Share

CHAPTER 2. LETTER

Penulis: Vee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Jakarta, Juni 2009

Dear Air,

Halo, Air! Ini aku, anak perempuan yang kemarin. Namaku Mika.

Air, kamu tahu nggak? Waktu aku TK kemarin, guruku pernah bilang, air dan udara itu komponen tak hidup yang paling penting bagi bumi dan isinya. Tanpa keduanya, manusia, hewan, dan tumbuhan nggak akan bisa bertahan hidup. Namamu, Air, bisa berarti air dan udara. Keren! Itu nama yang keren banget. Aku iri, kamu punya nama yang keren.

Oh iya, aku tulis surat ini karena kamu bilang kamu akan pindah rumah. Aku takut kita nggak bisa ketemu lagi. Aku belum bilang terima kasih yang sungguh-sungguh.

Air, terima kasih, ya! Berkat kamu, aku tahu cara paling ampuh untuk menghindar dari keributan Ayah dan Bundaku di rumah.

Aku harap kita bisa ketemu lagi, dan berteman.

Mika

Namanya Air, dan dia sedang tersenyum membaca surat yang dia temukan di depan pintu rumahnya beberapa menit yang lalu.

Dia menatap rumah di depannya. Rumah yang terlihat suram. “Kalo kita ketemu lagi, aku janji akan ajak kamu berteman, Mika. Sampai jumpa.”

***

Hari pertama sebagai murid sekolah dasar cukup menakjubkan dan menyenangkan bagi Air. Dia bertemu banyak teman baru. Dia juga mengenakan seragam putih-merah yang terlihat keren.

Sekarang dia sedang menatap pekarangan sekolah yang mulai sepi karena satu per satu murid sudah dijemput pulang. Siang yang panas tidak membuatnya bosan dan lelah menunggu Papanya menjemput.

Matanya memicing melihat seorang murid perempuan yang baru saja keluar dari ruang kelas 1-C dengan terburu-buru. Dia menggunakan tas berwarna merah muda dengan motif bunga edelweiss putih. Rambut panjangnya yang digerai, berterbangan diterpa angin.

Air kenal murid itu. Matanya melebar kaget.

Itu Mika!

Kakinya ingin berlari menghampiri, namun terlambat. Mika sudah tenggelam di dalam sebuah mobil putih yang menjemputnya.

“Air, ayo pulang.”

Papa Air sudah menjemput. Dengan langkah tidak bersemangat, dia mengikuti Papanya masuk ke dalam mobil.

Dia menatap jalanan dalam diam. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di otaknya. Wajahnya yang semula lesu, berubah sumringah.

“Papa, tolong ajarin Air menulis surat!”

***

Jakarta, Juli 2009

Dear Mika,

Hai, Mika… Ini Air. Iya, Air yang artinya bisa air, bisa juga udara itu.

Mika, hari ini aku lihat kamu di sekolahku. Kita ternyata satu sekolah, loh. Kamu kelas 1-C, kan? Aku kelas 1-A. Aku lihat kamu, tapi aku nggak sempat menyapa kamu.

Aku tulis surat ini sebagai balasan suratmu satu bulan yang lalu. Aku dibantu Papa. Papa bilang, membalas surat itu penting, jadi Papa mau bantu aku.

Aku sebenarnya ingin membalas suratmu dari bulan lalu, tapi aku nggak tahu cara memberikan surat balasanku nanti. Rumahmu dan rumah baruku jaraknya jauh, dan aku belum bisa membawa mobil seperti Papaku.

Tapi, karena ternyata kita satu sekolah, aku akan memberikan surat balasan ini padamu besok. Maaf, ya, suratku tidak sebagus dan serapi suratmu. Isinya berantakan, seperti tulisannya, mirip ceker ayam. Aku heran, anak kecil sepertimu, kok, bisa menulis surat sebagus itu. Bahkan, tulisanmu sangat rapi dan bagus! Kamu belajar dari mana, tuh?

Ngomong-ngomong, karena kita akan bertemu lagi… ayo berteman!

