William menyesap anggurnya. Bayangan kejadian beberapa waktu yang lalu benar benar membuatnya gelisah. Dia hampir gila karena sudah mencium Alexandra tadi.Dia lelaki dan dia normal. Tak mungkin dia bisa menolak bibir seorang gadis yang ada di hadapannya.“Boleh kutemani?” Seorang wanita tiba tiba duduk di sebelah William.William mengangguk setelah melihat wajah si wanita sebentar.“Sendirian?”“Kamu bisa melihat sendiri kalau aku duduk sendiri,” balasnya dengan tak minat.Wanita itu terkekeh, kemudian memesan minuman yang sama seperti William.“Mau kutemani juga malam ini? Aku bebas malam ini.”Melirik ke bayangan wanita di sebelahnya. William berpikir jika paras wanita tersebut lumayan cantik. Bibir yang tebal dan penuh dan juga bulu matanya yang lentik. Pakaiannya lumayan terbuka, dengan menunjukkan belahan dadanya.“Boleh,” jawab William. “Tapi aku akan minum satu gelas lagi.”Wanita itu mengangguk, menunggu William minum hingga kemudian mabuk.Setelah mabuk, William dibawa pergi
William mengamati pakaian Alexandra dari atas sampai bawah. Celana jeans yang robek robek, lalu kaos longgar dan rambut panjang yang digerai. Ia baru menyadarinya jika Alexandra memang masih kecil baginya. Tapi mengapa dia melakukan hal itu tadi malam? Perasaan tak enak muncul lagi di benak William.“Kenapa om? Nggak suka aku pakai baju begini?” tanya Alexandra sambil mengenakan sepatu converse nya, dia menoleh ke arah William lalu berdiri.“Nggak, kan wajar kamu masih remaja. Jadi harus pakai pakaian yang sesuai sama usia kamu.”William berjalan mendahului Alexandra, sementara gadis itu mempercepat langkahnya agar bisa berjalan bersama dengan William.William melirik dari atas, ia masih ingat bagaimana dulu keponakannya itu malu jika berjalan di sampingnya. Tapi kini dia memilih berjalan untuk berjalan di sisinya dan begitu percaya diri.“Habis makan kita ke mana?” tanya Alexandra.“Pulang.”“Hah? Pulang? Nggak mau main dulu.”“Mau main ke mana? Aku sudah bohong pada gurumu, Lex.”“Y
“Kamu nggak makan?” tanya William ketika dia sudah mulai mengunyah makanannya. Sementara Alexandra masih membutuhkan jawaban dari William.“Siapa wanita seksi tadi, Om? Kayaknya dekat banget sama Om.”William hampir saja tersedak dengan makanannya. “Dia pemilik hotel ini. Dia mengenalku mungkin dari beberapa berita di media.”Alexandra mengangguk-angguk tapi tak lantas percaya.“Kamu butuh jawaban yang seperti apa? Dia mantan kekasihku? Sementara aku selalu menghabiskan lebih banyak waktu denganmu, Alexandra.”“Benar juga.”William mengangguk-angguk meyakinkan Alexandra.“Tapi dia …”“Karena aku tampan makanya dia ingin mengenalku.”“Baiklah, kalau masalah itu aku nggak bisa menyangkalnya.” Baru lah setelah itu Alexandra baru mau memakan makanannya.William masih tak habis pikir, jika ternyata tadi malam dia menghabiskan satu malamnya bukan dengan wanita penghibur melainkan pemilik hotel. Tak hanya merasa malu, William juga merasa tidak enak karena sudah menganggap Nikita seperti it
