Jakarta, 2024
Now.
Tidak ada yang begitu spesial dari masa kuliah. Hanya datang ke kampus, mengikuti kuliah, rapat organisasi, lalu pulang dan mengerjakan tugas. Itu menurut Air.
Dia melangkah masuk ke gedung jurusannya—teknik arsitektur. Terlalu banyak orang berlalu-lalang di sekitarnya. Dia menunduk, menghindari tatapan orang-orang yang tertuju padanya.
Tinggal beberapa langkah lagi dia sampai di ruang kelasnya, punggungnya ditepuk dari belakang. Dia menghentikan langkahnya. Tanpa perlu mencari tahu siapa yang menepuk punggungnya, dia sudah tahu orangnya.
“Morning, friend!” orang itu menyapa riang.
“Gue bukan temen lo,” Air menyahut malas.
“Terus apa? Pacar lo?”
Air mendelik. Tidak mau repot-repot membalas sesuatu yang tidak penting, dia lanjut berjalan memasuki ruang kelasnya—diikuti orang tadi dari belakang.
Sejak awal duduk di bangku kuliah sampai sekarang, Air masih tidak paham, kenapa setiap dirinya masuk ke kelas, semua mata akan tertuju padanya. Dia tidak nyaman dengan itu. Dia menghela napas sejenak, lalu mendudukkan dirinya di kursi paling belakang.
“Lo, tuh, ya, dari semester satu nggak berubah sama sekali. Lo tetap Air yang cuek bebek. Seneng banget kayaknya nyuekin orang. Lo nggak kasihan apa sama gue yang selalu jadi korban dari kecuekan lo itu?”
“Nggak,” Air membalas pendek. Dia menatap tajam orang di depannya itu. Naradipta adalah nama lengkapnya.
“Jahat.” Nara menghentakkan kakinya kesal sebelum mengambil tempat duduk di samping Air. Sedetik kemudian, laki-laki itu menjentikkan jarinya. “Lo tahu nggak, Air?” tanyanya.
“Nggak.”
“STOP JAWAB GUE DENGAN ‘NGGAK’! ITU MULU YANG KELUAR DARI MULUT LO. BOSEN GUE.”
Air menutup matanya sesaat setelah teriakan itu memecah fokus semua orang di dalam kelas. Dia mengeraskan rahangnya. Dia paling tidak suka jika harus menjadi pusat perhatian. Lihat saja, kini semua orang menatap ke arah mereka berdua.
“Lo bisa diam nggak?”
“Bisa. Sorry, Boss.”
Air mendengus. Dia kemudian mengeluarkan kertas berisi coretan-coretan hasil karya tangannya dari dalam tasnya. Coretan-coretan itu membentuk sebuah gambar bangunan. “Tadi lo mau bilang apa?” tanyanya pada Nara yang ikut-ikutan mengeluarkan tugasnya.
“Widihh, tumben banget kep—"
“Cepet jawab atau lo gue tendang sekarang juga,” potongnya galak.
Nara merengut dengan bibir mengerucut. “Lo tahu nggak, dikit lagi kahim kita lengser. Yang artinya, himpunan udah mulai nyari-nyari calon kahim dan sekretaris hima yang baru. Ah, lo nggak mungkin nggak tahu nggak, sih. Lo, kan, anak himpunan juga.”
“Iya, gue tau. Lalu?”
“Ya… curhat aja, sih. Sebenernya, gue, tuh, pengen nyalonin diri.”
“Elo?” Air menatap tak percaya.
“Ah elah, ngeliat lo natap gue kayak gue, niat gue buat nyalonin diri langsung batal.”
“Nggak nyangka aja.”
“Udahlah, batal, nih, gue nyalonin diri.”
Air menggeleng tidak paham. “Lagian, kenapa tiba-tiba banget mau jadi kahim? Lo bukannya nggak minat organisasi?”
Nara menarik napas dalam-dalam. “Jadi gini… Gue, kan, punya pacar. Terus…, ya…, gue cuma pengen dia bangga aja, sih, punya pacar kayak gue. Gue mahasiswa kupu-kupu banget, nih. Kalo misalnya gue jadi kahim, dia pasti bangga banget.”
“Bikin bangga pacar nggak harus jadi kahim.”
