Jakarta, 2015
A few months ago.
“Kamu mau SMP di mana, Mika?” Air bertanya riang. Dia baru saja mendudukkan pantatnya di tempat tidur besar milik Mika.
Pertemanan dekat alias persahabatan keduanya tahun ini, memasuki tahun ke-enam. Sejak membuat janji untuk tidak saling meninggalkan, keduanya benar-benar menempel satu sama lain bagaikan perangko.
Selama bertahun-tahun ini, setiap pulang sekolah, Air akan mampir ke rumah Mika, setidaknya sampai malam dan Papanya menjemput pulang. Mika tinggal sendirian, benar-benar sendirian. Hanya ada satu ART yang datang di waktu-waktu tertentu untuk memasak dan membersihkan rumahnya.
Kesepian? Tentu saja.
Seorang anak perempuan yang usianya bahkan belum memasuki usia remaja, tinggal sendirian di rumah dua lantai, sudah pasti kesepian. Dan takut.
Oleh sebab itu, Air selalu menemani Mika di rumahnya—di mana pun. Bahkan, tak jarang dia menginap di rumah Mika—hanya untuk memastikan Mika bisa tidur.
Mika itu penakut, dia juga susah tidur. Terkadang, Air harus menemaninya hingga tertidur, baru anak itu bisa ikut tidur juga.
“Aku boleh ikut kamu aja nggak SMP-nya?”
Air seketika menghentikan kegiatannya bermain game di sebuah benda mini yang baru Papanya belikan beberapa minggu lalu. “Serius??? Boleeeehhh,” dia menjawab senang.
“Oke, deh.”
Di sinilah keduanya sekarang. Di salah satu SMP swasta terbaik di Ibu Kota. Mereka berdua akan bersama-sama lagi untuk tiga tahun ke depan.
Masa MPLS baru berakhir beberapa hari yang lalu. Pembagian kelas sudah dilakukan. Air dan Mika, nasib keduanya sama seperti saat SD, mereka berada di kelas yang berbeda. Sedih? Tentu. Tapi tidak berlangsung lama. Air telah berjanji akan mengunjungi Mika di kelasnya setiap hari, dan mengajaknya bermain setiap jam istirahat.
Bel istirahat berdering panjang.
Anak laki-laki umur sebelas tahun itu melangkahkan kakinya dengan semangat berapi-api menuju kelas Mika—kelas 7-1. Tangannya menggenggam bola kasti berwarna hijau. Dia berencana mengajak Mika bermain lempar kasti di lapangan sekolah.
Air mengernyit melihat pintu kelas 7-1 tertutup, padahal bel istirahat sudah berbunyi dari tadi. Dia menggeser tubuhnya ke arah jendela. Kepalanya dia tempelkan ke jendela, mengintip isi dalam kelas. Tadi, dia pikir, kelas itu masih ada guru di dalamnya. Namun, ketika melihat kondisi di dalam kelas, matanya membelalak kaget.
Tanpa butuh waktu lama, dia menendang pintu kelas yang tidak dikunci hingga pintu itu terbuka. Tubuhnya setengah gemetar melihat Mika—sahabat kesayangannya—terduduk di ujung kelas dengan kondisi mengenaskan. Seragamnya berantakan, wajahnya penuh air mata, dan yang paling membuat emosi Air meledak adalah rambut sahabatnya itu dijambak kasar oleh seorang anak laki-laki.
BUGH!
Anak laki-laki yang menjambak rambut rambut Mika, terlempar jatuh ke depan ketika bola kasti milik Air menghantam keras belakang kepalanya.
Seisi kelas berteriak kaget. Anak-anak yang tadi mengerubungi Mika, berlarian keluar kelas memanggil guru. Air tidak peduli. Dia melangkah cepat ke ujung kelas.
Mika yang menyadari kehadiran Air, segera berdiri dengan susah payah. Dengan langkah terseok-seok, dia berlari memeluk Air.
Tangisannya pecah, sepecah-pecahnya.
“A-air, me-mereka bully a-aku…” Isakan Mika begitu memilukan, menghancurkan hati Air secara perlahan. “M-mereka bilang, aku anak jahat…, m-makanya, Ayah dan Bunda ninggalin aku.”
