“Sial. Apa dia sengaja memesan bunganya dari sini agar bisa membuatku merasa bersalah?”
Tanpa sadar, Lentera meremas kedua tangannya dengan hati dan pikiran yang tidak tenang. Dia tahu betul bagaimana ibunya sangat menyukai bunga. Bagi ibunya, bunga adalah bagian dari hidupnya.
Aroma wangi alami dari bunga-bunga itu selalu membuat suasana hati ibunya bahagia. Lentera paham betul akan hal itu. Seandainya ibunya tahu kalau dia sudah membuang bunga-bunga yang dikirimkan Raynar untuknya, bagaimana perasaan ibunya? Tentu perempuan paruh baya itu akan sangat kecewa.
Perasaan Lentera sudah dipenuhi oleh kebenciannya kepada Raynar sehingga menutup mata batinnya. Sekali lagi, Lentera menatap setangkai bunga yang diberikan oleh Raynar dan tiba-tiba ada gejolak rasa bersalah yang muncul.
Lentera menarik napasnya panjang. Dia menyesal sudah membuang bunga-bunga itu tanpa perasaan.
“Kamu melamunkan apa?” Raynar masuk ke dalam ruangan kantor mertuanya sambil membawakan makanan pesanan Lentera.
Lentera yang sejak tadi mondari-mandir di tengah ruangan itu menoleh dan mendapati Raynar berdiri di ujung meja. Menatapnya dengan tatapan lembut seolah dengan tatapan itu dia bisa meluluhkan hati Lentera.
Cih, itu tidak akan.
Lelaki itu lantas meletakkan nampan di atas meja dan mempersilakan Lentera untuk makan.
“Tumben kamu ke sini?” Begitu tanya Raynar ketika dia tetap berdiri menunggu Lentera untuk duduk. “Apa karena kamu tahu kalau aku ada meeting di sini?” Raynar sedikit menggoda.
Menatap Lentera dan merekam kecantikan istrinya di dalam ingatan. Untuk beberapa saat, suasana di ruangan itu hanya dipenuhi dengan keheningan. Dengungan halus AC yang terdengar seolah menjadi backsound dalam adegan keduanya.
Lentera kali ini memutus tatapan mereka lebih dulu. Dia melangkah maju dan memutari sofa sebelum dia duduk di sana. Sama sekali tidak menghiraukan ucapan tidak berguna suaminya.
“Aku sudah membatalkan pesanan bunga-bunga kamu dari toko ini dan uangnya akan aku transfer balik ke kamu.”
Lentera tidak menanggapi ucapan Raynar sebelumnya dan membahas hal lain yang baginya lebih penting. “Jadi, mulai besok, mereka tidak akan mengirimkan bunga-bunga itu yang pada akhirnya akan menjadi penghuni tempat sampah.”
Meskipun sebelumnya dia sudah merasa menyesal karena bunga itu dari toko ibunya, tetapi di depan Raynar dia harus tetap terlihat tidak berperasaan.
Lentera mulai memasukkan makan dengan tenang karena Raynar sama sekali tidak menanggapi ucapan istrinya. Lelaki itu beranjak dari sofa dan membuka jendela kaca yang ada di sisi lain ruangan. Segera, angin malam merangsek maju dan rasa sejuk itu menghantam Raynar.
Lelaki itu mengeluarkan rokoknya dari saku kemejanya sebelum suara peringatan dari Lentera terdengar. “Kalau mau rokok, keluar dari sini.”
Raynar urung menghisap batangan nikotin tersebut dan memasukkan kembali rokok tersebut ke dalam saku kemejanya. Menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, Raynar menikmati semilir angin dari luar.
Tetap berdiri di tempatnya dan menatap langit yang terbentang di depannya. Ada sebuah tatapan sedih yang terlempar pada hamparan langit tersebut. Sampai Lentera berdiri di sampingnya dan menatap pada fokus yang sama.
“Kamu pasti lelah dengan hubungan kita, Ray.” Lentera bersuara lebih dulu memecah keheningan. “Kamu sudah terlalu berjuang dan memaksakan sesuatu yang tidak seharusnya.”
Senyuman kecil tersemat di bibir Raynar. Namun, dia memilih untuk tidak mengatakan apa pun.