Sudah hari ke tujuh William memimpikan Thea, dan itu bukan keinginannya juga untuk memimpikan Thea. Padahal di kehidupan nyata mereka hanya bicara saat ada pekerjaan dan jika itu diperlukan sekali. Karena William selalu meminta Evan untuk mewakilinya.“Kenapa mimpi aneh itu lagi?” gumam William. Dia sudah duduk di tepi ranjang sambil memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Anehnya setelah dia memimpikan Thea, ada perasaan aneh yang mengganjal. Seperti perasaan rindu, padahal setiap hari mereka bertemu.Hari pertama ia bermimpi, rasa itu tidak semenjadi-jadi seperti sekarang. Dia hanya merasa senang melihat Thea. Hari kedua dia ingin selalu melihat Thea. Hingga akhirnya hari ke tujuh, saat dia bermimpi melakukan hubungan intim dengan Thea. Dia merasa hal itu seperti nyata, dan dia merasakan sensasi itu.“Om kenapa?” tanya Alexandra yang tau tau ada di depan William.William menggeleng.“Om sakit? Tapi kepala om dingin banget.”“Bisa buatkan aku teh hangat?”Alexandra pun mengangguk
Alexandra pulang ke rumah pada pukul sembilan malam. Saat dia masuk ke dalam apartemen, dia mendapati di seluruh ruangan masih gelap dan tak ada tanda tanda jika William sudah pulang.“Om Will ke mana? Padahal udah jam sembilan, katanya nggak pulang malam,” gumam Alexandra.Alexandra mencoba untuk mengirimkan pesan pada William tapi satu jam kemudian baru dibalas jika dia akan pulang jam satu malam.Tak terima jika William pulang jam satu, Alexandra pun langsung menghubungi lelaki itu.“Om ada di mana? Memangnya ada golf sampai jam satu?” tanya Alexandra yang mulai curiga pada William.“Aku ada urusan dengan teman temanku. Kamu tidur dulu.”“Teman? Siapa?”“Kamu nggak kenal, Lex,” jawab William yang terdengar lelah.“Baiklah kalau begitu.” Dengan enggan Alexandra menutup teleponnya. Jawaban dari William entah mengapa sama sekali tidak bisa membuatnya merasa lega, malahan dia ingin tahu siapa teman William karena tidak biasanya lelaki itu seperti sekarang.**Di sisi lain, William seda
Paginya, Alexandra yang sudah siap dengan seragam sekolahnya tidak menemukan William ada di mana mana. Padahal biasanya omnya itu duduk di kursi meja makan, atau jika tidak sedang membaca laporan dari tablet di sofa depan kamar.Namun, William kali ini sudah berangkat lebih dulu.Dia meninggalkan secarik kertas di atas meja makan yang bertuliskan jika sarapan sudah dia siapkan. Dia ada urusan mendesak hingga tak bisa pergi mengantarnya sekolah. Sebagai ganti, Evan yang akan datang untuk menjemputnya.Dan benar saja, selang beberapa detik Evan sudah masuk dengan pakaiannya yang rapi.“Ayo, kamu udah siap, kan?” tanya Evan.“Om Will kenapa berangkat pagi pagi, Om?” tanya Alexandra.“Dia ada urusan mendesak katanya.”“Tapi kan… dia bisa bangunin aku.”“Mungkin gak sempat, Lex.”Alexandra langsung turun mood-nya pagi itu gara gara omnya. Padahal dia ingin bersama dengan William sedikit lama. Di dalam mobil pun Alexandra tidak berbicara sama sekali. Dia hanya melamun dan menatap jendela d
Setelah memastikan jika Alexandra sudah tidur malam itu. William bergegas membuka pintu apartemen di mana Thea sudah menunggunya satu jam yang lalu.“Dia udah tidur?” tanya Thea. William mengangguk lalu membawanya ke dalam kamarnya.Setibanya di kamar, Thea langsung mencium bibir William dengan rakus seakan dia sudah tidak bertemu dengan William selama bertahun tahun.“Thea, tunggu dulu,” bisik William. “Jangan sekarang, aku takut kalau Alexandra bangun dan kejadian waktu itu terjadi lagi.”“Kejadian apa? Harusnya kamu sudah waktunya memikirkan dirimu sendiri, Sayang? Sampai kapan kamu harus memikirkan Alexandra?”William mengerutkan keningnya. Dia melihat Thea sudah melucuti pakaiannya sendiri. Thea memagut bibir William dan mendorong lelaki itu ke atas ranjang.“Kunci pintunya,” suruh William.**Pagi harinya, William bangun lebih dulu. Dia menyiapkan sarapan seperti biasa di dapur sambil menunggu Alexandra muncul dari kamarnya.Keluar dari kamarnya, Alexandra pagi itu menggulung ra