Anak perempuan itu menarik tubuhnya. Dia menatap Air dengan bola mata berlapis cairan bening yang siap tumpah kapan saja. “Air, a-aku ini anak jahat?” dia bertanya dengan suara bergetar.
Bahu Air melemas. Dia mengeraskan rahangnya seraya menggeleng. Tangannya terangkat, mengusap lembut rambut berantakan Mika. “Kamu nggak pernah jadi anak yang jahat, Mika. Kamu anak baik. Jangan dengerin omongan orang lain, cukup dengerin omonganku aja.”
Mika mengangguk patuh. Anak perempuan itu bersyukur dalam hati, Tuhan selalu mengirimkan Air untuknya di saat-saat seperti ini, sejak bertahun-tahun lalu. Dia bersyukur dan berterima kasih. Air itu pelindung dan penyelamatnya.
***
Ruang BK terasa mencekam dan mencekik. Ruangan itu menampung guru BK, Air, Mika, wali kelas Air dan Mika, Papa Air, Digo—anak laki-laki yang menjadi korban dari bola kasti milik Air, dan Ibu Digo.
“Jadi…, apakah kamu melakukan bullying terhadap Mika, Digo?” guru BK bertanya, tidak menuduh, tapi suaranya tegas.
“Nggak, Bu. Saya nggak bully Mika,” Digo mengelak. Tangannya mengusap kepala belakangnya yang benjol.
“Nggak bully Mika???” Air berdecih di tempatnya. Tangannya terkepal di bawah sana. “Bully atau perundungan, memiliki salah satu arti: seseorang yang menggunakan kekuatan untuk menyakiti orang lain. Kamu tadi jambak Mika! Kamu kira saya buta?!” dia membentak kasar.
Guru BK menyuruh Air tenang. Beliau akhirnya mengambil keputusan untuk menghukum Digo dengan skorsing selama satu minggu. Bagaimanapun juga, banyak saksi mata yang melihat aksi Digo menyakiti Mika.
Ibu Digo meminta maaf pada Mika, dan juga Air.
Papa Air juga ikut meminta maaf pada Ibu Digo. Dia tidak membenarkan perlakuan anaknya melempar Digo dengan bola kasti. Namun, hal itu membuat Air tidak setuju.
“Air nggak salah, Pa! Nggak usah minta maaf! Kalau tadi Air nggak lempar anak itu, mungkin dia nggak bakal berhenti jambak Mika!”
“Tapi tetap saja, Nak. Kamu bisa, kok, ngomong baik-ba—”
“Nggak bisa!” Air memotong omongan Papanya cepat. Dia menarik Mika yang duduk di sebelahnya agar berdiri. Tatapan tajamnya menghunjam Digo yang duduk di seberang.
“Saya Isa Airlangga, kelas 7-3. Ingat nama saya baik-baik. Kalau saya lihat kamu nyakitin Mika lagi kayak tadi…, saya nggak takut dan nggak ragu untuk lempar kamu seratus kali lebih keras dari yang tadi.”
***
Dua orang anak SMP—masih dengan seragam putih-biru yang melekat di tubuh—berdiri mengantre di salah satu toko ice cream. Mata keduanya berbinar melihat beragam jenis ice cream yang tersedia.
“Kamu mau rasa apa, Mika?”
“Aku mau rasa vanila, Air.”
“Oke, aku juga mau samain kayak kamu.”
Keduanya tertawa geli.
Angin sepoi-sepoi di taman kompleks menemani keduanya menikmati ice cream masing-masing. Sesekali, Air menyodorkan tissue untuk Mika, guna menyeka ice cream yang mengotori bibir anak perempuan itu.
“Air…, aku SMA-nya ikut kamu lagi, ya? Boleh, kan?” Mika bertanya tiba-tiba. Dia berpikir, kejadian tadi membuatnya sangat takut. Jika dia tidak selalu berada di dekat Air, dia tidak tahu lagi akan seperti apa nasibnya.
“Boleh, lah. Selalu boleh.”
“Okee, makasih.”
Hening.
“Mika,” panggil Air.
“Hm?”
“Kalau ada yang jahatin kamu lagi kayak tadi, jangan diam aja, ya? Jangan takut dan jangan nangis. Nangis cuma bakal buat kamu kelihatan lemah, dan ‘mereka’ bakal semakin senang ganggu dan nyakitin kamu. Kamu harus lawan ‘mereka’.”