Nara terkekeh sinis. “Ucap seorang laki-laki jomblo.”
Hening sejenak.
“Tapi lo ada benernya,” Air berkata tanpa nada.
“TUHKAN! Jadi, lo mau dukung gue nyalonin diri jadi kahim?” Binar mata Nara memancarkan pengharapan.
“Nggak.”
“Lah, terus?”
“Gue yang bakal nyalonin diri jadi kahim. Thanks atas pencerahannya.”
***
Rapat organisasi baru berakhir jam enam sore. Air berjalan gontai menuju parkiran—tempat motornya bersemedi. Rambut panjangnya berantakan, kemejanya sudah kusut, dan wajahnya penuh guratan lelah.
Kedua alisnya terangkat ketika netranya menangkap sebuah paper bag yang tergantung di setang motornya.
Lagi?
Dia meraih paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Kertas-kertas warna-warni, cokelat, dan bunga, adalah isi dari paper bag tersebut.
“Berasa di drama.”
Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya di motor, berniat membaca satu per satu isi kertas—seperti biasa—yang tak lain dan tak bukan adalah surat cinta. Walaupun dia lumayan kesal karena sejak semester lima, setiap bulan pasti ada paper bag yang tergantung di setang motornya dengan isian yang sama, tapi dia selalu membaca surat tersebut dan tidak membuangnya. Dia tahu bagaimana cara menghargai orang.
Surat pertama.
From: F, Teknik Sipil
Kak Air, kamu ganteng banget asli. Aku suka banget liatin kamu diem-diem di parkiran fakultas. Jomblo, ya? Kalo iya, pacaran yuk!
Air refleks mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru parkiran. “Makasih udah bilang gue ganteng, F. Tapi, jangan liatin gue diem-diem lagi, deh. Merinding gue. Dan satu lagi…, maaf, ya, gue nggak mau pacaran sama lo.” laki-laki itu bermonolog di tengah sepinya parkiran.
Surat kedua.
Dari: Aleysha
Hello, Air. Gue Aleysha, anak Teknik Industri. Lo pasti kenal gue, kan? Gue yang sering banget masuk i*******m @teknik_cantik itu. Gue pengen PDKT sama lo, tapi nggak tahu nomor lo atau sosmed lo. Gimana kalo lo duluan yang hubungin gue?
No. HP: 081xxxxxxxxx
I*******m: aleyshamia
HMU, ya. Thank you, ganteng!
Kali ini dia berdecak. “Halo, Aleysha. Pertama, gue nggak kenal lo. Gue bahkan nggak tahu kalo teknik punya i*******m begituan. Kedua, makasih udah mau PDKT sama gue. Tapi gue-nya nggak mau. Sorry.”
Surat ketiga.
Hi, Air. Aku cuma mau bilang, aku jatuh cinta sama kamu sejak kamu jadi panitia seminar nasional tahun lalu. Kamu keren banget waktu itu. Sehat selalu, ya…
“Padahal semnas waktu itu kerjaan gue cuma narik-narik kabel doang. Tapi thanks buat lo yang gue nggak tahu nama lo siapa. Thanks udah bilang gue keren. Sehat selalu juga.”
Surat keempat.
To: Kak Air
Kak…, I think I like you. Kira-kira sejak aku masih maba. I don’t know why, I just like you the way you are.
—D
“Makasih karena udah suka sama gue, dan maaf, karena gue sukanya sama orang lain.”
Kira-kira masih ada dua atau tiga surat lagi yang belum dia baca. Dia bergegas menyelesaikan semuanya.
Setelah selesai membaca semua surat itu, dia segera melajukan motornya membelah jalanan Jakarta. Dengan terburu-buru, dia menghentikan motornya di dekat lampu merah. Dia turun, kemudian berjalan cepat menghampiri anak-anak kecil yang berdiri di sekitar lampu merah. Anak-anak itu adalah anak-anak penjual koran.
“Wahh, Kakak Ganteng datang lagi!” salah seorang dari mereka berseru.
“Haloo kalian!” Air mengulas senyum terbaiknya—senyum yang jarang dia tunjukkan ketika dia berada di kampus. “Ini, isinya masih sama kayak sebelum-sebelumnya.” Dia memberikan paper bag di tangannya pada salah satu anak yang badannya lebih besar dari yang lain.