Sebuah berita mengejutkan Alexandra siang itu. Alih alih tahu sendiri, tapi Alexandra tahu dari temannya, Emily.“Lex! Alex!” teriak Emily begitu masuk di kelas. Dia baru saja dari kantin setelah istirahat.Alexandra yang sedang mencari cari buku sketsanya tidak menghiraukan Emily.“Lex! Kamu udah tau belum!”“Apa sih?” Alexandra masih belum minat.“Kelihatannya kamu belum tau.”“Tau apa?”“Nih!” Emily menyodorkan ponselnya pada Alexandra. Lalu sebuah headline membuat hati Alexandra terasa seperti ada yang mencabik-cabik.“Ini apartemen kamu, kan? Aku ingat banget soalnya pot sama bunganya sama! Terus ini? Foto cowok yang diblur, om William kan?”Wajah Alexandra merah padam. Dia ingat jika pakaian yang dipakai oleh William adalah kaos berwarna putih dan celana panjang berwarna hitam polos. “Lex!”“Aku… aku nggak tau.”“Katanya pacarnya om William,” kata Emily sambil menatap wajah Alexandra yang tiba tiba menjadi pucat.“Semalam dia nginap di apartemen Om William. Kamu nggak tau? Se
Tiga puluh lima tahun kemudian, rumah tepi pantai itu masih berdiri megah dan menawan, dikelilingi oleh pemandangan yang sama indahnya seperti saat Alexandra dan William pertama kali menempatinya. Namun, kini Alexandra telah berusia 65 tahun dan William telah tiada. Di sore hari yang cerah itu, Alexandra duduk di balkon rumahnya, ditemani oleh anak-anak dan cucu-cucunya. Angin laut yang sepoi-sepoi membawa aroma asin yang familiar, membawa kenangan indah bersama William. "Ini benar-benar tempat yang indah, Bu," kata Michael, anak sulung Alexandra. Ia berdiri di sampingnya, memandang laut yang luas. "Aku bisa mengerti mengapa Ayah dan Ibu memilih tinggal di sini." "Ya, Ayahmu dan aku selalu merasa damai di sini," jawab Alexandra sambil tersenyum. "Setiap hari yang kita habiskan di sini adalah anugerah." Cucu-cucunya berlari-larian di pasir putih, tertawa riang. Sarah, cucu tertuanya, mendekati Alexandra dan memeluknya dengan erat. "Nenek, ceritakan lagi tentang kakek. Apa yang palin
William dan Alexandra kini telah menetap di rumah impian mereka yang terletak di pinggir pantai yang indah. Setiap sore, mereka bersama anak mereka menikmati pemandangan matahari terbenam yang mempesona dari balkon rumah mereka. Angin laut yang sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, menambah kenyamanan suasana kebersamaan keluarga kecil ini.Keduanya telah bekerja keras untuk mencapai impian ini, membangun rumah sederhana namun hangat, di mana mereka dapat menjalani kehidupan yang berkualitas bersama anak mereka. William, seorang pengusaha sukses, selalu meluangkan waktu untuk Alexandra dan anak mereka, sementara Alexandra, seorang penulis handal, selalu memastikan bahwa rumah mereka terjaga dan nyaman untuk ditinggali."Indah sekali sore ini," ujar Alexandra sambil memandang matahari yang perlahan-lahan tenggelam di cakrawala."Ya, benar-benar menakjubkan," jawab William. Ia merangkul Alexandra dengan hangat. "Setiap kali melihat pemandangan ini, aku merasa semua kerja keras kita terbayar