Air

Surat balasan itu sudah terbungkus rapi di dalam amplop. Dengan langkah percaya diri, Air memasuki ruang kelas 1-C. Matanya memindai isi ruangan. Tapi, yang dia cari… tidak ada.

“Eh, kamu!”

“Apa?” anak laki-laki yang dia panggil menyahut.

“Di kelasmu ini, ada, kan, yang namanya Mika? Anak perempuan…, rambutnya panjang.”

“Ada. Tapi hari ini dia nggak masuk sekolah.”

“Hah? Kenapa nggak masuk?”

“Nggak tahu. Nggak ada kabar.”

Bahu Air merosot jatuh. Dia melangkah keluar kelas dengan kecewa.

“Kenapa, ya, Mika nggak masuk sekolah?” dia bertanya pada rumput-rumput di halaman sekolah yang bergoyang.

“Nggak apa-apa. Besok aja kasihnya.”

Esoknya. Hari kedua.

“Si Mika itu…, ada?” Air bertanya pada anak laki-laki yang kemarin.

“Nggak ada. Nggak masuk lagi hari ini.”

“Oke, makasih.” Air berjalan menunduk dengan amplop putih di tangan. “Besok aja, deh. Paling besok Mika udah masuk sekolah.”

“Mungkin Mika sakit, ya?” kali ini dia bertanya pada angin yang lewat.

“Kalau sakit, pasti kasihan.”

Hari ketiga.

“Mika nggak ada,” anak laki-laki yang sama berkata ketika Air baru menampakkan batang hidungnya di kelas 1-C.

“Apa Mika beneran sakit, ya??” Air bertanya panik. Anak laki-laki di depannya itu mengedikkan bahu, tidak tahu dan tidak peduli.

Hari itu, Air ingin bel pulang sekolah berdering secepatnya. Ketika Papanya menjemput, dia berseru, “Papa, tolong antar Air jenguk anak perempuan itu! Kayaknya dia sakit. Kasihan dia.”

Papa Air mengangguk. Dia tahu siapa ‘anak perempuan’ yang dimaksud anaknya itu.

Mobil Papa Air benar-benar berhenti di depan rumah Mika. Keduanya turun, tidak terburu-buru. Namun, ketika melihat garasi yang kosong dan pintu rumah yang setengah terbuka, Air mempercepat langkahnya masuk ke rumah. Tanpa mengetuk, dia mendorong pintu kayu tersebut.

Matanya melebar. Dia berteriak memanggil Papanya yang tertinggal di belakang.

Anak perempuan itu… tergeletak tak berdaya di ruang tamu.

Air mendekat untuk melihat lebih jelas. Wajah Mika pucat pasi dengan keringat mengucur membasahi keningnya. Rambut lepeknya berantakan. Yang paling parah, pelipisnya sobek dan mengeluarkan darah yang hampir mengering.

“Papa! Tolong teman Air!”

Hari itu, semesta bekerja demikian, mendatangkan Air sebagai penyelamat hidup Mika.

Bab terkait

  • Cinta Membuatku Takut Kehilangan   CHAPTER 3. DON'T LEAVE EACH OTHER

    Kedua orangtuanya berpisah. Cerai. Mereka meninggalkannya sendirian. Benar-benar sendirian.Tangisan Mika tak kunjung berhenti. Dia meraung sedih. Apa salah dirinya sampai orangtuanya dengan tega meninggalkannya?Raungan Mika terdengar sangat menyakitkan. Rumahnya yang dulu penuh keributan yang diciptakan Ayah dan Bundanya, kini penuh akan tangisnya.“Mika, jangan nangis lagi. Nanti mata kamu sakit.” Bahkan bujukan Air sama sekali tidak dihiraukan anak perempuan itu. Dia terus menangis, dan menangis.Papa Air yang duduk tak jauh dari situ, memijat keningnya—memikirkan solusi terbaik untuk Mika saat ini. Ini benar-benar memusingkan, tidak harusnya dia dan Air ikut campur masalah keluarga orang lain. Namun, melihat Air yang setia duduk di samping Mika sambil terus mengusap bahu anak itu, Papa Air menghela napas. Ada rasa bangga yang membuncah di dalam dirinya. Anak bungsunya itu… benar-benar terlihat dewasa. Padahal umurnya baru enam tahun.Air tidak putus asa, dia terus mengusap bahu M

