Jakarta, 2021
Tahun demi tahun berlalu, banyak yang berubah.
Air, dia bukan lagi seorang anak kecil yang ‘ingin main terus’. Dia juga bukan lagi anak nakal yang suka mengganggu anjing tetangganya. Tapi, kini, penampilannya malah seperti anak nakal. Ralat, remaja nakal. Rambut yang dipotong dengan jalan tikus di samping, ditambah anting bulat di telinga.
Masa pertumbuhan membuat fisik Air juga banyak berubah. Tubuhnya yang dulu pendek dan kurus, kini tinggi dan lebih berisi. Tangannya berurat, pun lehernya. Wajahnya… semakin tampan. Tidak heran, kini dia menjadi laki-laki paling diincar oleh kaum hawa di SMA-nya.
Sikap dan sifatnya juga berubah. Dia yang dulunya cerewet dan banyak bicara, kini jadi malas bicara—kecuali pada Mika. Dia lebih tertutup sekarang—kecuali pada Mika, lagi. Dia juga tidak peduli pada hal-hal tidak penting—lagi-lagi kecuali pada Mika, sebab Mika adalah orang paling penting di hidupnya.
Air yang dulu ingin punya banyak teman, ingin bermain bersama semua orang, kini tidak lagi demikian. Dia lebih memilih menyendiri—menyendiri bersama Mika. Dia menjadikan Mika teman satu-satunya. Teman, sahabat, saudara, dan cintanya.
Sedangkan Mika…, dia juga banyak berubah. Mika bukan lagi anak perempuan penakut—walau sampai sekarang dia masih hanya bisa tidur dengan bantuan Air. Dia bukan lagi anak lemah, dia sudah bisa melindungi diri sendiri sekarang. Tapi, sikap dan sifatnya tidak banyak berubah seperti Air. Dia tetap Mika yang tidak bisa bergaul dengan orang lain, selain Air. Dia tetap Mika yang malas berinteraksi dengan orang lain, selain Air. Dia tetap Mika yang masih takut berlebihan terhadap ‘kehilangan’.
Hari itu, Air baru menginjakkan kakinya di rumah pukul 21.00. Dia baru selesai dengan kegiatan futsalnya. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumah. Keningnya berkerut. Rumahnya terlihat sangat sepi.
Di mana semua orang?
Dia mengedikkan bahunya, berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Satu tangannya memeluk bola, sedangkan satunya lagi menggulir layar handphone-nya. Dia membaca rentetan pesan dari Mika yang dikirim hari ini, tepatnya pukul 00.00.
Mika ♡
Happy birthday, Airrrrrrrr!
Happy birthday, happy birthday to you!!!
Love u, hehe.
Laki-laki itu menggigit bibir atasnya, menahan senyum. Dia tidak mau CCTV di rumahnya menjadi saksi bisu ketidakwarasannya. Pesan Mika yang satu itu benar-benar membuatnya tidak waras.
Love you too, Mika.
Dia baru akan membuka pintu kamarnya sebelum matanya menangkap secarik kertas di depan kakinya. Ujung bibirnya tertarik sedikit. Dia tahu itu adalah sebuah surat. Tanpa buang-buang waktu, dia meraih kertas tersebut dan membaca isinya.
Jakarta, April 2021
Dear My Dearest Air,
Hai! Happy birthday, Isa Airlangga! Selamat ulang tahun, Air, komponen tak hidup tapi hidup yang paling penting dalam hidupku. Selamat ulang tahun, cowok taurus!! Selamat 18 tahun, ya…
Mmm… mau bilang apa, ya? Hehehe. Mau bilang terima kasih, deh. Terima kasih karena udah mau bertahan hidup sampai sekarang. Aku nggak tahu gimana aku kalo kamu nggak ada. Aku hidup karena kamu hidup.
Sehat selalu, ya. Panjang umur! Jaga aku selalu :) Jangan pergi.
I love youuuu. So much.
Mika
Kali ini Air tidak bisa menahan senyumnya. Senyumnya merekah begitu saja. Mika… selalu punya cara membuat Air semakin mencintainya.
Surat itu dia lipat serapi mungkin, kemudian dia masukkan ke dalam saku celananya. Surat-surat dari Mika selalu dia kumpulkan di dalam sebuah kotak. Dia mengingatkan dirinya berkali-kali untuk memasukkan surat barusan ke dalam kotak tersebut.