“Aku juga lelah kalau harus berseteru seperti ini. Aku dengan prinsipku, dan kamu dengan prinsipmu. Kenapa kamu tidak memilih mundur dari pada harus terluka?”
“Pertanyaan yang sama aku berikan kepadamu. Kenapa bukan kamu saja yang mudur?” Raynar menoleh menatap Lentera. “Kamu yang menolak pernikahan ini, ‘kan?”
“Aku bisa saja mundur.” Lentera menjawab dengan cepat.
Raynar mengangkat alisnya dengan ekspresi tenang. “Oh, ya? Lalu kenapa kamu masih bertahan dalam pernikahan kita? Kamu tidak berusaha untuk mendatangi kantor pengadilan agama dan menggugat cerai lebih dulu. Percayalah, gugatan seorang istri biasanya akan lebih mudah dikabulkan.” Raynar menatang dengan terang-terangan.
“Kamu pikir aku tidak melakukannya?” Lentera yang tadinya menghadap ke jendela itu kini menghadap penuh pada Raynar. “Aku sudah menemui pengacara untuk merencanakan perpisahan denganmu. Tapi ….”
“Tapi kamu tidak bisa menggugat cerai. Aku benar ‘kan?” Nada suara Raynar seolah mengejek Lentera yang dipenuhi dengan tumpukan emosi.
Perempuan itu segera mendengus dan kembali menatap hamparan langit. “Itulah kenapa kita harus pisah rumah setidaknya enam bulan. Dengan begitu, aku bisa memasukkan gugatan setelah itu dengan alasan pisah ranjang.”
Mendengar penjelasan Lentera, Raynar terkekeh kecil. “Itulah kenapa kamu bersikeras untuk tinggal di apartemen dan memintaku tinggal di rumah?”
Lentera tidak menjawab karena dia tahu Raynar sedang mengejeknya. Ketika Lentera menoleh menatap Raynar, senyum itu tampak di bibir suaminya yang membuat Lentera kesal setengah mati.
“Kamu tahu kalau aku sudah berjuang sampai sejauh ini.” Lentera menekan emosinya agar tidak menguar keluar dan membentak lelaki. “Tidak bisakah kerja samanya agar semua usahaku tidak sia-sia?”
Raynar terdiam. Dia hanya menatap pada satu bintang yang terlihat terang di sana. Bintang itu, tidakkah dia kesepian muncul sendirian? Pasalnya, di sekitarnya tidak ada bintang yang muncul. Entah kenapa itu membuat Raynar merasa seperti melihat dirinya sendiri yang selalu sendiri dan terasingkan.
Lelaki itu menunduk dan menarik napasnya. Berusaha melepaskan segala beban yang terasa menggantung di dalam hatinya.
“Kamu tahu keinginan terbesarku dalam hidup ini sejak aku menginjak dewasa, Lentera?” Raynar menatap istrinya itu dan mengunci tatapan perempuan itu dengan kuat. “Memiliki keluarga kecil yang bahagia,” ucapnya.
Raynar memberikan atensi lebih dalam lagi kepada Lentera hanya untuk melihat ekspresi yang ditunjukkan istrinya. Tidak ada perubahan apa pun dalam tatapan matanya. Lentera tampak datar-datar saja.
Oleh karena itu, Raynar berdehem seolah tengah melonggarkan tenggorokannya yang sesak sebelum melanjutkan.
“Aku berjanji pada diriku sendiri agar aku bisa menjadi suami dan ayah yang baik. Mungkin tidak ada laki-laki yang memiliki keinginan konyol sepertiku. Aku selama ini memilih bekerja keras agar ketika aku berkeluarga nanti, aku bisa membahagiakan keluarga kecilku.”
Raynar tersenyum miris. “Apa aku tidak akan pernah benar-benar mendapatkan itu, Lentera?”
Raynar tidak sedang memasang kesedihan di hadapan Lentera agar istrinya mengerti. Dia hanya mengungkapkan keinginannya sejak dulu. Dia tak mengharapkan Lentera mengerti, setidaknya dengan dia mengatakan itu, Lentera bisa bertahan dalam pernikahan tersebut.
Seperti yang pernah dia katakan kepada perempuan itu, Lentera tidak perlu melakukan apa pun. Biarkan Raynar yang berusaha. Lentera hanya perlu diam dan menerima segalanya yang dia berikan.
