Karena iseng, dan hanya atap asrama yang bisa dia kunjungi. Akhirnya Alexandra ke sana jam 10 malam. Dan benar saja Rafael ada di sana. Akan tetapi, jemuran jemuran di atap sudah tidak ada.Rafael menoleh saat mendengar suara pintu dibuka. Rambutnya bergerak saat angin menyapunya pelan.“Datang juga rupanya,” kata Rafael.“Nggak bisa tidur,” sahut Alexandra. “Pak dokter ngapain di sini?”“Jangan panggil begitu, panggil El kalau lagi jam di luar kerja,” balasnya malu malu.“Nggak sopan dong.”Alexandra berdiri di samping Rafael. Dia ikut merasakan angin malam yang berembus pelan.“Di sini dingin harusnya pakai pakaian hangat,” kata Rafael.“Biarin deh ini juga udah hangat.”Mereka berdua pun akhirnya mengobrol berdua. Alexandra tak menyangka jika ternyata ada lelaki lain yang mampu menarik minatnya selain William. Apa karena selama ini dunianya hanya ada William?Saat jam hampir menunjukkan 11 malam. Alexandra pamit ingin masuk ke kamarnya. Rafael pun juga, dengan alasan mengantuk.Aka
Alexandra tersadar di sebuah ruang yang lebih mirip rumah sakit. Dia melihat kerumunan orang orang di sekitarnya.Terakhir dia ingat, dia melihat Rafael tersangkut di pohon. Jika saja tak ada pohon itu di depan asrama. Ia tak yakin apakah Rafael masih hidup atau tidak.Tapi… bagaimana keadaan Rafael?“Alex!” Suara itu… Alexandra mengenalnya.“Kamu nggak apa apa? Kata ibu asrama kamu melihat maling di asrama?”Alexandra mengangguk dengan tatapan kosong.“Pak Rafael gimana? Keadaan dia gimana, Om?” tanya Alexandra gugup.“Sedang dirawat di UGD. Kamu tidak perlu khawatir.”Beberapa polisi juga sudah ada di sana, kali ini kejahatan bukan hanya sekadar maling pakaian dalam melainkan kasus kekerasan dan penganiyaan juga.Alexandra bersedia menjadi saksi setelah merasa dirinya jauh lebih baik. Dia mengatakan semua yang dia lihat pada polisi dari dia naik ke atas atap sampai dia melihat Rafael jatuh di atas pohon.Setelah polisi pergi, William menghampiri Alexandra.“Malam ini kamu pulang,” k
Thea menyentuh kasur di pinggirnya, dia merasakan kosong sejak tadi malam. Begitu menyadari bahwa William tidak pulang semalaman, dia pun murka.Thea menelpon William tapi tak diangkat oleh lelaki itu.“Dia ada di mana sekarang? Kenapa pergi tanpa pamit!” geram Thea.Sementara itu di hotel tempat William dan Alexandra menginap. Kedua orang itu masih dalam posisi yang sama, saling berpelukan seolah membutuhkan satu sama lain.Meski mendengar ponselnya bergetar, tapi William mengabaikannya. Malahan dia mematikan ponselnya. Melihat Alexandra sudah tidur nyenyak, dia pun menyelimuti Alexandra. Dia bahkan mengusap wajah Alexandra dengan lembut agar gadis itu tidak terbangun.Namun, usaha William gagal. Alexandra membuka matanya dan melihat William sedang mengusap wajahnya.“Tadi om udah janji kan?”William mengangguk.“Maafkan aku,” kata William.Alexandra diam saja.“Om mau aku maafin nggak?”William mengangguk.Alexandra menarik lengan William hingga membuat lelaki itu terjatuh di sampi