Tangannya bergerak membuka pintu kamarnya.
Gelap gulita.
Tapi, ada beberapa titik cahaya oranye di depannya.
Dia mengernyit, kemudian menekan saklar lampu kamarnya. Matanya melebar kaget begitu lampu menyala. Bola di tangannya jatuh.
Di depannya, Mika dengan kue di tangannya, Papanya, dan Damian—kakak pertama dan saudara satu-satunya—berdiri. Mereka bertiga sontak menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun. Air terkekeh, dia terharu.
Mika menyodorkan kue dengan lilin-lilin yang menyala itu padanya. Dengan sigap, dia meniup lilin-lilin tersebut hingga padam. Tepuk tangan menyusul.
“Thank you, Mikaaa. Thank you, Papa. Thank you, Dam—sejak kapan, sih, lo datang? Gue kaget.”
“Sejak tadi,” Dami menjawab pendek. Sejak Mama mereka meninggal, dia memutuskan untuk sekolah di luar negeri, tepatnya di San Francisco—tempat kelahiran Mamanya. “Udah selesai, kan, ‘birthday party’ lo? Gue mau tidur. Ngantuk.”
Air mengangguk, membiarkan Dami beranjak keluar dari kamarnya. Dia tahu, Dami pergi bukan karena mengantuk, tapi karena kakaknya itu tidak tahan berlama-lama di dekat Papanya. Dia menatap Papanya yang melemparkan senyum maklum.
Mika yang sadar suasana berubah, menyenggol lengan Air. “Lihat, dong, kue buatan aku!” Dia menunjuk kue yang sudah dia letakkan di atas meja belajar Air. “Seminggu yang lalu, waktu aku ulang tahun, kamu bikinin aku kue sendiri, kan? Aku nggak mau kalah, jadi aku bikinin kue sendiri juga buat ulang tahun kamu.” Kue hasil tangan Mika terlihat sederhana dan rapi, tidak seperti kue buatan Air waktu itu—berantakan, walau rasanya lumayan enak.
Air tersenyum geli. Dia menarik Mika ke dalam pelukannya. Puncak kepala gadis itu dia kecup gemas berulang kali, membuat Papanya melotot.
“Kalo mau cium-cium, tunggu Papa keluar dulu, lah,” protes Bimawa.
“Iyaaa, iya. Ribet, deh, orangtua.”
Bimawa mengelus dadanya, mencoba sabar dengan kelakuan anak bungsunya itu. “Papa keluar, nih. Eh, tapi sebelum itu, kamu beneran nggak mau hadiah apa-apa tahun ini? Mungkin mau mobil?”
“Nggak. Hadiah yang Air mau, masih sama kayak tahun-tahun sebelumnya, Pa. Air cuma mau Mika.”
Bimawa tersenyum mengerti. Dia segera meninggalkan kamar Air. Anaknya itu… benar-benar sedang jatuh cinta.
***
“Kamu nginep di sini?” Air bertanya sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Dia melirik Mika yang masih sibuk dengan handphone di tempat tidurnya. Sepertinya gadis itu tidak mendengarkan pertanyaannya. “Mikaaaa,” panggilnya.
“Hah?? Apaaa?”
“Kamu nginep di sini??” dia mengulang pertanyaannya.
“Nggak tahu. Kalo kamu nggak mau aku nginep, berarti kita tidur di rumahku.”
Air terkekeh mendengar itu. Setelah dirasa rambutnya sudah kering, dia segera bergabung dengan Mika di tempat tidur. Tangannya melingkar di pinggang sahabatnya itu. Dia menggunakan kesempatan ini untuk menghirup dalam-dalam wangi rambut Mika. Wangi bunga dan buah bercampur menjadi satu.
“Kamu lagi ngapain, sih??” tanya Air penasaran. Dilihat-lihat, sedari tadi Mika tak melepaskan matanya dari handphone-nya.
“Lagi lihat info jurusan kuliah.”
“Kamu udah mikirin kuliah?”
Mika menoleh. “Emang kamu belum?”
“Udah, sih. Aku, kan, mau masuk arsitektur.”