Satu minggu kemudian, Alexandra dan William pergi ke taman bermain setelah Alexandra mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Mereka berdua berjalan-jalan di taman yang ramai, menikmati suasana yang ceria."Lex, om sangat bangga padamu. Kamu sudah berusaha keras dan akhirnya mendapatkan nilai yang bagus," ucap William sambil tersenyum pada Alexandra."Terima kasih, Om. Aku senang bisa membuatmu bangga," jawab Alexandra sambil tersenyum cerah.Mereka berdua berjalan-jalan di sekitar taman bermain, melihat anak-anak yang sedang bermain dengan riang. Alexandra merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama William di tempat yang menyenangkan seperti itu.Mereka berdua naik perosotan, bermain ayunan, dan menikmati berbagai permainan di taman bermain. Alexandra merasa sangat bahagia bisa berada di sana bersama William, orang yang sangat ia sayangi.Setelah puas bermain, mereka duduk di bangku taman sambil menikmati pemandangan sekitar. "Terima kasih sudah membawaku ke sini, Om. Aku benar-b
"Lex aku akan pergi ke tempat Sarah. Kamu baik-baik saja kan di sini sendiri?" "Kapan om pulang?" "Mungkin besok pagi.""Hmm baiklah."Saat William hendak pergi dan hendak membuka pintu, tiba-tiba Alexandra merasa pusing yang sangat hebat. Dia mencoba berdiri tetapi kakinya lemas, lalu pingsan di pelukan William."Lex! Lex, bangun!" seru William panik sambil mencoba membangunkan Alexandra. Dia memegang wajah Alexandra dengan lembut, mencari tanda-tanda kesadaran.Karena khawatir terjadi apa-apa pada Alexandra akhirnya William membawanya ke rumah sakit. **Sementara itu, seorang perawat datang untuk membantu. Mereka bersama-sama mengangkat Alexandra ke tempat tidur yang tersedia di ruang gawat darurat.William duduk di samping tempat tidur, wajahnya penuh kekhawatiran. Dia menggenggam tangan Alexandra dengan erat, berharap gadis itu segera sadar.Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Alexandra akhirnya membuka mata. Dia memandang sekeliling dengan bingung, tidak tahu
William tiba di apartemennya setelah seharian kerja. Saat ia memasuki ruang tamu, ia melihat Alexandra tertidur pulas di balkon. Bulan purnama menerangi wajah muda Alexandra yang tenang. William menghampirinya dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkannya. "Dingin sekali di sini," gumam William sambil menyelimuti Alexandra dengan lembut. Gadis itu merasa hangat dan sedikit menggeliat, tetapi tetap tertidur.Setelah meyakinkan diri bahwa Alexandra nyaman dengan selimutnya, William memutuskan untuk membopongnya ke dalam kamar. Tubuh Alexandra yang ringan membuatnya mudah diangkat. Langkahnya pelan, tidak ingin mengganggu tidur Alexandra yang lelap. Sampai di dalam kamar, William meletakkan Alexandra dengan lembut di atas tempat tidur. Ia memandang wajah gadis itu dengan penuh perhatian sejenak, lalu menutup pintu kamar perlahan ketika meninggalkannya untuk tidur dengan tenang.--Malam itu, Alexandra terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Ia tampak gelisah, terli
Evan duduk gelisah di ruang tamu rumahnya, memikirkan nasib Arini yang belum diketahui keberadaannya. Hatinya penuh kekhawatiran dan rasa bersalah karena tidak bisa melindungi Arini. Ponselnya tiba-tiba berdering, mengagetkannya. Dia buru-buru mengambilnya dan melihat panggilan masuk dari nomor polisi.Evan mengangkat telepon, "Halo, ini Evan.""Halo, Pak Evan. Kami dari kepolisian ingin memberitahukan bahwa Arini telah ditemukan. Dia sedang dirawat di rumah sakit setelah mengalami kejadian yang traumatis. Anda bisa menjemputnya di sana."Evan merasa lega, "Oh, syukurlah. Terima kasih banyak atas informasinya. Saya akan segera ke sana."Evan segera mengambil kunci mobilnya dan bergegas ke rumah sakit. Saat tiba di sana, dia langsung menuju ruang perawatan tempat Arini berada. Dia melihat Arini terbaring di tempat tidur, tampak lemah dan pucat, tetapi dia merasa lega melihat Arini selamat.Evan duduk di samping tempat tidur Arini. "Arini. Bagaimana kabarmu?"Arini dengan suara lemah. "
