Kedua orangtuanya berpisah. Cerai. Mereka meninggalkannya sendirian. Benar-benar sendirian.
Tangisan Mika tak kunjung berhenti. Dia meraung sedih. Apa salah dirinya sampai orangtuanya dengan tega meninggalkannya?
Raungan Mika terdengar sangat menyakitkan. Rumahnya yang dulu penuh keributan yang diciptakan Ayah dan Bundanya, kini penuh akan tangisnya.
“Mika, jangan nangis lagi. Nanti mata kamu sakit.” Bahkan bujukan Air sama sekali tidak dihiraukan anak perempuan itu. Dia terus menangis, dan menangis.
Papa Air yang duduk tak jauh dari situ, memijat keningnya—memikirkan solusi terbaik untuk Mika saat ini. Ini benar-benar memusingkan, tidak harusnya dia dan Air ikut campur masalah keluarga orang lain. Namun, melihat Air yang setia duduk di samping Mika sambil terus mengusap bahu anak itu, Papa Air menghela napas. Ada rasa bangga yang membuncah di dalam dirinya. Anak bungsunya itu… benar-benar terlihat dewasa. Padahal umurnya baru enam tahun.
Air tidak putus asa, dia terus mengusap bahu Mika, menyeka air mata anak perempuan itu dengan tangannya, dan mengucapkan kalimat-kalimat penyemangat yang dia harap bisa menghentikan tangis Mika. Tapi nihil. Tangis itu tidak berhenti sama sekali.
Dia menghela napas panjang. “Mika…,” panggilnya dengan suara lelah.
Entah keajaiban dari mana, tangis itu sontak berhenti.
Mika menoleh dengan mata sembab. Air mengulas senyum lega. “Kamu jangan nangis lagi, ya? Kasihan, nanti kamu capek.”
Anak perempuan itu diam, tidak menjawab.
Air tersenyum maklum. Tangannya bergerak mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tas sekolahnya. Dia menyodorkan amplop tersebut. “Ini surat balasanku. Kamu mau baca sekarang nggak? Kalau nggak mau juga nggak apa-apa, bisa baca nanti aja. Aku cuma tawarin aja, siapa tahu bisa menghibur,” katanya dengan nada hati-hati.
Tanpa mengeluarkan suara, Mika meraih amplop tersebut. Perlahan namun pasti, dia mengeluarkan secarik kertas dari dalam sana. Dia menunduk, membaca isi surat dalam diam.
Tak disangka-sangka, sebuah senyum terulas di bibir anak perempuan itu.
Itu senyum pertamanya setelah tiga hari terakhir ini.
“Tulisanmu nggak seburuk itu, kok. Kalau sering latihan menulis, lama-lama tulisanmu bakal bagus juga. Dulu tulisanku juga jelek,” Mika berucap, memecah keheningan dengan suara kecilnya yang masih bergetar dan serak.
Air dan Papanya melebarkan mata, keduanya tersenyum senang. Akhirnya Mika mau mengeluarkan suara selain tangis pilunya.
“O…oke. Aku bakal sering-sering latihan menulis biar tulisanku bagus kayak tulisanmu,” Air membalas.
Mika mengangguk. Dia kemudian memutar tubuhnya menghadap Air. “Kita udah ketemu lagi sekarang. Jadi, kita sekarang berteman?” tanyanya, memastikan apa yang dia baca dari surat tadi.
“Oh iya, benar. Mika…, kamu mau nggak berteman sama aku?” Senyum penuh harap milik Air terpampang di wajahnya.
“Mau.”
“Yes! Jadi kita teman, ya, sekarang?”
“Iya…” Mika terdiam sesaat. “Tapi, Air… Teman itu nggak boleh saling meninggalkan. Kamu temanku, kan? Kamu harus janji, kamu nggak bakal tinggalin aku.” Mika—anak perempuan yang diselubungi rasa trauma akan ditinggalkan—tersenyum ketika mengatakan itu.
Air menelan ludahnya tanpa sadar. Senyum itu… senyum paling menyakitkan yang pernah dia lihat selama enam tahun hidup di semesta ini.