“Nah, aku yang belum. Dari SMP sampai SMA aku selalu ngikut kamu. Tapi kuliah nggak bisa lagi. Aku nggak minat masuk arsitektur, nggak bisa gambar.”
Air mengangguk paham. Dia tersenyum. Tangannya mengusap lembut pipi Mika. “Mika-nya Air udah dewasa, ya.” Jika dulu Mika mati-matian harus duduk di bangku sekolah yang sama dengannya, kini tidak lagi demikian. Mika sudah bisa menentukan pilihannya sendiri. Lebih tepatnya, dia sudah berani untuk ‘sedikit jauh’ dari Air.
“Jadi, kamu mau ambil jurusan apa?”
“Sastra Indonesia. What do you think?”
“Cool!” Jurusan yang benar-benar cocok dengan Mika. Sebab, gadis itu suka menulis, juga suka membaca.
“Kamu udah bilang ke Ayah dan Bundamu? Gimanapun juga, mereka yang bakal biayain kuliah kamu. Ya… siapa tahu mereka nggak setuju kamu ambil jurusan itu?”
Pertanyaan Air membuat Mika terdiam. Air mukanya berubah. Dia menghela napas panjang. Topik ini sangat sensitif untuknya. “Kamu emang bener, mereka yang bakal biayain kuliahku. Tapi, mereka nggak bakal peduli aku ambil jurusan apa, Air. Yang penting di otak mereka adalah mereka udah ngirim uang buat hidupku. Kan, selama ini juga gitu.”
“Mika…, kamu masih benci mereka?”
Mika mengangguk tanpa ragu.
“Kamu ngingetin aku sama Dami. Dami masih benci Papa sampai sekarang. Dia belum rela dan ikhlas. Dia terus-terusan nyalahin Papa atas kecelakaan pesawat Mama. Emang benar, kalo waktu itu Papa nggak berantem sama Mama cuma karena hal sepele, mungkin Mama nggak bakal sakit hati terus milih pergi dari rumah buat pulang ke San Francisco dan akhirnya jadi salah satu penumpang pesawat yang jatuh itu. Memang itu salah Papa. Tapi bukan salah Papa kalau pesawat itu jatuh. Udah takdirnya begitu.” Air menarik napas dalam.
“Awalnya aku sama kayak Dami, nyalahin Papa dan benci Papa. Tapi itu cuma berlangsung satu minggu. Lama-lama aku belajar merelakan. Karena, kalau aku nggak rela, aku bakal mimpi buruk terus seperti tiga hari pertama setelah kepergian Mama. Aku bakal mimpi buruk terus tentang pesawat yang jatuh, dan Mama yang berteriak minta tolong dengan tubuh yang hampir hancur lebur. Itu nyakitin, banget, Mika.”
Dia memeluk Mika semakin erat. “Kenapa aku bilang ini ke kamu? Karena aku tahu, kamu selalu nggak bisa tidur karena bayangan orangtuamu yang kamu benci itu selalu muncul. Kalo kamu bisa merelakan mereka pelan-pelan, pasti bagus.”
“Apa yang harus aku relakan dari mereka, sih, Air? Merelakan perlakuan mereka ke aku? Nerima diriku yang faktanya dibuang sama mereka?” Mika bertanya dengan getaran samar di suaranya.
“Iya. Persetan dengan mereka yang memperlakukan kamu dengan nggak baik. Persetan dengan mereka yang ngebuang kamu. Kamu harus rela dan terima fakta itu. Dengan gitu, kamu bakal mulai terbiasa. Kamu nggak usah fokus sama orang-orang yang menurutmu nggak baik. Nggak ada gunanya, cuma bikin kepikiran. Cukup fokus sama orang-orang yang sayang sama kamu. Ada aku, ada Papa. Ayah dan Bunda kamu emang ninggalin kamu, tapi aku… nggak akan pernah.”
Mika mengangguk, air matanya yang sedari tadi tertampung di pelupuk matanya, hampir meluruh. “Kamu udah janji soal itu.”
“Iya. Dan aku nggak bakal ingkarin itu. Kamu juga, nggak boleh tinggalin aku.”
“Kamu suka aku, Air?”
Air mengangguk.
“Kamu sayang aku, Air?”
“Selalu.”