“Iya, Air. Maaf, ya.”
Air menggeleng. “Nggak perlu minta maaf. Yang penting janji, kamu harus bisa lindungin diri kamu sendiri. Kamu harus bisa ngelawan.”
“Dengan cara lempar mereka pake bola kasti juga?” dia bertanya polos.
Air terdiam. “Y-ya jangan juga, sih… Sebenarnya, itu nggak baik,” cicitnya.
Mika tertawa pelan. “Oke.” Dia menepuk bahu Air. “Aku janji bakal lindungin diriku sendiri. Aku juga janji bakal lindungin kamu. Kamu lindungin aku terus, tapi aku belum pernah lindungin kamu. Mulai besok, kalau ada yang jahatin kamu, aku bakal maju paling depan buat lindungin kamu dari ‘mereka’.”
Jakarta, 2021Tahun demi tahun berlalu, banyak yang berubah.Air, dia bukan lagi seorang anak kecil yang ‘ingin main terus’. Dia juga bukan lagi anak nakal yang suka mengganggu anjing tetangganya. Tapi, kini, penampilannya malah seperti anak nakal. Ralat, remaja nakal. Rambut yang dipotong dengan jalan tikus di samping, ditambah anting bulat di telinga.Masa pertumbuhan membuat fisik Air juga banyak berubah. Tubuhnya yang dulu pendek dan kurus, kini tinggi dan lebih berisi. Tangannya berurat, pun lehernya. Wajahnya… semakin tampan. Tidak heran, kini dia menjadi laki-laki paling diincar oleh kaum hawa di SMA-nya.Sikap dan sifatnya juga berubah. Dia yang dulunya cerewet dan banyak bicara, kini jadi malas bicara—kecuali pada Mika. Dia lebih tertutup sekarang—kecuali pada Mika, lagi. Dia juga tidak peduli pada hal-hal tidak penting—lagi-lagi kecuali pada Mika, sebab Mika adalah orang paling penting di hidupnya.Air yang dulu ingin punya banyak teman, ingin bermain bersama semua orang, ki
Jakarta, 2024Now.Tidak ada yang begitu spesial dari masa kuliah. Hanya datang ke kampus, mengikuti kuliah, rapat organisasi, lalu pulang dan mengerjakan tugas. Itu menurut Air.Dia melangkah masuk ke gedung jurusannya—teknik arsitektur. Terlalu banyak orang berlalu-lalang di sekitarnya. Dia menunduk, menghindari tatapan orang-orang yang tertuju padanya.Tinggal beberapa langkah lagi dia sampai di ruang kelasnya, punggungnya ditepuk dari belakang. Dia menghentikan langkahnya. Tanpa perlu mencari tahu siapa yang menepuk punggungnya, dia sudah tahu orangnya.“Morning, friend!” orang itu menyapa riang.“Gue bukan temen lo,” Air menyahut malas.“Terus apa? Pacar lo?”Air mendelik. Tidak mau repot-repot membalas sesuatu yang tidak penting, dia lanjut berjalan memasuki ruang kelasnya—diikuti orang tadi dari belakang.Sejak awal duduk di bangku kuliah sampai sekarang, Air masih tidak paham, kenapa setiap dirinya masuk ke kelas, semua mata akan tertuju padanya. Dia tidak nyaman dengan itu. D
Sepasang mata itu mengerjap pelan, menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Rasa pusing tiba-tiba menyerbu, membuat kedua alis itu tertekuk dalam. Mika merutuk dalam hati, kepalanya pusing pasti karena dia tidur terlalu lama.Gadis itu menatap jam dinding dengan nyawa yang baru terkumpul 50%. Pukul 20.00. Dia meringis pelan. Ternyata benar, dia tidur terlalu lama.Kepalanya lalu menoleh ke kanan, saat itu juga nyawanya terkumpul sempurna. Matanya membelalak.“BAJU LO MANA?!”Air yang sedang berdiri membelakangi tempat tidur, berjengit kaget. Dia refleks memutar badannya ke belakang—menghadap tempat tidur.“KENAPA MALAH MADEP SINI, SIH?!” Mika menutup kedua matanya segera. Apa salahnya hingga dia harus melihat Air dengan tubuh bagian atas tidak tertutupi sehelai kain pun?“Apa kamu bilang??” Air berjalan mendekat dengan kerutan di keningnya.“Aku bilang, ‘kenapa malah madep sini, sih?’. Kenapa, hah?”“Nggak, bukan itu. Kamu tadi manggil aku pake sebutan ‘lo’???”Kedua mata Mika refle
