“Kalau bukan denganmu, mimpi itu akan terkubur, Tera.”
Kalimat itu menjadi mimpi buruk bagi Lentera. Bagaimana tidak, suara itu terus saja terngiang di telinganya seolah Raynar sedang mengulangi ucapannya berkali-kali. Dia sudah mencoba untuk melupakan kata-kata itu, tetapi alih-alih hilang, kalimat itu seakan melekat dalam ingatannya.
Lentera tidak bisa tidur dan bahkan untuk menutup mata saja dia tak mampu. Kenapa sekuat itu pengaruh ucapan Raynar kepadanya? Atau ini hanya karena Lentera merasa jika ucapan Raynar itu berarti untuknya, atau hanya sebuah perasaan jika permintaan lelaki itu agar Lentera bertanggung jawab atasnya?
“Sial!” Lentera bangun dari kasur karena merasa pikirannya penuh dengan dugaan-dugaan yang tidak perlu. Dia bahkan mengacak rambutnya dengan kasar sambil mendesah panjang.
Demi Tuhan, Lentera harus segera mengenyahkan segala pikiran tak penting di dalam kepalanya atau dia akan gila sebentar lagi. Menatap jam yang ada di dalam kamarnya, ini hampir tengah malam. Lentera memilih untuk membuat coklat hangat untuk membantunya menjadi lebih rileks.
Dia duduk di ruang keluarga dengan penerangan minim. Melihat sekeliling dan dia mendengus kesal pada dirinya sendiri. Kenapa dia harus kembali ke rumah ini.
“Kamu belum tidur?”
Lentera hampir mengumpat ketika tiba-tiba saja suara Raynar terdengar dan mengejutkannya. Dia menoleh dan mendapati Raynar baru saja datang. Setelah pembicaraan mereka sore tadi, Raynar pergi dari ruangan ibu Lentera begitu saja. Meninggalkan Lentera yang berpikir panjang tentang ucapan terakhir suaminya tersebut.
“Aku tadi ke apartemen dan kamu nggak ada. Syukurlah kalau kamu mau kembali ke rumah ini.” Raynar duduk di samping Lentera.
Aroma parfum lelaki itu segera menguasai hidung Lentera. Wangi tubuh Raynar benar-benar membuat Lentera seperti berada di sebuah tempat yang indah. Nyaman dan menenangkan. Namun, dia buru-buru menepis pemikiran laknat tersebut.
“Aku datang untuk mengambil sesuatu.” Lentera tidak bohong. Tadinya dia ingin mengambil beberapa barang untuk dibawa ke apartemen. Namun, dia sudah terlanjur lelah sampai dia harus mengalah pada tubuhnya dan menginap di rumah itu.
“Tetaplah di sini, Lentera. Rumah ini adalah rumahmu. Setidaknya, jangan buat aku seperti laki-laki yang tidak bertanggung jawab dengan menumpang di tempatmu.”
“Aku nggak minta kamu untuk tinggal di apartemen.”
Raynar memilih untuk tidak membalas ucapan Lentera. Ini sudah malam dan jika dia tak menahan diri, maka hanya akan ada pertengkaran di antara mereka.
Lelaki itu menutup matanya setelah menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa dan tak lama setelah itu, napas Raynar tampak teratur. Raynar tertidur hanya dalam hitungan detik. Terlihat jika lelaki itu sangat kelelahan.
Lentera yang melihat itu ingin mencibir, tetapi melihat napas teratur suaminya, dia memilih diam. Hanya menatap Raynar dalam keheningan di bawah temaram sorot lampu. Untuk beberapa saat, Lentera hanya diam dengan atensinya fokus pada wajah Raynar.
Tidak bisa dipungkiri jika Raynar adalah salah satu kesempurnaan yang dikirimkan oleh Tuhan kepadanya. Sayangnya, Lentera tidak memandang itu sebuah sesuatu yang perlu dia syukuri karena itu bukanlah keinginannya.
“Ray.” Menyerah dengan segala egonya, Lentera akhirnya membangunkan suaminya. “Ray.” Ulangnya dengan sedikit menoel tangan Raynar agar lelaki itu membuka matanya.
Benar, meskipun pelan, lelaki itu bangun. Dia berkedip sebelum menoleh. “Lentera?” Dalam keremangan dia melihat Lentera yang tengah menatapnya dengan cara berbeda.