“Kamu cinta aku, Air?
“Selamanya.”
“Terus kenapa kita nggak pacaran?” Mika bertanya, iseng.
Air mendelik. “Kan, kamu yang nggak mau.”
Mika terkekeh pelan. “Emang, sih. Kalo pacaran terus putus, nanti nggak bisa temenan lagi, sama kayak anak di kelas aku, tuh. Lagian, kita nggak pacaran aja, kelakuannya udah kayak orang pacaran.”
Tawa Air meledak. “Itu tahu. Nggak pacaran juga kamu udah milik aku, kok.”
“Sampai kapan?”
“Sampai bumi berubah jadi matahari, Mikaaa. Udah, ah, ayo tidur.” Laki-laki itu mengecup pelan bekas jahitan di pelipis Mika. “Selamat tidur. Thank you for today. Mimpiin kita, ya.”
Jakarta, 2024Now.Tidak ada yang begitu spesial dari masa kuliah. Hanya datang ke kampus, mengikuti kuliah, rapat organisasi, lalu pulang dan mengerjakan tugas. Itu menurut Air.Dia melangkah masuk ke gedung jurusannya—teknik arsitektur. Terlalu banyak orang berlalu-lalang di sekitarnya. Dia menunduk, menghindari tatapan orang-orang yang tertuju padanya.Tinggal beberapa langkah lagi dia sampai di ruang kelasnya, punggungnya ditepuk dari belakang. Dia menghentikan langkahnya. Tanpa perlu mencari tahu siapa yang menepuk punggungnya, dia sudah tahu orangnya.“Morning, friend!” orang itu menyapa riang.“Gue bukan temen lo,” Air menyahut malas.“Terus apa? Pacar lo?”Air mendelik. Tidak mau repot-repot membalas sesuatu yang tidak penting, dia lanjut berjalan memasuki ruang kelasnya—diikuti orang tadi dari belakang.Sejak awal duduk di bangku kuliah sampai sekarang, Air masih tidak paham, kenapa setiap dirinya masuk ke kelas, semua mata akan tertuju padanya. Dia tidak nyaman dengan itu. D
Sepasang mata itu mengerjap pelan, menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Rasa pusing tiba-tiba menyerbu, membuat kedua alis itu tertekuk dalam. Mika merutuk dalam hati, kepalanya pusing pasti karena dia tidur terlalu lama.Gadis itu menatap jam dinding dengan nyawa yang baru terkumpul 50%. Pukul 20.00. Dia meringis pelan. Ternyata benar, dia tidur terlalu lama.Kepalanya lalu menoleh ke kanan, saat itu juga nyawanya terkumpul sempurna. Matanya membelalak.“BAJU LO MANA?!”Air yang sedang berdiri membelakangi tempat tidur, berjengit kaget. Dia refleks memutar badannya ke belakang—menghadap tempat tidur.“KENAPA MALAH MADEP SINI, SIH?!” Mika menutup kedua matanya segera. Apa salahnya hingga dia harus melihat Air dengan tubuh bagian atas tidak tertutupi sehelai kain pun?“Apa kamu bilang??” Air berjalan mendekat dengan kerutan di keningnya.“Aku bilang, ‘kenapa malah madep sini, sih?’. Kenapa, hah?”“Nggak, bukan itu. Kamu tadi manggil aku pake sebutan ‘lo’???”Kedua mata Mika refle
Jakarta, 2009 Hari itu, langit sedang bersahabat. Cerah dan dipenuhi awan putih yang bergumul. Pohon-pohon hijau bergerak ke kiri dan ke kanan diterpa angin segar. Ciptaan-ciptaan Tuhan itu seakan sedang berkata: hari ini adalah hari sejahtera. Ya, sejahtera. Tapi tidak dengan salah satu rumah yang berada di tengah-tengah kompleks perumahan paling diincar di Ibu Kota. Rumah itu, jauh dari kata sejahtera. Di dalamnya, teriakan-teriakan kasar saling bersahutan, disusul suara benda-benda yang jatuh atau bahkan pecah. Ini bukan pertama kalinya. Ini kesekian kalinya. Seorang anak perempuan berusia enam tahun, duduk di teras rumah. Wajahnya memerah, begitu pun matanya. Dia duduk dengan tubuh gemetar. Mata merahnya itu menatap lurus ke depan. Tatapannya kosong. Suara bising dari ujung sana terdengar. Anak-anak seusia anak perempuan tadi—baik laki-laki maupun perempuan—berjalan bergerombol melintasi jalanan kompleks. Mereka beragam. Ada yang membawa bola di tangan, ada yang membawa pint
