah memakan masakan darinya William jadi sedikit berubah dan berbalik membenci Alxandra. Namun, idenya itu malah tidak sesuai rencana karena William lebih memilih untuk makan di luar.“Dasar gadis sialan, dia nggak tau berapa banyak uang yang aku keluarkan untuk membeli ramuan itu,” gerutu Thea.**William pulang setelah dua jam kemudian.Lampu di seluruh ruangan sudah mati, tapi dia tak yakin kalau ALexandra sudah tidur malam itu. Sebab William sempat melihat jika keponakannya itu masih aktif di media sosialnya beberapa menit yang lalu.William menggantungkan makanan di knop pintu kamar Alexandra. Ayam goreng pedas adalah kesukaan Alexandra. Jadi saat perjalanan pulang dia membelikannya untuk Alexandra karena tadi dia melihat
Alexandra berjalan di lorong sekolah dengan hati yang sedikit lebih ringan daripada kemarin. Suasana hatinya sedang baik saat ini, apalagi tadi malam dia tidur dengan William. Bukan tidur di satu ranjang yang sama, melainkan dia tidur di atas pangkuan William. Sementara William dalam posisi duduk dengan punggung bersandar di sofa. Hingga tadi pagi keduanya pun bangun dan mendapati seluruh badan pegal pegal karena tidur tidak benar.“Lex!” panggil Emily. Dia berada jauh di belakang Alexandra.Alexandra menunggu sahabatnya itu dan berjalan bersama.“Udah buka grup chat kelas kita?” tanya Emily.Alexandra menggeleng.“Buka mading sekolah dulu, habis itu buka grup chat.”Alexandra memandang bingung Emily. Karena Emily tidak sabar dengan kelemotan Alexandra akhirnya dia membuka ponselnya sendiri kemudian menunjukkan sebuah video yang membuatnya terkejut setengah mati.“Ini … ini.. siapa yang mempostingnya di sini?”Emily menutup mulutnya karena terkejut.“Jadi ini bener kamu, Lex? Kamu sa
Alexandra keluar dari ruang guru meninggalkan William yang masih bicara dengan wali kelasnya. Ia yakin jika bukan karena om-nya adalah penyumbang terbesar di sekolah, dia sudah dikeluarkan sejak video itu tersebar di sekolah.“Gimana hasilnya?” tanya Emily.“Disuruh tinggal di asrama.”“Nggak apa-apa deh, daripada dikeluarin.”Alexandra menghela napasnya. Kemudian mengingat ingat kejadian tadi malam. Dia yakin jika Thea yang sudah mengambil video mereka berdua. Jika bukan, siapa lagi yang ingin membuat dirinya menghilang dari apartemen tersebut agar bisa berduaan dengan William.“Bener bener licik!” Alexandra mengacak-acak rambutnya sendiri. Ada penyesalan dalam dirinya mengapa harus melakukan hal itu padahal dia tahu ada Thea di apartemen William.“Terus om kamu gimana?”“Ya nggak gimana-gimana. Lulus sekolah aku mau ikut nenek aja.”“Yah, kalah dong dari sekertaris gatel itu.”Alexandra menaikkan satu alisnya.“Rebut balik om Will. Ngapain kamu ke luar negeri. Kalau emang bukan sama
Evan mengeluarkan dua koper di dalam garasi. Satunya berisi buku dan alat sekolah Alexandra dan semua kebutuhan yang dia butuhkan selama satu bulan di asrama sementara satu lagi baju baju miliknya.Alexandra sudah berdiri di depan gerbang asrama, diam diam memandang William yang menyeret koper ke arahnya.“Seminggu sekali kita bisa ketemu, kan Om?” tanya Alexandra.“Bisa.”“Jangan bohong.”“Belajar yang rajin. Lulus sekolah …”“Aku ikut nenek. Jadi om nggak perlu buru buru menikah.”“Kamu tahu dari mana?”“Nenek menelponku waktu itu.”William sama sekali tidak tahu jika ibunya pernah menghubungi Alexandra, karena ibunya tidak mengatakan apa apa masalah tersebut.“Kalau ada apa apa kamu bisa hubungi aku.”“Kayaknya hubungi om Evan lebih bisa dipercaya.” Alexandra menaikkan kedua alisnya kepada Evan.“Ya benar. Aku akan datang kalau kamu butuh bantuan.”“Karena aku nggak bisa masuk. Aku antar sampai sini ya.”Alexandra mengangguk.“Aku tunggu akhir pekan ini. Kalau nggak, aku kabur.”Wi
Tiga puluh lima tahun kemudian, rumah tepi pantai itu masih berdiri megah dan menawan, dikelilingi oleh pemandangan yang sama indahnya seperti saat Alexandra dan William pertama kali menempatinya. Namun, kini Alexandra telah berusia 65 tahun dan William telah tiada. Di sore hari yang cerah itu, Alexandra duduk di balkon rumahnya, ditemani oleh anak-anak dan cucu-cucunya. Angin laut yang sepoi-sepoi membawa aroma asin yang familiar, membawa kenangan indah bersama William. "Ini benar-benar tempat yang indah, Bu," kata Michael, anak sulung Alexandra. Ia berdiri di sampingnya, memandang laut yang luas. "Aku bisa mengerti mengapa Ayah dan Ibu memilih tinggal di sini." "Ya, Ayahmu dan aku selalu merasa damai di sini," jawab Alexandra sambil tersenyum. "Setiap hari yang kita habiskan di sini adalah anugerah." Cucu-cucunya berlari-larian di pasir putih, tertawa riang. Sarah, cucu tertuanya, mendekati Alexandra dan memeluknya dengan erat. "Nenek, ceritakan lagi tentang kakek. Apa yang palin