Alexandra terbangun ketika merasakan ada yang duduk di sebelahnya. Dan ketika dia menoleh, William sudah duduk dan mengetik sesuatu di ponselnya.“Om sudah pulang?” tanya Alexandra dengan suara mengantuknya. Kepalanya dia letakkan di atas paha William.Tangan kiri William mengusap rambut Alexandra dengan lembut. Dia mengamati wajah gadis itu lalu tersenyum. “Baru setengah jam yang lalu,” jawabnya.“Besok aku mau berangkat sekolah,” katanya.“Iya, besok aku antar.”Alexandra melihat leher William. Berkat keisengannya tadi malam William harus bersusah payah untuk menutupi bekas merah di lehernya. Sementara milik Alexandra juga masih ada bekasnya meski tidak begitu terlihat.“Tadi langsung pulang ke sini?”William mengangguk.“Nggak dicariin?”“Dicariin.”“Terus kata om gimana?”“Aku tidur di luar.”Alexandra sontak duduk dan memandang ngeri William.“Gimana kalau sampai dia tahu Om di sini?”“Emm, kalau tau ya sudah. Memangnya harus bagaimana lagi.”Ada perasaan tak enak ketika William
Alexandra masih di dalam mobil kendati sudah sampai di depan sekolahnya. Setelah berpikir panjang, akhirnya dia memutuskan untuk menginap di asrama mulai malam ini.Dia tak mau kalau sampai William terkena masalah lagi. “Om, boleh minta om Evan bawain barangku yang ada di hotel? Aku mau tinggal di asrama mulai malam ini,” katanya.William terkejut.“Kamu bilang besok menginap di asrama? Nggak apa apa? Gimana sama keamanan dan pencurinya? Pencuri itu belum ditemukan, Lex.”“Nggak apa apa, Om. Nggak mungkin pencurinya muncul kan? Kejadian juga masih baru.”“Kenapa tiba tiba berubah pikiran?”“Aku nggak mau om kenapa-kenapa,” jawab Alexandra. Mengetahui hal tadi, dia sudah tidak mau bersikap egois dan hanya mementingkan perasaannya saja.Lagi pula, dia hanya menyerah untuk saat ini.“Kita cari jalan keluarnya nanti,” kata Alexandra.William mengangguk. “Kalau ada apa apa, kamu harus hubungi aku, oke.”“Iya.” Alexandra membuka sabuk pengamannya. Tapi karena kesulitan William pun membantu
Meski Alexandra sudah tahu jika yang datang malam itu adalah Evan, tapi dalam hati kecilnya dia berharap jika William ikut bersama dengan Evan untuk ke asrama malam itu.“Cuma ini, kan?” tanya Evan.Alexandra mengangguk.“Om kamu nggak bisa ke sini, kamu tau kan?”Alexandra mengangguk lagi.“Om sudah pulang?”“Sudah tadi jam lima, sama Thea,” kata Evan yang jelas membuat Alexandra kepikiran.Membayangkan bagaimana dua mahkluk itu di dalam satu mobil saja membuatnya kesal.“Aneh banget, padahal pagi pagi mereka berantem, tapi sorenya mereka pulang bareng seolah nggak pernah terjadi apa apa.”Alexandra mengulum senyumnya berusaha mencoba untuk menyembunyikan kekecewaannya pada William. Akan tetapi, saat ingat dengan apa yang dialami oleh William. Alexandra mencoba untuk memahaminya.Karena ingat dengan hal itu, Alexandra pun menceritakan apa yang dikatakan oleh William kepadanya tadi pagi.Evan pun terkejut karena William belum menceritakan masalah itu kepadanya.“Jangan jangan sikap me
Alexandra berdiri cukup lama di depan unit apartemen William. Ada banyak keraguan di dalam dirinya untuk memasukkan kode pintu apartemen William.Dulu dia begitu yakin jika membuka pintu apartemennya. Namun saat ini, mengapa dia merasa sangat asing dengan hal itu?“Kenapa? Kamu lupa kodenya? Kalau begitu tekan belnya, Al.”Alexandra menoleh sedikit terkejut dengan ide itu.“Kalau kamu takut menganggu om kamu, biar aku yang menekan belnya dan bilang padanya kalau ….”“Nggak apa apa, Pak. Saya bisa sendiri.”Alexandra memasukkan kode pintu seperti yang terakhir dia tahu. Namun sayangnya kode itu salah dan sudah diganti oleh William.“Kenapa nggak bisa? Apa diganti sama om Will? Tapi kenapa gak bilang sama aku?” gumam Alexandra.Karena panik dan menimbulkan keributan, dari dalam seseorang membuka pintu apartemen William. Alexandra terkejut mendapati seorang perempuan berumur sekitar 40an membuka pintu.“Anda siapa?” tanya Alexandra.“Nona siapa ya?”“Ini apartemen om WIlliam kan?”“Benar