  • Cinta Membuatku Takut Kehilangan   CHAPTER 4. JUNIOR HIGH SCHOOL

    Jakarta, 2015A few months ago.“Kamu mau SMP di mana, Mika?” Air bertanya riang. Dia baru saja mendudukkan pantatnya di tempat tidur besar milik Mika.Pertemanan dekat alias persahabatan keduanya tahun ini, memasuki tahun ke-enam. Sejak membuat janji untuk tidak saling meninggalkan, keduanya benar-benar menempel satu sama lain bagaikan perangko.Selama bertahun-tahun ini, setiap pulang sekolah, Air akan mampir ke rumah Mika, setidaknya sampai malam dan Papanya menjemput pulang. Mika tinggal sendirian, benar-benar sendirian. Hanya ada satu ART yang datang di waktu-waktu tertentu untuk memasak dan membersihkan rumahnya.Kesepian? Tentu saja.Seorang anak perempuan yang usianya bahkan belum memasuki usia remaja, tinggal sendirian di rumah dua lantai, sudah pasti kesepian. Dan takut.Oleh sebab itu, Air selalu menemani Mika di rumahnya—di mana pun. Bahkan, tak jarang dia menginap di rumah Mika—hanya untuk memastikan Mika bisa tidur.Mika itu penakut, dia juga susah tidur. Terkadang, Air

  • Cinta Membuatku Takut Kehilangan   CHAPTER 5. SENIOR HIGH SCHOOL

    Jakarta, 2021Tahun demi tahun berlalu, banyak yang berubah.Air, dia bukan lagi seorang anak kecil yang ‘ingin main terus’. Dia juga bukan lagi anak nakal yang suka mengganggu anjing tetangganya. Tapi, kini, penampilannya malah seperti anak nakal. Ralat, remaja nakal. Rambut yang dipotong dengan jalan tikus di samping, ditambah anting bulat di telinga.Masa pertumbuhan membuat fisik Air juga banyak berubah. Tubuhnya yang dulu pendek dan kurus, kini tinggi dan lebih berisi. Tangannya berurat, pun lehernya. Wajahnya… semakin tampan. Tidak heran, kini dia menjadi laki-laki paling diincar oleh kaum hawa di SMA-nya.Sikap dan sifatnya juga berubah. Dia yang dulunya cerewet dan banyak bicara, kini jadi malas bicara—kecuali pada Mika. Dia lebih tertutup sekarang—kecuali pada Mika, lagi. Dia juga tidak peduli pada hal-hal tidak penting—lagi-lagi kecuali pada Mika, sebab Mika adalah orang paling penting di hidupnya.Air yang dulu ingin punya banyak teman, ingin bermain bersama semua orang, ki

  • Cinta Membuatku Takut Kehilangan   CHAPTER 6. COLLEGE LIFE

    Jakarta, 2024Now.Tidak ada yang begitu spesial dari masa kuliah. Hanya datang ke kampus, mengikuti kuliah, rapat organisasi, lalu pulang dan mengerjakan tugas. Itu menurut Air.Dia melangkah masuk ke gedung jurusannya—teknik arsitektur. Terlalu banyak orang berlalu-lalang di sekitarnya. Dia menunduk, menghindari tatapan orang-orang yang tertuju padanya.Tinggal beberapa langkah lagi dia sampai di ruang kelasnya, punggungnya ditepuk dari belakang. Dia menghentikan langkahnya. Tanpa perlu mencari tahu siapa yang menepuk punggungnya, dia sudah tahu orangnya.“Morning, friend!” orang itu menyapa riang.“Gue bukan temen lo,” Air menyahut malas.“Terus apa? Pacar lo?”Air mendelik. Tidak mau repot-repot membalas sesuatu yang tidak penting, dia lanjut berjalan memasuki ruang kelasnya—diikuti orang tadi dari belakang.Sejak awal duduk di bangku kuliah sampai sekarang, Air masih tidak paham, kenapa setiap dirinya masuk ke kelas, semua mata akan tertuju padanya. Dia tidak nyaman dengan itu. D