Dia tak mengatakan itu adalah tatapan lembut, tetapi tidak ada kemarahan dalam tatapan tersebut.
“Kalau mau tidur, pergilah ke kamarmu,” kata Lentera. “Aku juga akan kembali ke kamarku.”
Perempuan itu memilih beranjak dari sofa dan pergi lebih dulu meninggalkan Raynar. Sampai di tengah tangga, dia berhenti dan menoleh ke arah Raynar yang masih setia di sofa. Lelaki itu tampak tidak bergerak sama sekali. Namun, Lentera memilih untuk melanjutkan langkahnya karena kantuk sudah menyerangnya.
Keesokan harinya, Lentera tidak menemukan Raynar di meja makan ketika sarapan. Biasanya, lelaki itu akan tiba lebih dulu di meja makan dan segera menyapa istrinya itu ketika Lentera bergabung di sana.
Sekarang, keheningan itu terasa jalas di ruangan tersebut. Alih-alih menanyakan keberadaan Raynar kepada Bibi, Lentera hanya diam tak bersuara.
“Maaf, Bu. Tadi Bapak bilang sama saya berangkat lebih pagi. Ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Bapak mau bilang ke Ibu, tapi Ibu sepertinya masih tidur.”
Pertanyaan Lentera terjawab meskipun dia tak mengeluarkannya. “Oh. Iya.” Hanya itu tanggapannya.
Pagi itu, Lentera merasa sedikit berbeda. Seharusnya dia bahagia tanpa ada Raynar, tetapi ada perasaan yang tidak bisa dideskripsikan oleh Lentera. Sepi yang diinginkan nyatanya tak membuat hatinya lega. Justru terasa ada yang kosong di dalam hatinya.
Apa Raynar sudah memengaruhinya terlalu jauh? Batin Lentera bertanya pada dirinya sendiri. Namun, dia segera menepis pikiran tersebut dari kepalanya. Inilah yang memang diinginkan selama ini. Pagi yang damai tanpa keberadaan Raynar di hadapannya.
Hal itu terjadi sampai malam hari ketika Lentera pulang ke rumah dan tidak mendapati suaminya ada di rumah. Jika biasanya, meskipun tidak mendapatkan balasan, Raynar akan mengirimkan pesan kepadanya. Namun, tidak dengan hari ini.
“Gue pasti udah gila.” Lentera menggeleng ketika dia seolah tengah menunggu kabar dari suaminya. “Dia sepertinya sudah menyerah dengan hubungan kami,” kata Lentera di bawah guyuran shower.
Senyum Lentera terbit, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya. Kegelisahan itu masih menguasai hatinya. Sekeras apa pun dia menyangkal, perasaan tidak nyaman itu menguasai hatinya.
Kegelisahan itu akhirnya berakhir ketika Bibi memanggil Lentera yang hampir tidur. “Ada apa, Bik?” tanya Lentera yang melihat Bibi tampak panik.
“Bapak, Bu. Beliau dipapah sama Pak Bagas. Wajahnya penuh luka seperti habis berantem.”
“Apa?” Lentera segera turun ke lantai satu dengan tergesa dan pergi ke ruang tamu. Segera, dia melihat Raynar menyandarkan tubuhnya dengan mata terutup.
“Kenapa ini?” tanya Lentera setelah itu. Seorang lelaki yang Lentera kenal sebagai asisten pribadi Raynar itu berdiri dan menunduk.
Lelaki itu menyingkir agar Lentera bisa mendekat pada Raynar. Lentera duduk di samping Raynar dan melihat wajah lelaki itu penuh dengan lebam dan bibirnya bahkan sobek. Darah muncul di beberapa titik.
Dada Lentera terasa sesak melihat penampilan Raynar yang sangat menyedihkan tersebut. Tiba-tiba saja tangannya terasa dingin dan hanya menatap Raynar tanpa ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Kepala terasa berat, bahkan wajahnya terlihat pucat.
Bibi bahkan hanya berdiri diam sambil menatap Raynar. Ini adalah pertama kalinya mereka melihat Raynar mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan seperti sekarang.
“Bapak menolak di bawa ke rumah sakit, Bu. Jadi, saya tadi hanya mengobati seadanya.” Lelaki bernama Bagas itu memberikan laporan.
“Dia bertengkar dengan siapa sampai seperti ini?” tanya Lentera mencoba mencari tahu asal muasal luka yang ada di wajah Raynar.
