William mengamati pakaian Alexandra dari atas sampai bawah. Celana jeans yang robek robek, lalu kaos longgar dan rambut panjang yang digerai. Ia baru menyadarinya jika Alexandra memang masih kecil baginya. Tapi mengapa dia melakukan hal itu tadi malam? Perasaan tak enak muncul lagi di benak William.“Kenapa om? Nggak suka aku pakai baju begini?” tanya Alexandra sambil mengenakan sepatu converse nya, dia menoleh ke arah William lalu berdiri.“Nggak, kan wajar kamu masih remaja. Jadi harus pakai pakaian yang sesuai sama usia kamu.”William berjalan mendahului Alexandra, sementara gadis itu mempercepat langkahnya agar bisa berjalan bersama dengan William.William melirik dari atas, ia masih ingat bagaimana dulu keponakannya itu malu jika berjalan di sampingnya. Tapi kini dia memilih berjalan untuk berjalan di sisinya dan begitu percaya diri.“Habis makan kita ke mana?” tanya Alexandra.“Pulang.”“Hah? Pulang? Nggak mau main dulu.”“Mau main ke mana? Aku sudah bohong pada gurumu, Lex.”“Y
“Kamu nggak makan?” tanya William ketika dia sudah mulai mengunyah makanannya. Sementara Alexandra masih membutuhkan jawaban dari William.“Siapa wanita seksi tadi, Om? Kayaknya dekat banget sama Om.”William hampir saja tersedak dengan makanannya. “Dia pemilik hotel ini. Dia mengenalku mungkin dari beberapa berita di media.”Alexandra mengangguk-angguk tapi tak lantas percaya.“Kamu butuh jawaban yang seperti apa? Dia mantan kekasihku? Sementara aku selalu menghabiskan lebih banyak waktu denganmu, Alexandra.”“Benar juga.”William mengangguk-angguk meyakinkan Alexandra.“Tapi dia …”“Karena aku tampan makanya dia ingin mengenalku.”“Baiklah, kalau masalah itu aku nggak bisa menyangkalnya.” Baru lah setelah itu Alexandra baru mau memakan makanannya.William masih tak habis pikir, jika ternyata tadi malam dia menghabiskan satu malamnya bukan dengan wanita penghibur melainkan pemilik hotel. Tak hanya merasa malu, William juga merasa tidak enak karena sudah menganggap Nikita seperti it
Sudah hari ke tujuh William memimpikan Thea, dan itu bukan keinginannya juga untuk memimpikan Thea. Padahal di kehidupan nyata mereka hanya bicara saat ada pekerjaan dan jika itu diperlukan sekali. Karena William selalu meminta Evan untuk mewakilinya.“Kenapa mimpi aneh itu lagi?” gumam William. Dia sudah duduk di tepi ranjang sambil memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Anehnya setelah dia memimpikan Thea, ada perasaan aneh yang mengganjal. Seperti perasaan rindu, padahal setiap hari mereka bertemu.Hari pertama ia bermimpi, rasa itu tidak semenjadi-jadi seperti sekarang. Dia hanya merasa senang melihat Thea. Hari kedua dia ingin selalu melihat Thea. Hingga akhirnya hari ke tujuh, saat dia bermimpi melakukan hubungan intim dengan Thea. Dia merasa hal itu seperti nyata, dan dia merasakan sensasi itu.“Om kenapa?” tanya Alexandra yang tau tau ada di depan William.William menggeleng.“Om sakit? Tapi kepala om dingin banget.”“Bisa buatkan aku teh hangat?”Alexandra pun mengangguk
Alexandra pulang ke rumah pada pukul sembilan malam. Saat dia masuk ke dalam apartemen, dia mendapati di seluruh ruangan masih gelap dan tak ada tanda tanda jika William sudah pulang.“Om Will ke mana? Padahal udah jam sembilan, katanya nggak pulang malam,” gumam Alexandra.Alexandra mencoba untuk mengirimkan pesan pada William tapi satu jam kemudian baru dibalas jika dia akan pulang jam satu malam.Tak terima jika William pulang jam satu, Alexandra pun langsung menghubungi lelaki itu.“Om ada di mana? Memangnya ada golf sampai jam satu?” tanya Alexandra yang mulai curiga pada William.“Aku ada urusan dengan teman temanku. Kamu tidur dulu.”“Teman? Siapa?”“Kamu nggak kenal, Lex,” jawab William yang terdengar lelah.“Baiklah kalau begitu.” Dengan enggan Alexandra menutup teleponnya. Jawaban dari William entah mengapa sama sekali tidak bisa membuatnya merasa lega, malahan dia ingin tahu siapa teman William karena tidak biasanya lelaki itu seperti sekarang.**Di sisi lain, William seda
