Alexandra berjalan di lorong sekolah dengan hati yang sedikit lebih ringan daripada kemarin. Suasana hatinya sedang baik saat ini, apalagi tadi malam dia tidur dengan William. Bukan tidur di satu ranjang yang sama, melainkan dia tidur di atas pangkuan William. Sementara William dalam posisi duduk dengan punggung bersandar di sofa. Hingga tadi pagi keduanya pun bangun dan mendapati seluruh badan pegal pegal karena tidur tidak benar.“Lex!” panggil Emily. Dia berada jauh di belakang Alexandra.Alexandra menunggu sahabatnya itu dan berjalan bersama.“Udah buka grup chat kelas kita?” tanya Emily.Alexandra menggeleng.“Buka mading sekolah dulu, habis itu buka grup chat.”Alexandra memandang bingung Emily. Karena Emily tidak sabar dengan kelemotan Alexandra akhirnya dia membuka ponselnya sendiri kemudian menunjukkan sebuah video yang membuatnya terkejut setengah mati.“Ini … ini.. siapa yang mempostingnya di sini?”Emily menutup mulutnya karena terkejut.“Jadi ini bener kamu, Lex? Kamu sa
Alexandra keluar dari ruang guru meninggalkan William yang masih bicara dengan wali kelasnya. Ia yakin jika bukan karena om-nya adalah penyumbang terbesar di sekolah, dia sudah dikeluarkan sejak video itu tersebar di sekolah.“Gimana hasilnya?” tanya Emily.“Disuruh tinggal di asrama.”“Nggak apa-apa deh, daripada dikeluarin.”Alexandra menghela napasnya. Kemudian mengingat ingat kejadian tadi malam. Dia yakin jika Thea yang sudah mengambil video mereka berdua. Jika bukan, siapa lagi yang ingin membuat dirinya menghilang dari apartemen tersebut agar bisa berduaan dengan William.“Bener bener licik!” Alexandra mengacak-acak rambutnya sendiri. Ada penyesalan dalam dirinya mengapa harus melakukan hal itu padahal dia tahu ada Thea di apartemen William.“Terus om kamu gimana?”“Ya nggak gimana-gimana. Lulus sekolah aku mau ikut nenek aja.”“Yah, kalah dong dari sekertaris gatel itu.”Alexandra menaikkan satu alisnya.“Rebut balik om Will. Ngapain kamu ke luar negeri. Kalau emang bukan sama
Evan mengeluarkan dua koper di dalam garasi. Satunya berisi buku dan alat sekolah Alexandra dan semua kebutuhan yang dia butuhkan selama satu bulan di asrama sementara satu lagi baju baju miliknya.Alexandra sudah berdiri di depan gerbang asrama, diam diam memandang William yang menyeret koper ke arahnya.“Seminggu sekali kita bisa ketemu, kan Om?” tanya Alexandra.“Bisa.”“Jangan bohong.”“Belajar yang rajin. Lulus sekolah …”“Aku ikut nenek. Jadi om nggak perlu buru buru menikah.”“Kamu tahu dari mana?”“Nenek menelponku waktu itu.”William sama sekali tidak tahu jika ibunya pernah menghubungi Alexandra, karena ibunya tidak mengatakan apa apa masalah tersebut.“Kalau ada apa apa kamu bisa hubungi aku.”“Kayaknya hubungi om Evan lebih bisa dipercaya.” Alexandra menaikkan kedua alisnya kepada Evan.“Ya benar. Aku akan datang kalau kamu butuh bantuan.”“Karena aku nggak bisa masuk. Aku antar sampai sini ya.”Alexandra mengangguk.“Aku tunggu akhir pekan ini. Kalau nggak, aku kabur.”Wi
Satu minggu akhirnya berlalu. Alexandra berhasil melewati satu minggunya hanya berada di asrama tanpa bertemu dengan William. Kendati sering menelpon omnya itu. Tapi rasanya aneh ketika tak bisa melihatnya secara langsung. Hari ini William sudah berjanji pada Alexandra jika dia akan membawa ponakannya itu jalan jalan. Akan tetapi, sudah lewat dua jam William belum juga muncul di depan gerbang asrama. “Kamu nunggu siapa, Lex?” tanya sekuriti asrama pada Alexandra. “Om saya pak.”“Oh mau jalan jalan?”Alexandra mengangguk dengan bersemangat. Tetapi semangatnya itu luntur saat tepat tiga jam William tak kunjung datang ke asrama. “Lex!” panggil seseorang. Alexandra yang sudah putus harapan ke olah. Tapi dia terkejut saat mendapati Ethan yang datang ke asramanya. Alexandra memang menceritakan masalah tersebut pada Ethan. Bahwa dia pindah ke asrama karena terjadi masalah internal. Alexandra tak bisa mengatakan apa itu karena takut hanya akan membuat Ethan khawatir. “Kayaknya kamu buk