“Hanya ada sedikit kecelakaan, Bu,” jawab Bagas tidak menjelaskan apa pun. “Ini adalah beberapa obat yang sudah saya beli untuk Bapak.” Bagas mengarahkan tatapannya pada kantong plastik yang ada di meja.
“Gas,” panggil Raynar kepada Bagas yang segera mendapatkan respon. “Tolong bawa saya ke kamar dulu. Istri saya nanti akan kesusahan kalau harus memapah saya.”
“Siap, Pak.” Bagas segera membantu Raynar untuk berdiri dan dengan langkah sedikit terseok, Raynar naik ke lantai dua diikuti oleh Lentera di belakang.
Bagas pamit pulang setelah itu dan di dalam kamar itu hanya ada Lentera dan Raynar yang dipeluk oleh keheningan. Lentera duduk di sofa di depan ranjang dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan suaminya. Sayang, dia harus menahan rasa penasarannya karena Raynar sudah tenggelam di alam mimpi.
***
Lentera tidak meninggalkan kamar Raynar dan tidak ada keinginan untuk pergi. Dia hanya duduk diam sambil menatap suaminya dengan segala macam pertanyaan yang muncul di dalam kepalanya.Ini sudah larut malam, tetapi dia tak bergerak dari sofa. Seharusnya dia tidur sekarang karena esok hari dia harus bekerja. Namun, dia tetap berada di kamar Raynar entah sampai kapan.Hampir pukul tiga pagi, Raynar membuka matanya. Lelaki itu tampak begitu kesakitan dan dia bahkan harus mendesis panjang. Lentera yang mendengar itu membuka matanya. Perempuan itu ternyata ketiduran.“Kamu membutuhkan sesuatu?” tanya Lentera setelah duduk di pinggiran ranjang.Raynar tidak menjawab. Lelaki itu sesekali menutup matanya ketika rasa sakit itu menghantam tubuhnya tiada ampun. Sepertinya bukan hanya wajahnya yang babak belur, ada bagian lain dari tubuhnya yang terluka.“Kalau masih kesakitan, aku akan membawamu ke rumah sakit.” Lentera mencoba memberikan pendapatnya. Namun, Raynar menggeleng.Dengan susah payah
Lentera tercenung di tempatnya berdiri dengan perasaan campur aduk tidak karuan. Apa yang terjadi dengannya sebenarnya? Kenapa semakin dia mencoba untuk memberontak pergi dari pernikahannya dengan Raynar, seakan semesta ingin dia tetap bertahan.Bagas sudah tidak ada di depannya, tetapi ucapan lelaki itu berputar berulang-ulang di dalam kepalanya.‘Mungkin Bapak begitu menyayangi Ibu sampai dia tak ingin berbagi kesedihannya.’Kalimat tersebut adalah kalimat sederhana, tetapi mampu membuat Lentera diam membisu. Kata sayang itu seolah sebuah kekonyolan yang tidak bisa diabaikan.“Tera.”Suara itu membuyarkan lamunan Lentera. Dia menoleh dan mendapati Raynar sudah berdiri di ambang pintu dengan Bagas di belakangnya. Lentera yang melihat itu seketika memusatkan atensinya kepada Raynar. Namun, dia hanya menatap Raynar tanpa mengatakan apa pun.“Aku harus ke rumah sakit sekarang. Kalau kamu mau ke kantor, pergilah. Bagas sudah ada bersamaku, jadi kamu nggak perlu khawatir.”Lentera masih t
Lentera mendesis kecil mendengar pertanyaan yang dilontarkan Raynar. Baginya, pertanyaan itu terlalu mengada-ada dan menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi. Perempuan itu menarik kursi sebelum mendudukinya. Lantas dia menatap Raynar dengan tatapan datar.“Ini bukan sebuah bentuk perhatian. Aku hanya tidak ingin orang lain menyalahkanku atas kesakitanmu. Aku tidak ingin melibatkan diri terlalu jauh dengan masalahmu dan melindungi diriku sendiri.”Raynar memilih diam tak memberikan jawaban apa pun kepada Lentera. Tidak memancing perdebatan akan lebih baik dibandingkan harus membuat Lentera terus emosi karena dirinya.Ruangan itu otomatis hening ketika Lentera maupun Raynar sama-sama tidak ada yang berbicara. Raynar memilih menatap ke arah kitchen island dengan tatapan kosong. Terlalu banyak hal yang berkecamuk dalam kepalanya. Hal itu membuat Lentera mengernyit ketika dia menatap Raynar.Lentera lantas berpikir tentang sesuatu. Bukankan ini merupakan kesempatan yang baik untuk menguli