Dia akhirnya mengangguk mantap. “Aku janji nggak bakal tinggalin kamu, Mika. Tapi, kamu juga harus janji, nggak boleh tinggalin aku juga.”
Dua jari kelingking itu saling mengikat, membuat janji yang harusnya ditepati.
Jakarta, 2015A few months ago.“Kamu mau SMP di mana, Mika?” Air bertanya riang. Dia baru saja mendudukkan pantatnya di tempat tidur besar milik Mika.Pertemanan dekat alias persahabatan keduanya tahun ini, memasuki tahun ke-enam. Sejak membuat janji untuk tidak saling meninggalkan, keduanya benar-benar menempel satu sama lain bagaikan perangko.Selama bertahun-tahun ini, setiap pulang sekolah, Air akan mampir ke rumah Mika, setidaknya sampai malam dan Papanya menjemput pulang. Mika tinggal sendirian, benar-benar sendirian. Hanya ada satu ART yang datang di waktu-waktu tertentu untuk memasak dan membersihkan rumahnya.Kesepian? Tentu saja.Seorang anak perempuan yang usianya bahkan belum memasuki usia remaja, tinggal sendirian di rumah dua lantai, sudah pasti kesepian. Dan takut.Oleh sebab itu, Air selalu menemani Mika di rumahnya—di mana pun. Bahkan, tak jarang dia menginap di rumah Mika—hanya untuk memastikan Mika bisa tidur.Mika itu penakut, dia juga susah tidur. Terkadang, Air
Jakarta, 2021Tahun demi tahun berlalu, banyak yang berubah.Air, dia bukan lagi seorang anak kecil yang ‘ingin main terus’. Dia juga bukan lagi anak nakal yang suka mengganggu anjing tetangganya. Tapi, kini, penampilannya malah seperti anak nakal. Ralat, remaja nakal. Rambut yang dipotong dengan jalan tikus di samping, ditambah anting bulat di telinga.Masa pertumbuhan membuat fisik Air juga banyak berubah. Tubuhnya yang dulu pendek dan kurus, kini tinggi dan lebih berisi. Tangannya berurat, pun lehernya. Wajahnya… semakin tampan. Tidak heran, kini dia menjadi laki-laki paling diincar oleh kaum hawa di SMA-nya.Sikap dan sifatnya juga berubah. Dia yang dulunya cerewet dan banyak bicara, kini jadi malas bicara—kecuali pada Mika. Dia lebih tertutup sekarang—kecuali pada Mika, lagi. Dia juga tidak peduli pada hal-hal tidak penting—lagi-lagi kecuali pada Mika, sebab Mika adalah orang paling penting di hidupnya.Air yang dulu ingin punya banyak teman, ingin bermain bersama semua orang, ki
Jakarta, 2024Now.Tidak ada yang begitu spesial dari masa kuliah. Hanya datang ke kampus, mengikuti kuliah, rapat organisasi, lalu pulang dan mengerjakan tugas. Itu menurut Air.Dia melangkah masuk ke gedung jurusannya—teknik arsitektur. Terlalu banyak orang berlalu-lalang di sekitarnya. Dia menunduk, menghindari tatapan orang-orang yang tertuju padanya.Tinggal beberapa langkah lagi dia sampai di ruang kelasnya, punggungnya ditepuk dari belakang. Dia menghentikan langkahnya. Tanpa perlu mencari tahu siapa yang menepuk punggungnya, dia sudah tahu orangnya.“Morning, friend!” orang itu menyapa riang.“Gue bukan temen lo,” Air menyahut malas.“Terus apa? Pacar lo?”Air mendelik. Tidak mau repot-repot membalas sesuatu yang tidak penting, dia lanjut berjalan memasuki ruang kelasnya—diikuti orang tadi dari belakang.Sejak awal duduk di bangku kuliah sampai sekarang, Air masih tidak paham, kenapa setiap dirinya masuk ke kelas, semua mata akan tertuju padanya. Dia tidak nyaman dengan itu. D