Mendengar Alexandra bicara seperti itu membuat William tak dapat berkata apa-apa. Dia mengatupkan rahangnya setelah Alexandra menarik tangannya dengan kasar.William tidak tahu jika ternyata Alexandra akan semarah itu padanya. Itu memang salahnya, pikirnya. Semua berawal saat Thea mulai memasuki hidupnya kemudian segalanya menjadi sedikit demi sedikit berubah.Hanya dapat melihat punggung Alexandra, William tidak bisa menahan gadis itu cukup lama.Sementara itu, Alexandra mengusap air matanya dengan punggung tangannya dengan kasar. Ia menahan sekuat tenaga agar tidak menjatuhkan air matanya di depan William.Marah? Kesal? Dan juga kecewa menjadi satu. Seminggu dia menahan rindunya pada William. Tapi William rupanya malah menyepelekan janjinya. Atau sebenarnya bukan masalah itu, karena Alexandra selalu membayangkan apa yang sedang dilakukan William dan Thea tiap malam tanpa ada dia di apartemen.“William bodoh!” umpat Alexandra. Tak masuk ke kamarnya, dia malah masuk ke atap asrama di
Alexandra membuka matanya. Kepalanya jauh lebih ringan daripada saat dia bangun tadi pagi.Cahaya cerah yang masuk ke dalam ruangan kesehatan itu menunjukkan bahwa cuaca sedang cerah. Dan Alexandra terpaku pada sosok bayangan yang sedang menatap keluar jendela dengan secangkir kopi di tangan kanannya.“Udah jam satu?!” Alexandra hampir saja menjatuhkan cangkir milik Rafael. Untung saja lelaki itu mengenggamnya dengan erat.“Kamu udah bangun? Gimana? Kamu udah nggak pusing lagi, kan?” tanya Rafael setelah meletakkan cangkirnya di atas meja. Punggung tangannya ditempelkan ke kening Alexandra.“Udah jauh lebih baik, tadi kamu panas banget dari jam setengah tujuh sampai jam 10.”“Hah?”“Aku ngecek suhu tubuh kamu tiap jam.”Alexandra terdiam. Dia masih penasaran dengan Rafael. Mengapa lelaki itu ada di ruang kesehatan? Padahal sepertinya dia hanya seorang pengangguran.“Aku perawat di sini,” katanya. “Karena kamu nggak pernah ke ruang kesehatan, jadi nggak pernah lihat aku. Aku tahu kamu
Karena iseng, dan hanya atap asrama yang bisa dia kunjungi. Akhirnya Alexandra ke sana jam 10 malam. Dan benar saja Rafael ada di sana. Akan tetapi, jemuran jemuran di atap sudah tidak ada.Rafael menoleh saat mendengar suara pintu dibuka. Rambutnya bergerak saat angin menyapunya pelan.“Datang juga rupanya,” kata Rafael.“Nggak bisa tidur,” sahut Alexandra. “Pak dokter ngapain di sini?”“Jangan panggil begitu, panggil El kalau lagi jam di luar kerja,” balasnya malu malu.“Nggak sopan dong.”Alexandra berdiri di samping Rafael. Dia ikut merasakan angin malam yang berembus pelan.“Di sini dingin harusnya pakai pakaian hangat,” kata Rafael.“Biarin deh ini juga udah hangat.”Mereka berdua pun akhirnya mengobrol berdua. Alexandra tak menyangka jika ternyata ada lelaki lain yang mampu menarik minatnya selain William. Apa karena selama ini dunianya hanya ada William?Saat jam hampir menunjukkan 11 malam. Alexandra pamit ingin masuk ke kamarnya. Rafael pun juga, dengan alasan mengantuk.Aka
Alexandra tersadar di sebuah ruang yang lebih mirip rumah sakit. Dia melihat kerumunan orang orang di sekitarnya.Terakhir dia ingat, dia melihat Rafael tersangkut di pohon. Jika saja tak ada pohon itu di depan asrama. Ia tak yakin apakah Rafael masih hidup atau tidak.Tapi… bagaimana keadaan Rafael?“Alex!” Suara itu… Alexandra mengenalnya.“Kamu nggak apa apa? Kata ibu asrama kamu melihat maling di asrama?”Alexandra mengangguk dengan tatapan kosong.“Pak Rafael gimana? Keadaan dia gimana, Om?” tanya Alexandra gugup.“Sedang dirawat di UGD. Kamu tidak perlu khawatir.”Beberapa polisi juga sudah ada di sana, kali ini kejahatan bukan hanya sekadar maling pakaian dalam melainkan kasus kekerasan dan penganiyaan juga.Alexandra bersedia menjadi saksi setelah merasa dirinya jauh lebih baik. Dia mengatakan semua yang dia lihat pada polisi dari dia naik ke atas atap sampai dia melihat Rafael jatuh di atas pohon.Setelah polisi pergi, William menghampiri Alexandra.“Malam ini kamu pulang,” k