Lentera mengetukkan pena yang dipegangnya di atas meja kerjanya. Ada banyak pertanyaan yang menggantung di dalam kepalanya membutnya lagi-lagi tidak bisa konsentrasi dalam bekerja.Beberapa dokumen yang ada di atas mejanya sudah menumpuk dan Lentera sama sekali tidak mengeceknya dan membiarkan begitu saja. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri dan lagi-lagi selalu tentang Raynar.Dia hanya merasa heran dengan lelaki itu. Ada apa sebenarnya antara Raynar dengan ayahnya, atau pertanyaannya diganti. Apa yang terjadi dengan Raynar dan keluarganya? Jika hubungan mereka baik-baik saja, maka Raynar tidak akan bersikap seperti itu.Dia bahkan dengan gamblang menyatakan sedikit kemungkinan dia akan datang di acara makan malam ulang tahun ayahnya. Nyatanya, rasa penasaran yang tidak bisa dibendung itu membuat Lentera akhirnya memutuskan untuk menemui Raynar. Dia memiliki alasan yang kuat untuk datang ke kantor suaminya.Di sinilah dia sekarang. Duduk di lobby perusahaan Raynar dengan perasaan sed
‘Apa yang terjadi dengan mereka?’‘Apa yang membuat seorang kakak memanggil adiknya di brengsek dengan ekspresi marah seolah mereka tidak pernah akur sebelumnya.’‘Kalau memiliki masalah dengan Brian, seharusnya Raynar tidak bersikap antipati kepada ayahnya dan tetap datang di hari ulang tahun lelaki itu.’Segala pertanyaan itu berkelebat di dalam kepala Lentera membuatnya merasa jika teka-teki tentang hidup Raynar semakin tidak bisa diabaikan. Lentera jelas penasaran dengan semua ini. Dia ingin tahu segala kejadian yang pernah terjadi atau bahkan yang sedang terjadi.Sayangnya, dia tak bisa menguaknya. Sekarang, dia harus diliputi gundah yang luar biasa di dalam kepalanya.Lentera mondar-mandir di dalam ruang keluarga menunggu Raynar pulang. Ya, Raynar benar-benar tidak datang ke rumah orang tuanya. Jadilah di hari ulang tahun ayahnya hanya dirinya sebagai ‘perwakilan’ untuk datang.Hampir pukul dua belas malam ketika Raynar baru masuk ke dalam rumah dan tampak terkejut ketika Lenter
“Tidak ada yang lebih berhak untuk menceritakan latar belakang kehidupan Raynar kecuali Raynar sendiri, Lentera. Seharusnya kalau kamu penasaran dengannya, kamu tanyakan langsung kepadanya. Itu jauh lebih baik dibadingkan harus diam-diam mencari tahu,” ucap ayah Lentera dengan tegas.“Aku udah tanya dia secara langsung, Pa, tapi dia nggak menceritakan apa pun,” sanggah Lentera berapi-api.“Karena kamu ingin mengetahuinya untuk memuaskan rasa penasaranmu. Lantas, apa kamu benar-benar peduli dengannya?” Pertanyaan itu membuat Lentera bungkam. Dia seperti tidak memiliki kemampuan untuk menjawab.Ayah Lentera itu tersenyum. “Raynar akan menceritakan semuanya kalau kamu memang tulus padanya. Dan sebelum terlambat, cobalah mengenal dia dengan baik. Lihat ketulusannya, maka kamu pasti akan segera jatuh cinta kepadanya.”“Dan itu nggak akan terjadi, Pa.” Lentera mengelak karena dia tak akan semudah itu jatuh cinta dengan seseorang. “Cinta hanya akan membuat hidupku tidak bahagia.”“Kamu selal