Sepasang mata itu mengerjap pelan, menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Rasa pusing tiba-tiba menyerbu, membuat kedua alis itu tertekuk dalam. Mika merutuk dalam hati, kepalanya pusing pasti karena dia tidur terlalu lama.Gadis itu menatap jam dinding dengan nyawa yang baru terkumpul 50%. Pukul 20.00. Dia meringis pelan. Ternyata benar, dia tidur terlalu lama.Kepalanya lalu menoleh ke kanan, saat itu juga nyawanya terkumpul sempurna. Matanya membelalak.“BAJU LO MANA?!”Air yang sedang berdiri membelakangi tempat tidur, berjengit kaget. Dia refleks memutar badannya ke belakang—menghadap tempat tidur.“KENAPA MALAH MADEP SINI, SIH?!” Mika menutup kedua matanya segera. Apa salahnya hingga dia harus melihat Air dengan tubuh bagian atas tidak tertutupi sehelai kain pun?“Apa kamu bilang??” Air berjalan mendekat dengan kerutan di keningnya.“Aku bilang, ‘kenapa malah madep sini, sih?’. Kenapa, hah?”“Nggak, bukan itu. Kamu tadi manggil aku pake sebutan ‘lo’???”Kedua mata Mika refle
Jakarta, 2009 Hari itu, langit sedang bersahabat. Cerah dan dipenuhi awan putih yang bergumul. Pohon-pohon hijau bergerak ke kiri dan ke kanan diterpa angin segar. Ciptaan-ciptaan Tuhan itu seakan sedang berkata: hari ini adalah hari sejahtera. Ya, sejahtera. Tapi tidak dengan salah satu rumah yang berada di tengah-tengah kompleks perumahan paling diincar di Ibu Kota. Rumah itu, jauh dari kata sejahtera. Di dalamnya, teriakan-teriakan kasar saling bersahutan, disusul suara benda-benda yang jatuh atau bahkan pecah. Ini bukan pertama kalinya. Ini kesekian kalinya. Seorang anak perempuan berusia enam tahun, duduk di teras rumah. Wajahnya memerah, begitu pun matanya. Dia duduk dengan tubuh gemetar. Mata merahnya itu menatap lurus ke depan. Tatapannya kosong. Suara bising dari ujung sana terdengar. Anak-anak seusia anak perempuan tadi—baik laki-laki maupun perempuan—berjalan bergerombol melintasi jalanan kompleks. Mereka beragam. Ada yang membawa bola di tangan, ada yang membawa pint
Jakarta, Juni 2009 Dear Air, Halo, Air! Ini aku, anak perempuan yang kemarin. Namaku Mika. Air, kamu tahu nggak? Waktu aku TK kemarin, guruku pernah bilang, air dan udara itu komponen tak hidup yang paling penting bagi bumi dan isinya. Tanpa keduanya, manusia, hewan, dan tumbuhan nggak akan bisa bertahan hidup. Namamu, Air, bisa berarti air dan udara. Keren! Itu nama yang keren banget. Aku iri, kamu punya nama yang keren. Oh iya, aku tulis surat ini karena kamu bilang kamu akan pindah rumah. Aku takut kita nggak bisa ketemu lagi. Aku belum bilang terima kasih yang sungguh-sungguh. Air, terima kasih, ya! Berkat kamu, aku tahu cara paling ampuh untuk menghindar dari keributan Ayah dan Bundaku di rumah. Aku harap kita bisa ketemu lagi, dan berteman. Mika Namanya Air, dan dia sedang tersenyum membaca surat yang dia temukan di depan pintu rumahnya beberapa menit yang lalu. Dia menatap rumah di depannya. Rumah yang terlihat suram. “Kalo kita ketemu lagi, aku janji akan ajak kamu b