Jakarta, Juni 2009 Dear Air, Halo, Air! Ini aku, anak perempuan yang kemarin. Namaku Mika. Air, kamu tahu nggak? Waktu aku TK kemarin, guruku pernah bilang, air dan udara itu komponen tak hidup yang paling penting bagi bumi dan isinya. Tanpa keduanya, manusia, hewan, dan tumbuhan nggak akan bisa bertahan hidup. Namamu, Air, bisa berarti air dan udara. Keren! Itu nama yang keren banget. Aku iri, kamu punya nama yang keren. Oh iya, aku tulis surat ini karena kamu bilang kamu akan pindah rumah. Aku takut kita nggak bisa ketemu lagi. Aku belum bilang terima kasih yang sungguh-sungguh. Air, terima kasih, ya! Berkat kamu, aku tahu cara paling ampuh untuk menghindar dari keributan Ayah dan Bundaku di rumah. Aku harap kita bisa ketemu lagi, dan berteman. Mika Namanya Air, dan dia sedang tersenyum membaca surat yang dia temukan di depan pintu rumahnya beberapa menit yang lalu. Dia menatap rumah di depannya. Rumah yang terlihat suram. “Kalo kita ketemu lagi, aku janji akan ajak kamu b
Kedua orangtuanya berpisah. Cerai. Mereka meninggalkannya sendirian. Benar-benar sendirian.Tangisan Mika tak kunjung berhenti. Dia meraung sedih. Apa salah dirinya sampai orangtuanya dengan tega meninggalkannya?Raungan Mika terdengar sangat menyakitkan. Rumahnya yang dulu penuh keributan yang diciptakan Ayah dan Bundanya, kini penuh akan tangisnya.“Mika, jangan nangis lagi. Nanti mata kamu sakit.” Bahkan bujukan Air sama sekali tidak dihiraukan anak perempuan itu. Dia terus menangis, dan menangis.Papa Air yang duduk tak jauh dari situ, memijat keningnya—memikirkan solusi terbaik untuk Mika saat ini. Ini benar-benar memusingkan, tidak harusnya dia dan Air ikut campur masalah keluarga orang lain. Namun, melihat Air yang setia duduk di samping Mika sambil terus mengusap bahu anak itu, Papa Air menghela napas. Ada rasa bangga yang membuncah di dalam dirinya. Anak bungsunya itu… benar-benar terlihat dewasa. Padahal umurnya baru enam tahun.Air tidak putus asa, dia terus mengusap bahu M
Jakarta, 2015A few months ago.“Kamu mau SMP di mana, Mika?” Air bertanya riang. Dia baru saja mendudukkan pantatnya di tempat tidur besar milik Mika.Pertemanan dekat alias persahabatan keduanya tahun ini, memasuki tahun ke-enam. Sejak membuat janji untuk tidak saling meninggalkan, keduanya benar-benar menempel satu sama lain bagaikan perangko.Selama bertahun-tahun ini, setiap pulang sekolah, Air akan mampir ke rumah Mika, setidaknya sampai malam dan Papanya menjemput pulang. Mika tinggal sendirian, benar-benar sendirian. Hanya ada satu ART yang datang di waktu-waktu tertentu untuk memasak dan membersihkan rumahnya.Kesepian? Tentu saja.Seorang anak perempuan yang usianya bahkan belum memasuki usia remaja, tinggal sendirian di rumah dua lantai, sudah pasti kesepian. Dan takut.Oleh sebab itu, Air selalu menemani Mika di rumahnya—di mana pun. Bahkan, tak jarang dia menginap di rumah Mika—hanya untuk memastikan Mika bisa tidur.Mika itu penakut, dia juga susah tidur. Terkadang, Air