Raynar meringis seolah ada anggota tubuhnya yang sakit ketika dia kembali merebahkan tubuhnya di kursi malas. Sinar matahari sore itu kembali menghujani wajahnya dengan penuh kehangatan.Lelaki itu menatap ke arah depan seolah tampak berpikir dengan bibir tertutup rapat. Lentera yang melihat itu terdiam dan melepaskan napasnya panjang. Pikirannya berkecamuk dengan banyak hal yang muncul di kepalanya.Merasa tidak ada pergerakan di sebelahnya, Raynar akhirnya menoleh dan kembali menatap Lentera. Untuk beberapa saat, dia hanya menatap wajah cantik istrinya itu dalam diam sebelum dia bersuara.“Ini bekas infus vitamin. Kamu tidak perlu khawatir.” Raynar mengangkat tangan kirinya di mana terdapat plester di sana. “Tapi, terima kasih kamu sudah mau bertanya tentang kondisiku.”Raynar tulus mengatakan itu dan tidak ada unsur untuk menggoda istrinya yang tiba-tiba ‘perhatian’ kepadanya. Mungkin dia kini merasa ada perubahan dari sikap Lentera yang sudah mulai ingin tahu tentang dirinya.“Ang
“Boleh aku tanya sesuatu?” Lentera harus memanfaatkan situasi ini dengan baik jika dia ingin tahu sesuatu tentang Raynar. “Apa sebenarnya yang terjadi antara kalian? Maksudku, antara Raynar dan Papa.”Leoni tidak terlihat terkejut ketika mendengar pertanyaan itu dari Lentera seolah dia sudah memprediksikan pertanyaan itulah yang akan keluar dari mulut kakak iparnya. Dengan gerakan yang anggun, perempuan itu menggeser piring kosong bekas makannya ke arah kanan.“Bukan hanya Raynar dan Papa, tapi Raynar dan kami semua.” Leoni berucap blak-blakan sambil menatap Lentera denga lekat.Hal itu membuat Lentera terdiam untuk menutupi keterkejutannya. Dia mencoba tetap tenang dan menunggu kalimat apa lagi yang akan Leoni katakan kepadanya. Meskipun Leoni bercerita, Lentera tahu jika tidak semua hal yang diceritakan oleh adik iparnya tersebut.Meskipun begitu, dia sedikit lebih memahami tentang hubungan tidak akurnya antara Raynar dan keluarganya.Malam itu, Lentera baru saja sampai rumah, kehen
Lentera merasa tenang akhir-akhir ini karena sudah ‘berdamai’ dengan keadaan. Bukan dia dengan mudah menyerah, tetapi faktanya, dia tidak bisa melakukan banyak hal karena semua keluarganya menghalangi usahanya.Maka jalan satu-satunya adalah dengan menerima pernikahan ini dengan caranya. Lantas akan sampai kapan semua ini berlaku? Lentera pun tidak tahu. Dia akan menjalani saja sampai benar-benar lelah.Ketukan pintu kamar Lentera membuat si empunya harus mendesah panjang. Matahari belum muncul dan Lentera masih tiduran di atas ranjang sambil memaninkan ponselnya. Namun, dia mau tak mau harus bangun dan melihat siapa yang sudah mengetuk pintu.“Selamat pagi, Tera.” Raynar tersenyum dengan cerah bak mentari pagi ketika menatap Lentera yang ada di depannya. “Ini hari minggu dan aku mau ajak kamu jalan-jalan. Kamu nggak ada kegiatan apa pun ‘kan?” tanya Raynar.“Tiba-tiba banget.” Tidak ada rasa antusias yang dirasakan oleh Lentera dengan ajakan Raynar.“Jalan kaki selama tiga puluh meni
Aroma lezat itu terdeteksi oleh hidung Lentera ketika dia baru saja turun dari lantai dua. Dengan langkah panjang, dia segera masuk ke dalam ruang makan dan melihat Raynar berdiri di depan kompor.Secara alami, Lentera mendekat untuk melihat apa yang dimasak oleh Raynar. Itu adalah nasi goreng dengan suiran ayam. Dia tak mengatakan apa pun dan hanya melihat bagaimana lincahnya Raynar mengaduk nasi tersebut di atas wajan.Mengambil sendok, Raynar menyendokkan sedikit nasi tersebut sebelum memberikan kepada Lentera. “Cobalah. Kalau rasanya kurang pas, aku bisa memperbaikinya.”Tanpa diminta dua kali Lentera langsung menerima nasi itu dari suapan Raynar. “Udah pas rasanya.” Begitu katanya.“Kalau begitu, kamu duduk aja. Aku akan menyiapkan untukmu.” Raynar tersenyum kecil dengan penuh ketulusan.Lentera lagi-lagi menurut. Dia memilih untuk duduk di kursi makan dan menunggu Raynar. Tak lama, Raynar membawa dua piring nasi goreng dan meletakkan satu piring di depan Lentera dan satu lagi te