Sepasang mata itu mengerjap pelan, menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Rasa pusing tiba-tiba menyerbu, membuat kedua alis itu tertekuk dalam. Mika merutuk dalam hati, kepalanya pusing pasti karena dia tidur terlalu lama.Gadis itu menatap jam dinding dengan nyawa yang baru terkumpul 50%. Pukul 20.00. Dia meringis pelan. Ternyata benar, dia tidur terlalu lama.Kepalanya lalu menoleh ke kanan, saat itu juga nyawanya terkumpul sempurna. Matanya membelalak.“BAJU LO MANA?!”Air yang sedang berdiri membelakangi tempat tidur, berjengit kaget. Dia refleks memutar badannya ke belakang—menghadap tempat tidur.“KENAPA MALAH MADEP SINI, SIH?!” Mika menutup kedua matanya segera. Apa salahnya hingga dia harus melihat Air dengan tubuh bagian atas tidak tertutupi sehelai kain pun?“Apa kamu bilang??” Air berjalan mendekat dengan kerutan di keningnya.“Aku bilang, ‘kenapa malah madep sini, sih?’. Kenapa, hah?”“Nggak, bukan itu. Kamu tadi manggil aku pake sebutan ‘lo’???”Kedua mata Mika refle
Jakarta, 2024Now.Tidak ada yang begitu spesial dari masa kuliah. Hanya datang ke kampus, mengikuti kuliah, rapat organisasi, lalu pulang dan mengerjakan tugas. Itu menurut Air.Dia melangkah masuk ke gedung jurusannya—teknik arsitektur. Terlalu banyak orang berlalu-lalang di sekitarnya. Dia menunduk, menghindari tatapan orang-orang yang tertuju padanya.Tinggal beberapa langkah lagi dia sampai di ruang kelasnya, punggungnya ditepuk dari belakang. Dia menghentikan langkahnya. Tanpa perlu mencari tahu siapa yang menepuk punggungnya, dia sudah tahu orangnya.“Morning, friend!” orang itu menyapa riang.“Gue bukan temen lo,” Air menyahut malas.“Terus apa? Pacar lo?”Air mendelik. Tidak mau repot-repot membalas sesuatu yang tidak penting, dia lanjut berjalan memasuki ruang kelasnya—diikuti orang tadi dari belakang.Sejak awal duduk di bangku kuliah sampai sekarang, Air masih tidak paham, kenapa setiap dirinya masuk ke kelas, semua mata akan tertuju padanya. Dia tidak nyaman dengan itu. D
Jakarta, 2021Tahun demi tahun berlalu, banyak yang berubah.Air, dia bukan lagi seorang anak kecil yang ‘ingin main terus’. Dia juga bukan lagi anak nakal yang suka mengganggu anjing tetangganya. Tapi, kini, penampilannya malah seperti anak nakal. Ralat, remaja nakal. Rambut yang dipotong dengan jalan tikus di samping, ditambah anting bulat di telinga.Masa pertumbuhan membuat fisik Air juga banyak berubah. Tubuhnya yang dulu pendek dan kurus, kini tinggi dan lebih berisi. Tangannya berurat, pun lehernya. Wajahnya… semakin tampan. Tidak heran, kini dia menjadi laki-laki paling diincar oleh kaum hawa di SMA-nya.Sikap dan sifatnya juga berubah. Dia yang dulunya cerewet dan banyak bicara, kini jadi malas bicara—kecuali pada Mika. Dia lebih tertutup sekarang—kecuali pada Mika, lagi. Dia juga tidak peduli pada hal-hal tidak penting—lagi-lagi kecuali pada Mika, sebab Mika adalah orang paling penting di hidupnya.Air yang dulu ingin punya banyak teman, ingin bermain bersama semua orang, ki
Jakarta, 2015A few months ago.“Kamu mau SMP di mana, Mika?” Air bertanya riang. Dia baru saja mendudukkan pantatnya di tempat tidur besar milik Mika.Pertemanan dekat alias persahabatan keduanya tahun ini, memasuki tahun ke-enam. Sejak membuat janji untuk tidak saling meninggalkan, keduanya benar-benar menempel satu sama lain bagaikan perangko.Selama bertahun-tahun ini, setiap pulang sekolah, Air akan mampir ke rumah Mika, setidaknya sampai malam dan Papanya menjemput pulang. Mika tinggal sendirian, benar-benar sendirian. Hanya ada satu ART yang datang di waktu-waktu tertentu untuk memasak dan membersihkan rumahnya.Kesepian? Tentu saja.Seorang anak perempuan yang usianya bahkan belum memasuki usia remaja, tinggal sendirian di rumah dua lantai, sudah pasti kesepian. Dan takut.Oleh sebab itu, Air selalu menemani Mika di rumahnya—di mana pun. Bahkan, tak jarang dia menginap di rumah Mika—hanya untuk memastikan Mika bisa tidur.Mika itu penakut, dia juga susah tidur. Terkadang, Air