  • Cinta Membuatku Takut Kehilangan   CHAPTER 7. MALAM INI MILIK MEREKA

    Sepasang mata itu mengerjap pelan, menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Rasa pusing tiba-tiba menyerbu, membuat kedua alis itu tertekuk dalam. Mika merutuk dalam hati, kepalanya pusing pasti karena dia tidur terlalu lama.Gadis itu menatap jam dinding dengan nyawa yang baru terkumpul 50%. Pukul 20.00. Dia meringis pelan. Ternyata benar, dia tidur terlalu lama.Kepalanya lalu menoleh ke kanan, saat itu juga nyawanya terkumpul sempurna. Matanya membelalak.“BAJU LO MANA?!”Air yang sedang berdiri membelakangi tempat tidur, berjengit kaget. Dia refleks memutar badannya ke belakang—menghadap tempat tidur.“KENAPA MALAH MADEP SINI, SIH?!” Mika menutup kedua matanya segera. Apa salahnya hingga dia harus melihat Air dengan tubuh bagian atas tidak tertutupi sehelai kain pun?“Apa kamu bilang??” Air berjalan mendekat dengan kerutan di keningnya.“Aku bilang, ‘kenapa malah madep sini, sih?’. Kenapa, hah?”“Nggak, bukan itu. Kamu tadi manggil aku pake sebutan ‘lo’???”Kedua mata Mika refle

  • Cinta Membuatku Takut Kehilangan   CHAPTER 1. LIKE 'THE AIR'

    Jakarta, 2009 Hari itu, langit sedang bersahabat. Cerah dan dipenuhi awan putih yang bergumul. Pohon-pohon hijau bergerak ke kiri dan ke kanan diterpa angin segar. Ciptaan-ciptaan Tuhan itu seakan sedang berkata: hari ini adalah hari sejahtera. Ya, sejahtera. Tapi tidak dengan salah satu rumah yang berada di tengah-tengah kompleks perumahan paling diincar di Ibu Kota. Rumah itu, jauh dari kata sejahtera. Di dalamnya, teriakan-teriakan kasar saling bersahutan, disusul suara benda-benda yang jatuh atau bahkan pecah. Ini bukan pertama kalinya. Ini kesekian kalinya. Seorang anak perempuan berusia enam tahun, duduk di teras rumah. Wajahnya memerah, begitu pun matanya. Dia duduk dengan tubuh gemetar. Mata merahnya itu menatap lurus ke depan. Tatapannya kosong. Suara bising dari ujung sana terdengar. Anak-anak seusia anak perempuan tadi—baik laki-laki maupun perempuan—berjalan bergerombol melintasi jalanan kompleks. Mereka beragam. Ada yang membawa bola di tangan, ada yang membawa pint

Bab terbaru

  • Cinta Membuatku Takut Kehilangan   CHAPTER 7. MALAM INI MILIK MEREKA

    Sepasang mata itu mengerjap pelan, menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Rasa pusing tiba-tiba menyerbu, membuat kedua alis itu tertekuk dalam. Mika merutuk dalam hati, kepalanya pusing pasti karena dia tidur terlalu lama.Gadis itu menatap jam dinding dengan nyawa yang baru terkumpul 50%. Pukul 20.00. Dia meringis pelan. Ternyata benar, dia tidur terlalu lama.Kepalanya lalu menoleh ke kanan, saat itu juga nyawanya terkumpul sempurna. Matanya membelalak.“BAJU LO MANA?!”Air yang sedang berdiri membelakangi tempat tidur, berjengit kaget. Dia refleks memutar badannya ke belakang—menghadap tempat tidur.“KENAPA MALAH MADEP SINI, SIH?!” Mika menutup kedua matanya segera. Apa salahnya hingga dia harus melihat Air dengan tubuh bagian atas tidak tertutupi sehelai kain pun?“Apa kamu bilang??” Air berjalan mendekat dengan kerutan di keningnya.“Aku bilang, ‘kenapa malah madep sini, sih?’. Kenapa, hah?”“Nggak, bukan itu. Kamu tadi manggil aku pake sebutan ‘lo’???”Kedua mata Mika refle