Setiap menerima paper bag berisi surat-surat cinta dan hadiah lainnya—entah itu cokelat, makanan, dan bunga sekalipun, Air selalu memindahkan surat-surat tersebut ke dalam tasnya, dan memberikan hadiah-hadiah tersebut kepada anak-anak penjual koran.
“Terima kasih, Kakak Ganteng!” mereka berseru serempak.
Air terkekeh. Hatinya menghangat. “Sama-sama, semua.” Dia merogoh saku celananya, mengeluarkan tiga lembar uang berwarna merah, lalu memberikannya kepada salah satu di antara mereka. “Seperti biasa, dibagi yang adil, ya. Aku pamit dulu. Aku buru-buru mau ‘pulang’ soalnya. Aku udah rindu ‘rumah’ aku.”
Anak-anak itu mengangguk seraya melambaikan tangan mengiringi perginya Air yang sedang merindukan ‘rumah’.
Sepasang mata itu mengerjap pelan, menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Rasa pusing tiba-tiba menyerbu, membuat kedua alis itu tertekuk dalam. Mika merutuk dalam hati, kepalanya pusing pasti karena dia tidur terlalu lama.Gadis itu menatap jam dinding dengan nyawa yang baru terkumpul 50%. Pukul 20.00. Dia meringis pelan. Ternyata benar, dia tidur terlalu lama.Kepalanya lalu menoleh ke kanan, saat itu juga nyawanya terkumpul sempurna. Matanya membelalak.“BAJU LO MANA?!”Air yang sedang berdiri membelakangi tempat tidur, berjengit kaget. Dia refleks memutar badannya ke belakang—menghadap tempat tidur.“KENAPA MALAH MADEP SINI, SIH?!” Mika menutup kedua matanya segera. Apa salahnya hingga dia harus melihat Air dengan tubuh bagian atas tidak tertutupi sehelai kain pun?“Apa kamu bilang??” Air berjalan mendekat dengan kerutan di keningnya.“Aku bilang, ‘kenapa malah madep sini, sih?’. Kenapa, hah?”“Nggak, bukan itu. Kamu tadi manggil aku pake sebutan ‘lo’???”Kedua mata Mika refle
Jakarta, 2009 Hari itu, langit sedang bersahabat. Cerah dan dipenuhi awan putih yang bergumul. Pohon-pohon hijau bergerak ke kiri dan ke kanan diterpa angin segar. Ciptaan-ciptaan Tuhan itu seakan sedang berkata: hari ini adalah hari sejahtera. Ya, sejahtera. Tapi tidak dengan salah satu rumah yang berada di tengah-tengah kompleks perumahan paling diincar di Ibu Kota. Rumah itu, jauh dari kata sejahtera. Di dalamnya, teriakan-teriakan kasar saling bersahutan, disusul suara benda-benda yang jatuh atau bahkan pecah. Ini bukan pertama kalinya. Ini kesekian kalinya. Seorang anak perempuan berusia enam tahun, duduk di teras rumah. Wajahnya memerah, begitu pun matanya. Dia duduk dengan tubuh gemetar. Mata merahnya itu menatap lurus ke depan. Tatapannya kosong. Suara bising dari ujung sana terdengar. Anak-anak seusia anak perempuan tadi—baik laki-laki maupun perempuan—berjalan bergerombol melintasi jalanan kompleks. Mereka beragam. Ada yang membawa bola di tangan, ada yang membawa pint
Jakarta, Juni 2009 Dear Air, Halo, Air! Ini aku, anak perempuan yang kemarin. Namaku Mika. Air, kamu tahu nggak? Waktu aku TK kemarin, guruku pernah bilang, air dan udara itu komponen tak hidup yang paling penting bagi bumi dan isinya. Tanpa keduanya, manusia, hewan, dan tumbuhan nggak akan bisa bertahan hidup. Namamu, Air, bisa berarti air dan udara. Keren! Itu nama yang keren banget. Aku iri, kamu punya nama yang keren. Oh iya, aku tulis surat ini karena kamu bilang kamu akan pindah rumah. Aku takut kita nggak bisa ketemu lagi. Aku belum bilang terima kasih yang sungguh-sungguh. Air, terima kasih, ya! Berkat kamu, aku tahu cara paling ampuh untuk menghindar dari keributan Ayah dan Bundaku di rumah. Aku harap kita bisa ketemu lagi, dan berteman. Mika Namanya Air, dan dia sedang tersenyum membaca surat yang dia temukan di depan pintu rumahnya beberapa menit yang lalu. Dia menatap rumah di depannya. Rumah yang terlihat suram. “Kalo kita ketemu lagi, aku janji akan ajak kamu b