Sepasang mata itu mengerjap pelan, menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Rasa pusing tiba-tiba menyerbu, membuat kedua alis itu tertekuk dalam. Mika merutuk dalam hati, kepalanya pusing pasti karena dia tidur terlalu lama.Gadis itu menatap jam dinding dengan nyawa yang baru terkumpul 50%. Pukul 20.00. Dia meringis pelan. Ternyata benar, dia tidur terlalu lama.Kepalanya lalu menoleh ke kanan, saat itu juga nyawanya terkumpul sempurna. Matanya membelalak.“BAJU LO MANA?!”Air yang sedang berdiri membelakangi tempat tidur, berjengit kaget. Dia refleks memutar badannya ke belakang—menghadap tempat tidur.“KENAPA MALAH MADEP SINI, SIH?!” Mika menutup kedua matanya segera. Apa salahnya hingga dia harus melihat Air dengan tubuh bagian atas tidak tertutupi sehelai kain pun?“Apa kamu bilang??” Air berjalan mendekat dengan kerutan di keningnya.“Aku bilang, ‘kenapa malah madep sini, sih?’. Kenapa, hah?”“Nggak, bukan itu. Kamu tadi manggil aku pake sebutan ‘lo’???”Kedua mata Mika refle
Jakarta, 2024Now.Tidak ada yang begitu spesial dari masa kuliah. Hanya datang ke kampus, mengikuti kuliah, rapat organisasi, lalu pulang dan mengerjakan tugas. Itu menurut Air.Dia melangkah masuk ke gedung jurusannya—teknik arsitektur. Terlalu banyak orang berlalu-lalang di sekitarnya. Dia menunduk, menghindari tatapan orang-orang yang tertuju padanya.Tinggal beberapa langkah lagi dia sampai di ruang kelasnya, punggungnya ditepuk dari belakang. Dia menghentikan langkahnya. Tanpa perlu mencari tahu siapa yang menepuk punggungnya, dia sudah tahu orangnya.“Morning, friend!” orang itu menyapa riang.“Gue bukan temen lo,” Air menyahut malas.“Terus apa? Pacar lo?”Air mendelik. Tidak mau repot-repot membalas sesuatu yang tidak penting, dia lanjut berjalan memasuki ruang kelasnya—diikuti orang tadi dari belakang.Sejak awal duduk di bangku kuliah sampai sekarang, Air masih tidak paham, kenapa setiap dirinya masuk ke kelas, semua mata akan tertuju padanya. Dia tidak nyaman dengan itu. D
Jakarta, 2021Tahun demi tahun berlalu, banyak yang berubah.Air, dia bukan lagi seorang anak kecil yang ‘ingin main terus’. Dia juga bukan lagi anak nakal yang suka mengganggu anjing tetangganya. Tapi, kini, penampilannya malah seperti anak nakal. Ralat, remaja nakal. Rambut yang dipotong dengan jalan tikus di samping, ditambah anting bulat di telinga.Masa pertumbuhan membuat fisik Air juga banyak berubah. Tubuhnya yang dulu pendek dan kurus, kini tinggi dan lebih berisi. Tangannya berurat, pun lehernya. Wajahnya… semakin tampan. Tidak heran, kini dia menjadi laki-laki paling diincar oleh kaum hawa di SMA-nya.Sikap dan sifatnya juga berubah. Dia yang dulunya cerewet dan banyak bicara, kini jadi malas bicara—kecuali pada Mika. Dia lebih tertutup sekarang—kecuali pada Mika, lagi. Dia juga tidak peduli pada hal-hal tidak penting—lagi-lagi kecuali pada Mika, sebab Mika adalah orang paling penting di hidupnya.Air yang dulu ingin punya banyak teman, ingin bermain bersama semua orang, ki
Jakarta, 2015A few months ago.“Kamu mau SMP di mana, Mika?” Air bertanya riang. Dia baru saja mendudukkan pantatnya di tempat tidur besar milik Mika.Pertemanan dekat alias persahabatan keduanya tahun ini, memasuki tahun ke-enam. Sejak membuat janji untuk tidak saling meninggalkan, keduanya benar-benar menempel satu sama lain bagaikan perangko.Selama bertahun-tahun ini, setiap pulang sekolah, Air akan mampir ke rumah Mika, setidaknya sampai malam dan Papanya menjemput pulang. Mika tinggal sendirian, benar-benar sendirian. Hanya ada satu ART yang datang di waktu-waktu tertentu untuk memasak dan membersihkan rumahnya.Kesepian? Tentu saja.Seorang anak perempuan yang usianya bahkan belum memasuki usia remaja, tinggal sendirian di rumah dua lantai, sudah pasti kesepian. Dan takut.Oleh sebab itu, Air selalu menemani Mika di rumahnya—di mana pun. Bahkan, tak jarang dia menginap di rumah Mika—hanya untuk memastikan Mika bisa tidur.Mika itu penakut, dia juga susah tidur. Terkadang, Air