“Kamu bisa mendapatkannya. Tapi tidak denganku, Ray,” jawab Lentera menyaktikan Raynar. “Aku sudah menawarkan kepadamu. Selagi kita dalam proses berpisah, kamu bisa mencari perempuan lain yang bisa mewujudkan keinginan terbesarmu itu.”
“Tapi kamu adalah perempuan yang sudah aku pilih, Tera. Kalau bukan denganmu, maka mimpi itu akan terkubur sampai aku mati.”
***
“Kalau bukan denganmu, mimpi itu akan terkubur, Tera.”Kalimat itu menjadi mimpi buruk bagi Lentera. Bagaimana tidak, suara itu terus saja terngiang di telinganya seolah Raynar sedang mengulangi ucapannya berkali-kali. Dia sudah mencoba untuk melupakan kata-kata itu, tetapi alih-alih hilang, kalimat itu seakan melekat dalam ingatannya.Lentera tidak bisa tidur dan bahkan untuk menutup mata saja dia tak mampu. Kenapa sekuat itu pengaruh ucapan Raynar kepadanya? Atau ini hanya karena Lentera merasa jika ucapan Raynar itu berarti untuknya, atau hanya sebuah perasaan jika permintaan lelaki itu agar Lentera bertanggung jawab atasnya?“Sial!” Lentera bangun dari kasur karena merasa pikirannya penuh dengan dugaan-dugaan yang tidak perlu. Dia bahkan mengacak rambutnya dengan kasar sambil mendesah panjang.Demi Tuhan, Lentera harus segera mengenyahkan segala pikiran tak penting di dalam kepalanya atau dia akan gila sebentar lagi. Menatap jam yang ada di dalam kamarnya, ini hampir tengah malam.
Lentera tidak meninggalkan kamar Raynar dan tidak ada keinginan untuk pergi. Dia hanya duduk diam sambil menatap suaminya dengan segala macam pertanyaan yang muncul di dalam kepalanya.Ini sudah larut malam, tetapi dia tak bergerak dari sofa. Seharusnya dia tidur sekarang karena esok hari dia harus bekerja. Namun, dia tetap berada di kamar Raynar entah sampai kapan.Hampir pukul tiga pagi, Raynar membuka matanya. Lelaki itu tampak begitu kesakitan dan dia bahkan harus mendesis panjang. Lentera yang mendengar itu membuka matanya. Perempuan itu ternyata ketiduran.“Kamu membutuhkan sesuatu?” tanya Lentera setelah duduk di pinggiran ranjang.Raynar tidak menjawab. Lelaki itu sesekali menutup matanya ketika rasa sakit itu menghantam tubuhnya tiada ampun. Sepertinya bukan hanya wajahnya yang babak belur, ada bagian lain dari tubuhnya yang terluka.“Kalau masih kesakitan, aku akan membawamu ke rumah sakit.” Lentera mencoba memberikan pendapatnya. Namun, Raynar menggeleng.Dengan susah payah
Lentera tercenung di tempatnya berdiri dengan perasaan campur aduk tidak karuan. Apa yang terjadi dengannya sebenarnya? Kenapa semakin dia mencoba untuk memberontak pergi dari pernikahannya dengan Raynar, seakan semesta ingin dia tetap bertahan.Bagas sudah tidak ada di depannya, tetapi ucapan lelaki itu berputar berulang-ulang di dalam kepalanya.‘Mungkin Bapak begitu menyayangi Ibu sampai dia tak ingin berbagi kesedihannya.’Kalimat tersebut adalah kalimat sederhana, tetapi mampu membuat Lentera diam membisu. Kata sayang itu seolah sebuah kekonyolan yang tidak bisa diabaikan.“Tera.”Suara itu membuyarkan lamunan Lentera. Dia menoleh dan mendapati Raynar sudah berdiri di ambang pintu dengan Bagas di belakangnya. Lentera yang melihat itu seketika memusatkan atensinya kepada Raynar. Namun, dia hanya menatap Raynar tanpa mengatakan apa pun.“Aku harus ke rumah sakit sekarang. Kalau kamu mau ke kantor, pergilah. Bagas sudah ada bersamaku, jadi kamu nggak perlu khawatir.”Lentera masih t