Kedua orangtuanya berpisah. Cerai. Mereka meninggalkannya sendirian. Benar-benar sendirian.Tangisan Mika tak kunjung berhenti. Dia meraung sedih. Apa salah dirinya sampai orangtuanya dengan tega meninggalkannya?Raungan Mika terdengar sangat menyakitkan. Rumahnya yang dulu penuh keributan yang diciptakan Ayah dan Bundanya, kini penuh akan tangisnya.“Mika, jangan nangis lagi. Nanti mata kamu sakit.” Bahkan bujukan Air sama sekali tidak dihiraukan anak perempuan itu. Dia terus menangis, dan menangis.Papa Air yang duduk tak jauh dari situ, memijat keningnya—memikirkan solusi terbaik untuk Mika saat ini. Ini benar-benar memusingkan, tidak harusnya dia dan Air ikut campur masalah keluarga orang lain. Namun, melihat Air yang setia duduk di samping Mika sambil terus mengusap bahu anak itu, Papa Air menghela napas. Ada rasa bangga yang membuncah di dalam dirinya. Anak bungsunya itu… benar-benar terlihat dewasa. Padahal umurnya baru enam tahun.Air tidak putus asa, dia terus mengusap bahu M
Jakarta, Juni 2009 Dear Air, Halo, Air! Ini aku, anak perempuan yang kemarin. Namaku Mika. Air, kamu tahu nggak? Waktu aku TK kemarin, guruku pernah bilang, air dan udara itu komponen tak hidup yang paling penting bagi bumi dan isinya. Tanpa keduanya, manusia, hewan, dan tumbuhan nggak akan bisa bertahan hidup. Namamu, Air, bisa berarti air dan udara. Keren! Itu nama yang keren banget. Aku iri, kamu punya nama yang keren. Oh iya, aku tulis surat ini karena kamu bilang kamu akan pindah rumah. Aku takut kita nggak bisa ketemu lagi. Aku belum bilang terima kasih yang sungguh-sungguh. Air, terima kasih, ya! Berkat kamu, aku tahu cara paling ampuh untuk menghindar dari keributan Ayah dan Bundaku di rumah. Aku harap kita bisa ketemu lagi, dan berteman. Mika Namanya Air, dan dia sedang tersenyum membaca surat yang dia temukan di depan pintu rumahnya beberapa menit yang lalu. Dia menatap rumah di depannya. Rumah yang terlihat suram. “Kalo kita ketemu lagi, aku janji akan ajak kamu b
Jakarta, 2009 Hari itu, langit sedang bersahabat. Cerah dan dipenuhi awan putih yang bergumul. Pohon-pohon hijau bergerak ke kiri dan ke kanan diterpa angin segar. Ciptaan-ciptaan Tuhan itu seakan sedang berkata: hari ini adalah hari sejahtera. Ya, sejahtera. Tapi tidak dengan salah satu rumah yang berada di tengah-tengah kompleks perumahan paling diincar di Ibu Kota. Rumah itu, jauh dari kata sejahtera. Di dalamnya, teriakan-teriakan kasar saling bersahutan, disusul suara benda-benda yang jatuh atau bahkan pecah. Ini bukan pertama kalinya. Ini kesekian kalinya. Seorang anak perempuan berusia enam tahun, duduk di teras rumah. Wajahnya memerah, begitu pun matanya. Dia duduk dengan tubuh gemetar. Mata merahnya itu menatap lurus ke depan. Tatapannya kosong. Suara bising dari ujung sana terdengar. Anak-anak seusia anak perempuan tadi—baik laki-laki maupun perempuan—berjalan bergerombol melintasi jalanan kompleks. Mereka beragam. Ada yang membawa bola di tangan, ada yang membawa pint