"Si Dinda dari tadi di kamar mulu, mak!"
Itu suara Tanteku, adik Papa yang paling bungsu, namanya Tante Diah. Orang yang paling rese diantara adik Papa yang lain. Maklumlah ya, namanya juga anak bungsu. Suaranya berasal dari dapur, tapi bisa-bisanya terdengar jelas sampai ke kamarku yang memiliki jarak cukup jauh dari dapur, bahkan memiliki sekat 2 kamar lain, karna kamarku berada di paling ujung, berdekatan dengan jalan setapak. "Iya gak tau itu anak, kenapa betah-betah banget dikamar!" Jawab Nenekku, suaranya gak kalah nyaring. Aku tahu mereka sedang menyindirku, kalau ngomongin kan pasti bisik-bisik ya, gak mungkin sekenceng itu. Lantas, memangnya kenapa kalau aku lebih sering dikamar? Lagipula, aku dikamar buat baca buku. Memangnya salah? Pergi main salah, diem dikamar salah, terus yang benar buatku apa? "Ngasuh si Galang kek, daripada diem di kamar terus. Bersosialisasi gitu kaya manusia pada umumnya" suara Tante Diah meninggi seolah-olah aku harus mendengar ucapannya. Aku menutup buku yang ku baca, sambil mendecak kesal. Sudah 2 bulan aku masih belum bisa tahu ending novel yang ada ditanganku sekarang, cuma gara-gara aku sering digunjing jika berdiam dikamar. Padahal dulu, saat masih tinggal dengan mama, aku bisa membaca novel sepuasnya. Dari ucapan terakhir Tante Diah, aku sudah gak mendengar suara nenek lagi. Kemungkinan, beliau menjawab dengan pelan atau berbisik ditelinga tante diah, seperti biasanya, saat mereka menggunjingku. Aku jelaskan! Bukannya aku gak pernah bersosialisasi, tapi memang aku gak suka berbasa-basi. Apalagi pada mereka yang sering menggunjingku. Dan bukan juga aku gak pernah mengasuh sepupu kecilku itu, pernah beberapa kali, hanya saja aku gak ingin sering bertemu dengan anak sulung Tante Diah, kakaknya si Galang ini. Sebab, tanpa Tante Diah tau, anaknya itu sempat beberapa kali hampir melecehkanku. Jadi, aku harus bagaimana? Mengadu? Siapa yang mau percaya ucapanku?, sementara dia lebih rajin ibadah dan sangat dibanggakan ibunya, sedang aku hanya anak yang tinggal tanpa mama dan papa dirumah itu. Jelas aku gak bisa menyuarakan keluhanku, bukannya gak mau! Hal-hal sepele yang rumit ini, juga yang sering membuatku gak betah dirumah. Aku menyiapkan beberapa buku, membawanya bersamaku. Niatku, aku mau kabur ke rumah Nia untuk pura-pura mengerjakan tugas. Kalau aku terus diam disini bisa-bisa kepalaku meledak! Aku mendekati Kakek yang saat itu sedang menonton laptop si unyil di ruang keluarga. "Kek, Dinda ijin mau ke rumah Nia ya ada tugas!" pamitku pada kakek. Belum juga Kakek menjawab, Tante Diah langsung menyambarku seperti kilat "Asuh tuh si Galang, main mulu!" Teriak Tante Diah dari arah dapur. Kebetulan rumah Kakek berbentuk lurus memanjang, posisinya ruang keluarga ada ditengah-tengah rumah, jadi meskipun suaraku pelan pasti masih tetap bisa didengar sama Tante Diah dari dapur, kalau... Tante Diah menguping! Dan suaranya itu, membuatku tiba-tiba ingin berontak... "Nanti Tan, Dinda mau ngerjain tugas dulu!" Sahutku melawan. "Tugas apaan? Kamu sama Nia aja beda jurusan. Sejak kapan kelas administrasi sama kelas multimedia punya tugas yang sama? Emang kamu pikir Tante bodoh bisa kamu bohongi?" cercanya padaku, nadanya terdengar makin kesal. "Ya udah kamu asuh dulu