Lentera menatap punggung Raynar yang menjauh dari pandangannya. Tidak bisa dipungkiri ucapan Raynar itu adalah pukulan telak untuk hatinya. Pertama kalinya, Raynar berbicara dengan nada ketus. Itu tanda jika lelaki itu benar-benar tengah dalam kondisi perasaan yang tidak baik-baik saja.Dia hanya bisa berdiri dengan tubuh yang terasa membeku. Tiba-tiba saja dia merasa perasaannya juga tidak nyaman.“Astaga.” Begitu katanya dengan hembusan napas panjang. “Kenapa aku harus merasakan ini?” Lentera berlalu dari tempat itu untuk masuk ke dalam rumah.Dia tak menemukan Raynar di ruang keluarga, pasti lelaki itu ada di ruang kerjanya atau bahkan di kamarnya. Lentera tidak ingin mengganggu lelaki itu dan memilih untuk pergi ke kamarnya sendiri.Kejadian hari itu pada akhirnya, membuat hubungan Raynar dan Lentera yang tadinya hampir membaik pun kembali renggang. Bahkan, Lentera jarang sekali melihat kemunculan Raynar di rumah mereka. Dia yang entah kenapa mengubah jadwal kerjanya menjadi lebih
“Kalau aku mau egois, aku akan memaksamu untuk melakukan apa yang aku mau, Lentera. Tapi, aku nggak mau melakukannya karena keterpaksaan. Jadi, lupakan saja apa yang aku katakan tadi.”Kalimat itu adalah kalimat yang Raynar katakan ketika mereka sudah sampai di depan kantor Lentera. Raynar tahu betul Lentera tidak nyaman dengan permintaannya dan dia memang sengaja memberikan jeda untuk Lentera berpikir. Faktanya ketika dia meminta hal itu, Lentera terdiam seribu bahasa.Tidak ada penolakan, tetapi ekspresi wajahnya tidak menentu. Ada keraguan yang terlihat, tetapi dia seolah berpikir untuk menerimanya.Setelah mengantarkan Lentera, Raynar memilih kembali ke kantor. Namun, dia tak lagi mengambil lembur karena dia tahu kondisi fisiknya belum benar-benar membaik. Dia pulang saat matahari masih berkuasa.Membaringkan tubuhnya di kasur, Raynar menatap langit-langit kamar. Setelah Lentera nanti pulang, mungkin pembahasan tentang Raynar dan keluarganya masih akan menjadi topik obrolan mereka
Raynar sejak tadi hanya terus memasang wajah dinginnya. Lentera menyaradi itu, tetapi dia tak bisa berbuat apa pun kecuali hanya diam. Ini adalah pertama kalinya dia duduk bersama suami dan juga ayah mertuanya. Ditambah lagi ada kakak iparnya yang mengatakan jika dia ‘membenci’ Raynar.Tentu saja situasi mereka sangatlah canggung luar biasa. Raynar tampaknya tidak berniat mengawali obrolan dan terlihat tak acuh.“Kamu mau tambah sesuatu?” Namun, pada akhirnya dia menoleh pada Lentera dan menawarkan sesuatu. Tadinya dia yang duduk di depan Lentera memilih pindah dan duduk di samping istrinya.“Nggak. Aku udah kenyang,” jawab Lentera.“Kalau begitu, kita bisa pergi sekarang?”“Ya, pergi saja, Raynar. Anggap saja tidak ada kami di sini.” Brian menjawab ucapan Raynar membuat situasi semakin tidak nyaman.Raynar yang tadinya menatap Lentera itu pun segera mengalihkan tatapannya ke arah Brian. Tatapannya pada kakaknya itu dingin dan tajam. Mereka tak ubahnya seperti musuh yang berlindung da
