Mendengar Alexandra bicara seperti itu membuat William tak dapat berkata apa-apa. Dia mengatupkan rahangnya setelah Alexandra menarik tangannya dengan kasar.William tidak tahu jika ternyata Alexandra akan semarah itu padanya. Itu memang salahnya, pikirnya. Semua berawal saat Thea mulai memasuki hidupnya kemudian segalanya menjadi sedikit demi sedikit berubah.Hanya dapat melihat punggung Alexandra, William tidak bisa menahan gadis itu cukup lama.Sementara itu, Alexandra mengusap air matanya dengan punggung tangannya dengan kasar. Ia menahan sekuat tenaga agar tidak menjatuhkan air matanya di depan William.Marah? Kesal? Dan juga kecewa menjadi satu. Seminggu dia menahan rindunya pada William. Tapi William rupanya malah menyepelekan janjinya. Atau sebenarnya bukan masalah itu, karena Alexandra selalu membayangkan apa yang sedang dilakukan William dan Thea tiap malam tanpa ada dia di apartemen.“William bodoh!” umpat Alexandra. Tak masuk ke kamarnya, dia malah masuk ke atap asrama di
Alexandra membuka matanya. Kepalanya jauh lebih ringan daripada saat dia bangun tadi pagi.Cahaya cerah yang masuk ke dalam ruangan kesehatan itu menunjukkan bahwa cuaca sedang cerah. Dan Alexandra terpaku pada sosok bayangan yang sedang menatap keluar jendela dengan secangkir kopi di tangan kanannya.“Udah jam satu?!” Alexandra hampir saja menjatuhkan cangkir milik Rafael. Untung saja lelaki itu mengenggamnya dengan erat.“Kamu udah bangun? Gimana? Kamu udah nggak pusing lagi, kan?” tanya Rafael setelah meletakkan cangkirnya di atas meja. Punggung tangannya ditempelkan ke kening Alexandra.“Udah jauh lebih baik, tadi kamu panas banget dari jam setengah tujuh sampai jam 10.”“Hah?”“Aku ngecek suhu tubuh kamu tiap jam.”Alexandra terdiam. Dia masih penasaran dengan Rafael. Mengapa lelaki itu ada di ruang kesehatan? Padahal sepertinya dia hanya seorang pengangguran.“Aku perawat di sini,” katanya. “Karena kamu nggak pernah ke ruang kesehatan, jadi nggak pernah lihat aku. Aku tahu kamu
Karena iseng, dan hanya atap asrama yang bisa dia kunjungi. Akhirnya Alexandra ke sana jam 10 malam. Dan benar saja Rafael ada di sana. Akan tetapi, jemuran jemuran di atap sudah tidak ada.Rafael menoleh saat mendengar suara pintu dibuka. Rambutnya bergerak saat angin menyapunya pelan.“Datang juga rupanya,” kata Rafael.“Nggak bisa tidur,” sahut Alexandra. “Pak dokter ngapain di sini?”“Jangan panggil begitu, panggil El kalau lagi jam di luar kerja,” balasnya malu malu.“Nggak sopan dong.”Alexandra berdiri di samping Rafael. Dia ikut merasakan angin malam yang berembus pelan.“Di sini dingin harusnya pakai pakaian hangat,” kata Rafael.“Biarin deh ini juga udah hangat.”Mereka berdua pun akhirnya mengobrol berdua. Alexandra tak menyangka jika ternyata ada lelaki lain yang mampu menarik minatnya selain William. Apa karena selama ini dunianya hanya ada William?Saat jam hampir menunjukkan 11 malam. Alexandra pamit ingin masuk ke kamarnya. Rafael pun juga, dengan alasan mengantuk.Aka
Alexandra tersadar di sebuah ruang yang lebih mirip rumah sakit. Dia melihat kerumunan orang orang di sekitarnya.Terakhir dia ingat, dia melihat Rafael tersangkut di pohon. Jika saja tak ada pohon itu di depan asrama. Ia tak yakin apakah Rafael masih hidup atau tidak.Tapi… bagaimana keadaan Rafael?“Alex!” Suara itu… Alexandra mengenalnya.“Kamu nggak apa apa? Kata ibu asrama kamu melihat maling di asrama?”Alexandra mengangguk dengan tatapan kosong.“Pak Rafael gimana? Keadaan dia gimana, Om?” tanya Alexandra gugup.“Sedang dirawat di UGD. Kamu tidak perlu khawatir.”Beberapa polisi juga sudah ada di sana, kali ini kejahatan bukan hanya sekadar maling pakaian dalam melainkan kasus kekerasan dan penganiyaan juga.Alexandra bersedia menjadi saksi setelah merasa dirinya jauh lebih baik. Dia mengatakan semua yang dia lihat pada polisi dari dia naik ke atas atap sampai dia melihat Rafael jatuh di atas pohon.Setelah polisi pergi, William menghampiri Alexandra.“Malam ini kamu pulang,” k