William dan Alexandra kini telah menetap di rumah impian mereka yang terletak di pinggir pantai yang indah. Setiap sore, mereka bersama anak mereka menikmati pemandangan matahari terbenam yang mempesona dari balkon rumah mereka. Angin laut yang sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, menambah kenyamanan suasana kebersamaan keluarga kecil ini.Keduanya telah bekerja keras untuk mencapai impian ini, membangun rumah sederhana namun hangat, di mana mereka dapat menjalani kehidupan yang berkualitas bersama anak mereka. William, seorang pengusaha sukses, selalu meluangkan waktu untuk Alexandra dan anak mereka, sementara Alexandra, seorang penulis handal, selalu memastikan bahwa rumah mereka terjaga dan nyaman untuk ditinggali."Indah sekali sore ini," ujar Alexandra sambil memandang matahari yang perlahan-lahan tenggelam di cakrawala."Ya, benar-benar menakjubkan," jawab William. Ia merangkul Alexandra dengan hangat. "Setiap kali melihat pemandangan ini, aku merasa semua kerja keras kita terbayar
Satu minggu kemudian, Alexandra dan William pergi ke taman bermain setelah Alexandra mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Mereka berdua berjalan-jalan di taman yang ramai, menikmati suasana yang ceria."Lex, om sangat bangga padamu. Kamu sudah berusaha keras dan akhirnya mendapatkan nilai yang bagus," ucap William sambil tersenyum pada Alexandra."Terima kasih, Om. Aku senang bisa membuatmu bangga," jawab Alexandra sambil tersenyum cerah.Mereka berdua berjalan-jalan di sekitar taman bermain, melihat anak-anak yang sedang bermain dengan riang. Alexandra merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama William di tempat yang menyenangkan seperti itu.Mereka berdua naik perosotan, bermain ayunan, dan menikmati berbagai permainan di taman bermain. Alexandra merasa sangat bahagia bisa berada di sana bersama William, orang yang sangat ia sayangi.Setelah puas bermain, mereka duduk di bangku taman sambil menikmati pemandangan sekitar. "Terima kasih sudah membawaku ke sini, Om. Aku benar-b
"Lex aku akan pergi ke tempat Sarah. Kamu baik-baik saja kan di sini sendiri?" "Kapan om pulang?" "Mungkin besok pagi.""Hmm baiklah."Saat William hendak pergi dan hendak membuka pintu, tiba-tiba Alexandra merasa pusing yang sangat hebat. Dia mencoba berdiri tetapi kakinya lemas, lalu pingsan di pelukan William."Lex! Lex, bangun!" seru William panik sambil mencoba membangunkan Alexandra. Dia memegang wajah Alexandra dengan lembut, mencari tanda-tanda kesadaran.Karena khawatir terjadi apa-apa pada Alexandra akhirnya William membawanya ke rumah sakit. **Sementara itu, seorang perawat datang untuk membantu. Mereka bersama-sama mengangkat Alexandra ke tempat tidur yang tersedia di ruang gawat darurat.William duduk di samping tempat tidur, wajahnya penuh kekhawatiran. Dia menggenggam tangan Alexandra dengan erat, berharap gadis itu segera sadar.Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Alexandra akhirnya membuka mata. Dia memandang sekeliling dengan bingung, tidak tahu
William tiba di apartemennya setelah seharian kerja. Saat ia memasuki ruang tamu, ia melihat Alexandra tertidur pulas di balkon. Bulan purnama menerangi wajah muda Alexandra yang tenang. William menghampirinya dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkannya. "Dingin sekali di sini," gumam William sambil menyelimuti Alexandra dengan lembut. Gadis itu merasa hangat dan sedikit menggeliat, tetapi tetap tertidur.Setelah meyakinkan diri bahwa Alexandra nyaman dengan selimutnya, William memutuskan untuk membopongnya ke dalam kamar. Tubuh Alexandra yang ringan membuatnya mudah diangkat. Langkahnya pelan, tidak ingin mengganggu tidur Alexandra yang lelap. Sampai di dalam kamar, William meletakkan Alexandra dengan lembut di atas tempat tidur. Ia memandang wajah gadis itu dengan penuh perhatian sejenak, lalu menutup pintu kamar perlahan ketika meninggalkannya untuk tidur dengan tenang.--Malam itu, Alexandra terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Ia tampak gelisah, terli