“Bapak.” Bagas terkejut melihat bosnya muncul di kantor. “Bapak sudah lebih baik?” Bagas mengekori Raynar yang masuk ke dalam ruangannya. “Seharusnya Bapak tetap di rumah biar saya saja yang datang nanti.”Raynar terkekeh kecil. “Saya sudah lebih baik. Saya bosan kalau harus tetap berada di rumah.” Lelaki itu duduk di kursi sambil sesekali mengernyitkan dahinya. Ekspresinya itu tertangkap oleh netra Bagas dan kekhawatiran itu terlihat.Raynar mengangkat tangannya saat Bagas ingin mendekatinya. “Kamu berikan saja berkas yang perlu saya cek. Saya sudah sehat, Bagas.”Bagas menurut dan dia akhirnya hanya mengangguk. Membalikkan badannya untuk keluar dari ruangan Raynar sebelum dia mengambil berkas dari mejanya.“Bapak ingin dibuatkan minuman apa?” tanya Bagas setelah meletakkan tumpukan berkas di atas meja Raynar. “Bapak untuk sementara tidak boleh minum kopi dulu.”“Saya tahu. Nanti siang saja kamu bisa pesankan saya kelapa muda.” Bagas mengangguk dan menyetujui permintaan Raynar. “Dan
“Pagi.” Sambutan pagi itu membuat Lentera sedikit mengernyitkan dahinya. Raynar yang kemarin masih terlihat lemah itu kini sudah duduk di kursi makan sambil menatap lurus pada tabletnya. Tengah membaca berita pagi atau mungkin melihat bursa saham.Lelaki itu bahkan sudah rapi dengan kemeja kantornya dan jasnya diletakkan di kursi lainnya. Pemandangan itu terlihat sangat biasa, tetapi kali ini tentu saja sedikit berbeda karena Raynar dalam kondisi yang tidak baik. Setidaknya itulah yang ada di dalam pikiran Lentera.“Kamu udah mau kerja?” Lentera menatap suaminya dengan ekspresi heran. Raynar masih terlihat sedikit pucat, tetapi tampaknya, lelaki itu tidak memedulikan kesehatannya sama sekali. “Udah sehat?” lanjutnya lagi merasa penasaran.Lentera bahkan harus meneliti wajah Raynar dengan seksama untuk memastikan jika laki-laki itu benar-benar sudah sehat. Namun, dilihat dari segi mana pun, Raynar masih belum sembuh betul.“Ya, lumayan.” Raynar mendongakkan kepalanya dan menatap Lenter
Lentera tidak pernah membayangkan sebelumnya jika dia akan berada di ranjang yang sama dengan seorang lelaki yang berstatus sebagai suaminya. Dia berpikir, pernikahan hanyalah sebuah beban. Setelah dia menjalaninya, pemikiran itu tidaklah salah. Menikah hanya membuat masalah baru dalam hidupnya.Terlebih lagi, lelaki yang sekarang ada di sampingnya itu adalah pusat masalahnya. Raynar yang menjadi beban terberat dalam pikirannya. Lelaki yang penuh dengan misteri dan tetak-teki.“Aku dengar kamu mencariku ke mana-mana.” Suara Raynar terdengar mengalun di bawah keheningan ruangan luas bernuansa putih tersebut.Lentera pikir, Raynar sudah tidur, tetapi lelaki itu masih terjaga. Menolehkan kepalanya ke arah kanan, Lentera bisa melihat sisi wajah Raynar. Lelaki itu menatap ke langit-langit kamar dengan kedua tangan berada di atas perutnya.“Aku hanya nggak mau disalahkan kalau terjadi sesuatu sama kamu. Status istri ini ternyata memberatkan.” Lentera menjawab dengan sedikit rasa kesal. “Seb
“Boleh aku tahu kenapa kalian nggak akur?” tanya Lentera yang kini sudah menegakkan tubuhnya dan meredam gedoran jantungnya yang tiba-tiba saja semakin meningkat tajam.Lentera terus menatap Brian yang tengah menikmati makan siangnya. Dia berusaha untuk menahan diri agar tidak tergelung emosi yang tiba-tiba saja muncul. Dia sekarang sedang berhadapan dengan seorang kakak ipar yang seharusnya Lentera bisa menjaga sikap.“Raynar itu susah diajak bicara, keras kepala, dan serakah. Di mana pun dia, selalu saja merepotkan orang lain. Masalah yang tidak ada bahkan diada-adakan. Trouble maker.” Brian menatap Lentera ketika mengatakan dua kata terakhir. “Dia juga lelaki tidak tahu diri. Merasa dirinya paling tinggi dibandingkan orang lain. Dia sudah diperlakukan baik oleh kami, tetapi dia semakin tidak tahu diri.”Brian menyuapkan makanan terakhir sebelum meminggirkan piring ke sisi kirinya. Tatapannya pada Lentera pun tak putus sampai dia menenggak minumannya.“Aku sangat membencinya,” imbuh