Kedua orangtuanya berpisah. Cerai. Mereka meninggalkannya sendirian. Benar-benar sendirian.Tangisan Mika tak kunjung berhenti. Dia meraung sedih. Apa salah dirinya sampai orangtuanya dengan tega meninggalkannya?Raungan Mika terdengar sangat menyakitkan. Rumahnya yang dulu penuh keributan yang diciptakan Ayah dan Bundanya, kini penuh akan tangisnya.“Mika, jangan nangis lagi. Nanti mata kamu sakit.” Bahkan bujukan Air sama sekali tidak dihiraukan anak perempuan itu. Dia terus menangis, dan menangis.Papa Air yang duduk tak jauh dari situ, memijat keningnya—memikirkan solusi terbaik untuk Mika saat ini. Ini benar-benar memusingkan, tidak harusnya dia dan Air ikut campur masalah keluarga orang lain. Namun, melihat Air yang setia duduk di samping Mika sambil terus mengusap bahu anak itu, Papa Air menghela napas. Ada rasa bangga yang membuncah di dalam dirinya. Anak bungsunya itu… benar-benar terlihat dewasa. Padahal umurnya baru enam tahun.Air tidak putus asa, dia terus mengusap bahu M
Jakarta, Juni 2009 Dear Air, Halo, Air! Ini aku, anak perempuan yang kemarin. Namaku Mika. Air, kamu tahu nggak? Waktu aku TK kemarin, guruku pernah bilang, air dan udara itu komponen tak hidup yang paling penting bagi bumi dan isinya. Tanpa keduanya, manusia, hewan, dan tumbuhan nggak akan bisa bertahan hidup. Namamu, Air, bisa berarti air dan udara. Keren! Itu nama yang keren banget. Aku iri, kamu punya nama yang keren. Oh iya, aku tulis surat ini karena kamu bilang kamu akan pindah rumah. Aku takut kita nggak bisa ketemu lagi. Aku belum bilang terima kasih yang sungguh-sungguh. Air, terima kasih, ya! Berkat kamu, aku tahu cara paling ampuh untuk menghindar dari keributan Ayah dan Bundaku di rumah. Aku harap kita bisa ketemu lagi, dan berteman. Mika Namanya Air, dan dia sedang tersenyum membaca surat yang dia temukan di depan pintu rumahnya beberapa menit yang lalu. Dia menatap rumah di depannya. Rumah yang terlihat suram. “Kalo kita ketemu lagi, aku janji akan ajak kamu b
Jakarta, 2009 Hari itu, langit sedang bersahabat. Cerah dan dipenuhi awan putih yang bergumul. Pohon-pohon hijau bergerak ke kiri dan ke kanan diterpa angin segar. Ciptaan-ciptaan Tuhan itu seakan sedang berkata: hari ini adalah hari sejahtera. Ya, sejahtera. Tapi tidak dengan salah satu rumah yang berada di tengah-tengah kompleks perumahan paling diincar di Ibu Kota. Rumah itu, jauh dari kata sejahtera. Di dalamnya, teriakan-teriakan kasar saling bersahutan, disusul suara benda-benda yang jatuh atau bahkan pecah. Ini bukan pertama kalinya. Ini kesekian kalinya. Seorang anak perempuan berusia enam tahun, duduk di teras rumah. Wajahnya memerah, begitu pun matanya. Dia duduk dengan tubuh gemetar. Mata merahnya itu menatap lurus ke depan. Tatapannya kosong. Suara bising dari ujung sana terdengar. Anak-anak seusia anak perempuan tadi—baik laki-laki maupun perempuan—berjalan bergerombol melintasi jalanan kompleks. Mereka beragam. Ada yang membawa bola di tangan, ada yang membawa pint