Paginya, Alexandra yang sudah siap dengan seragam sekolahnya tidak menemukan William ada di mana mana. Padahal biasanya omnya itu duduk di kursi meja makan, atau jika tidak sedang membaca laporan dari tablet di sofa depan kamar.Namun, William kali ini sudah berangkat lebih dulu.Dia meninggalkan secarik kertas di atas meja makan yang bertuliskan jika sarapan sudah dia siapkan. Dia ada urusan mendesak hingga tak bisa pergi mengantarnya sekolah. Sebagai ganti, Evan yang akan datang untuk menjemputnya.Dan benar saja, selang beberapa detik Evan sudah masuk dengan pakaiannya yang rapi.“Ayo, kamu udah siap, kan?” tanya Evan.“Om Will kenapa berangkat pagi pagi, Om?” tanya Alexandra.“Dia ada urusan mendesak katanya.”“Tapi kan… dia bisa bangunin aku.”“Mungkin gak sempat, Lex.”Alexandra langsung turun mood-nya pagi itu gara gara omnya. Padahal dia ingin bersama dengan William sedikit lama. Di dalam mobil pun Alexandra tidak berbicara sama sekali. Dia hanya melamun dan menatap jendela d
Setelah memastikan jika Alexandra sudah tidur malam itu. William bergegas membuka pintu apartemen di mana Thea sudah menunggunya satu jam yang lalu.“Dia udah tidur?” tanya Thea. William mengangguk lalu membawanya ke dalam kamarnya.Setibanya di kamar, Thea langsung mencium bibir William dengan rakus seakan dia sudah tidak bertemu dengan William selama bertahun tahun.“Thea, tunggu dulu,” bisik William. “Jangan sekarang, aku takut kalau Alexandra bangun dan kejadian waktu itu terjadi lagi.”“Kejadian apa? Harusnya kamu sudah waktunya memikirkan dirimu sendiri, Sayang? Sampai kapan kamu harus memikirkan Alexandra?”William mengerutkan keningnya. Dia melihat Thea sudah melucuti pakaiannya sendiri. Thea memagut bibir William dan mendorong lelaki itu ke atas ranjang.“Kunci pintunya,” suruh William.**Pagi harinya, William bangun lebih dulu. Dia menyiapkan sarapan seperti biasa di dapur sambil menunggu Alexandra muncul dari kamarnya.Keluar dari kamarnya, Alexandra pagi itu menggulung ra
Sebuah berita mengejutkan Alexandra siang itu. Alih alih tahu sendiri, tapi Alexandra tahu dari temannya, Emily.“Lex! Alex!” teriak Emily begitu masuk di kelas. Dia baru saja dari kantin setelah istirahat.Alexandra yang sedang mencari cari buku sketsanya tidak menghiraukan Emily.“Lex! Kamu udah tau belum!”“Apa sih?” Alexandra masih belum minat.“Kelihatannya kamu belum tau.”“Tau apa?”“Nih!” Emily menyodorkan ponselnya pada Alexandra. Lalu sebuah headline membuat hati Alexandra terasa seperti ada yang mencabik-cabik.“Ini apartemen kamu, kan? Aku ingat banget soalnya pot sama bunganya sama! Terus ini? Foto cowok yang diblur, om William kan?”Wajah Alexandra merah padam. Dia ingat jika pakaian yang dipakai oleh William adalah kaos berwarna putih dan celana panjang berwarna hitam polos. “Lex!”“Aku… aku nggak tau.”“Katanya pacarnya om William,” kata Emily sambil menatap wajah Alexandra yang tiba tiba menjadi pucat.“Semalam dia nginap di apartemen Om William. Kamu nggak tau? Se
Kata kata terakhir ibunya bukanlah sebuah kata manis yang menghiburnya. Melainkan sebuah ancaman halus yang membuat William bingung harus memutuskan harus menikah dengan Thea atau mengirim Alexandra kuliah keluar negeri.“Nanti William beri kabar ibu.”“Janji?”“Iya Bu, William janji.”William mengempaskan dirinya di kursi. Dia terhenyak dan pusing bagaimana bisa foto seperti itu bisa terekspos mengingat selama ini tidak pernah ada kabar mengenai dirinya tersebar di internet.“Jadi, apakah berita ini harus ditutup, Pak?”William mendongak.“Kalau aku menutupnya apakah keadaan bisa membaik?”Evan tidak tahu harus menjawab apa pada William. Jadi dia hanya menelengkan kepalanya dengan ekspresi wajah yang bingung.“Aku akan menjemput Alexandra,” kata William. “Dan langsung pulang.”Evan mengangguk mengerti.Saat membuka pintu, William melihat Thea memandangnya dengan ekspresi yang panik dan gelisah.“Bagaimana ini?” tanya Thea. Dia memegang kedua tangan William.“Jaga sikapmu, Thea. Kita