  • Cinta Membuatku Takut Kehilangan   CHAPTER 6. COLLEGE LIFE

    Jakarta, 2024Now.Tidak ada yang begitu spesial dari masa kuliah. Hanya datang ke kampus, mengikuti kuliah, rapat organisasi, lalu pulang dan mengerjakan tugas. Itu menurut Air.Dia melangkah masuk ke gedung jurusannya—teknik arsitektur. Terlalu banyak orang berlalu-lalang di sekitarnya. Dia menunduk, menghindari tatapan orang-orang yang tertuju padanya.Tinggal beberapa langkah lagi dia sampai di ruang kelasnya, punggungnya ditepuk dari belakang. Dia menghentikan langkahnya. Tanpa perlu mencari tahu siapa yang menepuk punggungnya, dia sudah tahu orangnya.“Morning, friend!” orang itu menyapa riang.“Gue bukan temen lo,” Air menyahut malas.“Terus apa? Pacar lo?”Air mendelik. Tidak mau repot-repot membalas sesuatu yang tidak penting, dia lanjut berjalan memasuki ruang kelasnya—diikuti orang tadi dari belakang.Sejak awal duduk di bangku kuliah sampai sekarang, Air masih tidak paham, kenapa setiap dirinya masuk ke kelas, semua mata akan tertuju padanya. Dia tidak nyaman dengan itu. D

  • Cinta Membuatku Takut Kehilangan   CHAPTER 5. SENIOR HIGH SCHOOL

    Jakarta, 2021Tahun demi tahun berlalu, banyak yang berubah.Air, dia bukan lagi seorang anak kecil yang ‘ingin main terus’. Dia juga bukan lagi anak nakal yang suka mengganggu anjing tetangganya. Tapi, kini, penampilannya malah seperti anak nakal. Ralat, remaja nakal. Rambut yang dipotong dengan jalan tikus di samping, ditambah anting bulat di telinga.Masa pertumbuhan membuat fisik Air juga banyak berubah. Tubuhnya yang dulu pendek dan kurus, kini tinggi dan lebih berisi. Tangannya berurat, pun lehernya. Wajahnya… semakin tampan. Tidak heran, kini dia menjadi laki-laki paling diincar oleh kaum hawa di SMA-nya.Sikap dan sifatnya juga berubah. Dia yang dulunya cerewet dan banyak bicara, kini jadi malas bicara—kecuali pada Mika. Dia lebih tertutup sekarang—kecuali pada Mika, lagi. Dia juga tidak peduli pada hal-hal tidak penting—lagi-lagi kecuali pada Mika, sebab Mika adalah orang paling penting di hidupnya.Air yang dulu ingin punya banyak teman, ingin bermain bersama semua orang, ki

  • Cinta Membuatku Takut Kehilangan   CHAPTER 4. JUNIOR HIGH SCHOOL

    Jakarta, 2015A few months ago.“Kamu mau SMP di mana, Mika?” Air bertanya riang. Dia baru saja mendudukkan pantatnya di tempat tidur besar milik Mika.Pertemanan dekat alias persahabatan keduanya tahun ini, memasuki tahun ke-enam. Sejak membuat janji untuk tidak saling meninggalkan, keduanya benar-benar menempel satu sama lain bagaikan perangko.Selama bertahun-tahun ini, setiap pulang sekolah, Air akan mampir ke rumah Mika, setidaknya sampai malam dan Papanya menjemput pulang. Mika tinggal sendirian, benar-benar sendirian. Hanya ada satu ART yang datang di waktu-waktu tertentu untuk memasak dan membersihkan rumahnya.Kesepian? Tentu saja.Seorang anak perempuan yang usianya bahkan belum memasuki usia remaja, tinggal sendirian di rumah dua lantai, sudah pasti kesepian. Dan takut.Oleh sebab itu, Air selalu menemani Mika di rumahnya—di mana pun. Bahkan, tak jarang dia menginap di rumah Mika—hanya untuk memastikan Mika bisa tidur.Mika itu penakut, dia juga susah tidur. Terkadang, Air