Galang, kasian!" Jawab Kakek datar tanpa melihat ke arahku. Tuh kan... Aku gak punya hak suara disini. Mereka semua sama aja! Padahal aku juga salah satu cucunya, tapi mereka semua seperti berkomplot untuk menutup kebebasanku. Dan dengan sangat berat hati, aku mengangguk, lalu kembali ke kamar meletakkan buku-bukuku. Lagi, dan lagi, aku harus menurut perkataan mereka. *** Galang mengajakku menonton tv dirumahnya, rumah Tante Diah, yang menyatu dengan rumah Kakek. Dua rumah itu hanya disekat oleh sebuah dinding berpintu. Sebenarnya sepupu kecilku ini anak yang baik, penurut, dan aku gak kesulitan saat mengasuhnya. Andai saja, ia gak punya kakak yang berkelakuan seperti itu, aku siap kalau harus mengasuhnya 24 jam. "Mba, badan Galang gatel" rengek si kecil itu padaku, sepertinya ia baru saja digigit semut. "Yang mana Lang, sini Mba usapin" tawarku sambil memeriksa tangannya yang mulai bentol dan memerah. "Galang maunya dibedakin" pintanya. "Sebentar ya mba cari bedaknya!" Kataku sambil celingukan ke seluruh ruangan dirumah Tante Diah. "Bedaknya dikamar depan!" sahut Gin padaku, ia ada diruang tamu sedang asyik memainkan gamenya. "Tunggu ya Galang, Mba ambil bedaknya dulu!" Kataku, lalu menuju kamar paling depan rumah Tante Diah yang mana itu adalah kamar Gin, putra sulungnya. Kamar itu berhadapan persis dengan ruang tamu. Dan bodohnya, aku sama sekali gak berfikir, kalau itu hanyalah jebakan semata. Saat itu, ketika aku sudah masuk ke kamar dan fokus mencari bedak yang di inginkan Galang, dengan cepat Gin mengikutiku masuk, lalu mengunci pintu kamarnya. Dash! Aku terjebak disana, dengan kagetnya, menyaksikan Gin sudah berdiri tepat dibelakangku sambil melepas kaos yang dikenakannya. Ia menyeringai, seperti singa kelaparan ia langsung menyergap tubuhku tanpa aba-aba, mendorongku, hingga tubuhku ambruk ke ranjangnya. "Diam!" Ancamnya dengan berbisik pelan ditelingaku, membuat bulu kuduk disekujur tubuhku merinding. "Mau apa kamu? Lepas!" Aku meronta sekuat tenaga, tapi nyatanya tenaga Gin lebih kuat dariku. Kali ini, Gin berhasil menjebakku, bahkan saat dirumahnya hanya ada aku, dia, dan adiknya. "Galang!" Teriakku panik, berharap anak kecil itu bisa menolongku, tapi Gin gak tinggal diam, ia langsung membungkam bibirku dengan bibirnya, mengulum bibirku tanpa belas kasih. Dengan tubuhnya yang menindihku, Gin berhasil membuka kancing bajuku, tangannya bergerak liar meremas payudaraku. Dasar brengsek!!! Aku masih terus berusaha berontak, begitu Gin melepaskan ciumannya, aku kembali berteriak sebisaku. Berharap seseorang menolongku dari manusia gila ini. Tolong!!! Siapapun tolong aku!!! Tok...tok...tok... Suara pintu diketuk dengan keras.. "Dinda, ada apa?" Tanya Tante Diah dari balik pintu. Suaranya terdengar panik, mungkin Tante Diah mengkhawatirkanku. Gin melepaskan remasan tangannya pada payudaraku, begitu ia menyadari suara ibunya terdengar dari balik pintu. "Ini Mah, si Dinda ketakutan, pintunya tiba-tiba kekunci, gak bisa dibuka" Gin segera mengenakan kaosnya lagi, lalu ia berlari menuju pintu, Gin membuka pintu? Tidak!! Ia justru melepas kunci yang tergantung dan meembuangnya ke luar jendela kecil di salah satu sisi kamarnya. Sementara itu, aku dari atas ranjang memperhatikan tingkah bodoh manusia