Kedua orangtuanya berpisah. Cerai. Mereka meninggalkannya sendirian. Benar-benar sendirian.Tangisan Mika tak kunjung berhenti. Dia meraung sedih. Apa salah dirinya sampai orangtuanya dengan tega meninggalkannya?Raungan Mika terdengar sangat menyakitkan. Rumahnya yang dulu penuh keributan yang diciptakan Ayah dan Bundanya, kini penuh akan tangisnya.“Mika, jangan nangis lagi. Nanti mata kamu sakit.” Bahkan bujukan Air sama sekali tidak dihiraukan anak perempuan itu. Dia terus menangis, dan menangis.Papa Air yang duduk tak jauh dari situ, memijat keningnya—memikirkan solusi terbaik untuk Mika saat ini. Ini benar-benar memusingkan, tidak harusnya dia dan Air ikut campur masalah keluarga orang lain. Namun, melihat Air yang setia duduk di samping Mika sambil terus mengusap bahu anak itu, Papa Air menghela napas. Ada rasa bangga yang membuncah di dalam dirinya. Anak bungsunya itu… benar-benar terlihat dewasa. Padahal umurnya baru enam tahun.Air tidak putus asa, dia terus mengusap bahu M
Jakarta, 2015A few months ago.“Kamu mau SMP di mana, Mika?” Air bertanya riang. Dia baru saja mendudukkan pantatnya di tempat tidur besar milik Mika.Pertemanan dekat alias persahabatan keduanya tahun ini, memasuki tahun ke-enam. Sejak membuat janji untuk tidak saling meninggalkan, keduanya benar-benar menempel satu sama lain bagaikan perangko.Selama bertahun-tahun ini, setiap pulang sekolah, Air akan mampir ke rumah Mika, setidaknya sampai malam dan Papanya menjemput pulang. Mika tinggal sendirian, benar-benar sendirian. Hanya ada satu ART yang datang di waktu-waktu tertentu untuk memasak dan membersihkan rumahnya.Kesepian? Tentu saja.Seorang anak perempuan yang usianya bahkan belum memasuki usia remaja, tinggal sendirian di rumah dua lantai, sudah pasti kesepian. Dan takut.Oleh sebab itu, Air selalu menemani Mika di rumahnya—di mana pun. Bahkan, tak jarang dia menginap di rumah Mika—hanya untuk memastikan Mika bisa tidur.Mika itu penakut, dia juga susah tidur. Terkadang, Air
Jakarta, 2021Tahun demi tahun berlalu, banyak yang berubah.Air, dia bukan lagi seorang anak kecil yang ‘ingin main terus’. Dia juga bukan lagi anak nakal yang suka mengganggu anjing tetangganya. Tapi, kini, penampilannya malah seperti anak nakal. Ralat, remaja nakal. Rambut yang dipotong dengan jalan tikus di samping, ditambah anting bulat di telinga.Masa pertumbuhan membuat fisik Air juga banyak berubah. Tubuhnya yang dulu pendek dan kurus, kini tinggi dan lebih berisi. Tangannya berurat, pun lehernya. Wajahnya… semakin tampan. Tidak heran, kini dia menjadi laki-laki paling diincar oleh kaum hawa di SMA-nya.Sikap dan sifatnya juga berubah. Dia yang dulunya cerewet dan banyak bicara, kini jadi malas bicara—kecuali pada Mika. Dia lebih tertutup sekarang—kecuali pada Mika, lagi. Dia juga tidak peduli pada hal-hal tidak penting—lagi-lagi kecuali pada Mika, sebab Mika adalah orang paling penting di hidupnya.Air yang dulu ingin punya banyak teman, ingin bermain bersama semua orang, ki