Alexandra tidak dapat tidur malam itu. Banyak hal yang menganggu pikirannya dan yang paling mengusiknya adalah William.William yang Alexandra kenal tidak mungkin bersikap kasar seperti tadi. Mengusirnya, bahkan membentaknya. Ada yang aneh dengan om-nya setelah dia pergi dari apartemen itu.“Tapi kenapa om Evan harus menyembunyikan hal itu? Tunangan? Kapan? Kenapa nggak ada yang ngasih tau aku sama sekali?”Irene yang ada di kasur di samping menoleh merasa terganggu dengan gumaman Alexandra. Dia melirik Alexandra dengan sinis.“Maaf, tapi bisakah kamu tidur? Ini sudah malam dan aku ingin tidur dengan tenang,” katanya dengan datar.“Oh, maaf.” Alexandra mematikan lampunya. Kemudian berusaha sekuat tenaga untuk tidur.Di balik selimutnya, Alexandra mengirimkan pesan pada Evan. Dia meminta Evan untuk mengunjunginya di asrama besok sore setelah pulang sekolah.**Seperti yang Alexandra minta, Evan benar benar pergi ke asrama untuk menemui gadis itu.Dengan wajah yang cemas, Evan masuk ke
Tiga puluh lima tahun kemudian, rumah tepi pantai itu masih berdiri megah dan menawan, dikelilingi oleh pemandangan yang sama indahnya seperti saat Alexandra dan William pertama kali menempatinya. Namun, kini Alexandra telah berusia 65 tahun dan William telah tiada. Di sore hari yang cerah itu, Alexandra duduk di balkon rumahnya, ditemani oleh anak-anak dan cucu-cucunya. Angin laut yang sepoi-sepoi membawa aroma asin yang familiar, membawa kenangan indah bersama William. "Ini benar-benar tempat yang indah, Bu," kata Michael, anak sulung Alexandra. Ia berdiri di sampingnya, memandang laut yang luas. "Aku bisa mengerti mengapa Ayah dan Ibu memilih tinggal di sini." "Ya, Ayahmu dan aku selalu merasa damai di sini," jawab Alexandra sambil tersenyum. "Setiap hari yang kita habiskan di sini adalah anugerah." Cucu-cucunya berlari-larian di pasir putih, tertawa riang. Sarah, cucu tertuanya, mendekati Alexandra dan memeluknya dengan erat. "Nenek, ceritakan lagi tentang kakek. Apa yang palin
William dan Alexandra kini telah menetap di rumah impian mereka yang terletak di pinggir pantai yang indah. Setiap sore, mereka bersama anak mereka menikmati pemandangan matahari terbenam yang mempesona dari balkon rumah mereka. Angin laut yang sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, menambah kenyamanan suasana kebersamaan keluarga kecil ini.Keduanya telah bekerja keras untuk mencapai impian ini, membangun rumah sederhana namun hangat, di mana mereka dapat menjalani kehidupan yang berkualitas bersama anak mereka. William, seorang pengusaha sukses, selalu meluangkan waktu untuk Alexandra dan anak mereka, sementara Alexandra, seorang penulis handal, selalu memastikan bahwa rumah mereka terjaga dan nyaman untuk ditinggali."Indah sekali sore ini," ujar Alexandra sambil memandang matahari yang perlahan-lahan tenggelam di cakrawala."Ya, benar-benar menakjubkan," jawab William. Ia merangkul Alexandra dengan hangat. "Setiap kali melihat pemandangan ini, aku merasa semua kerja keras kita terbayar