Jakarta, 2009 Hari itu, langit sedang bersahabat. Cerah dan dipenuhi awan putih yang bergumul. Pohon-pohon hijau bergerak ke kiri dan ke kanan diterpa angin segar. Ciptaan-ciptaan Tuhan itu seakan sedang berkata: hari ini adalah hari sejahtera. Ya, sejahtera. Tapi tidak dengan salah satu rumah yang berada di tengah-tengah kompleks perumahan paling diincar di Ibu Kota. Rumah itu, jauh dari kata sejahtera. Di dalamnya, teriakan-teriakan kasar saling bersahutan, disusul suara benda-benda yang jatuh atau bahkan pecah. Ini bukan pertama kalinya. Ini kesekian kalinya. Seorang anak perempuan berusia enam tahun, duduk di teras rumah. Wajahnya memerah, begitu pun matanya. Dia duduk dengan tubuh gemetar. Mata merahnya itu menatap lurus ke depan. Tatapannya kosong. Suara bising dari ujung sana terdengar. Anak-anak seusia anak perempuan tadi—baik laki-laki maupun perempuan—berjalan bergerombol melintasi jalanan kompleks. Mereka beragam. Ada yang membawa bola di tangan, ada yang membawa pint
Jakarta, Juni 2009 Dear Air, Halo, Air! Ini aku, anak perempuan yang kemarin. Namaku Mika. Air, kamu tahu nggak? Waktu aku TK kemarin, guruku pernah bilang, air dan udara itu komponen tak hidup yang paling penting bagi bumi dan isinya. Tanpa keduanya, manusia, hewan, dan tumbuhan nggak akan bisa bertahan hidup. Namamu, Air, bisa berarti air dan udara. Keren! Itu nama yang keren banget. Aku iri, kamu punya nama yang keren. Oh iya, aku tulis surat ini karena kamu bilang kamu akan pindah rumah. Aku takut kita nggak bisa ketemu lagi. Aku belum bilang terima kasih yang sungguh-sungguh. Air, terima kasih, ya! Berkat kamu, aku tahu cara paling ampuh untuk menghindar dari keributan Ayah dan Bundaku di rumah. Aku harap kita bisa ketemu lagi, dan berteman. Mika Namanya Air, dan dia sedang tersenyum membaca surat yang dia temukan di depan pintu rumahnya beberapa menit yang lalu. Dia menatap rumah di depannya. Rumah yang terlihat suram. “Kalo kita ketemu lagi, aku janji akan ajak kamu b
Kedua orangtuanya berpisah. Cerai. Mereka meninggalkannya sendirian. Benar-benar sendirian.Tangisan Mika tak kunjung berhenti. Dia meraung sedih. Apa salah dirinya sampai orangtuanya dengan tega meninggalkannya?Raungan Mika terdengar sangat menyakitkan. Rumahnya yang dulu penuh keributan yang diciptakan Ayah dan Bundanya, kini penuh akan tangisnya.“Mika, jangan nangis lagi. Nanti mata kamu sakit.” Bahkan bujukan Air sama sekali tidak dihiraukan anak perempuan itu. Dia terus menangis, dan menangis.Papa Air yang duduk tak jauh dari situ, memijat keningnya—memikirkan solusi terbaik untuk Mika saat ini. Ini benar-benar memusingkan, tidak harusnya dia dan Air ikut campur masalah keluarga orang lain. Namun, melihat Air yang setia duduk di samping Mika sambil terus mengusap bahu anak itu, Papa Air menghela napas. Ada rasa bangga yang membuncah di dalam dirinya. Anak bungsunya itu… benar-benar terlihat dewasa. Padahal umurnya baru enam tahun.Air tidak putus asa, dia terus mengusap bahu M