Evan duduk gelisah di ruang tamu rumahnya, memikirkan nasib Arini yang belum diketahui keberadaannya. Hatinya penuh kekhawatiran dan rasa bersalah karena tidak bisa melindungi Arini. Ponselnya tiba-tiba berdering, mengagetkannya. Dia buru-buru mengambilnya dan melihat panggilan masuk dari nomor polisi.Evan mengangkat telepon, "Halo, ini Evan.""Halo, Pak Evan. Kami dari kepolisian ingin memberitahukan bahwa Arini telah ditemukan. Dia sedang dirawat di rumah sakit setelah mengalami kejadian yang traumatis. Anda bisa menjemputnya di sana."Evan merasa lega, "Oh, syukurlah. Terima kasih banyak atas informasinya. Saya akan segera ke sana."Evan segera mengambil kunci mobilnya dan bergegas ke rumah sakit. Saat tiba di sana, dia langsung menuju ruang perawatan tempat Arini berada. Dia melihat Arini terbaring di tempat tidur, tampak lemah dan pucat, tetapi dia merasa lega melihat Arini selamat.Evan duduk di samping tempat tidur Arini. "Arini. Bagaimana kabarmu?"Arini dengan suara lemah. "
Polisi setelah menerima laporan penculikan dari Evan, segera melakukan penyelidikan dan menemukan keberadaan rumah Edward. Dengan sigap, mereka menggerebek rumah tersebut dengan harapan menemukan Arini.Saat polisi memasuki rumah, mereka menemukan Edward sedang berusaha untuk melarikan diri melalui pintu belakang. Dengan cepat, polisi mengejar dan berusaha menghentikannya. Namun, Edward menolak untuk menyerah dan terus berlari.Dalam keputusasaan, salah satu polisi memutuskan untuk menembak ke arah kaki Edward untuk menghentikannya. Peluru tersebut mengenai kakinya, membuat Edward jatuh tersungkur ke tanah dengan rasa sakit yang luar biasa.Polisi segera menangkap Edward dan memeriksanya untuk memastikan dia tidak membawa senjata atau bahaya lainnya. Setelah yakin aman, mereka membawanya ke mobil patroli dan membawanya ke kantor polisi untuk dimintai keterangan lebih lanjut.Sementara itu, Arini telah dibawa pulang oleh pria yang menolongnya di hutan. Dia merasa lega karena telah sela
Arini duduk tegak di dalam kamar yang gelap dan hening. Dia merasa terjebak dalam situasi yang mencekam dan tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari situasi tersebut. Mendadak, pintu terbuka dan Edward masuk membawa sebuah piring makanan."Dengar, Arini. Aku tidak akan membiarkanmu kelaparan. Silakan makan," ucap Edward dengan suara yang tenang, lalu dia duduk di depan Arini.Arini menatap piring makanan itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa menolak akan membuat situasinya semakin buruk, tetapi dia juga tidak ingin bergantung pada Edward.Tanpa kata, Arini menerima piring makanan itu dari tangan Edward. Dia mencoba untuk memakannya dengan lambat, tetapi perasaannya yang campur aduk membuatnya kesulitan menelan makanan. Akhirnya, rasa mual yang teramat sangat membuatnya tidak tahan lagi, dan dia memuntahkan semua makanan yang sudah dimakan ke piring di hadapannya.Edward terkejut melihat tindakan Arini. "Kenapa kau melakukan itu, Arini? Aku mencoba untuk memperlakukanmu de
Arini merasa panik ketika mobil yang dikemudikan oleh Edward semakin menjauh dari tempat pesta pernikahan. Dia mencoba untuk tetap tenang, tetapi kekhawatirannya semakin memuncak ketika dia menyadari bahwa dia sedang dibawa ke suatu tempat yang tidak diketahuinya.Edward tidak mengucapkan sepatah kata pun selama perjalanan. Arini mencoba mencari peluang untuk melarikan diri, tetapi dia sadar bahwa dia tidak bisa melawan sendirian. Dia merasa semakin terjebak dalam situasi yang mencekam.Setelah beberapa saat, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang besar dan mewah. Edward membawa Arini masuk ke dalam rumah tersebut tanpa berkata apa-apa. Arini mencoba untuk tetap tenang, tetapi ketakutan yang dirasakannya membuatnya gemetar.Di dalam rumah, Arini dibawa ke sebuah ruangan yang gelap. Edward menutup pintu dan duduk di depan Arini dengan tatapan dingin. "Kau tahu mengapa aku membawamu ke sini, kan?" ucap Edward dengan suara yang dingin.Arini menelan ludahnya. "Apa yang kau in