brengsek itu, sambil mengatup lagi kancing bajuku yang dibuka Gin tadi. "Sebentar, mama cari alat buat buka pintunya dulu! Kalian tunggu ya!" Ucap Tante Diah, suaranya masih benar-benar terdengar panik. Gin melirik ke arahku "Awas kalau kamu sampe ngadu ke mamaku!" Ancamnya. Brakk...brakk!!! Suara dari balik pintu itu berdentum keras saat tante diah berusaha merusak handle pintu dari luar kamar. Brakk!! Tante Diah berhasil membuka pintunya "Gin, Dinda, kalian gak apa-apa kan?" Wajah paniknya terlihat jelas, dan aku melihat ketulusannya khawatir kali ini, entah khawatir karna aku atau karna gin juga terkurung dikamar yang sama denganku. "Tan..." Aku menatap Tante Diah ingin mengatakan hal yang baru saja ku alami, namun dengan cepat Gin menyambarku. "Kami gak apa-apa mah!" Kata Gin sambil menatapku dengan tatapan mengancam. "Syukurlah!" Jawab Tante Diah, lalu melirikku "tapi kamu kenapa bisa ada dikamar gin sih, dinda?" Tanyanya malah jadi mencurigaiku. Lho!! Kenapa jadi aku yang seolah-olah menjadi tersangkanya disini? "Kan Tante minta kamu buat ngasuh Galang, kenapa malah sembunyi di kamar Gin?" Tuduhnya padaku, wajahnya yang penuh kekhawatiran tadi, seketika berubah. "Aku gak sembunyi Tante, tadi aku lagi cari bedak" jawabku kesal. "Bedak? Emang kamu fikir Gin pakai bedak?" Tanyanya membuatku tersudut. "Tapi tadi Gin..." "Tau nih Dinda ada-ada aja, masa nyari bedak ke kamar Gin!" Lagi-lagi Gin memotong ucapanku. Aku menatap Gin, tak percaya. Si brengsek itu, bisa-bisanya dia dengan wajah sok polosnya menjadikanku kambing hitam. "Gin!!" Seruku kesal. Gin menyeringai, ia meledekku? "Udah ah! Kamu tuh ya Dinda, disuruh jagain adikmu aja gak mau!" Ucap Tante Diah seraya berbalik meninggalkanku. Gila!!! Sumpah ini terlalu gila! Mereka gila dan aku terjebak hidup bersama mereka, hingga hampir gila!Kalian tahu??Apa rasanya setelah dilecehkan oleh sepupu sendiri? Sedangkan, yang seharusnya sebagai korban malah disudutkan? Kecewa, Marah, trauma, campur aduk deh, pokoknya. Apalagi gak ada satu orang pun yang percaya sama kamu dalam posisi traumamu sekarang.Parahnya, selain harus menangani segala rasa itu, aku juga harus memulihkan trauma itu sendiri, semuanya, dan pastinya, aku harus tetap bersikap baik-baik aja didepan mereka. Karena percuma, sekuat apapun aku membela diri pada mereka. Aku tetap gak akan pernah benar.Aku mengelap bibirku, kesal. Jijik! Jika tiba-tiba ingat lagi kejadian kemarin. Kenapa harus aku yang mengalami semua ini?Apa aku sekuat itu? hingga Tuhan memberiku berbagai masalah yang gak kunjung habisnya. Aku menghela nafasku, menatap langit yang biru dengan awan putih yang indah siang itu."Dor!" Nia mengagetiku, ia baru saja keluar dari kelasnya.Aku tersentak "Ampun deh na, bisa gak sih loe gak ngangetin gue begitu."Aku memang selalu menunggu nia di dekat