Sepasang mata itu mengerjap pelan, menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Rasa pusing tiba-tiba menyerbu, membuat kedua alis itu tertekuk dalam. Mika merutuk dalam hati, kepalanya pusing pasti karena dia tidur terlalu lama.Gadis itu menatap jam dinding dengan nyawa yang baru terkumpul 50%. Pukul 20.00. Dia meringis pelan. Ternyata benar, dia tidur terlalu lama.Kepalanya lalu menoleh ke kanan, saat itu juga nyawanya terkumpul sempurna. Matanya membelalak.“BAJU LO MANA?!”Air yang sedang berdiri membelakangi tempat tidur, berjengit kaget. Dia refleks memutar badannya ke belakang—menghadap tempat tidur.“KENAPA MALAH MADEP SINI, SIH?!” Mika menutup kedua matanya segera. Apa salahnya hingga dia harus melihat Air dengan tubuh bagian atas tidak tertutupi sehelai kain pun?“Apa kamu bilang??” Air berjalan mendekat dengan kerutan di keningnya.“Aku bilang, ‘kenapa malah madep sini, sih?’. Kenapa, hah?”“Nggak, bukan itu. Kamu tadi manggil aku pake sebutan ‘lo’???”Kedua mata Mika refle
Jakarta, 2024Now.Tidak ada yang begitu spesial dari masa kuliah. Hanya datang ke kampus, mengikuti kuliah, rapat organisasi, lalu pulang dan mengerjakan tugas. Itu menurut Air.Dia melangkah masuk ke gedung jurusannya—teknik arsitektur. Terlalu banyak orang berlalu-lalang di sekitarnya. Dia menunduk, menghindari tatapan orang-orang yang tertuju padanya.Tinggal beberapa langkah lagi dia sampai di ruang kelasnya, punggungnya ditepuk dari belakang. Dia menghentikan langkahnya. Tanpa perlu mencari tahu siapa yang menepuk punggungnya, dia sudah tahu orangnya.“Morning, friend!” orang itu menyapa riang.“Gue bukan temen lo,” Air menyahut malas.“Terus apa? Pacar lo?”Air mendelik. Tidak mau repot-repot membalas sesuatu yang tidak penting, dia lanjut berjalan memasuki ruang kelasnya—diikuti orang tadi dari belakang.Sejak awal duduk di bangku kuliah sampai sekarang, Air masih tidak paham, kenapa setiap dirinya masuk ke kelas, semua mata akan tertuju padanya. Dia tidak nyaman dengan itu. D
Jakarta, 2021Tahun demi tahun berlalu, banyak yang berubah.Air, dia bukan lagi seorang anak kecil yang ‘ingin main terus’. Dia juga bukan lagi anak nakal yang suka mengganggu anjing tetangganya. Tapi, kini, penampilannya malah seperti anak nakal. Ralat, remaja nakal. Rambut yang dipotong dengan jalan tikus di samping, ditambah anting bulat di telinga.Masa pertumbuhan membuat fisik Air juga banyak berubah. Tubuhnya yang dulu pendek dan kurus, kini tinggi dan lebih berisi. Tangannya berurat, pun lehernya. Wajahnya… semakin tampan. Tidak heran, kini dia menjadi laki-laki paling diincar oleh kaum hawa di SMA-nya.Sikap dan sifatnya juga berubah. Dia yang dulunya cerewet dan banyak bicara, kini jadi malas bicara—kecuali pada Mika. Dia lebih tertutup sekarang—kecuali pada Mika, lagi. Dia juga tidak peduli pada hal-hal tidak penting—lagi-lagi kecuali pada Mika, sebab Mika adalah orang paling penting di hidupnya.Air yang dulu ingin punya banyak teman, ingin bermain bersama semua orang, ki
Jakarta, 2015A few months ago.“Kamu mau SMP di mana, Mika?” Air bertanya riang. Dia baru saja mendudukkan pantatnya di tempat tidur besar milik Mika.Pertemanan dekat alias persahabatan keduanya tahun ini, memasuki tahun ke-enam. Sejak membuat janji untuk tidak saling meninggalkan, keduanya benar-benar menempel satu sama lain bagaikan perangko.Selama bertahun-tahun ini, setiap pulang sekolah, Air akan mampir ke rumah Mika, setidaknya sampai malam dan Papanya menjemput pulang. Mika tinggal sendirian, benar-benar sendirian. Hanya ada satu ART yang datang di waktu-waktu tertentu untuk memasak dan membersihkan rumahnya.Kesepian? Tentu saja.Seorang anak perempuan yang usianya bahkan belum memasuki usia remaja, tinggal sendirian di rumah dua lantai, sudah pasti kesepian. Dan takut.Oleh sebab itu, Air selalu menemani Mika di rumahnya—di mana pun. Bahkan, tak jarang dia menginap di rumah Mika—hanya untuk memastikan Mika bisa tidur.Mika itu penakut, dia juga susah tidur. Terkadang, Air