Lentera mendesis kecil mendengar pertanyaan yang dilontarkan Raynar. Baginya, pertanyaan itu terlalu mengada-ada dan menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi. Perempuan itu menarik kursi sebelum mendudukinya. Lantas dia menatap Raynar dengan tatapan datar.“Ini bukan sebuah bentuk perhatian. Aku hanya tidak ingin orang lain menyalahkanku atas kesakitanmu. Aku tidak ingin melibatkan diri terlalu jauh dengan masalahmu dan melindungi diriku sendiri.”Raynar memilih diam tak memberikan jawaban apa pun kepada Lentera. Tidak memancing perdebatan akan lebih baik dibandingkan harus membuat Lentera terus emosi karena dirinya.Ruangan itu otomatis hening ketika Lentera maupun Raynar sama-sama tidak ada yang berbicara. Raynar memilih menatap ke arah kitchen island dengan tatapan kosong. Terlalu banyak hal yang berkecamuk dalam kepalanya. Hal itu membuat Lentera mengernyit ketika dia menatap Raynar.Lentera lantas berpikir tentang sesuatu. Bukankan ini merupakan kesempatan yang baik untuk menguli
Lentera mengetukkan pena yang dipegangnya di atas meja kerjanya. Ada banyak pertanyaan yang menggantung di dalam kepalanya membutnya lagi-lagi tidak bisa konsentrasi dalam bekerja.Beberapa dokumen yang ada di atas mejanya sudah menumpuk dan Lentera sama sekali tidak mengeceknya dan membiarkan begitu saja. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri dan lagi-lagi selalu tentang Raynar.Dia hanya merasa heran dengan lelaki itu. Ada apa sebenarnya antara Raynar dengan ayahnya, atau pertanyaannya diganti. Apa yang terjadi dengan Raynar dan keluarganya? Jika hubungan mereka baik-baik saja, maka Raynar tidak akan bersikap seperti itu.Dia bahkan dengan gamblang menyatakan sedikit kemungkinan dia akan datang di acara makan malam ulang tahun ayahnya. Nyatanya, rasa penasaran yang tidak bisa dibendung itu membuat Lentera akhirnya memutuskan untuk menemui Raynar. Dia memiliki alasan yang kuat untuk datang ke kantor suaminya.Di sinilah dia sekarang. Duduk di lobby perusahaan Raynar dengan perasaan sed
‘Apa yang terjadi dengan mereka?’‘Apa yang membuat seorang kakak memanggil adiknya di brengsek dengan ekspresi marah seolah mereka tidak pernah akur sebelumnya.’‘Kalau memiliki masalah dengan Brian, seharusnya Raynar tidak bersikap antipati kepada ayahnya dan tetap datang di hari ulang tahun lelaki itu.’Segala pertanyaan itu berkelebat di dalam kepala Lentera membuatnya merasa jika teka-teki tentang hidup Raynar semakin tidak bisa diabaikan. Lentera jelas penasaran dengan semua ini. Dia ingin tahu segala kejadian yang pernah terjadi atau bahkan yang sedang terjadi.Sayangnya, dia tak bisa menguaknya. Sekarang, dia harus diliputi gundah yang luar biasa di dalam kepalanya.Lentera mondar-mandir di dalam ruang keluarga menunggu Raynar pulang. Ya, Raynar benar-benar tidak datang ke rumah orang tuanya. Jadilah di hari ulang tahun ayahnya hanya dirinya sebagai ‘perwakilan’ untuk datang.Hampir pukul dua belas malam ketika Raynar baru masuk ke dalam rumah dan tampak terkejut ketika Lenter
“Tidak ada yang lebih berhak untuk menceritakan latar belakang kehidupan Raynar kecuali Raynar sendiri, Lentera. Seharusnya kalau kamu penasaran dengannya, kamu tanyakan langsung kepadanya. Itu jauh lebih baik dibadingkan harus diam-diam mencari tahu,” ucap ayah Lentera dengan tegas.“Aku udah tanya dia secara langsung, Pa, tapi dia nggak menceritakan apa pun,” sanggah Lentera berapi-api.“Karena kamu ingin mengetahuinya untuk memuaskan rasa penasaranmu. Lantas, apa kamu benar-benar peduli dengannya?” Pertanyaan itu membuat Lentera bungkam. Dia seperti tidak memiliki kemampuan untuk menjawab.Ayah Lentera itu tersenyum. “Raynar akan menceritakan semuanya kalau kamu memang tulus padanya. Dan sebelum terlambat, cobalah mengenal dia dengan baik. Lihat ketulusannya, maka kamu pasti akan segera jatuh cinta kepadanya.”“Dan itu nggak akan terjadi, Pa.” Lentera mengelak karena dia tak akan semudah itu jatuh cinta dengan seseorang. “Cinta hanya akan membuat hidupku tidak bahagia.”“Kamu selal