Sepasang mata itu mengerjap pelan, menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Rasa pusing tiba-tiba menyerbu, membuat kedua alis itu tertekuk dalam. Mika merutuk dalam hati, kepalanya pusing pasti karena dia tidur terlalu lama.Gadis itu menatap jam dinding dengan nyawa yang baru terkumpul 50%. Pukul 20.00. Dia meringis pelan. Ternyata benar, dia tidur terlalu lama.Kepalanya lalu menoleh ke kanan, saat itu juga nyawanya terkumpul sempurna. Matanya membelalak.“BAJU LO MANA?!”Air yang sedang berdiri membelakangi tempat tidur, berjengit kaget. Dia refleks memutar badannya ke belakang—menghadap tempat tidur.“KENAPA MALAH MADEP SINI, SIH?!” Mika menutup kedua matanya segera. Apa salahnya hingga dia harus melihat Air dengan tubuh bagian atas tidak tertutupi sehelai kain pun?“Apa kamu bilang??” Air berjalan mendekat dengan kerutan di keningnya.“Aku bilang, ‘kenapa malah madep sini, sih?’. Kenapa, hah?”“Nggak, bukan itu. Kamu tadi manggil aku pake sebutan ‘lo’???”Kedua mata Mika refle
Jakarta, 2024Now.Tidak ada yang begitu spesial dari masa kuliah. Hanya datang ke kampus, mengikuti kuliah, rapat organisasi, lalu pulang dan mengerjakan tugas. Itu menurut Air.Dia melangkah masuk ke gedung jurusannya—teknik arsitektur. Terlalu banyak orang berlalu-lalang di sekitarnya. Dia menunduk, menghindari tatapan orang-orang yang tertuju padanya.Tinggal beberapa langkah lagi dia sampai di ruang kelasnya, punggungnya ditepuk dari belakang. Dia menghentikan langkahnya. Tanpa perlu mencari tahu siapa yang menepuk punggungnya, dia sudah tahu orangnya.“Morning, friend!” orang itu menyapa riang.“Gue bukan temen lo,” Air menyahut malas.“Terus apa? Pacar lo?”Air mendelik. Tidak mau repot-repot membalas sesuatu yang tidak penting, dia lanjut berjalan memasuki ruang kelasnya—diikuti orang tadi dari belakang.Sejak awal duduk di bangku kuliah sampai sekarang, Air masih tidak paham, kenapa setiap dirinya masuk ke kelas, semua mata akan tertuju padanya. Dia tidak nyaman dengan itu. D
Jakarta, 2021Tahun demi tahun berlalu, banyak yang berubah.Air, dia bukan lagi seorang anak kecil yang ‘ingin main terus’. Dia juga bukan lagi anak nakal yang suka mengganggu anjing tetangganya. Tapi, kini, penampilannya malah seperti anak nakal. Ralat, remaja nakal. Rambut yang dipotong dengan jalan tikus di samping, ditambah anting bulat di telinga.Masa pertumbuhan membuat fisik Air juga banyak berubah. Tubuhnya yang dulu pendek dan kurus, kini tinggi dan lebih berisi. Tangannya berurat, pun lehernya. Wajahnya… semakin tampan. Tidak heran, kini dia menjadi laki-laki paling diincar oleh kaum hawa di SMA-nya.Sikap dan sifatnya juga berubah. Dia yang dulunya cerewet dan banyak bicara, kini jadi malas bicara—kecuali pada Mika. Dia lebih tertutup sekarang—kecuali pada Mika, lagi. Dia juga tidak peduli pada hal-hal tidak penting—lagi-lagi kecuali pada Mika, sebab Mika adalah orang paling penting di hidupnya.Air yang dulu ingin punya banyak teman, ingin bermain bersama semua orang, ki
Jakarta, 2015A few months ago.“Kamu mau SMP di mana, Mika?” Air bertanya riang. Dia baru saja mendudukkan pantatnya di tempat tidur besar milik Mika.Pertemanan dekat alias persahabatan keduanya tahun ini, memasuki tahun ke-enam. Sejak membuat janji untuk tidak saling meninggalkan, keduanya benar-benar menempel satu sama lain bagaikan perangko.Selama bertahun-tahun ini, setiap pulang sekolah, Air akan mampir ke rumah Mika, setidaknya sampai malam dan Papanya menjemput pulang. Mika tinggal sendirian, benar-benar sendirian. Hanya ada satu ART yang datang di waktu-waktu tertentu untuk memasak dan membersihkan rumahnya.Kesepian? Tentu saja.Seorang anak perempuan yang usianya bahkan belum memasuki usia remaja, tinggal sendirian di rumah dua lantai, sudah pasti kesepian. Dan takut.Oleh sebab itu, Air selalu menemani Mika di rumahnya—di mana pun. Bahkan, tak jarang dia menginap di rumah Mika—hanya untuk memastikan Mika bisa tidur.Mika itu penakut, dia juga susah tidur. Terkadang, Air