Kedua orangtuanya berpisah. Cerai. Mereka meninggalkannya sendirian. Benar-benar sendirian.Tangisan Mika tak kunjung berhenti. Dia meraung sedih. Apa salah dirinya sampai orangtuanya dengan tega meninggalkannya?Raungan Mika terdengar sangat menyakitkan. Rumahnya yang dulu penuh keributan yang diciptakan Ayah dan Bundanya, kini penuh akan tangisnya.“Mika, jangan nangis lagi. Nanti mata kamu sakit.” Bahkan bujukan Air sama sekali tidak dihiraukan anak perempuan itu. Dia terus menangis, dan menangis.Papa Air yang duduk tak jauh dari situ, memijat keningnya—memikirkan solusi terbaik untuk Mika saat ini. Ini benar-benar memusingkan, tidak harusnya dia dan Air ikut campur masalah keluarga orang lain. Namun, melihat Air yang setia duduk di samping Mika sambil terus mengusap bahu anak itu, Papa Air menghela napas. Ada rasa bangga yang membuncah di dalam dirinya. Anak bungsunya itu… benar-benar terlihat dewasa. Padahal umurnya baru enam tahun.Air tidak putus asa, dia terus mengusap bahu M
Jakarta, Juni 2009 Dear Air, Halo, Air! Ini aku, anak perempuan yang kemarin. Namaku Mika. Air, kamu tahu nggak? Waktu aku TK kemarin, guruku pernah bilang, air dan udara itu komponen tak hidup yang paling penting bagi bumi dan isinya. Tanpa keduanya, manusia, hewan, dan tumbuhan nggak akan bisa bertahan hidup. Namamu, Air, bisa berarti air dan udara. Keren! Itu nama yang keren banget. Aku iri, kamu punya nama yang keren. Oh iya, aku tulis surat ini karena kamu bilang kamu akan pindah rumah. Aku takut kita nggak bisa ketemu lagi. Aku belum bilang terima kasih yang sungguh-sungguh. Air, terima kasih, ya! Berkat kamu, aku tahu cara paling ampuh untuk menghindar dari keributan Ayah dan Bundaku di rumah. Aku harap kita bisa ketemu lagi, dan berteman. Mika Namanya Air, dan dia sedang tersenyum membaca surat yang dia temukan di depan pintu rumahnya beberapa menit yang lalu. Dia menatap rumah di depannya. Rumah yang terlihat suram. “Kalo kita ketemu lagi, aku janji akan ajak kamu b
Jakarta, 2009 Hari itu, langit sedang bersahabat. Cerah dan dipenuhi awan putih yang bergumul. Pohon-pohon hijau bergerak ke kiri dan ke kanan diterpa angin segar. Ciptaan-ciptaan Tuhan itu seakan sedang berkata: hari ini adalah hari sejahtera. Ya, sejahtera. Tapi tidak dengan salah satu rumah yang berada di tengah-tengah kompleks perumahan paling diincar di Ibu Kota. Rumah itu, jauh dari kata sejahtera. Di dalamnya, teriakan-teriakan kasar saling bersahutan, disusul suara benda-benda yang jatuh atau bahkan pecah. Ini bukan pertama kalinya. Ini kesekian kalinya. Seorang anak perempuan berusia enam tahun, duduk di teras rumah. Wajahnya memerah, begitu pun matanya. Dia duduk dengan tubuh gemetar. Mata merahnya itu menatap lurus ke depan. Tatapannya kosong. Suara bising dari ujung sana terdengar. Anak-anak seusia anak perempuan tadi—baik laki-laki maupun perempuan—berjalan bergerombol melintasi jalanan kompleks. Mereka beragam. Ada yang membawa bola di tangan, ada yang membawa pint