Raynar meringis seolah ada anggota tubuhnya yang sakit ketika dia kembali merebahkan tubuhnya di kursi malas. Sinar matahari sore itu kembali menghujani wajahnya dengan penuh kehangatan.Lelaki itu menatap ke arah depan seolah tampak berpikir dengan bibir tertutup rapat. Lentera yang melihat itu terdiam dan melepaskan napasnya panjang. Pikirannya berkecamuk dengan banyak hal yang muncul di kepalanya.Merasa tidak ada pergerakan di sebelahnya, Raynar akhirnya menoleh dan kembali menatap Lentera. Untuk beberapa saat, dia hanya menatap wajah cantik istrinya itu dalam diam sebelum dia bersuara.“Ini bekas infus vitamin. Kamu tidak perlu khawatir.” Raynar mengangkat tangan kirinya di mana terdapat plester di sana. “Tapi, terima kasih kamu sudah mau bertanya tentang kondisiku.”Raynar tulus mengatakan itu dan tidak ada unsur untuk menggoda istrinya yang tiba-tiba ‘perhatian’ kepadanya. Mungkin dia kini merasa ada perubahan dari sikap Lentera yang sudah mulai ingin tahu tentang dirinya.“Ang
Lentera merasa tenang akhir-akhir ini karena sudah ‘berdamai’ dengan keadaan. Bukan dia dengan mudah menyerah, tetapi faktanya, dia tidak bisa melakukan banyak hal karena semua keluarganya menghalangi usahanya.Maka jalan satu-satunya adalah dengan menerima pernikahan ini dengan caranya. Lantas akan sampai kapan semua ini berlaku? Lentera pun tidak tahu. Dia akan menjalani saja sampai benar-benar lelah.Ketukan pintu kamar Lentera membuat si empunya harus mendesah panjang. Matahari belum muncul dan Lentera masih tiduran di atas ranjang sambil memaninkan ponselnya. Namun, dia mau tak mau harus bangun dan melihat siapa yang sudah mengetuk pintu.“Selamat pagi, Tera.” Raynar tersenyum dengan cerah bak mentari pagi ketika menatap Lentera yang ada di depannya. “Ini hari minggu dan aku mau ajak kamu jalan-jalan. Kamu nggak ada kegiatan apa pun ‘kan?” tanya Raynar.“Tiba-tiba banget.” Tidak ada rasa antusias yang dirasakan oleh Lentera dengan ajakan Raynar.“Jalan kaki selama tiga puluh meni
Aroma lezat itu terdeteksi oleh hidung Lentera ketika dia baru saja turun dari lantai dua. Dengan langkah panjang, dia segera masuk ke dalam ruang makan dan melihat Raynar berdiri di depan kompor.Secara alami, Lentera mendekat untuk melihat apa yang dimasak oleh Raynar. Itu adalah nasi goreng dengan suiran ayam. Dia tak mengatakan apa pun dan hanya melihat bagaimana lincahnya Raynar mengaduk nasi tersebut di atas wajan.Mengambil sendok, Raynar menyendokkan sedikit nasi tersebut sebelum memberikan kepada Lentera. “Cobalah. Kalau rasanya kurang pas, aku bisa memperbaikinya.”Tanpa diminta dua kali Lentera langsung menerima nasi itu dari suapan Raynar. “Udah pas rasanya.” Begitu katanya.“Kalau begitu, kamu duduk aja. Aku akan menyiapkan untukmu.” Raynar tersenyum kecil dengan penuh ketulusan.Lentera lagi-lagi menurut. Dia memilih untuk duduk di kursi makan dan menunggu Raynar. Tak lama, Raynar membawa dua piring nasi goreng dan meletakkan satu piring di depan Lentera dan satu lagi te