Polisi setelah menerima laporan penculikan dari Evan, segera melakukan penyelidikan dan menemukan keberadaan rumah Edward. Dengan sigap, mereka menggerebek rumah tersebut dengan harapan menemukan Arini.Saat polisi memasuki rumah, mereka menemukan Edward sedang berusaha untuk melarikan diri melalui pintu belakang. Dengan cepat, polisi mengejar dan berusaha menghentikannya. Namun, Edward menolak untuk menyerah dan terus berlari.Dalam keputusasaan, salah satu polisi memutuskan untuk menembak ke arah kaki Edward untuk menghentikannya. Peluru tersebut mengenai kakinya, membuat Edward jatuh tersungkur ke tanah dengan rasa sakit yang luar biasa.Polisi segera menangkap Edward dan memeriksanya untuk memastikan dia tidak membawa senjata atau bahaya lainnya. Setelah yakin aman, mereka membawanya ke mobil patroli dan membawanya ke kantor polisi untuk dimintai keterangan lebih lanjut.Sementara itu, Arini telah dibawa pulang oleh pria yang menolongnya di hutan. Dia merasa lega karena telah sela
Arini duduk tegak di dalam kamar yang gelap dan hening. Dia merasa terjebak dalam situasi yang mencekam dan tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari situasi tersebut. Mendadak, pintu terbuka dan Edward masuk membawa sebuah piring makanan."Dengar, Arini. Aku tidak akan membiarkanmu kelaparan. Silakan makan," ucap Edward dengan suara yang tenang, lalu dia duduk di depan Arini.Arini menatap piring makanan itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa menolak akan membuat situasinya semakin buruk, tetapi dia juga tidak ingin bergantung pada Edward.Tanpa kata, Arini menerima piring makanan itu dari tangan Edward. Dia mencoba untuk memakannya dengan lambat, tetapi perasaannya yang campur aduk membuatnya kesulitan menelan makanan. Akhirnya, rasa mual yang teramat sangat membuatnya tidak tahan lagi, dan dia memuntahkan semua makanan yang sudah dimakan ke piring di hadapannya.Edward terkejut melihat tindakan Arini. "Kenapa kau melakukan itu, Arini? Aku mencoba untuk memperlakukanmu de
Arini merasa panik ketika mobil yang dikemudikan oleh Edward semakin menjauh dari tempat pesta pernikahan. Dia mencoba untuk tetap tenang, tetapi kekhawatirannya semakin memuncak ketika dia menyadari bahwa dia sedang dibawa ke suatu tempat yang tidak diketahuinya.Edward tidak mengucapkan sepatah kata pun selama perjalanan. Arini mencoba mencari peluang untuk melarikan diri, tetapi dia sadar bahwa dia tidak bisa melawan sendirian. Dia merasa semakin terjebak dalam situasi yang mencekam.Setelah beberapa saat, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang besar dan mewah. Edward membawa Arini masuk ke dalam rumah tersebut tanpa berkata apa-apa. Arini mencoba untuk tetap tenang, tetapi ketakutan yang dirasakannya membuatnya gemetar.Di dalam rumah, Arini dibawa ke sebuah ruangan yang gelap. Edward menutup pintu dan duduk di depan Arini dengan tatapan dingin. "Kau tahu mengapa aku membawamu ke sini, kan?" ucap Edward dengan suara yang dingin.Arini menelan ludahnya. "Apa yang kau in