Satu minggu kemudian, Alexandra dan William pergi ke taman bermain setelah Alexandra mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Mereka berdua berjalan-jalan di taman yang ramai, menikmati suasana yang ceria."Lex, om sangat bangga padamu. Kamu sudah berusaha keras dan akhirnya mendapatkan nilai yang bagus," ucap William sambil tersenyum pada Alexandra."Terima kasih, Om. Aku senang bisa membuatmu bangga," jawab Alexandra sambil tersenyum cerah.Mereka berdua berjalan-jalan di sekitar taman bermain, melihat anak-anak yang sedang bermain dengan riang. Alexandra merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama William di tempat yang menyenangkan seperti itu.Mereka berdua naik perosotan, bermain ayunan, dan menikmati berbagai permainan di taman bermain. Alexandra merasa sangat bahagia bisa berada di sana bersama William, orang yang sangat ia sayangi.Setelah puas bermain, mereka duduk di bangku taman sambil menikmati pemandangan sekitar. "Terima kasih sudah membawaku ke sini, Om. Aku benar-b
"Lex aku akan pergi ke tempat Sarah. Kamu baik-baik saja kan di sini sendiri?" "Kapan om pulang?" "Mungkin besok pagi.""Hmm baiklah."Saat William hendak pergi dan hendak membuka pintu, tiba-tiba Alexandra merasa pusing yang sangat hebat. Dia mencoba berdiri tetapi kakinya lemas, lalu pingsan di pelukan William."Lex! Lex, bangun!" seru William panik sambil mencoba membangunkan Alexandra. Dia memegang wajah Alexandra dengan lembut, mencari tanda-tanda kesadaran.Karena khawatir terjadi apa-apa pada Alexandra akhirnya William membawanya ke rumah sakit. **Sementara itu, seorang perawat datang untuk membantu. Mereka bersama-sama mengangkat Alexandra ke tempat tidur yang tersedia di ruang gawat darurat.William duduk di samping tempat tidur, wajahnya penuh kekhawatiran. Dia menggenggam tangan Alexandra dengan erat, berharap gadis itu segera sadar.Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Alexandra akhirnya membuka mata. Dia memandang sekeliling dengan bingung, tidak tahu
William tiba di apartemennya setelah seharian kerja. Saat ia memasuki ruang tamu, ia melihat Alexandra tertidur pulas di balkon. Bulan purnama menerangi wajah muda Alexandra yang tenang. William menghampirinya dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkannya. "Dingin sekali di sini," gumam William sambil menyelimuti Alexandra dengan lembut. Gadis itu merasa hangat dan sedikit menggeliat, tetapi tetap tertidur.Setelah meyakinkan diri bahwa Alexandra nyaman dengan selimutnya, William memutuskan untuk membopongnya ke dalam kamar. Tubuh Alexandra yang ringan membuatnya mudah diangkat. Langkahnya pelan, tidak ingin mengganggu tidur Alexandra yang lelap. Sampai di dalam kamar, William meletakkan Alexandra dengan lembut di atas tempat tidur. Ia memandang wajah gadis itu dengan penuh perhatian sejenak, lalu menutup pintu kamar perlahan ketika meninggalkannya untuk tidur dengan tenang.--Malam itu, Alexandra terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Ia tampak gelisah, terli
Evan duduk gelisah di ruang tamu rumahnya, memikirkan nasib Arini yang belum diketahui keberadaannya. Hatinya penuh kekhawatiran dan rasa bersalah karena tidak bisa melindungi Arini. Ponselnya tiba-tiba berdering, mengagetkannya. Dia buru-buru mengambilnya dan melihat panggilan masuk dari nomor polisi.Evan mengangkat telepon, "Halo, ini Evan.""Halo, Pak Evan. Kami dari kepolisian ingin memberitahukan bahwa Arini telah ditemukan. Dia sedang dirawat di rumah sakit setelah mengalami kejadian yang traumatis. Anda bisa menjemputnya di sana."Evan merasa lega, "Oh, syukurlah. Terima kasih banyak atas informasinya. Saya akan segera ke sana."Evan segera mengambil kunci mobilnya dan bergegas ke rumah sakit. Saat tiba di sana, dia langsung menuju ruang perawatan tempat Arini berada. Dia melihat Arini terbaring di tempat tidur, tampak lemah dan pucat, tetapi dia merasa lega melihat Arini selamat.Evan duduk di samping tempat tidur Arini. "Arini. Bagaimana kabarmu?"Arini dengan suara lemah. "