Lentera menatap punggung Raynar yang menjauh dari pandangannya. Tidak bisa dipungkiri ucapan Raynar itu adalah pukulan telak untuk hatinya. Pertama kalinya, Raynar berbicara dengan nada ketus. Itu tanda jika lelaki itu benar-benar tengah dalam kondisi perasaan yang tidak baik-baik saja.Dia hanya bisa berdiri dengan tubuh yang terasa membeku. Tiba-tiba saja dia merasa perasaannya juga tidak nyaman.“Astaga.” Begitu katanya dengan hembusan napas panjang. “Kenapa aku harus merasakan ini?” Lentera berlalu dari tempat itu untuk masuk ke dalam rumah.Dia tak menemukan Raynar di ruang keluarga, pasti lelaki itu ada di ruang kerjanya atau bahkan di kamarnya. Lentera tidak ingin mengganggu lelaki itu dan memilih untuk pergi ke kamarnya sendiri.Kejadian hari itu pada akhirnya, membuat hubungan Raynar dan Lentera yang tadinya hampir membaik pun kembali renggang. Bahkan, Lentera jarang sekali melihat kemunculan Raynar di rumah mereka. Dia yang entah kenapa mengubah jadwal kerjanya menjadi lebih
“Kalau aku mau egois, aku akan memaksamu untuk melakukan apa yang aku mau, Lentera. Tapi, aku nggak mau melakukannya karena keterpaksaan. Jadi, lupakan saja apa yang aku katakan tadi.”Kalimat itu adalah kalimat yang Raynar katakan ketika mereka sudah sampai di depan kantor Lentera. Raynar tahu betul Lentera tidak nyaman dengan permintaannya dan dia memang sengaja memberikan jeda untuk Lentera berpikir. Faktanya ketika dia meminta hal itu, Lentera terdiam seribu bahasa.Tidak ada penolakan, tetapi ekspresi wajahnya tidak menentu. Ada keraguan yang terlihat, tetapi dia seolah berpikir untuk menerimanya.Setelah mengantarkan Lentera, Raynar memilih kembali ke kantor. Namun, dia tak lagi mengambil lembur karena dia tahu kondisi fisiknya belum benar-benar membaik. Dia pulang saat matahari masih berkuasa.Membaringkan tubuhnya di kasur, Raynar menatap langit-langit kamar. Setelah Lentera nanti pulang, mungkin pembahasan tentang Raynar dan keluarganya masih akan menjadi topik obrolan mereka
Raynar sejak tadi hanya terus memasang wajah dinginnya. Lentera menyaradi itu, tetapi dia tak bisa berbuat apa pun kecuali hanya diam. Ini adalah pertama kalinya dia duduk bersama suami dan juga ayah mertuanya. Ditambah lagi ada kakak iparnya yang mengatakan jika dia ‘membenci’ Raynar.Tentu saja situasi mereka sangatlah canggung luar biasa. Raynar tampaknya tidak berniat mengawali obrolan dan terlihat tak acuh.“Kamu mau tambah sesuatu?” Namun, pada akhirnya dia menoleh pada Lentera dan menawarkan sesuatu. Tadinya dia yang duduk di depan Lentera memilih pindah dan duduk di samping istrinya.“Nggak. Aku udah kenyang,” jawab Lentera.“Kalau begitu, kita bisa pergi sekarang?”“Ya, pergi saja, Raynar. Anggap saja tidak ada kami di sini.” Brian menjawab ucapan Raynar membuat situasi semakin tidak nyaman.Raynar yang tadinya menatap Lentera itu pun segera mengalihkan tatapannya ke arah Brian. Tatapannya pada kakaknya itu dingin dan tajam. Mereka tak ubahnya seperti musuh yang berlindung da
“Bapak.” Bagas terkejut melihat bosnya muncul di kantor. “Bapak sudah lebih baik?” Bagas mengekori Raynar yang masuk ke dalam ruangannya. “Seharusnya Bapak tetap di rumah biar saya saja yang datang nanti.”Raynar terkekeh kecil. “Saya sudah lebih baik. Saya bosan kalau harus tetap berada di rumah.” Lelaki itu duduk di kursi sambil sesekali mengernyitkan dahinya. Ekspresinya itu tertangkap oleh netra Bagas dan kekhawatiran itu terlihat.Raynar mengangkat tangannya saat Bagas ingin mendekatinya. “Kamu berikan saja berkas yang perlu saya cek. Saya sudah sehat, Bagas.”Bagas menurut dan dia akhirnya hanya mengangguk. Membalikkan badannya untuk keluar dari ruangan Raynar sebelum dia mengambil berkas dari mejanya.“Bapak ingin dibuatkan minuman apa?” tanya Bagas setelah meletakkan tumpukan berkas di atas meja Raynar. “Bapak untuk sementara tidak boleh minum kopi dulu.”“Saya tahu. Nanti siang saja kamu bisa pesankan saya kelapa muda.” Bagas mengangguk dan menyetujui permintaan Raynar. “Dan