  • Cinta Membuatku Takut Kehilangan   CHAPTER 3. DON'T LEAVE EACH OTHER

    Kedua orangtuanya berpisah. Cerai. Mereka meninggalkannya sendirian. Benar-benar sendirian.Tangisan Mika tak kunjung berhenti. Dia meraung sedih. Apa salah dirinya sampai orangtuanya dengan tega meninggalkannya?Raungan Mika terdengar sangat menyakitkan. Rumahnya yang dulu penuh keributan yang diciptakan Ayah dan Bundanya, kini penuh akan tangisnya.“Mika, jangan nangis lagi. Nanti mata kamu sakit.” Bahkan bujukan Air sama sekali tidak dihiraukan anak perempuan itu. Dia terus menangis, dan menangis.Papa Air yang duduk tak jauh dari situ, memijat keningnya—memikirkan solusi terbaik untuk Mika saat ini. Ini benar-benar memusingkan, tidak harusnya dia dan Air ikut campur masalah keluarga orang lain. Namun, melihat Air yang setia duduk di samping Mika sambil terus mengusap bahu anak itu, Papa Air menghela napas. Ada rasa bangga yang membuncah di dalam dirinya. Anak bungsunya itu… benar-benar terlihat dewasa. Padahal umurnya baru enam tahun.Air tidak putus asa, dia terus mengusap bahu M

  • Cinta Membuatku Takut Kehilangan   CHAPTER 2. LETTER

    Jakarta, Juni 2009 Dear Air, Halo, Air! Ini aku, anak perempuan yang kemarin. Namaku Mika. Air, kamu tahu nggak? Waktu aku TK kemarin, guruku pernah bilang, air dan udara itu komponen tak hidup yang paling penting bagi bumi dan isinya. Tanpa keduanya, manusia, hewan, dan tumbuhan nggak akan bisa bertahan hidup. Namamu, Air, bisa berarti air dan udara. Keren! Itu nama yang keren banget. Aku iri, kamu punya nama yang keren. Oh iya, aku tulis surat ini karena kamu bilang kamu akan pindah rumah. Aku takut kita nggak bisa ketemu lagi. Aku belum bilang terima kasih yang sungguh-sungguh. Air, terima kasih, ya! Berkat kamu, aku tahu cara paling ampuh untuk menghindar dari keributan Ayah dan Bundaku di rumah. Aku harap kita bisa ketemu lagi, dan berteman. Mika Namanya Air, dan dia sedang tersenyum membaca surat yang dia temukan di depan pintu rumahnya beberapa menit yang lalu. Dia menatap rumah di depannya. Rumah yang terlihat suram. “Kalo kita ketemu lagi, aku janji akan ajak kamu b

  • Cinta Membuatku Takut Kehilangan   CHAPTER 1. LIKE 'THE AIR'

    Jakarta, 2009 Hari itu, langit sedang bersahabat. Cerah dan dipenuhi awan putih yang bergumul. Pohon-pohon hijau bergerak ke kiri dan ke kanan diterpa angin segar. Ciptaan-ciptaan Tuhan itu seakan sedang berkata: hari ini adalah hari sejahtera. Ya, sejahtera. Tapi tidak dengan salah satu rumah yang berada di tengah-tengah kompleks perumahan paling diincar di Ibu Kota. Rumah itu, jauh dari kata sejahtera. Di dalamnya, teriakan-teriakan kasar saling bersahutan, disusul suara benda-benda yang jatuh atau bahkan pecah. Ini bukan pertama kalinya. Ini kesekian kalinya. Seorang anak perempuan berusia enam tahun, duduk di teras rumah. Wajahnya memerah, begitu pun matanya. Dia duduk dengan tubuh gemetar. Mata merahnya itu menatap lurus ke depan. Tatapannya kosong. Suara bising dari ujung sana terdengar. Anak-anak seusia anak perempuan tadi—baik laki-laki maupun perempuan—berjalan bergerombol melintasi jalanan kompleks. Mereka beragam. Ada yang membawa bola di tangan, ada yang membawa pint

DMCA.com Protection Status