Aku setengah berlari menuju lapang sekolah setelah melihat teman-teman yang lain sudah berbaris dengan rapih dari gerbang sekolah.Hari ini sepertinya aku terlambat. Ini semua gara-gara aku begadang semalam memikirkan kekesalanku pada tante diah, sampai-sampai aku mencari cara untuk melarikan diri dari rumah itu."Cepat...cepat!! Segera masuk ke barisan kelas kalian masing-masing ya" Pak Muh menginstruksi siswa-siswa yang terlambat untuk masuk ke barisan.Dengan tergesa-gesa aku menaruh tasku disembarang tempat. Lalu, aku berdiri disamping barisan paduan suara, menunggu aba-aba dari protokol upacara.Ya... seperti yang sudah-sudah, aku selalu dapat posisi sebagai dirigen di setiap acara upacara bendera sejak aku SMP dan hal itu membuatku jadi terbiasa tampil aktif menjadi bagian dari petugas upacara."Pengibaran bendera merah putih diiringi lagu indonesia raya, penghormatan dipimpin oleh pemimpin upacara" nina yang saat itu terpilih sebagai pembawa acara, membaca dengan lantang poin-
Di jam istirahat aku memutuskan untuk meninggalkan uks dan kembali ke kelasku. Setelah mendapat perhatian ekstra dari kak wito dan membolos pelajaran karna sakit perut, sekarang aku lebih semangat untuk melanjutkan pelajaran. Apalagi lepas istirahat nanti ada pelajaran multimedia yang di bimbing langsung dari guru kesukaanku, pak Muh. "Eh temen-temen dengerin gue ya!" Aji, ketua kelas kami berdiri didepan papan tulis bersiap memberi pengumuman. "Apaan?" Jawab tedi, teman sebangkunya. "Iya ada apa sih?" Tanya mira, sontak anak-anak di kelas menjadi gaduh. "Masih istirahat woy!" saeful meneriaki aji dari kursi belakang, ia baru bangun tidur gara-gara kelas berubah gaduh. Kebiasaan si epul emang begitu, dia rajin bolos, nah sekalinya ada dikelas begini nih, kalau telinganya ga disumpelin headset ya sudah bisa dipastikan dia bakal molor di pojok kelas. Guru-guru sampai berenti negur dia saking bosennya lihat kelakuan ajaibnya itu. Kalau ada yang nanya, kenapa sih si epul dipertahanin
Aku berdiri resah didepan pintu ruang BK. Hanya mondar-mandir gak karuan menunggui nia yang masih di konseling oleh bu eni. Tanganku juga gemetar, khawatir anak itu bakal terus ngelawan saat di konseling bu eni di dalam. Aku tahu, sangat tahu sifat nia. Ia gak akan diam jika tertindas."Sini dinda, duduk dulu" Zendra menepuk tempat duduk kosong disebelahnya. Aku bahkan hampir gak menyadari ada orang lain selain aku didepan ruang BK tersebut.Tak lama pintu ruang BK terbuka dan nia muncul setelahnya."Nia, gimana?" Tanyaku cemas, menahan tangan nia yang keluar lesu setelah konseling. Disusul ita, dibelakangnya yang ikut berhenti melangkah setelah melihatku sedang menatapnya penuh emosi.Aku menarik nafas panjang. Sekarang bukan saatnya untuk marah. Apalagi bu eni, masih ada didalam ruang BK.Nia menoleh, menatap ita dengan tatapan masih kesal. Sepertinya mereka belum berbaikan meski sudah di konseling cukup lama. "Gak apa nda, ayo pulang" nia menarik lenganku cepat, menghindari beradu
Siang itu, setelah jam istirahat, seluruh siswa diminta untuk berkumpul di lapangan upacara secara mendadak. Ada pak muh, kak wito, kak febri, dan beberapa orang kakak kelas lainnya yang juga sudah berdiri tegak di hadapan seluruh siswa untuk memberi pengumuman."Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat siang semuanya" pak muh membuka percakapan disusul jawaban salam oleh seluruh siswa yang hadir dilapangan."Baik anak-anakku sekalian, terima kasih sudah mau berkumpul di lapangan siang hari ini" lanjutnya lagi,"Panas pak!" Teriak seorang siswa disampingku, kak hendrik, dia siswa kelas XI. Sontak siswa lain ikut riuh mengeluh menyusul teriakan kak hendrik."Iya bapak paham, makanya untuk mempersingkat waktu, di mohon tenang ya semuanya! Disini bukan bapak yang mau menyampaikan pengumuman, tapi perwakilan dari teman-teman kalian semua. Silahkan wito, atau febri yang akan menyampaikan?" Pak muh bergerak mundur dan mempersilahkan siswanya untuk maju memberi pengumuman yang mem