Polisi setelah menerima laporan penculikan dari Evan, segera melakukan penyelidikan dan menemukan keberadaan rumah Edward. Dengan sigap, mereka menggerebek rumah tersebut dengan harapan menemukan Arini.Saat polisi memasuki rumah, mereka menemukan Edward sedang berusaha untuk melarikan diri melalui pintu belakang. Dengan cepat, polisi mengejar dan berusaha menghentikannya. Namun, Edward menolak untuk menyerah dan terus berlari.Dalam keputusasaan, salah satu polisi memutuskan untuk menembak ke arah kaki Edward untuk menghentikannya. Peluru tersebut mengenai kakinya, membuat Edward jatuh tersungkur ke tanah dengan rasa sakit yang luar biasa.Polisi segera menangkap Edward dan memeriksanya untuk memastikan dia tidak membawa senjata atau bahaya lainnya. Setelah yakin aman, mereka membawanya ke mobil patroli dan membawanya ke kantor polisi untuk dimintai keterangan lebih lanjut.Sementara itu, Arini telah dibawa pulang oleh pria yang menolongnya di hutan. Dia merasa lega karena telah sela
Arini duduk tegak di dalam kamar yang gelap dan hening. Dia merasa terjebak dalam situasi yang mencekam dan tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari situasi tersebut. Mendadak, pintu terbuka dan Edward masuk membawa sebuah piring makanan."Dengar, Arini. Aku tidak akan membiarkanmu kelaparan. Silakan makan," ucap Edward dengan suara yang tenang, lalu dia duduk di depan Arini.Arini menatap piring makanan itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa menolak akan membuat situasinya semakin buruk, tetapi dia juga tidak ingin bergantung pada Edward.Tanpa kata, Arini menerima piring makanan itu dari tangan Edward. Dia mencoba untuk memakannya dengan lambat, tetapi perasaannya yang campur aduk membuatnya kesulitan menelan makanan. Akhirnya, rasa mual yang teramat sangat membuatnya tidak tahan lagi, dan dia memuntahkan semua makanan yang sudah dimakan ke piring di hadapannya.Edward terkejut melihat tindakan Arini. "Kenapa kau melakukan itu, Arini? Aku mencoba untuk memperlakukanmu de
Arini merasa panik ketika mobil yang dikemudikan oleh Edward semakin menjauh dari tempat pesta pernikahan. Dia mencoba untuk tetap tenang, tetapi kekhawatirannya semakin memuncak ketika dia menyadari bahwa dia sedang dibawa ke suatu tempat yang tidak diketahuinya.Edward tidak mengucapkan sepatah kata pun selama perjalanan. Arini mencoba mencari peluang untuk melarikan diri, tetapi dia sadar bahwa dia tidak bisa melawan sendirian. Dia merasa semakin terjebak dalam situasi yang mencekam.Setelah beberapa saat, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang besar dan mewah. Edward membawa Arini masuk ke dalam rumah tersebut tanpa berkata apa-apa. Arini mencoba untuk tetap tenang, tetapi ketakutan yang dirasakannya membuatnya gemetar.Di dalam rumah, Arini dibawa ke sebuah ruangan yang gelap. Edward menutup pintu dan duduk di depan Arini dengan tatapan dingin. "Kau tahu mengapa aku membawamu ke sini, kan?" ucap Edward dengan suara yang dingin.Arini menelan ludahnya. "Apa yang kau in