Kedua orangtuanya berpisah. Cerai. Mereka meninggalkannya sendirian. Benar-benar sendirian.Tangisan Mika tak kunjung berhenti. Dia meraung sedih. Apa salah dirinya sampai orangtuanya dengan tega meninggalkannya?Raungan Mika terdengar sangat menyakitkan. Rumahnya yang dulu penuh keributan yang diciptakan Ayah dan Bundanya, kini penuh akan tangisnya.“Mika, jangan nangis lagi. Nanti mata kamu sakit.” Bahkan bujukan Air sama sekali tidak dihiraukan anak perempuan itu. Dia terus menangis, dan menangis.Papa Air yang duduk tak jauh dari situ, memijat keningnya—memikirkan solusi terbaik untuk Mika saat ini. Ini benar-benar memusingkan, tidak harusnya dia dan Air ikut campur masalah keluarga orang lain. Namun, melihat Air yang setia duduk di samping Mika sambil terus mengusap bahu anak itu, Papa Air menghela napas. Ada rasa bangga yang membuncah di dalam dirinya. Anak bungsunya itu… benar-benar terlihat dewasa. Padahal umurnya baru enam tahun.Air tidak putus asa, dia terus mengusap bahu M
Jakarta, Juni 2009 Dear Air, Halo, Air! Ini aku, anak perempuan yang kemarin. Namaku Mika. Air, kamu tahu nggak? Waktu aku TK kemarin, guruku pernah bilang, air dan udara itu komponen tak hidup yang paling penting bagi bumi dan isinya. Tanpa keduanya, manusia, hewan, dan tumbuhan nggak akan bisa bertahan hidup. Namamu, Air, bisa berarti air dan udara. Keren! Itu nama yang keren banget. Aku iri, kamu punya nama yang keren. Oh iya, aku tulis surat ini karena kamu bilang kamu akan pindah rumah. Aku takut kita nggak bisa ketemu lagi. Aku belum bilang terima kasih yang sungguh-sungguh. Air, terima kasih, ya! Berkat kamu, aku tahu cara paling ampuh untuk menghindar dari keributan Ayah dan Bundaku di rumah. Aku harap kita bisa ketemu lagi, dan berteman. Mika Namanya Air, dan dia sedang tersenyum membaca surat yang dia temukan di depan pintu rumahnya beberapa menit yang lalu. Dia menatap rumah di depannya. Rumah yang terlihat suram. “Kalo kita ketemu lagi, aku janji akan ajak kamu b
Jakarta, 2009 Hari itu, langit sedang bersahabat. Cerah dan dipenuhi awan putih yang bergumul. Pohon-pohon hijau bergerak ke kiri dan ke kanan diterpa angin segar. Ciptaan-ciptaan Tuhan itu seakan sedang berkata: hari ini adalah hari sejahtera. Ya, sejahtera. Tapi tidak dengan salah satu rumah yang berada di tengah-tengah kompleks perumahan paling diincar di Ibu Kota. Rumah itu, jauh dari kata sejahtera. Di dalamnya, teriakan-teriakan kasar saling bersahutan, disusul suara benda-benda yang jatuh atau bahkan pecah. Ini bukan pertama kalinya. Ini kesekian kalinya. Seorang anak perempuan berusia enam tahun, duduk di teras rumah. Wajahnya memerah, begitu pun matanya. Dia duduk dengan tubuh gemetar. Mata merahnya itu menatap lurus ke depan. Tatapannya kosong. Suara bising dari ujung sana terdengar. Anak-anak seusia anak perempuan tadi—baik laki-laki maupun perempuan—berjalan bergerombol melintasi jalanan kompleks. Mereka beragam. Ada yang membawa bola di tangan, ada yang membawa pint