POV : FEBRIAku mencoret beberapa nama hasil usulan dari teman-teman rapat "yang ini... sama yang ini...diganti aja!" Kataku mengamati dengan cermat barisan nama-nama anak kelas X jurusan multimedia 1 yang akan diikutsertakan dalam kegiatan."Satu..dua..tiga.. ini masih kurang nih, kok cuma delapan orang!" Hitungku, kemudian mengalihkan perhatian pada data-data siswa di buku agenda sekolah."Anak multimedia 1 susah diajak kompak, udah kaya buyut-buyutnya nih!" Tukas ari nyinyir, melirik siska dihadapannya."Sorry aja ya! Kelas kita sih kompak-kompak, beda sama adik kelas kita" Timpalnya membela."Gue baru inget, ini si dinda kok belum masuk list? Dia anak multimedia 1 juga kan?" Tanyaku, sambil menuliskan namanya dalam daftar list dengan huruf kapital semua. DINDA!"Loe yakin mengikutsertakan dinda diacara ambalan besok, feb?" Tanya wito ragu setelah mendengar pendapatku."Iya" jawabku cepat, masih berkutat dengan tumpukan kertas-kertas dimeja yang berantakan.Hari itu, para panitia u
Keesokan harinya...Semua siswa yang hadir sudah berbaris rapih di lapangan bersama dengan bekal mereka masing-masing. Kak wito dan seluruh panitia lain juga sudah menginformasikan rangkaian kegiatan apa saja yang akan berlangsung selama ambalan. Dilanjut dengan pembagian regu bagi para peserta yang hadir. Aku terpilih sebagai ketua di regu matahari dengan berisikan 8 anggota. Setelah membubarkan barisan, kami diminta untuk mendirikan tenda masing-masing dari setiap regu."Dinda, mau dibantuin pasang tendanya gak?" Tawar kak wito yang sudah berdiri didekat tendaku."Cie...cie..." teman-teman satu reguku langsung meledekku."Enak ya kita bisa satu regu sama dinda, jadi bisa di pantau terus sama ketua osis!" Ujar penti senang.Aku melirik kak wito yang saat itu tersenyum mendengar perkataan penti. Ia nampak gak keberatan saat teman-teman meledek kami. Apa kak wito juga menyimpan rasa yang sama sepertiku?"Wito kok loe malah disini sih!" Kak febri datang merusak suasana.Kak wito menoleh
Aku dan yang lainnya mulai berjalan memasuki kawasan yang rimbun dengan pepohonan, bisa dibilang hutan mungkin ya. Karna memang sudah sangat jarang sekali rumah warga terlihat, bahkan hampir gak ada sama sekali. Beberapa orang mulai mengeluh, sama sepertiku, capek!Bukan kakiku yang capek, tapi mataku capek sedari tadi melihat kak pay terus berjalan sejajar dengan kak wito."Aduh!" Keluhku pelan, tapi sakitnya bisa sampai membuat tubuhku berbungkuk."Kenapa nda?" Nia memegangi tubuhku "sakit lagi?"Aku mengangguk, berpegangan pada nia."Woi anak cowo tolongin gue!" Kata nia dengan sedikit berteriak.Disaat yang bersamaan, dari sudut mataku, aku dapat melihat gerakan kak wito yang ingin merespon jawaban dari nia dengan segera, tapi wanita yang disebelahnya dengan cepat menahannya untuk tetap disana, bersamanya."Kenapa nia?" Respon kak febri cepat, wajarlah selain ketua PMR, dia juga aktif di organisasi mapala."Dinda sakit kak febri!""Sini biar saya bantu!" Kak febri meletakkan tanga