Thea menyentuh kasur di pinggirnya, dia merasakan kosong sejak tadi malam. Begitu menyadari bahwa William tidak pulang semalaman, dia pun murka.Thea menelpon William tapi tak diangkat oleh lelaki itu.“Dia ada di mana sekarang? Kenapa pergi tanpa pamit!” geram Thea.Sementara itu di hotel tempat William dan Alexandra menginap. Kedua orang itu masih dalam posisi yang sama, saling berpelukan seolah membutuhkan satu sama lain.Meski mendengar ponselnya bergetar, tapi William mengabaikannya. Malahan dia mematikan ponselnya. Melihat Alexandra sudah tidur nyenyak, dia pun menyelimuti Alexandra. Dia bahkan mengusap wajah Alexandra dengan lembut agar gadis itu tidak terbangun.Namun, usaha William gagal. Alexandra membuka matanya dan melihat William sedang mengusap wajahnya.“Tadi om udah janji kan?”William mengangguk.“Maafkan aku,” kata William.Alexandra diam saja.“Om mau aku maafin nggak?”William mengangguk.Alexandra menarik lengan William hingga membuat lelaki itu terjatuh di sampi
Alexandra terbangun ketika merasakan ada yang duduk di sebelahnya. Dan ketika dia menoleh, William sudah duduk dan mengetik sesuatu di ponselnya.“Om sudah pulang?” tanya Alexandra dengan suara mengantuknya. Kepalanya dia letakkan di atas paha William.Tangan kiri William mengusap rambut Alexandra dengan lembut. Dia mengamati wajah gadis itu lalu tersenyum. “Baru setengah jam yang lalu,” jawabnya.“Besok aku mau berangkat sekolah,” katanya.“Iya, besok aku antar.”Alexandra melihat leher William. Berkat keisengannya tadi malam William harus bersusah payah untuk menutupi bekas merah di lehernya. Sementara milik Alexandra juga masih ada bekasnya meski tidak begitu terlihat.“Tadi langsung pulang ke sini?”William mengangguk.“Nggak dicariin?”“Dicariin.”“Terus kata om gimana?”“Aku tidur di luar.”Alexandra sontak duduk dan memandang ngeri William.“Gimana kalau sampai dia tahu Om di sini?”“Emm, kalau tau ya sudah. Memangnya harus bagaimana lagi.”Ada perasaan tak enak ketika William
Alexandra masih di dalam mobil kendati sudah sampai di depan sekolahnya. Setelah berpikir panjang, akhirnya dia memutuskan untuk menginap di asrama mulai malam ini.Dia tak mau kalau sampai William terkena masalah lagi. “Om, boleh minta om Evan bawain barangku yang ada di hotel? Aku mau tinggal di asrama mulai malam ini,” katanya.William terkejut.“Kamu bilang besok menginap di asrama? Nggak apa apa? Gimana sama keamanan dan pencurinya? Pencuri itu belum ditemukan, Lex.”“Nggak apa apa, Om. Nggak mungkin pencurinya muncul kan? Kejadian juga masih baru.”“Kenapa tiba tiba berubah pikiran?”“Aku nggak mau om kenapa-kenapa,” jawab Alexandra. Mengetahui hal tadi, dia sudah tidak mau bersikap egois dan hanya mementingkan perasaannya saja.Lagi pula, dia hanya menyerah untuk saat ini.“Kita cari jalan keluarnya nanti,” kata Alexandra.William mengangguk. “Kalau ada apa apa, kamu harus hubungi aku, oke.”“Iya.” Alexandra membuka sabuk pengamannya. Tapi karena kesulitan William pun membantu
Meski Alexandra sudah tahu jika yang datang malam itu adalah Evan, tapi dalam hati kecilnya dia berharap jika William ikut bersama dengan Evan untuk ke asrama malam itu.“Cuma ini, kan?” tanya Evan.Alexandra mengangguk.“Om kamu nggak bisa ke sini, kamu tau kan?”Alexandra mengangguk lagi.“Om sudah pulang?”“Sudah tadi jam lima, sama Thea,” kata Evan yang jelas membuat Alexandra kepikiran.Membayangkan bagaimana dua mahkluk itu di dalam satu mobil saja membuatnya kesal.“Aneh banget, padahal pagi pagi mereka berantem, tapi sorenya mereka pulang bareng seolah nggak pernah terjadi apa apa.”Alexandra mengulum senyumnya berusaha mencoba untuk menyembunyikan kekecewaannya pada William. Akan tetapi, saat ingat dengan apa yang dialami oleh William. Alexandra mencoba untuk memahaminya.Karena ingat dengan hal itu, Alexandra pun menceritakan apa yang dikatakan oleh William kepadanya tadi pagi.Evan pun terkejut karena William belum menceritakan masalah itu kepadanya.“Jangan jangan sikap me