“Pagi.” Sambutan pagi itu membuat Lentera sedikit mengernyitkan dahinya. Raynar yang kemarin masih terlihat lemah itu kini sudah duduk di kursi makan sambil menatap lurus pada tabletnya. Tengah membaca berita pagi atau mungkin melihat bursa saham.Lelaki itu bahkan sudah rapi dengan kemeja kantornya dan jasnya diletakkan di kursi lainnya. Pemandangan itu terlihat sangat biasa, tetapi kali ini tentu saja sedikit berbeda karena Raynar dalam kondisi yang tidak baik. Setidaknya itulah yang ada di dalam pikiran Lentera.“Kamu udah mau kerja?” Lentera menatap suaminya dengan ekspresi heran. Raynar masih terlihat sedikit pucat, tetapi tampaknya, lelaki itu tidak memedulikan kesehatannya sama sekali. “Udah sehat?” lanjutnya lagi merasa penasaran.Lentera bahkan harus meneliti wajah Raynar dengan seksama untuk memastikan jika laki-laki itu benar-benar sudah sehat. Namun, dilihat dari segi mana pun, Raynar masih belum sembuh betul.“Ya, lumayan.” Raynar mendongakkan kepalanya dan menatap Lenter
Lentera tidak pernah membayangkan sebelumnya jika dia akan berada di ranjang yang sama dengan seorang lelaki yang berstatus sebagai suaminya. Dia berpikir, pernikahan hanyalah sebuah beban. Setelah dia menjalaninya, pemikiran itu tidaklah salah. Menikah hanya membuat masalah baru dalam hidupnya.Terlebih lagi, lelaki yang sekarang ada di sampingnya itu adalah pusat masalahnya. Raynar yang menjadi beban terberat dalam pikirannya. Lelaki yang penuh dengan misteri dan tetak-teki.“Aku dengar kamu mencariku ke mana-mana.” Suara Raynar terdengar mengalun di bawah keheningan ruangan luas bernuansa putih tersebut.Lentera pikir, Raynar sudah tidur, tetapi lelaki itu masih terjaga. Menolehkan kepalanya ke arah kanan, Lentera bisa melihat sisi wajah Raynar. Lelaki itu menatap ke langit-langit kamar dengan kedua tangan berada di atas perutnya.“Aku hanya nggak mau disalahkan kalau terjadi sesuatu sama kamu. Status istri ini ternyata memberatkan.” Lentera menjawab dengan sedikit rasa kesal. “Seb
“Boleh aku tahu kenapa kalian nggak akur?” tanya Lentera yang kini sudah menegakkan tubuhnya dan meredam gedoran jantungnya yang tiba-tiba saja semakin meningkat tajam.Lentera terus menatap Brian yang tengah menikmati makan siangnya. Dia berusaha untuk menahan diri agar tidak tergelung emosi yang tiba-tiba saja muncul. Dia sekarang sedang berhadapan dengan seorang kakak ipar yang seharusnya Lentera bisa menjaga sikap.“Raynar itu susah diajak bicara, keras kepala, dan serakah. Di mana pun dia, selalu saja merepotkan orang lain. Masalah yang tidak ada bahkan diada-adakan. Trouble maker.” Brian menatap Lentera ketika mengatakan dua kata terakhir. “Dia juga lelaki tidak tahu diri. Merasa dirinya paling tinggi dibandingkan orang lain. Dia sudah diperlakukan baik oleh kami, tetapi dia semakin tidak tahu diri.”Brian menyuapkan makanan terakhir sebelum meminggirkan piring ke sisi kirinya. Tatapannya pada Lentera pun tak putus sampai dia menenggak minumannya.“Aku sangat membencinya,” imbuh